Senin, 28 September 2015

Cita-Cita Asroji

Asroji pernah bercita-cita untuk mati di usia 27. Ia akan menembak kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun. Tapi sebelum itu, ia akan membikin band, menulis lagu-lagu tentang betapa membosankannya hidup, menjadi terkenal, baru kemudian bunuh diri. Sebab sia-sia saja kau bunuh diri jika dirimu bukan siapa-siapa. Kematianmu mungkin hanya akan menghiasi sedikit halaman di pojok berita kriminal sebuah surat kabar. Esok hari berita kematianmu sudah tidak ada. Seminggu kemudian kau sudah dilupakan semua orang.

Jika ia tidak memiliki shotgun mungkin ia akan menggantung dirinya sendiri di pohon rambutan belakang rumah atau meloncat dari gedung setinggi 69 lantai. Yang penting ia mati di usia 27. Tapi sebisa mungkin ia harus mendapatkan shotgun atau senapan jenis apa pun yang bisa membikin kepalanya meledak. Dan ia harus terkenal terlebih dahulu. Supaya kematiannya mirip Kurt Cobain, tentu saja.

Waktu itu Asroji masih seorang bocah remaja yang sedang gandrung-gandrungnya bermain musik. Maklum, ia baru saja bisa bermain gitar, meskipun kord gitar yang dikuasainya hanya sebatas E minor lalu ke C lalu ke G dan terakhir ke D.

Aceng Fikri yang mengajarinya. Ia ingat betul bocah kurus itu. Aceng Fikri masih adik kelasnya di SMA tapi kemampuan bermain gitarnya bisa membikin Asroji iri setengah mampus, Aceng Fikri bisa memainkan intro lagu Sweet Child O' Mine dari Guns And Roses sambil merem. Kalau niat, Aceng Fikri bahkan bisa memainkannya sambil kayang.

"Jarimu ketuker tuh, jari tengah di senar dua, jari manis di senar tiga." kata Aceng Fikri sewaktu mengajarinya kord B minor di sebuah pos ronda di perempatan jalan. Ia mengatakannya seenteng orang berak ; sambil menghembuskan asap Djarum Super yang ia bikin-bikin seperti huruf O, sementara Asroji mati-matian menahan nyeri di jari-jari tangan kirinya karena senar gitar yang dimainkannya sudah berkarat. Bangsat betul memang.

Selain mengajari Asroji bermain gitar (ia biasa meminta Djarum Super sebagai mahar untuk kursus singkatnya) Aceng Fikri juga adalah orang pertama yang mengenalkan Kurt Cobain kepada Asroji. Ia kerap bercerita tentang Kurt Cobain sembari mengajari Asroji bermain gitar. Kisah tentang Kurt Cobain yang kabur dari rumah terus tidur di kolong jembatan, menjual senapan untuk membeli gitar, membentuk Nirvana kemudian terkenal dan mati bunuh diri di usia 27. Asroji tidak tahu dari mana Aceng Fikri mendapatkan kisah itu tapi ia akan menceritakannya dengan keyakinan setingkat penjual obat kuat di pinggir jalan yang yakin obatnya manjur atau seorang agen MLM yang percaya kalau menjadi kaya itu semudah orang kencing, tinggal buka celana lalu cuuuur begitu saja. Asroji terpesona.

Tiga bulan setelah Aceng Fikri mengajarinya bermain gitar di pos ronda, Asroji sudah berhasil mengajak beberapa temannya untuk membikin band. Ia tinggal menulis lagu tentang betapa membosankannya hidup, terkenal, lalu bunuh diri di usia 27.

***

Asroji pernah bercita-cita untuk mati di usia 27. Ia akan menembak kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun. Tentu saja setelah ia dan bandnya terkenal. Tapi di usia 22 ia sudah lupa akan cita-citanya tersebut. Selain karena ia menyadari kalau hidupnya tidak begitu menyedihkan ; ia mempunyai keluarga yang baik-baik saja, uang jajan dan kebutuhannya selalu terpenuhi, dan kisah asmaranya semulus paha Monica Belluci, ternyata band yang ia bikin umurnya tidak lebih panjang dari umur rata-rata pernikahan  para selebritis. 

Sering kali band yang ia bikin harus bubar di tengah jalan. Ada saja persoalannya. Kesibukan kuliah, dilarang orangtua, memilih untuk fokus di bisnis batu akik atau memilih untuk memperdalam agama. 

Hal-hal semacam itu diperparah dengan minimnya respon dari lagu-lagu yang ia bikin, baik dari kalangan skena maupun dari khalayak luas. Baru belakangan ia sadar kalau hal itu dikarenakan dirinya adalah penulis lagu yang buruk dan suaranya sumbang ampun-ampunan.

***

Asroji pernah bercita-cita untuk mati di usia 27. Ia akan menembak kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun. Itu cita-citanya saat masih SMA. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak saat itu dan kini, ketika mengingatnya kembali, Asroji merasa begitu konyol pernah memiliki cita-cita setolol itu.

Ingatan tentang hal itu menghampirinya begitu saja saat ia teringat kalau hari ini ia berulang tahun yang ke 27. Ia sudah lama berhenti bermain band -karena sadar ia seorang penulis lagu yang buruk dan suaranya sumbang minta ampun- dan tidak pernah terpikir untuk bunuh diri. Apalagi dengan menembak kepalanya sendiri menggunakan shotgun. Cara mati yang mengerikan. Ia malah berharap bisa hidup lebih lama, kalau perlu sampai bisa menyaksikan cucu-cucunya kelak. Kalau pun harus mati ia berharap akan mati di umur 63, biar seperti Nabi Muhammad.

Wajar saja kalau Asroji berharap hidup lebih lama, ia memang sedang berbahagia akhir-akhir ini. Istri yang dinikahinya tahun lalu kini tengah hamil tua. Menurut taksiran dokter, istrinya akan melahirkan tiga minggu lagi. Hal itu membuatnya tidak betah berlama-lama di kantor dan memilih untuk langsung pulang jika pekerjaan sudah kelar.

Kereta yang ditumpanginya baru tiba di Stasiun Jatinegara ketika ponsel di saku celananya bergetar. Istrinya menelepon.

"Aku masih di Jatinegara. Nanti kalau sudah di Bekasi aku kabarin"

Asroji memang berjanji untuk makan malam bersama istrinya sebagai perayaan ulang tahunnya yang ke 27. Tapi lalu lintas di Jakarta siapa yang bisa menebak. Tadi saja keretanya harus tertahan beberapa menit di Stasiun Cikini. Semoga saja ia tidak terlalu malam tiba di rumah.

Setelah menutup telepon dan memasukkan kembali ponsel ke saku celananya, Asroji kembali mengenang masa-masa SMAnya. Ia sudah lama kehilangan kontak dengan Aceng Fikri, temannya yang dulu mengajari ia bermain gitar. Terakhir kali ia mendengar kabar kalau Aceng Fikri akan menikah, beberapa tahun yang lalu saat ia baru saja bekerja di Jakarta. Ia sendiri tidak hadir di acara pernikahannya itu, ia lupa apa alasannya, mungkin karena ia masih pegawai baru di kantornya jadi tidak bisa mengambil cuti. Entahlah, Asroji tidak begitu ingat. Ia hanya ingin cepat-cepat tiba di rumah.

***

Asroji pernah bercita-cita untuk mati di usia 27. Ia akan menembak kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun. Ia mengingat cita-cita konyolnya itu sambil tersenyum-senyum sendiri sembari memakai helm buluknya yang berwarna kuning dengan gambar Spongebob di belakangnya. Helm itu dibelinya ketika ia masih berkuliah dan tetap ia pakai sampai sekarang. Kaca bagian depannya sudah hilang entah ke mana tapi Asroji senang memakainya.  Ia merasa tidak perlu khawatir kalau helm itu akan ada yang mencuri. Toh sudah buluk juga, pikirnya. Kalau ia yang menjadi pencuri helm ia pasti akan berpikir ribuan kali sebelum mencurinya.

Kereta baru tiba di Stasiun Bekasi ketika hari sudah gelap. Asroji terpaksa memacu motornya lebih kencang karena sudah keburu malam. Ia tidak ingin membuat istrinya menunggu terlalu lama.

Jalanan sempat macet di beberapa tempat. Tapi selepas dua lampu perlintasan lalu lintas jalanan mulai lancar. Asroji bisa memacu motornya lebih kencang lagi.

***

Asroji pernah bercita-cita untuk mati di usia 27. Ia akan menembak kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun. Ia bingung darimana dulu ia pernah punya pikiran semacam itu. Apakah dari Aceng Fikri yang sering mendongenginya kisah Kurt Cobain? Atau mungkin karena hal itu dianggap keren untuk bocah-bocah seusianya. Waktu itu ia masih SMA, membayangkan dirinya terkenal lalu menjadi pujaan jutaan orang, memang bangsat betul kerennya. Tapi apa yang dulu pernah ia anggap keren berubah seiring umurnya bertambah. Apalagi hidup menamparnya keras dengan sebuah kenyataan yang ada di depannya. Cita-cita untuk mati di usia 27 adalah hal terbodoh yang pernah dipikirkannya. Ia tidak mempunyai alasan untuk melakukan hal itu. Ia tidak benci dengan dirinya sendiri dan hidupnya tidak membosankan amat, bahkan bisa dibilang bahagia.

Lamunannya harus buyar ketika motor yang dikendarainya menabrak sebuah lubang di jalan. Asroji tidak sempat melihat dan menghindari lubang itu. Motornya oleng ke arah kanan dan ia kehilangan keseimbangan.

"Bangs..." baru saja mulutnya mau mengumpat, sebuah truk sudah menghajar ban belakang motornya. Asroji terpelanting, helmya yang berwarna kuning bergambar Spongebob terlepas dari kepalanya. Untuk beberapa detik gaya gravitasi seolah-olah tidak berefek terhadap Asroji. Tapi Asroji tidak sadar kalau dirinya sedang melayang, ia hanya teringat kepada istrinya yang sedang menunggu ia pulang, pada calon bayinya yang belum sempat ia lihat wajahnya, pada Aceng Fikri yang mengajarinya bermain gitar, dan pada cita-citanya untuk mati di usia 27. Saat gaya gravitasi itu sudah kembali bekerja, kepalanya sudah menghantam aspal jalan. Bruuuk!


Tambun Selatan, 28 September 2015






Sabtu, 19 September 2015

Tentang si Bapak, Nabi Nuh, dan Derita Seekor Semut

Ini gara-gara si Raras yang memposting foto bapaknya di era kenakalan remaja, dahulu sebelum ketemu mamahnya si Raras lalu mereka menikah dan lahirlah Raras. Luar biasa betul kerennya, pikir saya. Saya jadi berpikir apa hal-hal keren yang pernah dilakukan oleh si bapak ya?

Saya yakin kalau si bapak bukan seseorang yang keren. Beliau bukan remaja kekinian pada zamannya. Bukan snobs atau hipster atau apalah itu yang terlihat keren di zamannya. Pengetahuan musiknya bahkan berbanding lurus dengan suaranya yang sumbang kalau bernyanyi (dan sialnya suara sumbangnya itu diwariskan kepada saya. Luar biasa betul).

Dari ceritanya yang sering beliau ceritakan kepada saya, saya yakin kalau si bapak adalah tipe anak baik yang berbakti kepada orang tua. Tabiatnya lurus. Tipe anak baik-baik yang ketakutan setengah mampus untuk bolos sekolah dan tidak pernah terlibat kenakalan-kenakalan khas remaja lainnya. Bukan pusat perhatian di sekolah dan tentu saja bukan tipe seorang siswa idola dedek-dedek gemes. Saya bahkan tidak tahu apakah si bapak pernah punya pacar sebelum menikah dengan si mamah?

Kalau pun sekarang bisa dibilang saya adalah seorang yang nakal dan brengsek saya yakin kalau hal itu bukan warisan dari si bapak, tapi warisan kakek dari pihak si mamah. Tentang kakek yang satu ini mungkin saya akan menuliskannya di kesempatan lain. 

Untuk kali ini, saya hanya akan menulis tentang si bapak.

Si bapak kerap kali bercerita kepada saya tentang masa kecilnya. Biasanya itu dilakukan ketika malam hari sepulangnya beliau melaksanakan sholat Isya di mushola dekat rumah. Sambil merokok (favoritnya adalah Gudang Garam Filter dan itu juga diwariskan kepada saya) beliau akan bercerita tentang masa kecilnya yang bisa dibilang memprihatinkan.

Beliau anak ke empat dari delapan bersaudara (sebenarnya malah 12 bersaudara, tapi empat sisanya mati ketika masih kecil). Kakek dan nenek saya hanya seorang petani biasa. Untuk menambah penghasilan mereka memelihara beberap ekor kambing. Ayah saya beserta saudara-saudaranya yang lain yang kerap kali diserahi tugas untuk memberi makan dan menggembalakan kambing.

"Dulu mah nih ya bapak sebelum berangkat sekolah harus ngambil rumput dulu di sawah buat makan kambing. Nanti sorenya pas pulang sekolah harus pergi lagi ke sawah buat gembalain kambing" katanya sambil menghembuskan asap rokoknya. Asap rokoknya akan mengepul dan bergoyang-goyang di udara sebelum lenyap.

"Kamu mah sekarang enak. Berangkat sekolah tinggal minta duit lalu pulang sekolah bisa main" lanjutnya.

Glek. Biasanya saya akan menelan ludah setelah mendengarnya.

Di lain kesempatan si bapak bercerita tentang pengalamannya menangkap monyet kabur. Ketika itu, di pasar ada sebuah pertunjukan topeng monyet. Entah karena malas atau lapar tiba-tiba saja si monyet itu kabur. Kontan saja para penonton langsung memburunya. Si bapak termasuk ke dalam salah seorang di antara mereka.

Selepas SMP si bapak melanjutkan sekolah ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Kota Kuningan. Sekarang sekolah itu sudah tidak ada dan digantikan oleh SMAN 3 Kuningan. Lucunya, saya juga bersekolah di bangunan bekas sekolah si bapak.

Sekolah itu juga pada zamannya bisa dibilang bukan sekolah pilihan. Sekolah kelas dua. Maklum saja, menjadi guru pada waktu itu adalah hal yang sangat dihindari oleh orang-orang. Jarang ada yang mau menjadi seorang guru. Gajinya kecil. Tidak seperti sekarang. Orang-orang lebih memilih menyekolahkan anak mereka ke SMA.

Sampai di sini bisa dibilang si bapak tidak keren sama sekali. Tapi pernah suatu kali beliau bercerita, entah dalam rangka melucu atau apa, tentang Bahtera Nabi Nuh dan seekor semut. Saya memang sering didongengi oleh beliau tentang kisah-kisah para nabi tapi ceritanya tentang Nabi Nuh kali ini sungguh berbeda. Waktu itu saya masih kecil dan belum memahami leluconnya. Saya juga baru ingat kembali cerita itu belakangan ini ketika sedang mencoba menulis cerpen.

Ceritanya begini.

"Kamu tahu kenapa setiap seekor semut bertemu dengan sesamanya mereka sering terlihat bersalaman dan saling menyapa?" tanya si bapak. Saya menggeleng. Tidak tahu.

Semua berawal dari peristiwa banjir besar yang terjadi pada zaman Nabi Nuh. Seperti yang dikatakan dalam kitab suci, Tuhan pernah memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat kapal yang luar biasa betul besarnya. Kapal itu harus bisa memuat semua orang juga makhluk hidup lainnya karena Tuhan akan mengirimkan sebuah banjir besar.

Nuh melaksanakan perintah Tuhannya. Dia mulai membangun kapalnya yang berukuran sangat besar. Tapi orang-orang di sekitarnya malah mencemoohnya. Menganggapnya sudah gila. Beberapa orang bahkan sengaja berak di kapalnya sebagai tanda ejekan kepada Nuh.

Nuh tetap sabar dan melanjutkan pembangunan kapal itu. Dia juga tetap tidak putus asa untuk mengajak orang agar nanti mau menaiki kapal tersebut. Agar semua orang percaya pada perintah Tuhan. Tapi hanya segelintir saja orang yang mau percaya.

Banjir besar yang diramalkan oleh Tuhan pada akhirnya terjadi juga. Sementara Nuh dan beberapa pengikutnya sudah berada aman di atas kapal, orang-orang yang dulu mencemoohnya tenggelam terbawa arus (termasuk istri dan anak Nuh sendiri).

Tapi rupanya muatan di kapal tersebut terlalu berat. Karena ternyata   semua binatang juga ikut menaiki kapal tersebut. Kapal itu pun oleng dan terancam tenggelam.

Seorang penumpang kapal kemudian bertanya kepada Nuh apa yang harus dilakukannya. Kemudian Nuh memerintahkan kepada mereka untuk membuang barang-barang yang tidak terlalu penting. Mereka mengikuti nasihatnya. Beberapa barang yang dianggap tidak penting mereka buang. Tapi kapal itu masih saja oleng.

Setelah hampir putus asa, akhirnya Nuh mendapat sebuah ide yang sangat brilian. Dia memerintahkan seluruh penumpang kapal tersebut (termasuk binatang) untuk melepaskan alat kelaminnya masing-masing lalu mengumpulkannya dalam karung dan membuangnya. Nanti saat banjir surut karung itu diambil kembali. Mereka mengikuti sarannya dan luar biasa betul kapal itu selamat dan tidak jadi karam.

Masalah baru muncul saat banjir surut dan semua penumpang kapal berebut mengambil alat kelaminnya masing-masing. Tentu saja yang paling sial adalah semut. Karena alat kelamin mereka berukuran sangat kecil jadi ada beberapa semut yang tidak berhasil mendapatkannya kembali. Maka sejak saat itu setiap kali seekor semut bertemu dengan sesamanya mereka terlihat seperti sedang saling menyapa. Padahal mereka bukan saling menyapa, mereka hanya bertanya,

"Eh, kontolmu masih ada nggak?"

Andai saja si bapak menceritakan kisah ini sekarang, saat saya sudah lebih dewasa, sudah tentu saya pasti akan tertawa terbahak-bahak. Tapi waktu itu saya masih kecil, masih belum paham leluconnya. Saya juga tidak yakin apakah waktu itu si bapak sengaja melucu atau sekedar ingin bercerita saja. Tapi sekarang setiap mengingat cerita itu saya selalu cengar-cengir sendiri. Saya tidak tahu dari mana si bapak dapat cerita itu. Tapi selera humornya luar biasa betul bangsatnya. Dan itu keren sekali.

Tidak, saya tidak pernah menyesal seandainya pun si bapak tidak pernah melakukan hal-hal yang bisa dibilang keren. Bagi saya, apa pun yang sudah dilakukannya untuk saya akan tetap saya anggap keren. Tidak peduli seculun apa pun si bapak di masa lalu dia akan tetap menjadi sosok yang paling keren. 

Saya pun berharap demikiam. Semoga di mata si Riry saya akan tetap terlihat sebagai ayah yang keren meskipun mungkin pada kenyataannya saya adalah seorang ayah yang payah.

Yah, semoga saja begitu. Ah, kenapa saya jadi sedih begini sih?


Tambun Selatan, 20 September 2015