Selasa, 18 Oktober 2016

Kembang Api

Kemarin Dherisa mengajakku menonton pesta kembang api di balai kota. Aku tidak langsung mengiyakan ajakannya (sebenarnya aku malas betul pergi keluar di malam perayaan pergantian tahun macam begitu) dan bilang aku akan mengabarinya nanti sambil berharap ia melupakan niatnya pergi atau memutuskan untuk mengajak orang lain saja. Tapi rupanya ia tetap berkeras. Pokoknya harus. Aku tahu kau cuma mencari-cari alasan saja, katanya. Ia benar dan hal itu malah membikin aku semakin enggak enak hati kepadanya. Jadi malam itu akhirnya aku pergi bersamanya (dan bersama ratusan orang lainnya) ke balai kota menonton pesta kembang api.

Dherisa bukan pacarku. Ia teman dekatku. Mungkin satu-satunya teman perempuan yang dekat denganku. Kami selalu duduk di kelas yang sama semasa SMA. 

Pacarnya adalah temanku juga semasa SMA, hanya saja berbeda kelas. Saat ini ia sedang melanjutkan studi S2nya di Jepang. Mungkin karena itu Dherisa sering mengajakku jika ia ingin pergi kemana-mana. Atau mungkin karena ia tahu kalau aku belum punya pacar jadi ia bisa seenaknya saja mengajakku. Entahlah. Kadang aku suka merasa enggak enak hati sama pacarnya.

Aku pernah bertanya apakah pacarnya enggak cemburu kalau ia sering pergi denganku. Dherisa bilang tenang saja, pacarku bukan tipe lelaki pencemburu. Dan jangan bersikap kekanakkan macam begitu, katanya. Ya, mungkin ia benar. Lagipula kita berdua memang enggak bikin aksi macam-macam. Jadi sepertinya memang aku yang terlalu kekanak-kanakkan.

Selain rasa pegal karena harus terus berdiri sepanjang malam, aku juga harus mati-matian menahan rasa kantuk dan bosan. Kenapa bisa-bisanya, Dherisa dan manusia-manusia ini, merelakan waktu tidur malam mereka untuk menikmati pesta kembang api yang berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit ini dan bisa pulang dengan wajah merona gembira? Luar biasa betul, pikirku sepanjang perjalanan pulang. Kami menumpang taksi dan mengantar Dherisa pulang ke pondok kosnya. Sudah lewat pukul 12 malam, saat aku lihat jam di ponselku.

Saat taksi berhenti di depan pondok kosnya, Dherisa mengajakku untuk menginap di tempatnya. Sudah malam, sebaiknya kau ikut nginap saja, katanya. Aku enggak tahu bilang apa saat itu -- mungkin karena saat itu aku sangat mengantuk-- yang jelas, aku sudah berada di luar taksi dan berjalan mengikuti Dherisa, masuk ke dalam kamarnya.

Kamarnya tertatap rapi dan luasnya tiga kali lebih luas dari kamar kosku di Slipi. Ia menggelar karpet, lalu meletakkan sebuah bantal di atasnya. Kamu tidur di bawah saja, dan karena selimutnya cuma ada satu jadi terpaksa kamu enggak pakai selimut, katanya. Aku hanya mengiyakan dan bilang enggak apa-apa, cuaca Jakarta enggak begitu dingin jadi enggak ada masalah juga kalau aku tidur tanpa selimut.

Setelah itu ia pergi ke kamar mandi yang juga terletak di dalam kamarnya. Cuci muka, menggosok gigi, dan berganti pakaian. Ia keluar dan bilang kalau mau cuci muka atau mandi kamu bisa pakai kamar mandinya. Aku mau langsung tidur, katanya. Dan jangan lupa matikan lampunya kalau kamu mau tidur, aku enggak terbiasa tidur dengan lampu kamar menyala, lanjutnya. Aku hanya mengiyakan saja, ya mungkin begitu, saat itu aku memang sudah sangat mengantuk dan ini adalah pertama kalinya aku berada satu kamar dengan seorang perempuan. Perasaanku enggak keruan.

Aku hanya mencuci muka di dalam kamar mandi. Saat keluar aku lihat Dherisa sudah tidur menyamping ke arah kiri. Aku enggak tahu apakah ia sudah terlelap atau belum. Di dindingnya sebuah kipas angin berputar dengan putaran yang teratur. 

Aku mematikan lampu kamar dan berbaring di sebuah karpet yang tadi disediakan oleh Dherisa, mencoba memejamkan mataku, dan meredakan detak jantungku yang sedari tadi berdetak lebih kencang dari biasanya.

Mungkin kau akan berpikir pasti akan ada adegan yang mirip film-film porno Jepang setelahnya. Tentang seorang perempuan yang ditinggalkan pacarnya dan merasa kesepian lalu melampiaskan nafsu birahinya kepada temannya sendiri. Atau adegan lain yang semacam itu. Ya, aku juga sempat membayangkan hal-hal semacam itu sih, dan mungkin gara-gara itu juga jantungku jadi berdetak lebih kencang. Tapi aku yakinkan kau kalau enggak ada adegan semacam itu. Ya, aku yakin sekali. Kau harus percaya padaku. Yang terakhir aku ingat hanyalah suara kipas angin yang berputar. Setelah itu aku lupa, mungkin aku langsung jatuh tertidur karena kecapekan setelah berdiri semalaman.

Saat aku terbangun secara enggak sengaja suasana kamar masih gelap, dan kipas angin masih berputar dan mengeluarkan bunyi yang sama. Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Aku lihat masih pukul lima pagi. Aku menguap beberapa kali dan berniat melanjutkan tidurku. Aku menarik selimut dan kembali memejamkan mata.

Eh, tunggu dulu, kenapa tiba-tiba ada selimut di tubuhku?