Senin, 08 Juli 2013

(cerpen) Kesialan Di Ruang Makan

Suasana di ruang makan siang itu terasa lebih ramai dari siang-siang sebelumnya. Selain karena jam segitu adalah waktu istirahat bagi beberapa karyawan juga karena hari itu adalah hari ulang tahun (entah siapa saya lupa lagi) sehingga ada jatah makan gratis untuk karyawan. Hal ini tentu tidak akan disia-siakan oleh semua karyawan, termasuk saya.

Saya mengambil jatah makan gratis saya lalu duduk di pojok meja makan. Didepan saya ada Pak Bambang (Jibeng), sedangkan beberapa kursi dari samping saya terlihat Pak Cecep juga sudah mengambil jatah makanannya dan bersiap-siap untuk makan.

Sambil makan saya perhatikan gerak-gerik Pak Cecep dari kursi tempat saya duduk. Wahhh, ternyata Pak Cecep adalah orang yang baik sekali, setiap orang yang lewat dan duduk disekitarnya ditawari makan semua.

"Makan, Dok" kata Pak Cecep kepada dokter yang lewat

"Makan, Mang" kata Pak Cecep kepada Mang Didin yang sedang membereskan meja makan.

"Makan, Bu" kata Pak Cecep kepada ibu-ibu yang ada di sekitar meja makannya.

"Makan, Wan" kata Pak Cecep kepada Bang Ikhwan, anak buahnya yang paling setia, yang hari itu duduk disampingnya.

Saya senyum-senyum sendiri melihat tingkah laku Pak Cecep. Saya lihat Pak Bambang (Jibeng) juga ikut senyum-senyum. setelah puas menawari makan ke tiap orang Pak Cecep pun segera membuka kotak makanannya. Tapi sejurus kemudian saya melihat Pak Cecep tampak keheranan, kepalanya celingak-celinguk ke arah orang-orang yang ada di depan dan sampingnya. Sesekali dia melihat kotak makanannya dan membandingkannya dengan kotak makan orang di sekitarnya..

"Wan. ko makanan gue gak ada lauknya? cuma nasinya doang??" tanya Pak Cecep dengan penuh keheranan.

"Tau??" Bang Ikhwan yang ditanyanya hanya menjawab cuek seperti itu lalu melanjutkan menyantap dada ayam goreng berukuran 34 B.

Sementara di pojok meja makan, saya dan Pak Bambang (Jibeng) tidak bisa berhenti tertawa melihat kejadian itu.




(cerpen) Sebuah Percakapan Di Ruang Makan Kantor Bag. II

Sore itu, seperti biasa setelah selesai operasi saya langsung menuju ruang makan untuk beristirahat dan menyantap makanan. Kebetulan ketika saya tiba di ruang makan Pak Cecep terlihat sudah berada disana. tapi kali ini saya lihat Pak Cecep tidak sedang berbincang-bincang dengan Pak Bambang (Jibeng) melainkan dengan Bang Ikhwan.

Bang Ikhwan sendiri adalah anak buah Pak Cecep. Selain sebagai anak buah Pak Cecep jabatan lain Bang Ikhwan adalah sebagai penjual pulsa. Sebut saja usahanya ini dengan Ikhwan Cell. Untuk semua karyawan di kantor saya bisa saya pastikan pasokan pulsa mereka berasal dari Bang Ikhwan. Saya sendiri termasuk karyawan yang sering berhutang pulsa kepada Bang Ikhwan. Saya curiga bahwa penghasilan Bang Ikhwan dari berjualan pulsa malah lebih besar dari gaji yang didapat oleh Bang Ikhwan sendiri.

Sore itu, saya memesan teh botol dingin kepada Mang Didin karena kopi sudah habis jika sore hari. Sambil minum teh botol saya duduk di depan Bang Ikhwan dan Pak Cecep. Bang Ikhwan tampak sedang fokus menghitung pendapatan dari berjualan pulsanya hari ini, sementara disampingnya Pak Cecep terlihat fokus menghabiskan satu porsi nasi padang dengan rendang sebagai lauknya.

 "10 rebu..12 rebu.. 24 rebu..26 rebu.." saya dengarkan Bang Ikhwan mnghitung lembar demi lembar uang hasil penjualan pulsanya hari ini.

"50 rebuu..56 rebuu..72 rebu.." Bang Ikhwan masih terus berkonsentrasi menghitung dengan presisi yang sangat teliti. Tiba-tiba,

"Lu ngitungin duit mulu, Wan. Sekali-kali bagi-bagi sama gue dooong" Pak Cecep nyeletuk sembari monyong (karena ternyata nasi padangnya belum habis).

Sekali lagi, saya hampir tersedak teh botol karena tertawa mendengarnya