Minggu, 10 Januari 2016

Sleep Paralyzm

Oleh Antonio

Catatan : cerpen ini merupakan terjemahan dari cerpen berbahasa Sunda yang berjudul Dieureup-eureup karya Antonio. Cerpen ini dimuat di Majalah Mangle edisi Juni 2004.


Nama saya Antonio. Saya seorang perawat yang bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta. Malam ini
malam Jum'at dan saya mendapat giliran dinas malam. Kata orang malam Jum'at adalah malam di mana hantu-hantu senang bergentayangan dan rumah sakit adalah salah satu tempat favoritnya. Jika saja saya percaya hantu, maka malam ini bisa jadi merupakan malam yang sangat menyeramkan bagi saya. Tapi saya tidak percaya hantu apalagi setan. Saya tidak mempunyai uusan sama sekali dengan mereka. Apa urusan di dunia nyata ini kurang berat sampai kita harus mengurusi kehidupan mereka segala. Saya hanya bisa menertawakan mereka yang sehari-hari ngomongin setan, terlebih kepada acara-acara tv yang mencari-cari penampakan setan yang tayang tiap tengah malam. Sungguh orang-orang kurang kerjaan.

Saya tiba di rumah sakit lebih awal. Kali ini saya bertugas bersama Mbak Agus dan Bu Endang. Saya bertugas di ruang anak. Tangisan mereka di malam hari sudah menjadi hal yang biasa bagi saya dan bahkan sudah kewajiban saya juga untuk membantu menenangkannya.

Kerja kali ini lancar. Semua pekerjaan beres sebelum pukul satu dini hari. Kami memutuskan untuk beristirahat bersama. Biasanya kami beristirahat secara bergantian tapi karena kondisi
pasien tenang, tidak ada salahnya juga kami beristirahat bersama-sama.

Bu Endang dan Mbak Agus tidur
dengan menggelar kasur di nurse station. Saya tidur di sofa di samping mereka. Nurse station adalah
tempat berkumpulnya perawat di mana biasanya mereka membereskan pekerjaan mereka.

Karena di luar hujan deras kami pun tidur sangat lelap sampai akhirnya saya mendengar tangisan bayi. Saya terbangun. Saya melihat jam, masih pukul tiga pagi. Ketika saya mau bangun dari sofa, saya melihat Mbak Agus sudah mendahului saya dan menghampiri bayi yang menangis. Saya kembali tidur. Belum sempat saya memejamkan mata, Mbak Agus sudah membangunkan saya. Ia memberitahu kalau infusan bayi tersebut
bengkak dan saya disuruh menyiapkan peralatan infus di ruang tindakan. Sialan, kenapa tidak nanti pagi saja
pasang infusnya, maki saya dalam hati. Dengan mata terkantuk-kantuk saya bergegas ke ruang tindakan dan
menyiapkan alat.

Hawa terasa sangat dingin ketika saya menyiapkan alat. Mungkin karena di luar sedang hujan lebat, pikir saya. Saya menyiapkan alat sambil melamun sampai kemudian saya dikagetkan dengan sesosok makhluk hitam di depan saya. Tingginya sama dengan saya, matanya merah, nafasnya berbau busuk dan dia tertawa. Saya lari ke luar menuju nurse station. Belum sempat sampai ke nurse station saya berhenti, saya tidak percaya hantu, saya putuskan untuk kembali, saya berbalik, tak disangka makhluk itu sudah berada di pintu dengan wujud yang lebih mengerikan. Saya mencoba berlari kembali tapi kali ini kaki saya
terasa berat. Saya tidak bisa berlari. Saya putuskan untuk berteriak memanggil Bu Endang dan Mbak
Agus. Mereka tidak menggubris sama sekali. Saya berteriak lebih kencang, semakin kencang sampai akhirnya,

"Antonio.." Bu Endang membangunkan saya dengan memukul-mukul paha saya. Saya melihat jam, masih pukul tiga pagi. Mbak Agus masih berada di tempat bayi yang sedang menangis.

"Kamu dieureup-eureup ya?" tanya Bu Endang.

"Sepertinya begitu Bu, saya mimpi buruk." jawab saya diakhiri dengan ber-huh karena lega. 

Sejak pukul tiga itu kami tidak tidur lagi. Bu Endang cerita kalau saya tidak dibangunkan maka saya akan dibawa ke dunia mereka. Mbak Agus pun mengiyakan. Ternyata mitos itu sama di setiap daerah. Mbak Agus dari Kalimanatan dan Bu Endang dari Jakarta tapi kepercayaan mereka
terhadap hantu sama. Saya hanya bisa ber-huh lagi dalam hati mendengar kepercayaan konyol mereka.

Pukul enam pagi adalah waktu untuk mengobservasi kondisi pasien. Kami berkeliling untuk mengukur tanda-tanda vital pasien. Ketika sedang mengukur suhu salah satu anak di kamar paling ujung, anak itu bertanya,

"Om, kok sendirian?" 

"Oh, Bu Endang dan Mbak Agus lagi di kamar yang lainnya, Dek" jawab saya sambil tersenyum.

"Bukan mereka Om, tapi yang mengikuti Om terus sepanjang malam. Yang hitam dan matanya merah tuh" jelas anak itu polos.

Ohhh Tuhan, apakah dunia ini dipenuhi dengan orang-orang konyol?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar