Jumat, 20 Februari 2015

Untuk Kurt Cobain di Alam Kubur dan Gus Ipunk di samping Kamar



Untuk Kurt Cobain di alam kubur.

Halo, Kurt? Apa kabar? Gimana rasanya di alam kubur? Kata ibuku kalau kau tidak pernah ngaji maka di alam kubur tidak akan ada cahaya, gelap gulita. Bener gak? Wah bisa bahaya nih kalau beneran. Soalnya, pertama aku tidak pernah ngaji. Kedua, kemungkinan besar kau tidak akan membaca suratku dari dalam kubur sana karena gelap. Tapi kau kan sudah jadi hantu, masa gak bisa baca surat ini dari alam kubur sana? Atau jangan-jangan ketika aku mengetik surat ini pun kamu sedang duduk di belakangku dan ikut membacanya? (kebetulan sekali pas aku lihat ke belakang ada postermu sedang merokok, hai Kurt).

Kurt, taukah kau ketika singel Smells Like Teen Spirit pertama kali dirilis, usiaku baru 1 tahun 5 bulan. Juga, ketika mayatmu ditemukan dengan luka tembak di kepala (sebenernya kau bunuh diri apa ditembak sih?) usiaku masih 4 tahun kurang sebulan. Jadi baru bertahun-tahun kemudian aku tahu dan mendengar lagu-lagumu. Tepatnya aku lupa. Mungkin sekitar kelas 1 atau 2 SMA. Waktu itu aku sedang berada di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah. Mobil itu berhenti di sebuah pom bensin di depan SMP 4 Kuningan untuk mengisi bensin. Dari radio yang menyala di pom bensin itulah aku lamat-lamat mendengar intro Smells Like Teen Spirit. Lagunya nempel di kepala, tapi aku belum tahu kalau itu adalah lagumu yang paling terkenal. Sebenernya, sebelum peristiwa di pom bensin itu pun aku sering sekali melihat nama dan bandmu, biasanya dalam bentuk stiker atau kaos. Di jendela rumah Om ku ada stiker bergambar logo smile yang lagi teler dan tulisan nama bandmu, Nirvana. Atau di kaos temenku si Jaja, ada tulisan Kurt Cobain, lagi-lagi dengan logo smile yang lagi teler. Tapi pengetahuanku cukup sampai disitu, aku terlalu malas untuk mencari-cari apa itu Nirvana dan siapa itu Kurt Cobain. Hingga suatu hari aku membaca sebuah artikel tentang Nirvana di sebuah majalah musik yang berisi kord-kord gitar dan tanpa sengaja mendengar Smells Like Teen Spirit di pom bensin.

Dari situlah aku akhirnya memutuskan untuk membeli kaset Nirvana. Tapi sebelum membeli kasetnya aku membeli sebuah vcd bajakan yang berisi konser-konser Nirvana. Aku mencari-cari Smells Like Teen Spirit tapi hanya nemu sepotong, itu pun ketika bandmu bermain lypsinc di sebuah acara. Kau bernyanyi dengan suara aneh. Belakangan aku tahu kalau waktu itu kau sedang meniru cara bernyanyi Morrisey. Pantas saja suaramu berbeda. Waktu kuliah aku membeli dvd original dari konser-konsermu itu, judulnya Live! Tonight! Sold Out!.

Tapi kemudian kaset Nirvana yang pertama kali aku beli bukanlah album Nevermind, melainkan album great hits Nirvana yang memuat lagu terakhir yang kau rekam, You Know You’re Right. Tapi dari situ pun aku sudah terpesona. Smells Like Teen Spirit sukses mebuatku berujar, “anjiiiiiiing aing kudu ngeben nih!”. 

Aku pun mulai ngeband, Kurt. Dengan skill dan suara yang ala kadarnya, aku bermain bersama 2 orang kawan SMPku, Egie Praditya Mulyana dan Yudi Yudistira. Egie pemain bass. Sengaja aku pilih karena aku tahu ayahnya adalah seorang pemain bass profesional di sebuah orkes dangdut. Lalu si Yudi adalah drummernya. Main drumnya keren kayak Dave Grohl, padahal dia otodidak. Tapi band itu tidak berumur panjang. Bubar gitu aja pas aku kuliah.

Pas kuliah aku masih tetap suka ngeband. Kali ini rada serius, nama bandnya The Awas Angkot. Nama itu terinspirasi ketika aku sedang naik angkot D7 yang ugal-ugalan. Personilnya adalah aku, Cacing, Omesh, Bayu dan Urank. Tapi kemudian si Urank digantiin posisinya sama si Obeth. Dia adek kelas waktu kuliah, tapi untuk urusan musik dia sangat jago sekali. Makanya terkadang aku suka memanggilnya Om Guru. The Awas Angkot tercatat pernah 2 kali manggung. Pertama di sebuah acara di Grage Mall, yang aku lupa lagi apa nama acaranya. Kedua, di acara perpisahan kelas waktu aku mau lulus kuliah. Seperti namanya, mainnya juga ugal-ugalan. Udah disuruh berhenti sama panitia karena waktunya abis tapi terus aja maen. Tapi The Awas Angkot gak pernah bawain lagu-lagu Nirvana, Kurt. Vokalisnya, si Cacing anak britpop baget, jalannya aja udah kayak Liam Gallagher.

Tapi  yah akhirnya The Awas Angkot bubar juga pas aku lulus kuliah. Dan sampe sekarang aku belum punya band lagi. Pernah sih nngajakin si Arap Paong buat ngeband lagi, sampe bikin iklannya segala. Tapi gak ada yang mau tampaknya. Urip terkadang memang mengkenen temen, Kurt. Mungkin sama seperti hidupmu.
Ngomongin masa-masa kuliah aku jadi ingat kepada kawanku yang lain, yang ternyata tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahirmu. Dia adalah Moch. Saeful Arief. Kawan-kawan yang lain memanggilnya Ipul. Tapi aku lebih suka memanggilnya Ipunk. Biar terdengar seperti anak punk. Kalau kau mengenalnya kau juga pasti akan memanggilnya  Ipunk. Kau suka punk juga kan? Dari yang pernah aku baca sih katanya kau suka Sex Pistols, band punk kesohor asal Inggris sono. Meskipun begitu, si Ipunk ini aku kira lebih cocok menjadi seorang ulama daripada menjadi seorang anak punk. Sholatnya rajin. Karena itu di depan namanya aku tambahain kata Gus, biar jadi lebih mantap. Gus Ipunk.

Kurt, dalam beberapa hal sepertinya aku punya bakat untuk merepotkan orang lain. Salah satu caranya adalah dengan menginap di rumah orang lain. Waktu kuliah, rumah yang paling sering aku hinggapi untuk menginap adalah rumahnya Gus Ipunk. Karena lokasi rumahnya adalah yang terdekat dari tempatku ngekost. Kadang, kalau aku sedang merasa bosan di kosan aku akan pergi dan menginap di rumah Gus Ipunk.  Paginya, biasanya aku sudah disuguhi sepiring nasi kuning oleh Gus Ipunk yang selalu bangun lebih awal dari pada aku.

Punya teman itu menyenangkan, Kurt. Kalau sedang sumpek, rumah Gus Ipunk adalah tempat untuk menenangkan pikiran. Kau tak perlu bercerita apa-apa, Kurt. Cukup datang dan rasanya masalahmu akan hilang sendiri. 

Aku pernah bertanya kepada Gus Ipunk, “Punk, jodoh itu orang yang kita nikahi dan hidup selamanya bersama kita ataukah orang yang selalu kita cintai sepanjang hayat?” . Kau tahu apa jawabnya, Kurt? Gus Ipunk menjawab, “jodoh adalah orang yang kita nikahi dan habiskan waktunya bersama kita sepanjang hidup”. Lalu dia melanjutkan, “orang yang kita cintai di dunia tapi tak bisa kita miliki akan menjadi jodoh kita di akherat”. Entah saat itu dia sedang menghiburku atau menghibur dirinya sendiri (kita mempunyai nasib yang tidak jauh berbeda soal asmara) tapi yang jelas kalimat itu cukup menghibur perasaanku. Meskipun untuk keberadaan akherat sendiri aku masih ragu. 

Gus Ipunk sendiri sekarang sudah menikah dan kini kost tepat di samping kamarku. Sekarang dia bekerja di Kedutaan Besar Amerika. Jam kerjanya terdiri dari 2 shift, pagi dan malam. Shift pagi dimulai dari jam 7 pagi sampe jam 5 sore, shift malam dari jam 5 sore sampe jam 2 pagi. Setiap 1 minggu dari sebulan dia akan kebagian shift pagi. Dan setiap 1 minggu dalam sebulan juga aku akan bangun pagi bukan karena bunyi alarm, tetapi bunyi ketukan di pintu kamar dan sebuah suara yang memanggil-manggil,

“Cruuut, udah bangun belum? Mau berangkat bareng gak?”

Itu adalah suara dari Gus Ipunk, Kurt. Kalau sudah mendengar suara itu biasanya aku akan segera bangun dan langsung meluncur ke kamar mandi. Lalu kami akan berangkat kerja bersama-sama.

Tapi momen-momen itu mungkin akan segera berlalu, Kurt. Gus Ipunk sudah berencana untuk pindah kosan. Kosan ini memang sengaja Gus Ipunk gunakan untuk program bikin dede saja, karena di kosan sebelumnya program bikin dede itu sulit untuk terlaksana. Kini setelah program bikin dedenya sukses Gus Ipunk akan kembali meninggalkan kosan ini. Itu tandanya aku harus kembali berpisah dari Gus Ipunk.

Punya teman itu menyenangkan, Kurt. Meskipun yah kita juga sama-sama tahu, terkadang sendiri itu lebih asyik. Tapi menurutku ada saat dimana kita juga membutuhkan teman untuk berbagi. Entah cerita atau hanya sebatas canda atau hanya sebatas untuk hadir.

Tapi mungkin itu hal yang sangat sulit buatmu. Hingga akhirnya kau memutuskan untuk bunuh diri. Aku tidak akan menyalahkanmu sih,karena memang aku tidak tahu rasanya hidup sepertimu. Kau pun juga tidak akan tahu rasanya hidup sepertiku. 

Hidup terkadang memang menyebalkan sih. Atau kalau dalam istilahku, urip mengkenen temen. Apalagi membayangkan hidup sepertimu, yang pernah aku baca dari biografimu yang berjudul Heavier Than Heaven tulisannya Charles R. Cross. Disitu kadang aku merasa sedih. 

Tapi Kurt, sebenernya kalau kau tahu aku sendiri lebih suka melihat dirimu yang ceria, senang dan penuh senyum. Seperti saat Nirvana bermain di acara MTV Unpludged New York. Atau seperti Gus Ipunk. Selama kenal dengan Gus Ipunk aku perhatikan dia tidak pernah terlihat sedih. Kelihatannya selalu senang saja. Kadang aku suka iri juga, gimana caranya bisa merasa senang terus setiap hari ya?

Mungkin itu hal yang sangat sulit buatmu, Kurt. Apakah setelah kamu bunuh diri kamu merasa lebih baik? 

Tapi yah sudahlah, bener seperti yang pernah Dave Grohl bilang, lebih mudah mengingatmu ketika duduk berlama-lama membuat musik daripada mengingatmu dengan bersedih. Tadi malam aku sengaja menonton videomu di Youtube ketika Nirvana mengcover lagu milik Terry Jacks, Season In The Sun ketika kau bermain drum sambil bernyanyi, sementara Krist bermain gitar dan Dave Grohl bermain bass. Itu juga salah satu favoritku. Alasannya hanya satu, di video itu entah kenapa kau terlihat bergembira sekali. Aku dan Arap Paong, sebagai fans beratmu (juga sebagai laki-laki lemah), selalu meneteskan air mata setiap kali melihat video itu. 

Dan untuk menutup surat ini, izinkan aku menyanyikan bagian reffnya untukmu,

We had joy, we had fun, we had seasons in the sun
But the hills that we climbed were just seasons out of time

Selamat ulang tahun, Kurt Cobain dan Gus Ipunk

Kampung Melayu, 20 Februari 2015