Aku Mendakwa HAMKA Plagiat
(Skandal Sastra Indonesia 1962-1964)
Muhidin M Dahlan
Pramoedya A. Toer bisa dianggap sebagai pemicu skandal
sastra Indonesia yang terjadi pada periode antara tahun 1962-1964 ini. Tidak
tanggung-tanggung sasaran tembaknya adalah seorang ulama Islam cum sastrawan besar Indonesia, Haji
Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih terkenal dengan nama HAMKA. Novel karya
HAMKA yang berjudul Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijk (saat itu menjadi novel yang laku ribuan eksemplar) dianggap sebagai
novel hasil jiplakan dari karya seorang penulis Mesir, Madjludin Al-Manfaluthi
yang berjudul Magdalena hasil
terjemahan dari roman karya seorang penulis asal Prancis yaitu Alphonse Karr
yang berjudul Sous Les Tilleuls.
Semuanya berawal ketika Harian Bintang Timur lewat lembar
“Lentera” yang dipimpin oleh Pramoedya A Toer memuat sebuah surat pembaca dari
Abdullah SP, sebuah esai yang berjudul “Sekali lagi membaca buah tangan HAMKA :
Benarkah dia Manfaluthi Indonesia?” yang menceritakan kekagumannya atas roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sebelum
kemudian menjadi muak setelah mengetahui kesamaannya dengan film yang
diadaptasi dari novel Manfaluthi, Dummu El Hubub (Air Mata Cinta). Tidak
berhenti sampai disini, sepekan kemudian Pramoedya A Toer juga kembali memuat
essai dari Abdullah Sp, kali ini dengan judul yang semakin pedas, “Aktor Tunggal
Dalam Bohong Dunia”. Dalam tulisannya kali ini, Abdullah Sp mulai membandingkan
secara alakadarnya paragraf-paragraf yang terkandung dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dengan
novel Magdalena. Lalu puncaknya adalah ketika Pramoedya A Toer memuat kembali
essai dari Abdullah Sp dengan judul yang tanpa tedeng eling-eling langsung
menusuk “Aku Mendakwa HAMKA Plagiat”. Disinilah Abdullah Sp menguraikan dan
menjelaskan bagaimana novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk itu menjiplak novel Magdalena.
Tentu saja hal ini langsung memancing perdebatan sengit
antara para pembela HAMKA dengan mereka yang merasa muak akibat isu plagiarisme
yang dilakukan HAMKA. Harian Bintang Timur sendiri pun sampai membuatkan satu
kolom khusus yang diberi nama “Varia HAMKA” untuk menampung setiap pendapat
dari para pembaca, baik itu yang membela maupun yang kecewa. Tidak kurang
bahkan sampai sastrawan H.B Jassin dan Goenawan Mohammad pun memberikan
tanggapan mereka atas polemik yang terjadi ini. Pram sendiri bersama Lentera
sudah menyiapkan sebuah naskah yang berjudul “HAMKA Plagiator” untuk menanggapi
polemik ini, hanya sayangnya kemudian buku itu tidak pernah terbit, malah
sebuah buku yang berjudul Van Der Wijk
Dalam Polemik yang kemudan terbit, sebuah buku yang disusun oleh Junus Amir Hamzah dan H.B Jassin. Dan bisa
dipastikan isinya hanyalah sebuah pembelaan secara halus kepada HAMKA. Pram
merasa diserobot di lintasan terakhir, bahkan Harian Bintang Timur pun harus
menutup setiap tulisan yang berhubungan dengan polemik plagiat HAMKA ini
setelah menerima surat dari Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta yang
menganggap polemik ini mengganggu stabilitas keamanan nasional. Akhirnya kita
tahu HAMKA dan Van der Wijk nya tidak pernah tenggelam, sebaliknya Pramoedya
dan lembar kebudayaan Lenteranya yang kemudian malah tenggelam (atau lebih
tepatnya ditenggelamkan).
Penulis buku ini (yang juga menyusun buku Trilogi Lekra
Tidak Membakar Buku), Muhidin M Dahlan, memang memaksudkan penerbitan buku ini
sebagai upaya pengganti dari naskah HAMKA Plagiator yang tidak pernah terbit
itu. Tetapi selain itu, secara khusus penulis terlihat lebih ingin menyoroti
issue plagiarisme yang kerap menerpa para pelaku di dalam bidang literasi di
Indonesia. Usia kesusastraan Indonesia sendiri terbilang masih muda dan bahkan
Pram sendiri menganggap perkembangan satra di Indonesia itu mengalami
kemandekan, dan salah satu alasan mengapa hal itu bisa terjadi adalah kasus
plagiat ini. Tidak kurang dari penyair sekelas Chairil Anwar, Taufik Ismail
sampai Seno Gumira Adjidarma dianggap pernah melakukan tindakan plagiarisme.
Bahkan yang paling menyedihkan kasus plagiarisme ini juga diendus sampai
memasuki ruangan-ruangan akademis. Tesis doktoral Yahya Muhaimin merupakan
hasil jiplakan dari karya Lance Castles, Gibson, Sutter dan Robinson. Dan
beberapa contoh karya ilmiah lain yang hukumnya haram jika merupakan hasil
terjemahan atau penelitian orang lain.
Memang sangat disayangkan, kasus-kasus seperti ini hanya
hangat-hangat tai ayam, sebentar hangat kemudian menguap dan orang pun lupa.
Apa mungkin memang sifat bangsa kita sendiri yang pelupa? Atau plagiarisme
adalah sebuah hal yang wajar saja dilakukan oleh rakyat di negeri ini, seperti
halnya pembajakan?
Buku ini layak untuk dibaca, setidaknya untuk mengingatkan
dan menyadarkan kita bahwa diantara kata menjiplak dan terinspirasi itu
terdapat perbedaan sebuah perbedaan yang nyata. Inspirasi seharusnya bisa
melahirkan karya-karya yang baru dan bermutu, sebaliknya menjiplak/plagiat
hanya akan membuat karya-karya yang dihasilkan mandek, mungkin suatu saat nanti
malah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar