Selasa, 23 Oktober 2012

Dibawah Bendera Revolusi


Coba ketikkan kata kunci “Dibawah Bendera Revolusi” di beranda Google maka kita akan menemukan sebuah buku yang dijual dengan harga yang cukup tidak masuk akal. Terakhir saya melihat di sebuah  toko jual beli online yang mematok harga 60 juta untuk 2 jilid buku ini, dengan dalih sebagai mahar untuk pendirian sebuah yayasan. Entah benar atau tidak? Saya sendiri cukup beruntung ketika salah seorang kakek di toko buku bekas langganan saya menawarkan buku ini dengan harga yang cukup murah, bahkan lebih murah dibanding tiket konser Lady Gaga. Dengan segera buku ini pun berpindah kepemilikan ke tangan saya.
Kondisi bukunya sendiri bisa dibilang masih sangat bagus, mengingat buku itu sendiri diterbitkan tahun 1963, satu umur dengan ibu saya sendiri. Dan seperti halnya ibu saya, buku itu masih terlihat cantik. Dengan cover berwarna biru gelap dan tulisan emas yang dicetak diatasnya, minimalis tapi begitu ikonik. Isinya? Setelah membaca buku ini saya menjadi begitu bergairah, sekaligus merasa pilu. Begitu cintanya seorang Bung Karno pada bangsa ini, dan jika beliau saat ini masih hidup mungkin akan merasa sangat sedih melihat cinta yang diperjuangkannya menjadi seperti ini, bahkan seorang bocah ababil bernama Justin Bieber dengan seenaknya menyebut negeri ini random country.
 Buku ini merangkum beberapa tulisan Bung Karno di berbagai harian seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Rakyat, Pandji Islam, Pemandangan dan Pembangunan dalam rentang waktu 1926-1941. Termasuk beberapa surat beliau ketika diasingkan di Endeh, serta satu tulisan tangan beliau yang berjudul “Mendjadi Guru dimasa Kebangunan” yang sayang sekali tidak bisa saya baca. (mohon bantuannya, apoteker).
Membaca buku ini seperti menyelami isi kepala seorang Ir. Soekarno, inilah pemikiran beliau yang paling menggairahkan, bergelora dan menantang. Masa ketika Bung Karno masih rebel-rebelnya, yang tidak ada kompromi sama sekali dengan kaum penjajah, istilahnya non-kooperasi, bahwa hanya dengan aksi massa yang radikal dan revolusioner dan tanpa kompromilah yang bisa mengusir penjajah dari bumi nusantara ini.
Saya membagi isi buku ini secara garis besar menjadi 3 bagian pemikiran Bung Karno. Yang pertama tentang nasionalisme, kedua tentang Islam dan ketiga tentang pandangannya mengenai politik luar negeri yang sedang terjadi saat itu. Dari ketiga garis besar pemikiran Bung Karno tersebut terdapat satu kesamaan nafas dari setiap tulisannya, menggugat, atau kalau meminjam iklan Top Kopinya Iwan Fals, yaitu BONGKAR!
Sebagai seorang kutu buku yang buas dan rakus tentu saja pemikiran Bung Karno tidak terlepas dari pengaruh setiap bacaan yang beliau baca tapi seperti yang saya sebutkan diatas beliau tidak serta merta menelan bulat-bulat semua hal yang dibacanya, isi buku tersebut akan beliau refleksilkan sebelum kemudian beliau bongkar dan gugat sebelum pemikirannya merasa puas dan cocok. Contohnya, Bung Karno adalah seorang umat Marxis sejati, tetapi beliau menyadari bahwa kaum buruh proletar di Indonesia tidak sama seperti di Eropa, karena itu beliau tidak serta merta menyamakan kondisi kaum proletar Indonesia dengan Eropa tetapi mengambil irisan-irisan Marxisme yang disesuaikannya dengan kondisi kaum proletar di Indonesia, kita kemudian akan mengenalnya dengan Marhaenisme. Bung Karno juga mengagung-agungkan Revolusi Prancis yang berujung pada lahirnya demokrasi liberal di Prancis. Tetapi lagi-lagi Bung Karno menolak demokrasi tersebut bisa dijalankan di Indonesia, menurutnya Indonesia tidaklah menganut Demokrasi Liberal, demokrasinya kaum borjuis yang pada ujung-ujungnya tetap menyengsarakan kaum buruh.
Tidak hanya itu, di tulisan pertama pembuka buku ini yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” beliau dengan tegas mengkritik para penganut isme-isme tersebut yang dianggapnya hanya memecah persatuan bangsa. Menurut beliau seharusnya kaum nasionalis, Islam dan Marxis tersebut bisa bersatu untuk menghancurkan kolonialisme. Bahkan di tulisan yang lainnya yang berjudul “Menjadi Pembantu Pemandangan”, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya sendiri adalah gabungan dari paham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Simak tulisannya berikut,
“Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca. .  Sukarno adalah campuran dari semua isme-isme itu!”
Tidak ada yang meragukan kadar Nasionalisme seorang Bung Karno, dan dari Nasionalisme inilah keyakinan Bung Karno kepada Islam semakin kuat karena menurutnya kecintaan kepada tanah air adalah sebagian dari iman juga. Islam dalam pandangan Bung Karno adalah agama yang menjunjung tinggi kecintaan terhadap tanah air, kecintaan yang bukan berujung pada chauvinisme tentunya.
Dan Marxisme sendiri, meminjam perkataan dr. Cipto Mangunkusumo, adalah sebuah paham yang “membakar Soekarno punya jiwa”. Menurut Bung Karno teori Marxisme inilah yang dianggapnya cocok dan kompeten dalam menyelesaikan  dan memecahkan soal-soal sejarah, politik dan kemasyarakatan. Dan Marxisme sendirilah yang menanamkan kebencian Bung Karno terhadap fasisme, kolonialisme dan kapitalisme.
Yang paling menarik lagi dari buku ini adalah pandangan Bung Karno tentang Islam. Bung Karno bukanlah penganut Islam kacangan. Beliau membaca Qur’an dan berbagai literatur tentang Islam dengan tekun, khususnya ketika beliau diasingkan di Endeh. Hal ini bisa dibaca melalui surat-menyurat beliau dengan T. A Hassan, guru Persatuan Islam di Bandung. Menurut Bung Karno apa yang menjadi kemunduran Islam adalah pemahaman yang kolot dan kaku terhadap Qur’an dan Hadist, yang menyebabkan umat Islam ketinggalan zaman. Tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan terlalu lama berdebat tentang haram dan halal, meskipun hal yang menjadi perdebatan tersebut tidak pernah ada dalam Qur’an dan Hadist.  Kita tidak bisa menyamakan Islam zaman sekarang dengan Islam zaman Nabi, atau kata Bung Karno Masyarakat Zaman Onta dengan Masyarakat Zaman Kapal Udara. Coba perhatikan tulisan Bung Karno dibawah ini,
Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air didalam panci di dekat sumur.
Saya punya anak Ratna Djuami berteriak :
“Papi, papi, si Ketuk menjilat air di dalam panci!”
Saya jawab : “buanglah air itu dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin”
Ratna termenung sebentar, kemudian ia menanya : “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini mesti dicuci tujuh kali, antaranya satu kali dengan tanah?”
Saya menjawab : “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin”
Muka Ratna menjadi tenang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.
Maha Besarlah Allah Ta’ala, Maha Mulialah Nabi yang Ia suruh!
Dengan jenius sekali Bung Karno memberikan sebuah contoh bagaimana Islam seharusnya bisa menyesuaikan dir dengan perkembangan zaman. Pemikiran seperti inilah yang diperjuangkan Bung Karno dalam Islam, Islam yang tidak hanya terus-terusan berdzikir dan hanya tepekur di mesjid tetapi tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hal ini hanya akan membuat umat Islam semakin tertinggal,Bung Karno menyebutnya “Islam Bersorban” atau “Islam Bercelek”, Islam yang tidak bisa menyesuaikan diri dan ketinggalan zaman. Bung Karno sudah menyadarinya lebih dari 50 tahun yang lalu, tapi sayang sekali umat Islam yang dikritiknya kini menjadi semakin banyak dan tumbuh subur. (Hallo FPI. .)
Dengan deretan pemikiran-pemikiran yang penuh gairah dan gelora tersebut wajar saja jika pada masa Orde Baru buku ini menjadi sebuah buku terlarang dan tidak pernah dicetak lagi. Paham-paham Soekarnois seolah ditekan dan dimusnahkan karena bagi Orde Baru semua hal yang dianggap menganggu kemapanan adalah sebuah hal terlarang dan berbahaya. Sebuah paranoid tingkat akut terhadap  setiap semangat yang menggugat, memberontak dan membongkar status quo. Hasilnya lumayan berhasil. Kita bisa menyaksikan sebuah negara yang sedang menuju pada bentuk kleptokrasi. Kita bisa melihat generasi yang lupa pada sejarah, yang diracuni Philip Morris, televisi dan Justin Bieber!  

Jumat, 05 Oktober 2012

Untuk Yossie Dan Wiwin Dan Kisah Cintanya Yang Melegenda

Mas ini opik, punten kata si wiwin, tulisannya mas itu buat wiwin risi, udah ganggu privasinya dia katanya, punten diapus mas. Jangan ganggu privasi wiwin.

Jadi terpaksa deh para pemirsa tidak bisa membaca catatannya karena sudah saya hapus. Terimakasih atas pengertiannya. D