Hidup tidak hadir
dengan sebuah buku panduan. Ia hadir melalui seorang ibu.
Beuh keren sekali
kan kutipan diatas? Tentu saja keren karena itu bukan kutipan dari saya. Saya
menemukannya dari linimasa seseorang di twitter. Maklum hari ini kan Hari Ibu
jadi di media sosial orang rame-rame mem-posting
segala hal tentang ibu.
Tapi mari kita baca secara seksama kutipan diatas. Tidak seperti
handphone atau barang elektronik
lainnya yang begitu kita beli lalu buka kita akan mendapatkan booklet berisi
panduan dan segala tetek-bengeknya (meskipun saya yakin buku panduan itu tidak
pernah dibaca), hidup manusia tidak seperti itu. Kita brojol ke dunia tanpa
tahu apa-apa. Kecuali nangis karena lapar dan minta nenen. Itupun tidak
serta-merta langsung ngomong ke ibu kita “Mah nenen dong Mah?”. Semua
membutuhkan proses yang tidak sebentar. Dari mulai kita belajar merangkak,
berdiri, berjalan sampai bisa berbicara. Dan dari semua proses itu, ibu adalah
seseorang yang mempunyai peranan yang sangat besar dan krusial. Maka tidak
heran juga kalau ada idiom yang menyebutkan kalau proses pembelajaran pertama
seorang anak berasal dari ibunya. Coba saja perhatikan para mamah-mamah muda
kalau sedang mengajari anaknya bicara. “Ma ma, pa pa, da da” begitu
berulang-ulang dengan wajah ceria dan penuh kehangatan. Mengenalkan nama-nama
hewan, pohon, bunga dan semua benda yang ada di sekelilingnya.
Maka adalah sebuah usaha yang sia-sia jika kita ingin
mencoba menghitung jasa-jasa seorang ibu. Menghitungnya saja sudah susah
bagaimana cara kita membalasnya? Wah ini
menurut saya lebih susah lagi. Tapi kalau saya pribadi sih percaya cara sederhana untuk membalas jasa seorang ibu adalah
dengan tidak membuatnya kecewa. Yah meskipun
saya bukanlah anak yang baik-baik amat, suka coli, suka minum bir, suka ngecein
Jonru dan Felix Siauw, dan di pilpres kemarin dengan rendah hati menolak ajakan ibu saya untuk nyoblos Prabowo tapi kalau berada di depan
ibu saya sebisa mungkin bersikap seperti anak yang baik-baik. Semata karena
saya benar-benar tidak ingin membuatnya merasa kecewa karena sudah melahirkan
anak sebadung saya. Semoga itu semua cukup untuk membuatnya bahagia.
Diantara jasa-jasanya yang segunung itu, ada satu hal yang
saya syukuri telah Mamah (ini panggilan untuk ibu saya) wariskan kepada saya,
yaitu kegemarannya membaca dan mendengarkan musik. Kesukaan saya terhadap buku
dan musik itulah yang saya kira berasal dari ibu saya. Saya sendiri sebenarnya
juga tidak tahu kenapa saya bisa tumbuh dengan suka membaca, hanya saja dulu
waktu kecil saya sering kali meliha si Mamah sedang membaca cerpen di Majalah
Femina atau pun di Majalah Kartini. Kadang si Mamah membacanya ketika sedang
menunggu nasi matang atau ketika potong rambut di salon. Saya juga ingat dulu
si Mamah pernah membaca sebuah novel berjudul Kisi-Kisi entah karangan siapa.
Aneh juga, saya masih mengingatnya sampai sekarang meskipun pada waktu itu saya
tidak pernah membacanya. Mungkin saja dari situ hasrat membaca saya mulai tumbuh.
Apalagi ketika saya sudah mulai masuk
sekolah dasar, si Mamah terkadang suka membawa buku bacaan dari perpustakaan
sekolahnya ke rumah. Satu judul buku yang saya ingat adalah kumpulan cerita
Petani Dan Kerbaunya.
Begitu juga halnya dengan musik. Pendidikan musik pertama
saya bisa dibilang berasal dari si Mamah juga. Dari sejak saya TK saya sudah
akrab dengan lagu-lagunya Oma Irama, Elvie Sukaesih, Rita Sugiarto sampai Evi
Tamala. Juga dengan lagu-lagu pop Sunda macam Darso, Yayan Jatinika ataupun
Hetty Koes Endang. Saya dapatkan semuanya dari si Mamah. Karena si Mamah ini
rutin menyetel lagu-lagu tadi setiap sore. Biasanya sih sambil beliau ngepel. Atau
kalau tidak menyetel lagu-lagu dari penyanyi tadi si Mamah akan mendengarkan
siaran radio yang juga memutarkan lagu-lagu dangdut atau pop Sunda.
Mungkin karena itu juga sampai sekarang saya lebih merasa
akrab dengan lagu-lagu dangdutnya Rhoma Irama ataupun Evi Tamala dibandingkan
dengan misalnya Cita Citata atau pedangdut masa kini lainnya. Karena sering
diperdengarkan sejak saya kecil maka lagu-lagu dangdut juga pop Sunda tadi
begitu menempel di alam bawah sadar saya. Meskipun lagu-lagu tadi
sangat-tidak-obscure-dan-gaul sama sekali tapi saya selalu suka setiap kali
mendengarnya.
“Urip mengkenen temen”
begitu kawan saya Yosie Rivanto sering berkata. Terkadang saya sendiri pun sering merasakan
berada di situasi tersebut. Situasi yang urip-mengkenen-temen, situasi
yang kadang selalu membuat saya merasa, “anjiir kok idup gini-gini amat ya?”. Tapi
dengan buku-buku yang pernah saya baca dan musik yang pernah saya dengarkan
saya merasa bahwa hidup juga terkadang menyenangkan. Tidak selalu untuk
menggerutu dan menyesali. Bahwa biasanya dengan membaca buku dan mendengarkan
lagu kesukaan sambil ngopi, hidup saya sudah terasa indah seperti di surga. Untuk
kedua hal itu saya merasa sangat berterima kasih kepada si Mamah.
Terimakasih Tuhan sudah memberi ibu yang tidak pernah
terlihat tua di mata saya. Selamat hari ibu dan i love you.