Selasa, 24 Juli 2012

Review Buku : Aku Mendakwa HAMKA Plagiat


Aku Mendakwa HAMKA Plagiat
(Skandal Sastra Indonesia 1962-1964)
Muhidin M Dahlan

Pramoedya A. Toer bisa dianggap sebagai pemicu skandal sastra Indonesia yang terjadi pada periode antara tahun 1962-1964 ini. Tidak tanggung-tanggung sasaran tembaknya adalah seorang ulama Islam cum sastrawan besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih terkenal dengan nama HAMKA. Novel karya HAMKA yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (saat itu menjadi novel yang laku ribuan eksemplar) dianggap sebagai novel hasil jiplakan dari karya seorang penulis Mesir, Madjludin Al-Manfaluthi yang berjudul Magdalena hasil terjemahan dari roman karya seorang penulis asal Prancis yaitu Alphonse Karr yang berjudul Sous Les Tilleuls.

Semuanya berawal ketika Harian Bintang Timur lewat lembar “Lentera” yang dipimpin oleh Pramoedya A Toer memuat sebuah surat pembaca dari Abdullah SP, sebuah esai yang berjudul “Sekali lagi membaca buah tangan HAMKA : Benarkah dia Manfaluthi Indonesia?” yang menceritakan kekagumannya atas roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sebelum kemudian menjadi muak setelah mengetahui kesamaannya dengan film yang diadaptasi dari novel Manfaluthi, Dummu El Hubub (Air Mata Cinta). Tidak berhenti sampai disini, sepekan kemudian Pramoedya A Toer juga kembali memuat essai dari Abdullah Sp, kali ini dengan judul yang semakin pedas, “Aktor Tunggal Dalam Bohong Dunia”. Dalam tulisannya kali ini, Abdullah Sp mulai membandingkan secara alakadarnya paragraf-paragraf yang terkandung dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dengan novel Magdalena. Lalu puncaknya adalah ketika Pramoedya A Toer memuat kembali essai dari Abdullah Sp dengan judul yang tanpa tedeng eling-eling langsung menusuk “Aku Mendakwa HAMKA Plagiat”. Disinilah Abdullah Sp menguraikan dan menjelaskan bagaimana novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk itu menjiplak novel Magdalena.

Tentu saja hal ini langsung memancing perdebatan sengit antara para pembela HAMKA dengan mereka yang merasa muak akibat isu plagiarisme yang dilakukan HAMKA. Harian Bintang Timur sendiri pun sampai membuatkan satu kolom khusus yang diberi nama “Varia HAMKA” untuk menampung setiap pendapat dari para pembaca, baik itu yang membela maupun yang kecewa. Tidak kurang bahkan sampai sastrawan H.B Jassin dan Goenawan Mohammad pun memberikan tanggapan mereka atas polemik yang terjadi ini. Pram sendiri bersama Lentera sudah menyiapkan sebuah naskah yang berjudul “HAMKA Plagiator” untuk menanggapi polemik ini, hanya sayangnya kemudian buku itu tidak pernah terbit, malah sebuah buku yang berjudul Van Der Wijk Dalam Polemik yang kemudan terbit, sebuah buku yang disusun oleh Junus  Amir Hamzah dan H.B Jassin. Dan bisa dipastikan isinya hanyalah sebuah pembelaan secara halus kepada HAMKA. Pram merasa diserobot di lintasan terakhir, bahkan Harian Bintang Timur pun harus menutup setiap tulisan yang berhubungan dengan polemik plagiat HAMKA ini setelah menerima surat dari Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta yang menganggap polemik ini mengganggu stabilitas keamanan nasional. Akhirnya kita tahu HAMKA dan Van der Wijk nya tidak pernah tenggelam, sebaliknya Pramoedya dan lembar kebudayaan Lenteranya yang kemudian malah tenggelam (atau lebih tepatnya ditenggelamkan).

Penulis buku ini (yang juga menyusun buku Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku), Muhidin M Dahlan, memang memaksudkan penerbitan buku ini sebagai upaya pengganti dari naskah HAMKA Plagiator yang tidak pernah terbit itu. Tetapi selain itu, secara khusus penulis terlihat lebih ingin menyoroti issue plagiarisme yang kerap menerpa para pelaku di dalam bidang literasi di Indonesia. Usia kesusastraan Indonesia sendiri terbilang masih muda dan bahkan Pram sendiri menganggap perkembangan satra di Indonesia itu mengalami kemandekan, dan salah satu alasan mengapa hal itu bisa terjadi adalah kasus plagiat ini. Tidak kurang dari penyair sekelas Chairil Anwar, Taufik Ismail sampai Seno Gumira Adjidarma dianggap pernah melakukan tindakan plagiarisme. Bahkan yang paling menyedihkan kasus plagiarisme ini juga diendus sampai memasuki ruangan-ruangan akademis. Tesis doktoral Yahya Muhaimin merupakan hasil jiplakan dari karya Lance Castles, Gibson, Sutter dan Robinson. Dan beberapa contoh karya ilmiah lain yang hukumnya haram jika merupakan hasil terjemahan atau penelitian orang lain.

Memang sangat disayangkan, kasus-kasus seperti ini hanya hangat-hangat tai ayam, sebentar hangat kemudian menguap dan orang pun lupa. Apa mungkin memang sifat bangsa kita sendiri yang pelupa? Atau plagiarisme adalah sebuah hal yang wajar saja dilakukan oleh rakyat di negeri ini, seperti halnya pembajakan? 

Buku ini layak untuk dibaca, setidaknya untuk mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa diantara kata menjiplak dan terinspirasi itu terdapat perbedaan sebuah perbedaan yang nyata. Inspirasi seharusnya bisa melahirkan karya-karya yang baru dan bermutu, sebaliknya menjiplak/plagiat hanya akan membuat karya-karya yang dihasilkan mandek, mungkin suatu saat nanti malah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar