Selasa, 24 Desember 2013
Diluar hujan mulai turun. Untung aku sudah
berada di rumah. Tadi sehabis memperpanjang SIM aku sempat mampir ke rumah
Egie, kawan dekatku sejak zaman SMP. Ayahnya meninggal minggu lalu. Pak Yaya,
biasa aku memanggilnya. Beliau adalah kawan dekat ayahku juga, seperti aku dan
Egie. Entahlah, ketika mendengar kabar duka itu aku merasa sedikit aneh.
Meskipun aku tidak begitu dekat dengan Pak Yaya tapi aku selalu teringat wajah
dan senyum khasnya tiap kali aku mampir ke rumah Egie. Aneh saja ketika kini
menyadari beliau sudah tiada. Wajah dan senyumnya pun tidak lagi menyambutku
yang hari ini mampir ke rumahnya. Selamat tinggal dan sampai jumpa, Pak Yaya.
Egie terlihat sudah tidak terlalu sedih lagi,
meskipun kata si Rasblo dia sempat menangis ketika dia telepon. Wajar saja,
Egie pasti merasa sangat kehilangan. Aku juga pasti begitu. Kita sempat
berbincang selama beberapa saat, ngopi bareng dan menghabiskan beberapa batang
rokok. Sebelum kemudian aku disuruh cepat pulang oleh si bunda (panggilan
sayang buat istriku).
Begitulah, kemudian aku tiba di rumah dan
hujan turun. Si Mamah (kalau ini panggilan sayang buat ibuku) masak tempe
goreng, pete goreng, sambal juga segelas susu hangat. Aku makan dengan lahap.
Ah, sungguh nikmat sekali rasanya.
Sementara aku makan, si Riry (nama lengkapnya
Oryza Sativa, anakku) terus mondar mandir tanpa kenal lelah. Dari ruang tamu
jalan ke dapur, balik lagi ke ruang tamu, terus ke gudang. Berantakin beras,
berantakin pakaian kotor. Dan tidak capek-capek! Mungkin dia lagi senang,
soalnya dia baru bisa berjalan. Meskipun kami sekeluarga harus bergantian
mengawasinya. Yaah kalian tahu sendiri kalau anak yang baru bisa jalan
bagaimana? Minggu ini saja dia sudah 2 kali jatuh yang mengakibatkan benjol di
jidat, lecet di hidung, dan memar di pipi. Hebatnya, dia cuma nangis bentar
lalu jalan lagi dan ketawa-tawa lagi. Lucu sekali bocah yang satu itu. Saking
aktifnya aku kadang menyebutnya si hebring. Hahaha.
Desember ini Riry sudah 15 bulan, si bunda
sudah 21 tahun. Waktu berjalan tanpa terasa. Aku sendiri sudah berumur 23
tahun, meninggalkan angka favoritku, 22. Kata orang sih umur segitu masih muda.
Tapi aku merasakan apa yang disebut oleh Rizky Akbar sebagai identity crisis.
Krisis identitas. Di tempat kerja kebanyakan isinya bapak-bapak dan ibu-ibu.
Jadi jangan heran kalau suatu saat kalian mendengarku berbicara tentang kisah
pernikahan Ayu Ting Ting atau Asmirandah, atau sengketa Adiguna Soetowo dengan
Flo dan Piyu. Ibu-ibu punya kemampuan luar biasa menyampaikan analisis mendalam
tentang kasus-kasus tadi. Dan aku mau tidak mau harus ikut mendengarkannya,
hampir tiap hari.
Tapi ngomong-ngomong tentang Rizky Akbar, tadi
aku menemukan bukunya yang aku pinjam tahun lalu. Madre karya Dee Lestari. Aku mengenal
Rizky Akbar pada tahun 2011, beberapa bulan setelah lulus kuliah. Dikenalkan
oleh Jemi Alpian, di sebuah warung kopi depan SMA 7 Cirebon. Sebenarnya sebelum
itu juga aku sudah pernah bertemu dengannya sekali. Proyek foto kelas waktu
itu. Cuma proyeknya gagal. Lalu bertemu lagi di depan SMA 7 Cirebon. Proyek
zine. Kali ini berhasil. Tidak terasa juga peristiwa itu sudah berlalu 2 tahun.
Untuk mengenangnya aku kembali membaca Madre.
Padahal kemarin aku baru saja membeli 2 buah buku di kedai buku Bookmarks milik
Um Alam. Kedai buku kecil tapi bukunya bagus-bagus. Um Alam memang pecinta
buku, cocok juga dia jadi pemilik kedai buku. Dibandingkan dengan para pedagang
buku bekas di Pasar Senen atau di Blok M yang tidak ngerti dan cinta buku tapi
pasang harga mahal untuk beberapa bukunya.
Diluar hujan masih turun. Aku bisa bersantai
sejenak membaca buku, karena tugas menjaga si Riry sedang dijalani sama si
bunda. Tahun 2013 sebentar lagi berakhir. Kalau mengurainya satu per satu
mungkin banyak peristiwa yang aku lupakan daripada yang aku ingat. Entahlah
apakah hal itu penting atau tidak. Yang jelas diluar masih hujan dan aku
terpaksa menghentikan kegiatan membaca bukunya karena sekarang giliranku
menjaga Riry.
Ayoo Riry kita main ciluk baa ciluk baa-an