Untuk Kurt Cobain di alam kubur.
Halo, Kurt? Apa kabar? Gimana rasanya di alam kubur? Kata
ibuku kalau kau tidak pernah ngaji maka di alam kubur tidak akan ada cahaya,
gelap gulita. Bener gak? Wah bisa bahaya nih kalau beneran. Soalnya, pertama
aku tidak pernah ngaji. Kedua, kemungkinan besar kau tidak akan membaca suratku
dari dalam kubur sana karena gelap. Tapi kau kan sudah jadi hantu, masa gak
bisa baca surat ini dari alam kubur sana? Atau jangan-jangan ketika aku
mengetik surat ini pun kamu sedang duduk di belakangku dan ikut membacanya?
(kebetulan sekali pas aku lihat ke belakang ada postermu sedang merokok, hai
Kurt).
Kurt, taukah kau ketika singel Smells Like Teen Spirit
pertama kali dirilis, usiaku baru 1 tahun 5 bulan. Juga, ketika mayatmu ditemukan
dengan luka tembak di kepala (sebenernya kau bunuh diri apa ditembak sih?)
usiaku masih 4 tahun kurang sebulan. Jadi baru bertahun-tahun kemudian aku tahu
dan mendengar lagu-lagumu. Tepatnya aku lupa. Mungkin sekitar kelas 1 atau 2
SMA. Waktu itu aku sedang berada di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah.
Mobil itu berhenti di sebuah pom bensin di depan SMP 4 Kuningan untuk mengisi
bensin. Dari radio yang menyala di pom bensin itulah aku lamat-lamat mendengar
intro Smells Like Teen Spirit. Lagunya nempel di kepala, tapi aku belum tahu
kalau itu adalah lagumu yang paling terkenal. Sebenernya, sebelum peristiwa di
pom bensin itu pun aku sering sekali melihat nama dan bandmu, biasanya dalam
bentuk stiker atau kaos. Di jendela rumah Om ku ada stiker bergambar logo smile
yang lagi teler dan tulisan nama bandmu, Nirvana. Atau di kaos temenku si Jaja,
ada tulisan Kurt Cobain, lagi-lagi dengan logo smile yang lagi teler. Tapi
pengetahuanku cukup sampai disitu, aku terlalu malas untuk mencari-cari apa itu
Nirvana dan siapa itu Kurt Cobain. Hingga suatu hari aku membaca sebuah artikel
tentang Nirvana di sebuah majalah musik yang berisi kord-kord gitar dan tanpa
sengaja mendengar Smells Like Teen Spirit di pom bensin.
Dari situlah aku akhirnya memutuskan untuk membeli kaset
Nirvana. Tapi sebelum membeli kasetnya aku membeli sebuah vcd bajakan yang
berisi konser-konser Nirvana. Aku mencari-cari Smells Like Teen Spirit tapi
hanya nemu sepotong, itu pun ketika bandmu bermain lypsinc di sebuah acara. Kau
bernyanyi dengan suara aneh. Belakangan aku tahu kalau waktu itu kau sedang
meniru cara bernyanyi Morrisey. Pantas saja suaramu berbeda. Waktu kuliah aku
membeli dvd original dari konser-konsermu itu, judulnya Live! Tonight! Sold Out!.
Tapi kemudian kaset Nirvana yang pertama kali aku beli
bukanlah album Nevermind, melainkan album great hits Nirvana yang memuat lagu
terakhir yang kau rekam, You Know You’re Right. Tapi dari situ pun aku sudah
terpesona. Smells Like Teen Spirit sukses mebuatku berujar, “anjiiiiiiing aing
kudu ngeben nih!”.
Aku pun mulai ngeband, Kurt. Dengan skill dan suara yang ala
kadarnya, aku bermain bersama 2 orang kawan SMPku, Egie Praditya Mulyana dan
Yudi Yudistira. Egie pemain bass. Sengaja aku pilih karena aku tahu ayahnya
adalah seorang pemain bass profesional di sebuah orkes dangdut. Lalu si Yudi
adalah drummernya. Main drumnya keren kayak Dave Grohl, padahal dia otodidak.
Tapi band itu tidak berumur panjang. Bubar gitu aja pas aku kuliah.
Pas kuliah aku masih tetap suka ngeband. Kali ini rada serius,
nama bandnya The Awas Angkot. Nama itu terinspirasi ketika aku sedang naik
angkot D7 yang ugal-ugalan. Personilnya adalah aku, Cacing, Omesh, Bayu dan
Urank. Tapi kemudian si Urank digantiin posisinya sama si Obeth. Dia adek kelas
waktu kuliah, tapi untuk urusan musik dia sangat jago sekali. Makanya terkadang
aku suka memanggilnya Om Guru. The Awas Angkot tercatat pernah 2 kali manggung.
Pertama di sebuah acara di Grage Mall, yang aku lupa lagi apa nama acaranya.
Kedua, di acara perpisahan kelas waktu aku mau lulus kuliah. Seperti namanya,
mainnya juga ugal-ugalan. Udah disuruh berhenti sama panitia karena waktunya
abis tapi terus aja maen. Tapi The Awas Angkot gak pernah bawain lagu-lagu
Nirvana, Kurt. Vokalisnya, si Cacing anak britpop baget, jalannya aja udah
kayak Liam Gallagher.
Tapi yah akhirnya The
Awas Angkot bubar juga pas aku lulus kuliah. Dan sampe sekarang aku belum punya
band lagi. Pernah sih nngajakin si Arap Paong buat ngeband lagi, sampe bikin
iklannya segala. Tapi gak ada yang mau tampaknya. Urip terkadang memang mengkenen
temen, Kurt. Mungkin sama seperti hidupmu.
Ngomongin masa-masa kuliah aku jadi ingat kepada kawanku
yang lain, yang ternyata tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahirmu. Dia
adalah Moch. Saeful Arief. Kawan-kawan yang lain memanggilnya Ipul. Tapi aku
lebih suka memanggilnya Ipunk. Biar terdengar seperti anak punk. Kalau kau mengenalnya kau juga pasti akan memanggilnya Ipunk. Kau suka punk juga kan? Dari yang pernah aku baca sih katanya kau suka Sex Pistols, band punk kesohor asal
Inggris sono. Meskipun begitu, si Ipunk ini aku kira lebih cocok menjadi
seorang ulama daripada menjadi seorang anak punk.
Sholatnya rajin. Karena itu di depan namanya aku tambahain kata Gus, biar jadi
lebih mantap. Gus Ipunk.
Kurt, dalam beberapa hal sepertinya aku punya bakat untuk
merepotkan orang lain. Salah satu caranya adalah dengan menginap di rumah orang
lain. Waktu kuliah, rumah yang paling sering aku hinggapi untuk menginap adalah
rumahnya Gus Ipunk. Karena lokasi rumahnya adalah yang terdekat dari tempatku
ngekost. Kadang, kalau aku sedang merasa bosan di kosan aku akan pergi dan menginap
di rumah Gus Ipunk. Paginya, biasanya
aku sudah disuguhi sepiring nasi kuning oleh Gus Ipunk yang selalu bangun lebih
awal dari pada aku.
Punya teman itu menyenangkan, Kurt. Kalau sedang sumpek,
rumah Gus Ipunk adalah tempat untuk menenangkan pikiran. Kau tak perlu
bercerita apa-apa, Kurt. Cukup datang dan rasanya masalahmu akan hilang
sendiri.
Aku pernah bertanya kepada Gus Ipunk, “Punk, jodoh itu orang
yang kita nikahi dan hidup selamanya bersama kita ataukah orang yang selalu
kita cintai sepanjang hayat?” . Kau tahu apa jawabnya, Kurt? Gus Ipunk
menjawab, “jodoh adalah orang yang kita nikahi dan habiskan waktunya bersama
kita sepanjang hidup”. Lalu dia melanjutkan, “orang yang kita cintai di dunia tapi tak bisa kita miliki akan menjadi
jodoh kita di akherat”. Entah saat itu dia sedang menghiburku atau
menghibur dirinya sendiri (kita mempunyai nasib yang tidak jauh berbeda soal
asmara) tapi yang jelas kalimat itu cukup menghibur perasaanku. Meskipun untuk
keberadaan akherat sendiri aku masih ragu.
Gus Ipunk sendiri sekarang sudah menikah dan kini kost tepat
di samping kamarku. Sekarang dia bekerja di Kedutaan Besar Amerika. Jam
kerjanya terdiri dari 2 shift, pagi dan malam. Shift pagi dimulai dari jam 7
pagi sampe jam 5 sore, shift malam dari jam 5 sore sampe jam 2 pagi. Setiap 1
minggu dari sebulan dia akan kebagian shift pagi. Dan setiap 1 minggu dalam
sebulan juga aku akan bangun pagi bukan karena bunyi alarm, tetapi bunyi
ketukan di pintu kamar dan sebuah suara yang memanggil-manggil,
“Cruuut, udah bangun belum? Mau berangkat bareng gak?”
Itu adalah suara dari Gus Ipunk, Kurt. Kalau sudah mendengar
suara itu biasanya aku akan segera bangun dan langsung meluncur ke kamar mandi.
Lalu kami akan berangkat kerja bersama-sama.
Tapi momen-momen itu mungkin akan segera berlalu, Kurt. Gus
Ipunk sudah berencana untuk pindah kosan. Kosan ini memang sengaja Gus Ipunk
gunakan untuk program bikin dede saja, karena di kosan sebelumnya program bikin
dede itu sulit untuk terlaksana. Kini setelah program bikin dedenya sukses Gus
Ipunk akan kembali meninggalkan kosan ini. Itu tandanya aku harus kembali
berpisah dari Gus Ipunk.
Punya teman itu menyenangkan, Kurt. Meskipun yah kita juga
sama-sama tahu, terkadang sendiri itu lebih asyik. Tapi menurutku ada saat
dimana kita juga membutuhkan teman untuk berbagi. Entah cerita atau hanya
sebatas canda atau hanya sebatas untuk hadir.
Tapi mungkin itu hal yang sangat sulit buatmu. Hingga
akhirnya kau memutuskan untuk bunuh diri. Aku tidak akan menyalahkanmu
sih,karena memang aku tidak tahu rasanya hidup sepertimu. Kau pun juga tidak
akan tahu rasanya hidup sepertiku.
Hidup terkadang memang menyebalkan sih. Atau kalau dalam
istilahku, urip mengkenen temen. Apalagi
membayangkan hidup sepertimu, yang pernah aku baca dari biografimu yang
berjudul Heavier Than Heaven tulisannya Charles R. Cross. Disitu kadang aku
merasa sedih.
Tapi Kurt, sebenernya kalau kau tahu aku sendiri lebih suka
melihat dirimu yang ceria, senang dan penuh senyum. Seperti saat Nirvana
bermain di acara MTV Unpludged New York. Atau seperti Gus Ipunk. Selama kenal
dengan Gus Ipunk aku perhatikan dia tidak pernah terlihat sedih. Kelihatannya selalu
senang saja. Kadang aku suka iri juga, gimana caranya bisa merasa senang terus
setiap hari ya?
Mungkin itu hal yang sangat sulit buatmu, Kurt. Apakah setelah
kamu bunuh diri kamu merasa lebih baik?
Tapi yah sudahlah, bener seperti yang pernah Dave Grohl
bilang, lebih mudah mengingatmu ketika duduk berlama-lama membuat musik
daripada mengingatmu dengan bersedih. Tadi malam aku sengaja menonton videomu
di Youtube ketika Nirvana mengcover lagu milik Terry Jacks, Season In The Sun ketika kau bermain drum sambil bernyanyi,
sementara Krist bermain gitar dan Dave Grohl bermain bass. Itu juga salah satu
favoritku. Alasannya hanya satu, di video itu entah kenapa kau terlihat
bergembira sekali. Aku dan Arap Paong, sebagai fans beratmu (juga sebagai
laki-laki lemah), selalu meneteskan air mata setiap kali melihat video itu.
Dan untuk menutup surat ini, izinkan aku menyanyikan bagian
reffnya untukmu,
We had joy, we had
fun, we had seasons in the sun
But the hills that we
climbed were just seasons out of time
Selamat ulang tahun, Kurt Cobain dan Gus Ipunk
Kampung Melayu, 20 Februari 2015