Rabu, 19 Desember 2012

Ketika Engkau Kecup Hangat Selangkangan Ini



Kamis malam itu ketika rintikan hujan membasahi bumi Kuningan asri, Ipong memberi kabar bahwasanya dia kesepian dikosan yang dia tempati...

Terbesit dipikranku, untuk segera menemuinya, sekedar bertukar cangkir, berbagi rokok ataupun melakukan aktivitas selayaknya malam jumat...

Tak perlu berpikir dua kali gumamku... segeralah aku membawa perbekalan satu bungkus rokok tanpa cukai, dan sebotol Insto untuk berjaga jika Ipong berontak...

Ku panaskan kuda besi ku... dan segera pamit pada suami ibuku untuk mengerjakan dengan dalih tugas kuliah...
Kian lama, rintikan hujan semakin membesar menemani puluhan kilometer yang kulalui ini...
Dinginnya hujan, tebalnya kabut, dan embun yang menghalangi kaca helm hanya secuil batu yang krikil yang menghalangi pertemuanku malam ini...
Hanya lamunanku yang terus memotivasi mengalahkan dinginnya malam...
Lamunan ketika aku tiba dikosannya, Ipong menyambutku dengan lingrie seksinya, kasur dengan sprei ungu motifmawar, taburan bunga melati dikasur, lilin, cambuk, lantunan musik post-rock dan obat nyamuk bakar yang tertata rapih disudut kamarnya...
Tiba-tiba muncul bis berwarna kuning bernama Luragung Jaya jurusan Jakarta-Kuningan dari arah berlawanan membuyarkan lamunanku...
Aku tersontak, segeralah kuda besiku ku belokan, namun badan bis kuning keparat itu terlalu besar...
Dengan  kecepatan 130 km/jam bis kuning itu sukses mencium selangkanganku yang berusaha menghindarinya... roboh pun tak bisa dihindar...
Hanya berjarak 6 meter saja, aku dan motorku terpisah, sementara bis kuning tersebut pergi meninggalkan kami dengan angkuhnya...
Aku tak kuat bangkit lagi, pandangan mataku mulai kacau... aku membayangkan Ipong menungguku disana mulai mencari timun untuk  pengganti diriku...
Entahlah... hanya Tuhan dan obat nyamuk bakar saksinya...

Selasa, 23 Oktober 2012

Dibawah Bendera Revolusi


Coba ketikkan kata kunci “Dibawah Bendera Revolusi” di beranda Google maka kita akan menemukan sebuah buku yang dijual dengan harga yang cukup tidak masuk akal. Terakhir saya melihat di sebuah  toko jual beli online yang mematok harga 60 juta untuk 2 jilid buku ini, dengan dalih sebagai mahar untuk pendirian sebuah yayasan. Entah benar atau tidak? Saya sendiri cukup beruntung ketika salah seorang kakek di toko buku bekas langganan saya menawarkan buku ini dengan harga yang cukup murah, bahkan lebih murah dibanding tiket konser Lady Gaga. Dengan segera buku ini pun berpindah kepemilikan ke tangan saya.
Kondisi bukunya sendiri bisa dibilang masih sangat bagus, mengingat buku itu sendiri diterbitkan tahun 1963, satu umur dengan ibu saya sendiri. Dan seperti halnya ibu saya, buku itu masih terlihat cantik. Dengan cover berwarna biru gelap dan tulisan emas yang dicetak diatasnya, minimalis tapi begitu ikonik. Isinya? Setelah membaca buku ini saya menjadi begitu bergairah, sekaligus merasa pilu. Begitu cintanya seorang Bung Karno pada bangsa ini, dan jika beliau saat ini masih hidup mungkin akan merasa sangat sedih melihat cinta yang diperjuangkannya menjadi seperti ini, bahkan seorang bocah ababil bernama Justin Bieber dengan seenaknya menyebut negeri ini random country.
 Buku ini merangkum beberapa tulisan Bung Karno di berbagai harian seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Rakyat, Pandji Islam, Pemandangan dan Pembangunan dalam rentang waktu 1926-1941. Termasuk beberapa surat beliau ketika diasingkan di Endeh, serta satu tulisan tangan beliau yang berjudul “Mendjadi Guru dimasa Kebangunan” yang sayang sekali tidak bisa saya baca. (mohon bantuannya, apoteker).
Membaca buku ini seperti menyelami isi kepala seorang Ir. Soekarno, inilah pemikiran beliau yang paling menggairahkan, bergelora dan menantang. Masa ketika Bung Karno masih rebel-rebelnya, yang tidak ada kompromi sama sekali dengan kaum penjajah, istilahnya non-kooperasi, bahwa hanya dengan aksi massa yang radikal dan revolusioner dan tanpa kompromilah yang bisa mengusir penjajah dari bumi nusantara ini.
Saya membagi isi buku ini secara garis besar menjadi 3 bagian pemikiran Bung Karno. Yang pertama tentang nasionalisme, kedua tentang Islam dan ketiga tentang pandangannya mengenai politik luar negeri yang sedang terjadi saat itu. Dari ketiga garis besar pemikiran Bung Karno tersebut terdapat satu kesamaan nafas dari setiap tulisannya, menggugat, atau kalau meminjam iklan Top Kopinya Iwan Fals, yaitu BONGKAR!
Sebagai seorang kutu buku yang buas dan rakus tentu saja pemikiran Bung Karno tidak terlepas dari pengaruh setiap bacaan yang beliau baca tapi seperti yang saya sebutkan diatas beliau tidak serta merta menelan bulat-bulat semua hal yang dibacanya, isi buku tersebut akan beliau refleksilkan sebelum kemudian beliau bongkar dan gugat sebelum pemikirannya merasa puas dan cocok. Contohnya, Bung Karno adalah seorang umat Marxis sejati, tetapi beliau menyadari bahwa kaum buruh proletar di Indonesia tidak sama seperti di Eropa, karena itu beliau tidak serta merta menyamakan kondisi kaum proletar Indonesia dengan Eropa tetapi mengambil irisan-irisan Marxisme yang disesuaikannya dengan kondisi kaum proletar di Indonesia, kita kemudian akan mengenalnya dengan Marhaenisme. Bung Karno juga mengagung-agungkan Revolusi Prancis yang berujung pada lahirnya demokrasi liberal di Prancis. Tetapi lagi-lagi Bung Karno menolak demokrasi tersebut bisa dijalankan di Indonesia, menurutnya Indonesia tidaklah menganut Demokrasi Liberal, demokrasinya kaum borjuis yang pada ujung-ujungnya tetap menyengsarakan kaum buruh.
Tidak hanya itu, di tulisan pertama pembuka buku ini yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” beliau dengan tegas mengkritik para penganut isme-isme tersebut yang dianggapnya hanya memecah persatuan bangsa. Menurut beliau seharusnya kaum nasionalis, Islam dan Marxis tersebut bisa bersatu untuk menghancurkan kolonialisme. Bahkan di tulisan yang lainnya yang berjudul “Menjadi Pembantu Pemandangan”, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya sendiri adalah gabungan dari paham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Simak tulisannya berikut,
“Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca. .  Sukarno adalah campuran dari semua isme-isme itu!”
Tidak ada yang meragukan kadar Nasionalisme seorang Bung Karno, dan dari Nasionalisme inilah keyakinan Bung Karno kepada Islam semakin kuat karena menurutnya kecintaan kepada tanah air adalah sebagian dari iman juga. Islam dalam pandangan Bung Karno adalah agama yang menjunjung tinggi kecintaan terhadap tanah air, kecintaan yang bukan berujung pada chauvinisme tentunya.
Dan Marxisme sendiri, meminjam perkataan dr. Cipto Mangunkusumo, adalah sebuah paham yang “membakar Soekarno punya jiwa”. Menurut Bung Karno teori Marxisme inilah yang dianggapnya cocok dan kompeten dalam menyelesaikan  dan memecahkan soal-soal sejarah, politik dan kemasyarakatan. Dan Marxisme sendirilah yang menanamkan kebencian Bung Karno terhadap fasisme, kolonialisme dan kapitalisme.
Yang paling menarik lagi dari buku ini adalah pandangan Bung Karno tentang Islam. Bung Karno bukanlah penganut Islam kacangan. Beliau membaca Qur’an dan berbagai literatur tentang Islam dengan tekun, khususnya ketika beliau diasingkan di Endeh. Hal ini bisa dibaca melalui surat-menyurat beliau dengan T. A Hassan, guru Persatuan Islam di Bandung. Menurut Bung Karno apa yang menjadi kemunduran Islam adalah pemahaman yang kolot dan kaku terhadap Qur’an dan Hadist, yang menyebabkan umat Islam ketinggalan zaman. Tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan terlalu lama berdebat tentang haram dan halal, meskipun hal yang menjadi perdebatan tersebut tidak pernah ada dalam Qur’an dan Hadist.  Kita tidak bisa menyamakan Islam zaman sekarang dengan Islam zaman Nabi, atau kata Bung Karno Masyarakat Zaman Onta dengan Masyarakat Zaman Kapal Udara. Coba perhatikan tulisan Bung Karno dibawah ini,
Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air didalam panci di dekat sumur.
Saya punya anak Ratna Djuami berteriak :
“Papi, papi, si Ketuk menjilat air di dalam panci!”
Saya jawab : “buanglah air itu dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin”
Ratna termenung sebentar, kemudian ia menanya : “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini mesti dicuci tujuh kali, antaranya satu kali dengan tanah?”
Saya menjawab : “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin”
Muka Ratna menjadi tenang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.
Maha Besarlah Allah Ta’ala, Maha Mulialah Nabi yang Ia suruh!
Dengan jenius sekali Bung Karno memberikan sebuah contoh bagaimana Islam seharusnya bisa menyesuaikan dir dengan perkembangan zaman. Pemikiran seperti inilah yang diperjuangkan Bung Karno dalam Islam, Islam yang tidak hanya terus-terusan berdzikir dan hanya tepekur di mesjid tetapi tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hal ini hanya akan membuat umat Islam semakin tertinggal,Bung Karno menyebutnya “Islam Bersorban” atau “Islam Bercelek”, Islam yang tidak bisa menyesuaikan diri dan ketinggalan zaman. Bung Karno sudah menyadarinya lebih dari 50 tahun yang lalu, tapi sayang sekali umat Islam yang dikritiknya kini menjadi semakin banyak dan tumbuh subur. (Hallo FPI. .)
Dengan deretan pemikiran-pemikiran yang penuh gairah dan gelora tersebut wajar saja jika pada masa Orde Baru buku ini menjadi sebuah buku terlarang dan tidak pernah dicetak lagi. Paham-paham Soekarnois seolah ditekan dan dimusnahkan karena bagi Orde Baru semua hal yang dianggap menganggu kemapanan adalah sebuah hal terlarang dan berbahaya. Sebuah paranoid tingkat akut terhadap  setiap semangat yang menggugat, memberontak dan membongkar status quo. Hasilnya lumayan berhasil. Kita bisa menyaksikan sebuah negara yang sedang menuju pada bentuk kleptokrasi. Kita bisa melihat generasi yang lupa pada sejarah, yang diracuni Philip Morris, televisi dan Justin Bieber!  

Jumat, 05 Oktober 2012

Untuk Yossie Dan Wiwin Dan Kisah Cintanya Yang Melegenda

Mas ini opik, punten kata si wiwin, tulisannya mas itu buat wiwin risi, udah ganggu privasinya dia katanya, punten diapus mas. Jangan ganggu privasi wiwin.

Jadi terpaksa deh para pemirsa tidak bisa membaca catatannya karena sudah saya hapus. Terimakasih atas pengertiannya. D

Jumat, 27 Juli 2012

Jemmy Oh Jemmy 5 : Saking Menjiwai Kisah Ini Sehingga Membuat Saya Lupa Harus Memberi Judul Apa Untuk Episode Kali Ini ?


Teretetetet tet. .tetet. .tetet. .
(Maaf suara diatas bukanlah suara petasan, meskipun kisah ini ditulis di Bulan Ramadhan yang selalu ramai dengan suara petasan). 

Lalu suara apakah itu?? Itu adalah suara knalpot motor, dalam media berbentuk tulisan seperti ini memang sangat susah sekali mendeskripsikan suatu bunyi menjadi sangat jelas dan bisa dipahami. 

Lalu kenapa suara knalpot motor bunyinya seperti itu? Kenapa tidak brum. .brum . .brum . .? atau grung. .grung . .grung . .? biar terdengar suaranya lebih gagah? Supaya orang yang membaca tulisan ini secara tidak langsung membayangkan suara itu berasal dari mesin Ducati? Karena memang suara knalpot yang saya dengar bunyinya seperti itu, teretetet tet tet tet. . 

Lalu motor siapakah yang suara knalpotnya seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan suara itu berasal dari sepeda motor milik saudara Dudu Rochendi. (yeaaaahhhh.. selamat datang Mas Duu di semesta Jemmy Oh Jemmy. Hahaha)

Untuk kisah Jemmy Oh Jemmy part 5 ini saya mengawalinya bukan dari Jemmy tetapi dari Dudu, lebih tepatnya lagi dari sepeda motor miliknya yang saya bayangkan sedang melintasi debu jalanan kota Cirebon yang gersang, yang pohon-pohonnya kini berganti menjadi tembok beton yang dengan bangga disebut oleh walikotanya sebagai mall.

Dudu tidak sendirian. Dia membonceng lagi seorang temannya yang berperawakan tinggi jangkung layaknya seorang Peter Crouch, hanya saja bedanya Peter Crouh yang ini bukan berasal dari daratan Britania melainkan dari daratan yang juga tak kalah gersang dengan Cirebon, yaitu Arab Saudi. Fickar Mustafa Basamalah namanya. Mahasiswa jurusan manajemen yang sudah berencana jika lulus nanti akan membuka klinik Tong Fang yang insya alloh akan membantu kaum lelaki bertambah panjang setidaknya 5 cm. Silahkan tafsirkansendiri apanya yang bertambah panjang tersebut.

Berdua mereka menembus terik siang demi memenuhi panggilan seorang teman tercinta, Yang Mulia Jemmy. Karena Jemmy dalam kisah ini bukanlah seorang fotografer maka untuk memenuhi eksistensinya di dunia kampus maka dia berencana untuk membentuk sebuah band yang tujuannya tidak pernah jauh-jauh dari modus untuk menggaet para kimcil beserta para SPG dan sebagian mahasiswi tingginya bertambah (bukan karena klinik Tong Fang) tetapi karena memakai wedges. Maka dipanggilah Dudu dan Fickar, 2 teman sekelasnya, yang menurut Jemmy bisa bermain musik setidaknya satu level dengan Armada. Tanpa bisa menolak Dudu dan Fickar pun langsung mengiyakan ajakan Jemmy. Lalu teretet tet tet tet. . . melajulah motor Dudu bersama imajinasi saya.

Memasuki daerah Perumnas Cirebon, yang admin dari akun twitternya masih menjadi misteri sampai sekarang, tiba-tiba Dudu menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah rumah.

“Ko berhenti, Mas Duu?” kata si Fickar penasaran.
“Bentar Rab, kayaknya ada yang aneh deh”
“Hah? Apaan Mas Duu?”
“Tadi ane liat sesuatu yang janggal Rab?”
“Ahh ente jangan aneh-aneh Mas Duu? Masa siang-siang gini liat setan??”
“Bukan setan, Rab. Tapi janggal aja gitu ane liatnya?”
“Apaan sih Mas Duu? Jangn bikin ane ketakutan sih?”
“Ahh cemen ente, titit aja gede tapi penakut”
“Waah jangan bawa-bawa titit Mas Duu, gak ada hubungannya antara besar titit sama besar rasa takut”
“Ahh kita ko jadi ngomongin titit sih Rab? Bahlul ente”
“Ente yang mulai sih,  bilang liat hal-hal yg aneh segala?”

Kemudian Dudu memundurkan motornya beberapa meter ke belakang, ke dekat sebuah rumah gedong.
“Coba deh Rab ente perhatiin tulisan itu?” kata Dudu sambil menunjuk sebuah tulisan di sebuah papan di depan rumah gedong. Fickar kemudian menoleh mengikuti arah telunjuk Dudu. Matanya tertuju pada tulisan seperti yang dituduhkan oleh Dudu, 

Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah
Rezky Aditya Perdana S.E

“Waah bener Mas Duu, kayaknya ada yang aneh dengan tulisan tersebut?” 
“Bener kan kata ane, makanya tadi pas lewat ane langsung berhenti.”
“Tapi apanya yang aneh ya Mas Duu?”
“Nah itu dia, Rab. Ane juga bingung!!”
Fickar memandangi kembali tulisan tadi. Pikirannya mencoba menerawang keanehan tulisan tersebut. Tetapi rupanya mentok, pikirannya tidak bisa menemukan jawaban yang memuaskan. Selalu mentok kepada bayangan paha Mamah Rista.
“ Astagfirullah” gumam Fickar.
“Kenapa, Rab?”
“Aneh ko ane malah kepikiran pahanya Mamah Rista ya?”
“Subhanallah, Rab!! Kok sama ya??!!”
“Ya ampuuun Mas Duu, ternyata kita memang benar-benar sehati. Ane jadi terharu” kata Fickar. Matanya terlihat berkaca-kaca, kemudian mereka berdua berpelukan. (anjiis geuleuh pisan haha)

Ditengah adegan yang menajiskan tersebut lewatlah si tukang cukur Idham dengan sepeda motornya. Biar beda suaranya dengan sepeda motor Dudu maka suaranya saya buat seperti ini, breuum . .breuumm. .breumm. . 

Idham berhenti di depan adegan pelukan yang menajiskan tadi.

10 menit kemudian. .

Ehhhh. . nanaonan ieu??” dengan logat Sundanesse yang kental. Kaget mendengar ada suara yang menegurnya, adegan  peluk-pelukan Dudu-Fickar pun berakhir.

“Ehhh. .hehe. .biasa A, romansa masa muda” jawab Dudu sambil tersipu malu. Mukanya memerah seperti tomat matang tapi busuk.
“Jangan disini atuh adegannya, malu sama yang baca”
“Gak tau atuh A, da penulisnya kok bikin adegan kayak gitu segala?” kata Fickar yang kumisnya basah gara-gara menangis elakukan adegan pelukan tadi yang ternyata sangat mengaharu biru sehingga membuat sisi hello kittynya keluar.
“A Idham sendiri ngapain lewat kesini, libur nyukur rambutnya?” giliran Dudu yang bertanya.
“Sama atuh, saya juga ga tau da penulis ceritanya ko bikin adegan saya lewat sini dan harus menyaksikan pelukan paling romantis nan najis selama 10 menit” jawab Idham yang bagian sleting celananya terlihat agak mancung setelah menyaksikan adegan pelukan Dudu-Fickar.

Ahhh beungeut su’uk ieu mah anu nulis caritana” kata Fickar yang berbodi Arab tapi berlidah Sunda.
“Ah lieur saya mah. Ya sudah saya mau balik lagi ke pangkalan untuk menunaikan tugas wajib mencukur rambut” kata Idham seraya menyalakna mesin motornya. Tapi kemudian Dudu mencegahnya.
“bentar dulu A, coba liat itu. Ada yang aneh gak sih?” kata Dudu sambil menunjukkan papan nama yang tadi dilihatnya.
Idham pun melihatnya,

Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah
Rezky Aditya Perdana S.E

“Betul euy, kayak ada yang aneh ya? Berasa kurang sreg di hati” Idham juga merasa kebingungan.
“ coba sebentar saya pikirkan dulu” Idham pun merenung.

15 menit kemudian. .

“Astagfirullah !!” Idham tersentak kaget.
“Kenapa A!!” Dudu dan Fickar juga ikutan kaget. (“iya kenapa sih A?!!” penulis juga ikutan kaget)
“Aneh ko saya jadi kepikiran pahanya Ipong yaa?? Kata Idham datar.
Dudu dan Fickar muntah. Penulis juga.

Setelah selesai muntah. .

Ipong yang dimaksud oleh Idham adalah Irfan Hermawan yang pernah bermain di filem James Bloon agen gas elpiji 13 kg, juga pernah menjuarai ajang Jakarara untuk kategori pria termaho, dan yang terakhir pernah jatuh cinta sama Ivana tapi kemudian tidak jatuh cinta lagi sama Ivana karena Ivana suka sama Armada.

“Ini masalah ideologi, Bung!!” jawab Ipong tegas saat ditanya kenapa lebih memilih untuk tidak jatuh cinta sama Ivana yang suka Armada. Akhirnya Ipong jatuh cinta sama Idham karena Idham suka sama Suede. Dan saya, Dudu serta Fickar pun muntah lagi.

Setelah selesai muntah yang kedua. .

Idham pun menghubungi Ipong untuk segera datang ke tempatnya berada. Idham merasa bahwa Ipong bisa menjawab keanehan yang terjadi pada sebuah papan tulisan tadi. 

“Say. . bisa kesini gak?” kata Idham melalui handphonenya.

Diseberang telepon terdengar sebuah jawaban,
“Maaf pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Silahkan isi ulang terlebih dahulu”
“Ehh Ipong. . ko suara kamu jadi kayak robot gituh??”
Tidak terdengar jawaban dari Ipong selain suara tuuuut tuuut tuuut. Telepon terputus.
Wajah Idham tampak muram. Ia mengira Ipong berubah. Suaranya tidak mesra lagi. Malah berubah menjadi seperti robot. Idham takut perasaan Ipong ikut berubah seperti suaranya. Melihat Idham tiba-tiba berubah murung, Dudu dan Fickar pun menjadi penasaran.

“ A kenapa atuh jadi kusem gitu mukanya?” 

“Gak tahu eyy, tiba-tiba aku merasa Ipong berubah!! Apakah perasaanya kepadaku pun ikutan berubah?? Aku tanpa Ipong bagaikan butiran tai embe anu jiga sukro tea geuning!!” Idham mendeklamasikan kegundahannya di hadapan Dudu-Fickar yang segera saja ikut terhanyut ke dalamnya. Tanpa dikomando siapapa pun mereka bertiga pun saling berpelukan, dihadapan sebuah papan nama yang masih menjadi misteri buat mereka bertiga, sama misteriusnya dengan admin @InfoPerum yang sekarang sedang duduk dibalik layar komputernya sambil tertawa xixixixixixixi. Di kepalanya keluar tanduk iblis.Tentu saja adminnya bukan saya karena saya sedang mengetik kisah ini yang ternyata baru saya sadari belum menceritakan tentang Jemmy sedikitpun, padahal judulnya Jemmy Oh Jemmy Part 5. Saya rasa saya dikutuk oleh Armada karena sering ngomongin mereka, jadinya mau dibawa kemana kisah ini? 

To Be Continued dulu biar keren . . .

Selasa, 24 Juli 2012

Review Buku : Aku Mendakwa HAMKA Plagiat


Aku Mendakwa HAMKA Plagiat
(Skandal Sastra Indonesia 1962-1964)
Muhidin M Dahlan

Pramoedya A. Toer bisa dianggap sebagai pemicu skandal sastra Indonesia yang terjadi pada periode antara tahun 1962-1964 ini. Tidak tanggung-tanggung sasaran tembaknya adalah seorang ulama Islam cum sastrawan besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih terkenal dengan nama HAMKA. Novel karya HAMKA yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (saat itu menjadi novel yang laku ribuan eksemplar) dianggap sebagai novel hasil jiplakan dari karya seorang penulis Mesir, Madjludin Al-Manfaluthi yang berjudul Magdalena hasil terjemahan dari roman karya seorang penulis asal Prancis yaitu Alphonse Karr yang berjudul Sous Les Tilleuls.

Semuanya berawal ketika Harian Bintang Timur lewat lembar “Lentera” yang dipimpin oleh Pramoedya A Toer memuat sebuah surat pembaca dari Abdullah SP, sebuah esai yang berjudul “Sekali lagi membaca buah tangan HAMKA : Benarkah dia Manfaluthi Indonesia?” yang menceritakan kekagumannya atas roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sebelum kemudian menjadi muak setelah mengetahui kesamaannya dengan film yang diadaptasi dari novel Manfaluthi, Dummu El Hubub (Air Mata Cinta). Tidak berhenti sampai disini, sepekan kemudian Pramoedya A Toer juga kembali memuat essai dari Abdullah Sp, kali ini dengan judul yang semakin pedas, “Aktor Tunggal Dalam Bohong Dunia”. Dalam tulisannya kali ini, Abdullah Sp mulai membandingkan secara alakadarnya paragraf-paragraf yang terkandung dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dengan novel Magdalena. Lalu puncaknya adalah ketika Pramoedya A Toer memuat kembali essai dari Abdullah Sp dengan judul yang tanpa tedeng eling-eling langsung menusuk “Aku Mendakwa HAMKA Plagiat”. Disinilah Abdullah Sp menguraikan dan menjelaskan bagaimana novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk itu menjiplak novel Magdalena.

Tentu saja hal ini langsung memancing perdebatan sengit antara para pembela HAMKA dengan mereka yang merasa muak akibat isu plagiarisme yang dilakukan HAMKA. Harian Bintang Timur sendiri pun sampai membuatkan satu kolom khusus yang diberi nama “Varia HAMKA” untuk menampung setiap pendapat dari para pembaca, baik itu yang membela maupun yang kecewa. Tidak kurang bahkan sampai sastrawan H.B Jassin dan Goenawan Mohammad pun memberikan tanggapan mereka atas polemik yang terjadi ini. Pram sendiri bersama Lentera sudah menyiapkan sebuah naskah yang berjudul “HAMKA Plagiator” untuk menanggapi polemik ini, hanya sayangnya kemudian buku itu tidak pernah terbit, malah sebuah buku yang berjudul Van Der Wijk Dalam Polemik yang kemudan terbit, sebuah buku yang disusun oleh Junus  Amir Hamzah dan H.B Jassin. Dan bisa dipastikan isinya hanyalah sebuah pembelaan secara halus kepada HAMKA. Pram merasa diserobot di lintasan terakhir, bahkan Harian Bintang Timur pun harus menutup setiap tulisan yang berhubungan dengan polemik plagiat HAMKA ini setelah menerima surat dari Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta yang menganggap polemik ini mengganggu stabilitas keamanan nasional. Akhirnya kita tahu HAMKA dan Van der Wijk nya tidak pernah tenggelam, sebaliknya Pramoedya dan lembar kebudayaan Lenteranya yang kemudian malah tenggelam (atau lebih tepatnya ditenggelamkan).

Penulis buku ini (yang juga menyusun buku Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku), Muhidin M Dahlan, memang memaksudkan penerbitan buku ini sebagai upaya pengganti dari naskah HAMKA Plagiator yang tidak pernah terbit itu. Tetapi selain itu, secara khusus penulis terlihat lebih ingin menyoroti issue plagiarisme yang kerap menerpa para pelaku di dalam bidang literasi di Indonesia. Usia kesusastraan Indonesia sendiri terbilang masih muda dan bahkan Pram sendiri menganggap perkembangan satra di Indonesia itu mengalami kemandekan, dan salah satu alasan mengapa hal itu bisa terjadi adalah kasus plagiat ini. Tidak kurang dari penyair sekelas Chairil Anwar, Taufik Ismail sampai Seno Gumira Adjidarma dianggap pernah melakukan tindakan plagiarisme. Bahkan yang paling menyedihkan kasus plagiarisme ini juga diendus sampai memasuki ruangan-ruangan akademis. Tesis doktoral Yahya Muhaimin merupakan hasil jiplakan dari karya Lance Castles, Gibson, Sutter dan Robinson. Dan beberapa contoh karya ilmiah lain yang hukumnya haram jika merupakan hasil terjemahan atau penelitian orang lain.

Memang sangat disayangkan, kasus-kasus seperti ini hanya hangat-hangat tai ayam, sebentar hangat kemudian menguap dan orang pun lupa. Apa mungkin memang sifat bangsa kita sendiri yang pelupa? Atau plagiarisme adalah sebuah hal yang wajar saja dilakukan oleh rakyat di negeri ini, seperti halnya pembajakan? 

Buku ini layak untuk dibaca, setidaknya untuk mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa diantara kata menjiplak dan terinspirasi itu terdapat perbedaan sebuah perbedaan yang nyata. Inspirasi seharusnya bisa melahirkan karya-karya yang baru dan bermutu, sebaliknya menjiplak/plagiat hanya akan membuat karya-karya yang dihasilkan mandek, mungkin suatu saat nanti malah mati.