Jumat, 27 Juli 2012

Jemmy Oh Jemmy 5 : Saking Menjiwai Kisah Ini Sehingga Membuat Saya Lupa Harus Memberi Judul Apa Untuk Episode Kali Ini ?


Teretetetet tet. .tetet. .tetet. .
(Maaf suara diatas bukanlah suara petasan, meskipun kisah ini ditulis di Bulan Ramadhan yang selalu ramai dengan suara petasan). 

Lalu suara apakah itu?? Itu adalah suara knalpot motor, dalam media berbentuk tulisan seperti ini memang sangat susah sekali mendeskripsikan suatu bunyi menjadi sangat jelas dan bisa dipahami. 

Lalu kenapa suara knalpot motor bunyinya seperti itu? Kenapa tidak brum. .brum . .brum . .? atau grung. .grung . .grung . .? biar terdengar suaranya lebih gagah? Supaya orang yang membaca tulisan ini secara tidak langsung membayangkan suara itu berasal dari mesin Ducati? Karena memang suara knalpot yang saya dengar bunyinya seperti itu, teretetet tet tet tet. . 

Lalu motor siapakah yang suara knalpotnya seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan suara itu berasal dari sepeda motor milik saudara Dudu Rochendi. (yeaaaahhhh.. selamat datang Mas Duu di semesta Jemmy Oh Jemmy. Hahaha)

Untuk kisah Jemmy Oh Jemmy part 5 ini saya mengawalinya bukan dari Jemmy tetapi dari Dudu, lebih tepatnya lagi dari sepeda motor miliknya yang saya bayangkan sedang melintasi debu jalanan kota Cirebon yang gersang, yang pohon-pohonnya kini berganti menjadi tembok beton yang dengan bangga disebut oleh walikotanya sebagai mall.

Dudu tidak sendirian. Dia membonceng lagi seorang temannya yang berperawakan tinggi jangkung layaknya seorang Peter Crouch, hanya saja bedanya Peter Crouh yang ini bukan berasal dari daratan Britania melainkan dari daratan yang juga tak kalah gersang dengan Cirebon, yaitu Arab Saudi. Fickar Mustafa Basamalah namanya. Mahasiswa jurusan manajemen yang sudah berencana jika lulus nanti akan membuka klinik Tong Fang yang insya alloh akan membantu kaum lelaki bertambah panjang setidaknya 5 cm. Silahkan tafsirkansendiri apanya yang bertambah panjang tersebut.

Berdua mereka menembus terik siang demi memenuhi panggilan seorang teman tercinta, Yang Mulia Jemmy. Karena Jemmy dalam kisah ini bukanlah seorang fotografer maka untuk memenuhi eksistensinya di dunia kampus maka dia berencana untuk membentuk sebuah band yang tujuannya tidak pernah jauh-jauh dari modus untuk menggaet para kimcil beserta para SPG dan sebagian mahasiswi tingginya bertambah (bukan karena klinik Tong Fang) tetapi karena memakai wedges. Maka dipanggilah Dudu dan Fickar, 2 teman sekelasnya, yang menurut Jemmy bisa bermain musik setidaknya satu level dengan Armada. Tanpa bisa menolak Dudu dan Fickar pun langsung mengiyakan ajakan Jemmy. Lalu teretet tet tet tet. . . melajulah motor Dudu bersama imajinasi saya.

Memasuki daerah Perumnas Cirebon, yang admin dari akun twitternya masih menjadi misteri sampai sekarang, tiba-tiba Dudu menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah rumah.

“Ko berhenti, Mas Duu?” kata si Fickar penasaran.
“Bentar Rab, kayaknya ada yang aneh deh”
“Hah? Apaan Mas Duu?”
“Tadi ane liat sesuatu yang janggal Rab?”
“Ahh ente jangan aneh-aneh Mas Duu? Masa siang-siang gini liat setan??”
“Bukan setan, Rab. Tapi janggal aja gitu ane liatnya?”
“Apaan sih Mas Duu? Jangn bikin ane ketakutan sih?”
“Ahh cemen ente, titit aja gede tapi penakut”
“Waah jangan bawa-bawa titit Mas Duu, gak ada hubungannya antara besar titit sama besar rasa takut”
“Ahh kita ko jadi ngomongin titit sih Rab? Bahlul ente”
“Ente yang mulai sih,  bilang liat hal-hal yg aneh segala?”

Kemudian Dudu memundurkan motornya beberapa meter ke belakang, ke dekat sebuah rumah gedong.
“Coba deh Rab ente perhatiin tulisan itu?” kata Dudu sambil menunjuk sebuah tulisan di sebuah papan di depan rumah gedong. Fickar kemudian menoleh mengikuti arah telunjuk Dudu. Matanya tertuju pada tulisan seperti yang dituduhkan oleh Dudu, 

Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah
Rezky Aditya Perdana S.E

“Waah bener Mas Duu, kayaknya ada yang aneh dengan tulisan tersebut?” 
“Bener kan kata ane, makanya tadi pas lewat ane langsung berhenti.”
“Tapi apanya yang aneh ya Mas Duu?”
“Nah itu dia, Rab. Ane juga bingung!!”
Fickar memandangi kembali tulisan tadi. Pikirannya mencoba menerawang keanehan tulisan tersebut. Tetapi rupanya mentok, pikirannya tidak bisa menemukan jawaban yang memuaskan. Selalu mentok kepada bayangan paha Mamah Rista.
“ Astagfirullah” gumam Fickar.
“Kenapa, Rab?”
“Aneh ko ane malah kepikiran pahanya Mamah Rista ya?”
“Subhanallah, Rab!! Kok sama ya??!!”
“Ya ampuuun Mas Duu, ternyata kita memang benar-benar sehati. Ane jadi terharu” kata Fickar. Matanya terlihat berkaca-kaca, kemudian mereka berdua berpelukan. (anjiis geuleuh pisan haha)

Ditengah adegan yang menajiskan tersebut lewatlah si tukang cukur Idham dengan sepeda motornya. Biar beda suaranya dengan sepeda motor Dudu maka suaranya saya buat seperti ini, breuum . .breuumm. .breumm. . 

Idham berhenti di depan adegan pelukan yang menajiskan tadi.

10 menit kemudian. .

Ehhhh. . nanaonan ieu??” dengan logat Sundanesse yang kental. Kaget mendengar ada suara yang menegurnya, adegan  peluk-pelukan Dudu-Fickar pun berakhir.

“Ehhh. .hehe. .biasa A, romansa masa muda” jawab Dudu sambil tersipu malu. Mukanya memerah seperti tomat matang tapi busuk.
“Jangan disini atuh adegannya, malu sama yang baca”
“Gak tau atuh A, da penulisnya kok bikin adegan kayak gitu segala?” kata Fickar yang kumisnya basah gara-gara menangis elakukan adegan pelukan tadi yang ternyata sangat mengaharu biru sehingga membuat sisi hello kittynya keluar.
“A Idham sendiri ngapain lewat kesini, libur nyukur rambutnya?” giliran Dudu yang bertanya.
“Sama atuh, saya juga ga tau da penulis ceritanya ko bikin adegan saya lewat sini dan harus menyaksikan pelukan paling romantis nan najis selama 10 menit” jawab Idham yang bagian sleting celananya terlihat agak mancung setelah menyaksikan adegan pelukan Dudu-Fickar.

Ahhh beungeut su’uk ieu mah anu nulis caritana” kata Fickar yang berbodi Arab tapi berlidah Sunda.
“Ah lieur saya mah. Ya sudah saya mau balik lagi ke pangkalan untuk menunaikan tugas wajib mencukur rambut” kata Idham seraya menyalakna mesin motornya. Tapi kemudian Dudu mencegahnya.
“bentar dulu A, coba liat itu. Ada yang aneh gak sih?” kata Dudu sambil menunjukkan papan nama yang tadi dilihatnya.
Idham pun melihatnya,

Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah
Rezky Aditya Perdana S.E

“Betul euy, kayak ada yang aneh ya? Berasa kurang sreg di hati” Idham juga merasa kebingungan.
“ coba sebentar saya pikirkan dulu” Idham pun merenung.

15 menit kemudian. .

“Astagfirullah !!” Idham tersentak kaget.
“Kenapa A!!” Dudu dan Fickar juga ikutan kaget. (“iya kenapa sih A?!!” penulis juga ikutan kaget)
“Aneh ko saya jadi kepikiran pahanya Ipong yaa?? Kata Idham datar.
Dudu dan Fickar muntah. Penulis juga.

Setelah selesai muntah. .

Ipong yang dimaksud oleh Idham adalah Irfan Hermawan yang pernah bermain di filem James Bloon agen gas elpiji 13 kg, juga pernah menjuarai ajang Jakarara untuk kategori pria termaho, dan yang terakhir pernah jatuh cinta sama Ivana tapi kemudian tidak jatuh cinta lagi sama Ivana karena Ivana suka sama Armada.

“Ini masalah ideologi, Bung!!” jawab Ipong tegas saat ditanya kenapa lebih memilih untuk tidak jatuh cinta sama Ivana yang suka Armada. Akhirnya Ipong jatuh cinta sama Idham karena Idham suka sama Suede. Dan saya, Dudu serta Fickar pun muntah lagi.

Setelah selesai muntah yang kedua. .

Idham pun menghubungi Ipong untuk segera datang ke tempatnya berada. Idham merasa bahwa Ipong bisa menjawab keanehan yang terjadi pada sebuah papan tulisan tadi. 

“Say. . bisa kesini gak?” kata Idham melalui handphonenya.

Diseberang telepon terdengar sebuah jawaban,
“Maaf pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Silahkan isi ulang terlebih dahulu”
“Ehh Ipong. . ko suara kamu jadi kayak robot gituh??”
Tidak terdengar jawaban dari Ipong selain suara tuuuut tuuut tuuut. Telepon terputus.
Wajah Idham tampak muram. Ia mengira Ipong berubah. Suaranya tidak mesra lagi. Malah berubah menjadi seperti robot. Idham takut perasaan Ipong ikut berubah seperti suaranya. Melihat Idham tiba-tiba berubah murung, Dudu dan Fickar pun menjadi penasaran.

“ A kenapa atuh jadi kusem gitu mukanya?” 

“Gak tahu eyy, tiba-tiba aku merasa Ipong berubah!! Apakah perasaanya kepadaku pun ikutan berubah?? Aku tanpa Ipong bagaikan butiran tai embe anu jiga sukro tea geuning!!” Idham mendeklamasikan kegundahannya di hadapan Dudu-Fickar yang segera saja ikut terhanyut ke dalamnya. Tanpa dikomando siapapa pun mereka bertiga pun saling berpelukan, dihadapan sebuah papan nama yang masih menjadi misteri buat mereka bertiga, sama misteriusnya dengan admin @InfoPerum yang sekarang sedang duduk dibalik layar komputernya sambil tertawa xixixixixixixi. Di kepalanya keluar tanduk iblis.Tentu saja adminnya bukan saya karena saya sedang mengetik kisah ini yang ternyata baru saya sadari belum menceritakan tentang Jemmy sedikitpun, padahal judulnya Jemmy Oh Jemmy Part 5. Saya rasa saya dikutuk oleh Armada karena sering ngomongin mereka, jadinya mau dibawa kemana kisah ini? 

To Be Continued dulu biar keren . . .

Selasa, 24 Juli 2012

Review Buku : Aku Mendakwa HAMKA Plagiat


Aku Mendakwa HAMKA Plagiat
(Skandal Sastra Indonesia 1962-1964)
Muhidin M Dahlan

Pramoedya A. Toer bisa dianggap sebagai pemicu skandal sastra Indonesia yang terjadi pada periode antara tahun 1962-1964 ini. Tidak tanggung-tanggung sasaran tembaknya adalah seorang ulama Islam cum sastrawan besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih terkenal dengan nama HAMKA. Novel karya HAMKA yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (saat itu menjadi novel yang laku ribuan eksemplar) dianggap sebagai novel hasil jiplakan dari karya seorang penulis Mesir, Madjludin Al-Manfaluthi yang berjudul Magdalena hasil terjemahan dari roman karya seorang penulis asal Prancis yaitu Alphonse Karr yang berjudul Sous Les Tilleuls.

Semuanya berawal ketika Harian Bintang Timur lewat lembar “Lentera” yang dipimpin oleh Pramoedya A Toer memuat sebuah surat pembaca dari Abdullah SP, sebuah esai yang berjudul “Sekali lagi membaca buah tangan HAMKA : Benarkah dia Manfaluthi Indonesia?” yang menceritakan kekagumannya atas roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sebelum kemudian menjadi muak setelah mengetahui kesamaannya dengan film yang diadaptasi dari novel Manfaluthi, Dummu El Hubub (Air Mata Cinta). Tidak berhenti sampai disini, sepekan kemudian Pramoedya A Toer juga kembali memuat essai dari Abdullah Sp, kali ini dengan judul yang semakin pedas, “Aktor Tunggal Dalam Bohong Dunia”. Dalam tulisannya kali ini, Abdullah Sp mulai membandingkan secara alakadarnya paragraf-paragraf yang terkandung dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dengan novel Magdalena. Lalu puncaknya adalah ketika Pramoedya A Toer memuat kembali essai dari Abdullah Sp dengan judul yang tanpa tedeng eling-eling langsung menusuk “Aku Mendakwa HAMKA Plagiat”. Disinilah Abdullah Sp menguraikan dan menjelaskan bagaimana novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk itu menjiplak novel Magdalena.

Tentu saja hal ini langsung memancing perdebatan sengit antara para pembela HAMKA dengan mereka yang merasa muak akibat isu plagiarisme yang dilakukan HAMKA. Harian Bintang Timur sendiri pun sampai membuatkan satu kolom khusus yang diberi nama “Varia HAMKA” untuk menampung setiap pendapat dari para pembaca, baik itu yang membela maupun yang kecewa. Tidak kurang bahkan sampai sastrawan H.B Jassin dan Goenawan Mohammad pun memberikan tanggapan mereka atas polemik yang terjadi ini. Pram sendiri bersama Lentera sudah menyiapkan sebuah naskah yang berjudul “HAMKA Plagiator” untuk menanggapi polemik ini, hanya sayangnya kemudian buku itu tidak pernah terbit, malah sebuah buku yang berjudul Van Der Wijk Dalam Polemik yang kemudan terbit, sebuah buku yang disusun oleh Junus  Amir Hamzah dan H.B Jassin. Dan bisa dipastikan isinya hanyalah sebuah pembelaan secara halus kepada HAMKA. Pram merasa diserobot di lintasan terakhir, bahkan Harian Bintang Timur pun harus menutup setiap tulisan yang berhubungan dengan polemik plagiat HAMKA ini setelah menerima surat dari Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta yang menganggap polemik ini mengganggu stabilitas keamanan nasional. Akhirnya kita tahu HAMKA dan Van der Wijk nya tidak pernah tenggelam, sebaliknya Pramoedya dan lembar kebudayaan Lenteranya yang kemudian malah tenggelam (atau lebih tepatnya ditenggelamkan).

Penulis buku ini (yang juga menyusun buku Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku), Muhidin M Dahlan, memang memaksudkan penerbitan buku ini sebagai upaya pengganti dari naskah HAMKA Plagiator yang tidak pernah terbit itu. Tetapi selain itu, secara khusus penulis terlihat lebih ingin menyoroti issue plagiarisme yang kerap menerpa para pelaku di dalam bidang literasi di Indonesia. Usia kesusastraan Indonesia sendiri terbilang masih muda dan bahkan Pram sendiri menganggap perkembangan satra di Indonesia itu mengalami kemandekan, dan salah satu alasan mengapa hal itu bisa terjadi adalah kasus plagiat ini. Tidak kurang dari penyair sekelas Chairil Anwar, Taufik Ismail sampai Seno Gumira Adjidarma dianggap pernah melakukan tindakan plagiarisme. Bahkan yang paling menyedihkan kasus plagiarisme ini juga diendus sampai memasuki ruangan-ruangan akademis. Tesis doktoral Yahya Muhaimin merupakan hasil jiplakan dari karya Lance Castles, Gibson, Sutter dan Robinson. Dan beberapa contoh karya ilmiah lain yang hukumnya haram jika merupakan hasil terjemahan atau penelitian orang lain.

Memang sangat disayangkan, kasus-kasus seperti ini hanya hangat-hangat tai ayam, sebentar hangat kemudian menguap dan orang pun lupa. Apa mungkin memang sifat bangsa kita sendiri yang pelupa? Atau plagiarisme adalah sebuah hal yang wajar saja dilakukan oleh rakyat di negeri ini, seperti halnya pembajakan? 

Buku ini layak untuk dibaca, setidaknya untuk mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa diantara kata menjiplak dan terinspirasi itu terdapat perbedaan sebuah perbedaan yang nyata. Inspirasi seharusnya bisa melahirkan karya-karya yang baru dan bermutu, sebaliknya menjiplak/plagiat hanya akan membuat karya-karya yang dihasilkan mandek, mungkin suatu saat nanti malah mati.