Coba ketikkan kata kunci “Dibawah Bendera Revolusi” di
beranda Google maka kita akan menemukan sebuah buku yang dijual dengan harga
yang cukup tidak masuk akal. Terakhir saya melihat di sebuah toko jual beli online yang mematok harga 60
juta untuk 2 jilid buku ini, dengan dalih sebagai mahar untuk pendirian sebuah
yayasan. Entah benar atau tidak? Saya sendiri cukup beruntung ketika salah
seorang kakek di toko buku bekas langganan saya menawarkan buku ini dengan
harga yang cukup murah, bahkan lebih murah dibanding tiket konser Lady Gaga.
Dengan segera buku ini pun berpindah kepemilikan ke tangan saya.
Kondisi bukunya sendiri bisa dibilang masih sangat bagus,
mengingat buku itu sendiri diterbitkan tahun 1963, satu umur dengan ibu saya
sendiri. Dan seperti halnya ibu saya, buku itu masih terlihat cantik. Dengan
cover berwarna biru gelap dan tulisan emas yang dicetak diatasnya, minimalis
tapi begitu ikonik. Isinya? Setelah membaca buku ini saya menjadi begitu
bergairah, sekaligus merasa pilu. Begitu cintanya seorang Bung Karno pada
bangsa ini, dan jika beliau saat ini masih hidup mungkin akan merasa sangat
sedih melihat cinta yang diperjuangkannya menjadi seperti ini, bahkan seorang
bocah ababil bernama Justin Bieber dengan seenaknya menyebut negeri ini random country.
Buku ini merangkum
beberapa tulisan Bung Karno di berbagai harian seperti Suluh Indonesia Muda,
Fikiran Rakyat, Pandji Islam, Pemandangan dan Pembangunan dalam rentang waktu
1926-1941. Termasuk beberapa surat beliau ketika diasingkan di Endeh, serta
satu tulisan tangan beliau yang berjudul “Mendjadi Guru dimasa Kebangunan” yang
sayang sekali tidak bisa saya baca. (mohon bantuannya, apoteker).
Membaca buku ini seperti menyelami isi kepala seorang Ir.
Soekarno, inilah pemikiran beliau yang paling menggairahkan, bergelora dan
menantang. Masa ketika Bung Karno masih rebel-rebelnya,
yang tidak ada kompromi sama sekali dengan kaum penjajah, istilahnya
non-kooperasi, bahwa hanya dengan aksi massa yang radikal dan revolusioner dan
tanpa kompromilah yang bisa mengusir penjajah dari bumi nusantara ini.
Saya membagi isi buku ini secara garis besar menjadi 3
bagian pemikiran Bung Karno. Yang pertama tentang nasionalisme, kedua tentang
Islam dan ketiga tentang pandangannya mengenai politik luar negeri yang sedang terjadi
saat itu. Dari ketiga garis besar pemikiran Bung Karno tersebut terdapat satu
kesamaan nafas dari setiap tulisannya, menggugat, atau kalau meminjam iklan Top
Kopinya Iwan Fals, yaitu BONGKAR!
Sebagai seorang kutu buku yang buas dan rakus tentu saja
pemikiran Bung Karno tidak terlepas dari pengaruh setiap bacaan yang beliau
baca tapi seperti yang saya sebutkan diatas beliau tidak serta merta menelan
bulat-bulat semua hal yang dibacanya, isi buku tersebut akan beliau
refleksilkan sebelum kemudian beliau bongkar dan gugat sebelum pemikirannya
merasa puas dan cocok. Contohnya, Bung Karno adalah seorang umat Marxis sejati,
tetapi beliau menyadari bahwa kaum buruh proletar di Indonesia tidak sama
seperti di Eropa, karena itu beliau tidak serta merta menyamakan kondisi kaum
proletar Indonesia dengan Eropa tetapi mengambil irisan-irisan Marxisme yang
disesuaikannya dengan kondisi kaum proletar di Indonesia, kita kemudian akan
mengenalnya dengan Marhaenisme. Bung Karno juga mengagung-agungkan Revolusi
Prancis yang berujung pada lahirnya demokrasi liberal di Prancis. Tetapi
lagi-lagi Bung Karno menolak demokrasi tersebut bisa dijalankan di Indonesia,
menurutnya Indonesia tidaklah menganut Demokrasi Liberal, demokrasinya kaum
borjuis yang pada ujung-ujungnya tetap menyengsarakan kaum buruh.
Tidak hanya itu, di tulisan pertama pembuka buku ini yang
berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” beliau dengan tegas mengkritik
para penganut isme-isme tersebut yang dianggapnya hanya memecah persatuan
bangsa. Menurut beliau seharusnya kaum nasionalis, Islam dan Marxis tersebut
bisa bersatu untuk menghancurkan kolonialisme. Bahkan di tulisan yang lainnya
yang berjudul “Menjadi Pembantu Pemandangan”,
Bung Karno menyatakan bahwa dirinya sendiri adalah gabungan dari paham
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Simak tulisannya berikut,
“Apakah Sukarno itu?
Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca. . Sukarno adalah campuran dari semua isme-isme
itu!”
Tidak ada yang meragukan kadar Nasionalisme seorang Bung
Karno, dan dari Nasionalisme inilah keyakinan Bung Karno kepada Islam semakin
kuat karena menurutnya kecintaan kepada tanah air adalah sebagian dari iman
juga. Islam dalam pandangan Bung Karno adalah agama yang menjunjung tinggi
kecintaan terhadap tanah air, kecintaan yang bukan berujung pada chauvinisme
tentunya.
Dan Marxisme sendiri, meminjam perkataan dr. Cipto
Mangunkusumo, adalah sebuah paham yang
“membakar Soekarno punya jiwa”. Menurut Bung Karno teori Marxisme inilah
yang dianggapnya cocok dan kompeten dalam menyelesaikan dan memecahkan soal-soal sejarah, politik dan
kemasyarakatan. Dan Marxisme sendirilah yang menanamkan kebencian Bung Karno
terhadap fasisme, kolonialisme dan kapitalisme.
Yang paling menarik lagi dari buku ini adalah pandangan Bung
Karno tentang Islam. Bung Karno bukanlah penganut Islam kacangan. Beliau
membaca Qur’an dan berbagai literatur tentang Islam dengan tekun, khususnya
ketika beliau diasingkan di Endeh. Hal ini bisa dibaca melalui surat-menyurat
beliau dengan T. A Hassan, guru Persatuan Islam di Bandung. Menurut Bung Karno
apa yang menjadi kemunduran Islam adalah pemahaman yang kolot dan kaku terhadap
Qur’an dan Hadist, yang menyebabkan umat Islam ketinggalan zaman. Tidak
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan terlalu lama berdebat tentang
haram dan halal, meskipun hal yang menjadi perdebatan tersebut tidak pernah ada
dalam Qur’an dan Hadist. Kita tidak bisa
menyamakan Islam zaman sekarang dengan Islam zaman Nabi, atau kata Bung Karno
Masyarakat Zaman Onta dengan Masyarakat Zaman Kapal Udara. Coba perhatikan
tulisan Bung Karno dibawah ini,
Pada suatu hari saya
punya anjing menjilat air didalam panci di dekat sumur.
Saya punya anak Ratna
Djuami berteriak :
“Papi, papi, si Ketuk
menjilat air di dalam panci!”
Saya jawab : “buanglah
air itu dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan
kreolin”
Ratna termenung
sebentar, kemudian ia menanya : “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini mesti
dicuci tujuh kali, antaranya satu kali dengan tanah?”
Saya menjawab : “Ratna,
di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa
memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin”
Muka Ratna menjadi
tenang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum,
seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.
Maha Besarlah Allah
Ta’ala, Maha Mulialah Nabi yang Ia suruh!
Dengan jenius sekali Bung Karno memberikan sebuah contoh
bagaimana Islam seharusnya bisa menyesuaikan dir dengan perkembangan zaman.
Pemikiran seperti inilah yang diperjuangkan Bung Karno dalam Islam, Islam yang
tidak hanya terus-terusan berdzikir dan hanya tepekur di mesjid tetapi tidak
bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hal ini hanya akan membuat
umat Islam semakin tertinggal,Bung Karno menyebutnya “Islam Bersorban” atau
“Islam Bercelek”, Islam yang tidak bisa menyesuaikan diri dan ketinggalan
zaman. Bung Karno sudah menyadarinya lebih dari 50 tahun yang lalu, tapi sayang
sekali umat Islam yang dikritiknya kini menjadi semakin banyak dan tumbuh
subur. (Hallo FPI. .)
Dengan deretan pemikiran-pemikiran yang penuh gairah
dan gelora tersebut wajar saja jika pada masa Orde Baru buku ini menjadi sebuah
buku terlarang dan tidak pernah dicetak lagi. Paham-paham Soekarnois seolah
ditekan dan dimusnahkan karena bagi Orde Baru semua hal yang dianggap menganggu
kemapanan adalah sebuah hal terlarang dan berbahaya. Sebuah paranoid tingkat
akut terhadap setiap semangat yang
menggugat, memberontak dan membongkar status quo. Hasilnya lumayan berhasil.
Kita bisa menyaksikan sebuah negara yang sedang menuju pada bentuk kleptokrasi.
Kita bisa melihat generasi yang lupa pada sejarah, yang diracuni Philip Morris,
televisi dan Justin Bieber!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar