Kata Bob Dylan –yang saya kutip dari salah satu essai Taufiq
Rahman- sebelum menyanyikan Blowin’ In The Wind untuk pertama kalinya, “this here ain’t a protest song”. Mungkin
memang benar apa yang dikatakan Dylan, sebenarmya tidak ada lagu protes sosial
atau yang kita sebut juga dengan protest
song. Mungkin lebih tepat untuk menyebut protest song seperti pernyataan Barry McGuire (yang masih saya kutip dari essainya Taufiq
Rahman*)
sebagai berikut, “it’s not exatcly a
protest song. It’s merely song about current event”. Green Day adalah salah
satu contoh yang paling tepat dari pernyataan tersebut.
Kesuksesan American Idiot memang tidak hanya terletak dari
musiknya yang terdengar lebih ambisius dan megah untuk band seukuran Greeen Day
(jika dibandingkan dengan album-album Green Day sebelumnya), tetapi lebih
karena American Idiot berhsil menangkap moment yang tepat kondisi politik
Amerika saat itu. Terutama setelah Bush memutuskan untuk menginvasi Afganishtan
dan Irak sebagai dalih untuk menegakkan keamanan dunia dari teroris pasca
peristiwa 11 September. Dengan lirik yang lebih politis, American Idiot seakan
menjadi corong bagi suara rakyat Amerika yang tersisihkan, yang begitu
suksesnya sehingga American Idiot pun diangkat ke panggung Broadway.
5 tahun berlalu setelah kesuksesan American Idiot, era
pemerintahan Bush digantikan dengan pemerintahan Obama yang katanya memberikan
harapan yang lebih baik. Tapi Green Day masih gusar, moment transisi itu kemudian mereka abadikan lewat
album 21st Century Breakdown, sebuah album yang lebih terkonsep
dibandingkan dengan American Idiot, menceritakan sepasang kekasih dalam sosok
Christian dan Gloria dalam menghadapi abad yang sedang menuju kehancuran.
Selain berisi balada-balada megah penuh keputus asaan (21 Guns, Heart Restless Syndrome) album ini juga masih menyimpan
daya ledak kritikannya buat pemerintahan Obama lewat lagu-lagu seperti 21st Century Breakdown, Before
The Lobotomy maupun Horseshoes And
Handgrenades. Juga kritikan untuk para kaum religius konservatif melalui East Jesus Nowhere dan Christian’s Inferno.
Kini kita sudah sampai di penghujung tahun 2012 dan memasuki
tahun 2013. Obama kembali terpilih sebagai presiden Amerika untuk kedua
kalinya. Tapi apakah Green Day masih gusar terhadap pemerintahan kedua dibawah
Barrack Obama? Sayang sekali, jawabannya adalah tidak. Mereka hanya ingin
bersenang-senang. Merilis 38 lagu yang terbagi menjadi 3 album dan dirilis
dalam waktu kurang dari 6 bulan , inilah Green Day dalam Uno, Dos dan Tre. Dan
bagi mereka yang kagum pada pencapaian Green Day di album American Idiot
bersiap-siaplah untuk kecewa.
Uno, Dos dan Tre adalah proyek hura-hura Billie Joe
Armstrong dkk. Mereka hanya ingin bersenang-senang, entah karena pemerintahan kedua Obama ini
sudah tidak perlu diprotes lagi atau karena issue-issue semacam Occupy Wall
Street dan perdagangan senjata api bukanlah issue yang menarik disajikan lewat
lagu, yang jelas kita tidak akan lagi disuguhi nyanyian ketus Billi Joe
semisal, I’m not a part of the redneck
agenda. Mereka lebih memilih untuk berhura-hura sambl sesekali bernostalgia
ke masa ketika mereka berumur 22.
Trilogi pertama, Uno, secara musikal memang memakai
pendekatan sound di era Dookie hingga Warning, dengan suara gitar yang riang
dan dentuman bass yang khas dari Mike Dirnt. Seperti pada lagu pembuka, Nuclear Family. Nada-nada riang juga
bisa didengar pada lagu semisal Carpe
Diem atau Let Yourself Go dengan
sedikit lebih ngebut. Singel pertama Oh
Love juga terdengar manis dengan suara gitar patah-patahnya, tetapi sayang
liriknya (dan di kebanyakan lagu) terasa sangat cheesy untuk band sekelas Green Day.
Memasuki trilogi kedua, Dos, kali ini tensi sedikit
meningkat. Dos adalah garage rock versi Green Day. Secara eksplisit juga Dos
mengesankan kesan nakal yang ingin Green Day tunjukkan lewat trilogi ini. Hal
itu bisa didengar lewat lagu Fuck Time,
Make Out Party dan Lady Cobra. Jika pada album Uno lagu
tentang pesta diwakili oleh Kill The DJ,
maka pada Dos lagu itu ada pada Nighlife,
pendekatannya sama, beat disco ecek-ecek versi Green Day.
Jika dibandingkan dengan 2 album sebelumnya, trilogi ketiga,
Tre, saya anggap masih lebih baik. Tre mewarisi balada-balada megah warisan
dari album 21st Century Breakdown, lewat lagu pembuka Brutal Love. Hobi Gren Day yang suka
menggabung-gabungkan lagu ala Jesus Of
Suburbia juga bisa didengar dalam Tre. Contohnya pada Dirty Rotten Bastard yang riang. Sisa lagu lainnya sama saja.
Lagu-lagu cinta dan nostalgia yang bertebaran dari Uno hingga Tre.
Secara keseluruhan sebenarnya trilogi ini tidak berisi lagu-lagu yang
buruk, apalagi jika anda memang penggemar Green Day pra-American Idiot. Saya
pastikan anda akan menyukai Stray Heart
dari album Dos, atau Amy (masih dari
album Dos) lagu penghormatan untuk almarhum Amy Winehouse yang memakai
pendekataan seperti lagu Good Riddance
(Time Of Your Life). Tapi selebihnya, bagi telinga saya pribadi tidak
berkesan istimewa. Bukan hanya karena saya merasa kehilangan lirik-lirik
politis dari Billie Joe Armstrong, tapi karena mendengar dia bernyanyi seperti
pada Fell For You maupun membayangkan
ketiga pria yang sudah masuk kepala 4 seolah-olah masih remaja berumur 22
adalah hal yang sangat menggelikan. Memang ada juga momen-momen menghanyutkan
saat Billie Joe bernyanyi pada lagu The
Forgotten, lagu penutup trilogi ini, sebuah himne untuk orang-orang yang
terlupakan dimana Billie Joe bernyanyi “sometimes
you’re better lost than to be seen” dengan diiringi dengan dentingan piano.
Sesaat momen itu memang terdengar sangat mengaharukan (terutama bagi anda yang
merasa sebagai orang-orang yang “terlupakan”) sebelum kemudian momen penuh haru
itu berganti dengan kecewa, karena saya tahu lagu itu pula yang menjadi salah
satu soundtrack film vampir-Tje-Fuk-sejuta-umat-paling-overrated-sepanjang-tahun-2012.
Ya, Breaking Dawn.
Ahhhh ternyata memang benar apa yang dibilang Bob Dylan.
*essai Taufiq Rahman yang berjudul Protest Song bisa dibaca
di buku kumpulan essai milik Taufiq Rahman yang berjudul Lokasi Tidak Ditemukan