Awalnya gara-gara ikutan hype
Record Store Day terus baca blognya Om Budi Warsito tentang album rekaman apa
yang pertama kali dibeli, jadilah saya tertarik juga untuk ikut-ikutan menulis
cerita dibalik album rekaman apa yang pertama kali saya beli.
Sebagai pembukaan harus saya akui dulu kalau saya tidak
terlahir dari keluarga pemusik ataupun pecinta musik. Ibu saya, meskipun senang bernyanyi bukanlah
seorang biduan yang referensi musiknya paling mentok hanya mencapai lagu-lagu
pop Sunda dan dangdut, terutama dangdutnya Bang Haji Rhoma Irama (Ibu pernah
bercerita bahwa dulu beliau mempunyai koleksi kaset Soneta dari volume 1 sampai
dengan 9 yang sayangnya koleksinya itu hilang entah kemana). Dan ayah saya, meskipun
saya pernah melihat di raportnya tertera angka 10 untuk pelajaran Ilmu Bumi
tetapi untuk pelajaran Seni nilainya hanya sanggup menyentuh 6,5. Itu artinya
ayah saya tidak berbakat dalam bidang seni, apapun jenisnya termasuk musik.
Jadi kesimpulannya, raison d’etre saya kepada dunia musik hanya berasal dari faktor
pergaulan dan hasil membaca majalah-majalah musik yang berisi kord-kord
gitar di tempat tongkrongan (untuk kasus
yang terakhir rasanya saya memang pantas berterima kasih kepada majalah-majalah
musik tersebut karena dari sanalah saya pertama kali mengetahui tentang Nirvana, meskipun lagunya belum pernah saya
dengar saat itu).
Sebenarnya momen-momen terbaik saya dengan musik hanya ada 2
. Pertama adalah ketika saya menemukan album American Idiot milik Green Day dan yang kedua adalah intro 10 detik
pertama dari Smells Like Teen Spirit milik
Nirvana yang saya dengar di sebuah pom bensin. Tapi justru album rekaman yang
pertama kali saya beli (dalam bentuk kaset) bukan berasal dari kedua band yang
saya sebutkan barusan, melainkan dari sebuah band yang berasal dari Yogyakarta
yang statusnya kini menurut saya sudah sah jika dianggap sebagai legenda hidup.
Betul sekali, band tersebut adalah Sheila On 7.
Jika mungkin kebanyakan orang sudah mengenal Sheila On 7
sejak debut album pertama mereka, maka saya adalah orang yang pertama kali
mengenal Sheila On 7 lewat album keduanya yang fenomenal itu, Kisah Klasik
Untuk Masa Depan. Dan ya album itulah yang menjadi album rekaman pertama yang
saya beli (lebih tepatnya lagi dibeliin si mama).
Ceritanya tidak bisa terlepas dari teman cewek saya sewaktu
SD yang bernama Indri. Waktu itu saya masih duduk di kelas 5 SD dan si Indri
ini adalah teman sekelas saya. Jadi saya sering bermain dan mengerjakan PR
bersama dengannya (tentu dengan teman-teman SD saya yang lain). Indri mungkin
sudah mengenal Sheila On 7 sejak album debut mereka dan langsung menggemarinya,
sehingga tidak heran jika di dalam buku dan kamarnya dipenuhi dengan
poster-poster Sheila On 7 yang tampaknya dia gunting dari berbagai koran dan
tabloid. Ditambah juga pada saat itu popularitas Sheila On 7 sudah mulai
menanjak, karena seingat saya video klip Sephia sering sekali diputar di
stasiun tv dan bahkan sampai ada sinetronnya segala. Saya ingat hal ini karena
seringnya melihat video klip tersebut sesaat sebelum saya berangkat ngaji ke
mesjid. Bermodal lagu Sephia yang saya hapal ditambah rasa penasaran saya karena
Indri begitu menggilai mereka maka saya beranikan diri untuk meminta Ibu
membelikan kaset Sheila On 7. Tidak dalam rangka apa-apa tapi pastinya disaat
orang tua saya gajian. Karena kemungkinan keinginan saya dipenuhi lebih besar
pada saat orang tua saya gajian.
Lucunya, album ini tidak saya beli di toko musik melainkan
di sebuah toko elektronik. Toko musik memang sangat jarang di kota kecil tempat
saya tinggal. Dan adalah hal yang lazim pada waktu itu jika sebuah toko elektronik
juga menjual kaset dan CD musik meskipun tentu kaset dan CD yang ada hanyalah musik-musik
popular yang sedang ngetop saat itu, selain rekaman dakwah Zaenudin MZ dan wayang
golek.
Akhirnya dengan modal 18.000 rupiah, album bersampul
merah-jingga itupun berpindah ke tangan seorang anak kelas 5 SD yang baru saja
mengenal cinta monyet pertamanya. Dan begitu album itu selesai saya dengarkan,
saya langsung jatuh cinta kepadanya. (ini adalah cinta pertama saya kepada
sebuah band Indonesia sebelum Dewa 19 dan Peterpan). Semua lagu yang ada di
album tersebut melekat dalam ingatan dan membawa saya tenggelam didalamnya. Dari mulai
lagu Sahabat Sejati yang penuh
semangat, intro gitar Bila Kau Tak
Disampingku yang sangat gurih dan renyah hingga Tunjuk Satu Bintang yang begitu syahdu. Entah sudah berapa kali
kaset itu saya putar. Dan jika saat ini dengan secara tidak sengaja maupun
sengaja saya mendengar salah satu lagu yang ada pada album tersebut, maka secara
otomatis ingatan saya akan melemparkan saya kembali ke masa kelas 5 SD. Bahkan suara
gemericik air hujan pada lagu Tunggu Aku
Di Jakartamu selalu mengingatkan saya pada hujan di sore hari ketika saya
bermain sepeda sambil hujan-hujanan, lengkap dengan aroma belimbing busuk yang
jatuh di pekarangan sekolah saya dulu.
Saya lupa riwayat terakhir dari kaset Sheila On 7 tersebut,
tapi dari beberapa fragmen ingatan yang berhasil saya susun terakhir kali kaset
itu saya pinjamkan kepada seorang kawan yang bernama Zian. Dia adalah kawan
baru saya ketika pertama kali masuk SMP. Setelah itu saya tidak pernah ingat lagi
riwayat kaset Sheila On 7 tersebut. Mungkin si Zian tidak pernah
mengembalikannya lagi kepada saya. Entahlah, tapi saya yakin si Zian juga pasti
jatuh cinta sama album tersebut. Dan akhirnya si Zian mengakhiri kisah klasik saya tentang album rekaman yang
pertama kali saya beli.
***
Record Store Day hanyalah sebuah perayaan, seperti halnya
Lebaran. Membeli rilisan fisik toh bisa dilakukan setiap hari, sebagaimana
bermaaf-maafan tidak hanya dilakukan ketika hari Lebaran saja. Meskipun saya
bukanlah penggila musik fanatik, apalagi menjadi seorang pemadat vinyl yang
kini semakin hip (untuk seorang ayah by
accident seperti saya, pilihan untuk menjadi seorang pemadat vinyl memang
harus dipikir ulang ribuan kali) tapi saya pastikan saya adalah seorang yang
entah kenapa selalu dan lebih tertarik untuk membeli rilisan fisik dari sebuah
karya, baik itu dalam bentuk kaset ataupun CD. Dan saya percaya kalau orang-orang
sejenis saya ini akan selalu ada dimana pun dan kapan pun. Jadi boleh saja
dibilang kalau era digital ini semakin menggerus kejayaan rilisan dalam bentuk
fisik (kaset/CD/vinyl) tapi saya selalu yakin rilisan dalam bentuk fisik ini
tidak akan pernah menemukan hari kiamatnya. Selalu saja ada momen-momen yang
membahagiakan ketika kita membuka segel plastik yang membungkusnya, memutar
cakram CD atau menekan tombol play pada tape recorder, menikmati artwork pada sleeve album , membaca liner notes dan
credit titlenya sambil menikmati musik yang ada didalamnya. Bagi saya
momen-momen seperti ini tidak akan pernah bisa tergantikan. Sungguh mistis,
bahkan bisa saya bilang sampai pada taraf relijius.
Happy Record Store Day. (iyee iyeee tau udah telaaat tapi ya gak apa-apa juga kaliii??)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar