Rabu, 01 Mei 2013

Tentang Album Rekaman Yang Pertama Kali Saya Beli (tadinya sih diniatkan untuk ditulis pada saat Record Store Day tapi baru sempat sekarang pas May Day. Sialun)


Awalnya gara-gara ikutan hype Record Store Day terus baca blognya Om Budi Warsito tentang album rekaman apa yang pertama kali dibeli, jadilah saya tertarik juga untuk ikut-ikutan menulis cerita dibalik album rekaman apa yang pertama kali saya beli.
Sebagai pembukaan harus saya akui dulu kalau saya tidak terlahir dari keluarga pemusik ataupun pecinta musik.  Ibu saya, meskipun senang bernyanyi bukanlah seorang biduan yang referensi musiknya paling mentok hanya mencapai lagu-lagu pop Sunda dan dangdut, terutama dangdutnya Bang Haji Rhoma Irama (Ibu pernah bercerita bahwa dulu beliau mempunyai koleksi kaset Soneta dari volume 1 sampai dengan 9 yang sayangnya koleksinya itu hilang entah kemana). Dan ayah saya, meskipun saya pernah melihat di raportnya tertera angka 10 untuk pelajaran Ilmu Bumi tetapi untuk pelajaran Seni nilainya hanya sanggup menyentuh 6,5. Itu artinya ayah saya tidak berbakat dalam bidang seni, apapun jenisnya termasuk musik. Jadi kesimpulannya, raison d’etre  saya kepada dunia musik hanya berasal dari faktor pergaulan dan hasil membaca majalah-majalah musik yang berisi kord-kord gitar  di tempat tongkrongan (untuk kasus yang terakhir rasanya saya memang pantas berterima kasih kepada majalah-majalah musik tersebut karena dari sanalah saya pertama kali mengetahui tentang  Nirvana, meskipun lagunya belum pernah saya dengar saat itu).
Sebenarnya momen-momen terbaik saya dengan musik hanya ada 2 . Pertama adalah ketika saya menemukan album American Idiot milik Green Day dan yang kedua adalah intro 10 detik pertama dari Smells Like Teen Spirit milik Nirvana yang saya dengar di sebuah pom bensin. Tapi justru album rekaman yang pertama kali saya beli (dalam bentuk kaset) bukan berasal dari kedua band yang saya sebutkan barusan, melainkan dari sebuah band yang berasal dari Yogyakarta yang statusnya kini menurut saya sudah sah jika dianggap sebagai legenda hidup. Betul sekali, band tersebut adalah Sheila On 7.
Jika mungkin kebanyakan orang sudah mengenal Sheila On 7 sejak debut album pertama mereka, maka saya adalah orang yang pertama kali mengenal Sheila On 7 lewat album keduanya yang fenomenal itu, Kisah Klasik Untuk Masa Depan. Dan ya album itulah yang menjadi album rekaman pertama yang saya beli (lebih tepatnya lagi dibeliin si mama).
Ceritanya tidak bisa terlepas dari teman cewek saya sewaktu SD yang bernama Indri. Waktu itu saya masih duduk di kelas 5 SD dan si Indri ini adalah teman sekelas saya. Jadi saya sering bermain dan mengerjakan PR bersama dengannya (tentu dengan teman-teman SD saya yang lain). Indri mungkin sudah mengenal Sheila On 7 sejak album debut mereka dan langsung menggemarinya, sehingga tidak heran jika di dalam buku dan kamarnya dipenuhi dengan poster-poster Sheila On 7 yang tampaknya dia gunting dari berbagai koran dan tabloid. Ditambah juga pada saat itu popularitas Sheila On 7 sudah mulai menanjak, karena seingat saya video klip Sephia sering sekali diputar di stasiun tv dan bahkan sampai ada sinetronnya segala. Saya ingat hal ini karena seringnya melihat video klip tersebut sesaat sebelum saya berangkat ngaji ke mesjid. Bermodal lagu Sephia yang saya hapal ditambah rasa penasaran saya karena Indri begitu menggilai mereka maka saya beranikan diri untuk meminta Ibu membelikan kaset Sheila On 7. Tidak dalam rangka apa-apa tapi pastinya disaat orang tua saya gajian. Karena kemungkinan keinginan saya dipenuhi lebih besar pada saat orang tua saya gajian.
Lucunya, album ini tidak saya beli di toko musik melainkan di sebuah toko elektronik. Toko musik memang sangat jarang di kota kecil tempat saya tinggal. Dan adalah hal yang lazim pada waktu itu jika sebuah toko elektronik juga menjual kaset dan CD musik meskipun tentu kaset dan CD yang ada hanyalah musik-musik popular yang sedang ngetop saat itu, selain rekaman dakwah Zaenudin MZ dan wayang golek.
Akhirnya dengan modal 18.000 rupiah, album bersampul merah-jingga itupun berpindah ke tangan seorang anak kelas 5 SD yang baru saja mengenal cinta monyet pertamanya. Dan begitu album itu selesai saya dengarkan, saya langsung jatuh cinta kepadanya. (ini adalah cinta pertama saya kepada sebuah band Indonesia sebelum Dewa 19 dan Peterpan). Semua lagu yang ada di album tersebut melekat dalam ingatan dan  membawa saya tenggelam didalamnya. Dari mulai lagu Sahabat Sejati yang penuh semangat, intro gitar Bila Kau Tak Disampingku yang sangat gurih dan renyah hingga Tunjuk Satu Bintang yang begitu syahdu. Entah sudah berapa kali kaset itu saya putar. Dan jika saat ini dengan secara tidak sengaja maupun sengaja saya mendengar salah satu lagu yang ada pada album tersebut, maka secara otomatis ingatan saya akan melemparkan saya kembali ke masa kelas 5 SD. Bahkan suara gemericik air hujan pada lagu Tunggu Aku Di Jakartamu selalu mengingatkan saya pada hujan di sore hari ketika saya bermain sepeda sambil hujan-hujanan, lengkap dengan aroma belimbing busuk yang jatuh di pekarangan sekolah saya dulu.
Saya lupa riwayat terakhir dari kaset Sheila On 7 tersebut, tapi dari beberapa fragmen ingatan yang berhasil saya susun terakhir kali kaset itu saya pinjamkan kepada seorang kawan yang bernama Zian. Dia adalah kawan baru saya ketika pertama kali masuk SMP.  Setelah itu saya tidak pernah ingat lagi riwayat kaset Sheila On 7 tersebut. Mungkin si Zian tidak pernah mengembalikannya lagi kepada saya. Entahlah, tapi saya yakin si Zian juga pasti jatuh cinta sama album tersebut. Dan akhirnya si Zian mengakhiri  kisah klasik saya tentang album rekaman yang pertama kali saya beli.

***

Record Store Day hanyalah sebuah perayaan, seperti halnya Lebaran. Membeli rilisan fisik toh bisa dilakukan setiap hari, sebagaimana bermaaf-maafan tidak hanya dilakukan ketika hari Lebaran saja. Meskipun saya bukanlah penggila musik fanatik, apalagi menjadi seorang pemadat vinyl yang kini semakin hip (untuk seorang ayah by accident seperti saya, pilihan untuk menjadi seorang pemadat vinyl memang harus dipikir ulang ribuan kali) tapi saya pastikan saya adalah seorang yang entah kenapa selalu dan lebih tertarik untuk membeli rilisan fisik dari sebuah karya, baik itu dalam bentuk kaset ataupun CD. Dan saya percaya kalau orang-orang sejenis saya ini akan selalu ada dimana pun dan kapan pun. Jadi boleh saja dibilang kalau era digital ini semakin menggerus kejayaan rilisan dalam bentuk fisik (kaset/CD/vinyl) tapi saya selalu yakin rilisan dalam bentuk fisik ini tidak akan pernah menemukan hari kiamatnya. Selalu saja ada momen-momen yang membahagiakan ketika kita membuka segel plastik yang membungkusnya, memutar cakram CD atau menekan tombol play pada tape recorder, menikmati artwork pada sleeve album , membaca liner notes dan credit titlenya sambil menikmati musik yang ada didalamnya. Bagi saya momen-momen seperti ini tidak akan pernah bisa tergantikan. Sungguh mistis, bahkan bisa saya bilang sampai pada taraf relijius.

Happy Record Store Day. (iyee iyeee tau udah telaaat tapi ya gak apa-apa juga kaliii??)