Kamis, 13 November 2014

Sepotong Senja Untuk Habib Rizieq*



Habib Rizieq tercinta,

Bersama surat ini kukirimkan sepotong senja –dengan angin, suara klakson motor dan mobil, matahari terbenam, orang berlalu-lalang dan cahaya keemasan.  Apakah kamu menerimanya dengan lengkap? Tapi sebelumnya aku minta maaf karena senja ini tidak disertai burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, juga barangkali perahu yang lewat di kejauhan. Karena aku sedang tidak berada di pantai. Apakah di Petamburan, mungkin dalam hati kamu bertanya. Maaf juga, bukan senja di Petamburan yang aku kirimkan padamu melainkan senja di Matraman. Apakah kamu kecewa? Semoga saja tidak. Bagiku semua senja di setiap tempat akan selalu terlihat indah. Entah itu di Petamburan ataupun di Matraman. Cobalah sesekali –jika tidak sedang berdemo-  kamu luangkan waktu untuk menikmati senja dengan menumpang commuter line dari Stasiun Jatinegara ke Stasiun Kota. Lihatlah bagaimana cahaya matahari yang kemerahan itu memantul dari kaca-kaca bangunan bertingkat lalu menelusup ke dalam gerbong yang kamu duduki. Ah, indah sekali bukan?

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Habib Rizieq, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh.  Mungkin awalnya kamu akan mengira ada lembaran rupiah dalam amplop ini atau setidaknya selembar cek dengan angka 1 dan 10 digit angka nol dibelakangnya. Lagi-lagi mungkin kamu akan merasa sedikit kecewa. Tapi tak apa. Dengarlah, sudah terlalu banyak uang di dunia ini yaa Habib, dan uang, ternyata tidak mengubah apa-apa. Oh, mungkin kamu akan mendebatku dengan sengit bahwasannya uang masih sangat berguna untukmu dan hampir semua orang. Uang, setidaknya bisa berguna untuk menggerakkan orang-orang agar berdemo di Senin pagi daripada harus bekerja sepeti biasa. Dan bahkan hampir semua hal di dunia ini selalu membutuhkan uang. Mau menjadi anggota legislatif, butuh uang. Mau menjadi walikota atau gubernur, butuh uang. Bahkan untuk membeli Sari Roti sadwich rasa keju kesukaanku pun butuh uang. Dan terkadang itu menyebalkan. Membuatku muak. Karena itu tak ada uang yang aku sisipkan dalam amplop ini semata-mata karena aku tak ingin memberikan hal yang membuatku muak untukmu. Aku ingin memberimu sesuatu yang indah, seperti senja di Matraman yang aku potong ini.

Kukirimkan sepotong senja untukmu yaa Habib Rizieq, bukan uang dan kata-kata cinta. Kukirimkan sepotong senja yang sedikit berisik dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya di sebuah halte Trans Jakarta di  Matraman ketika matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Habib Rizieq yang manis, Habib Rizieq yang sendu

Akan kuceritakan kepadamu bagaimana aku mendapatkan senja ini untukmu.

Sore itu aku berdiri seorang diri di jembatan penyebrangan halte Trans Jakarta di Matraman, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam ini untuk mataku. Membayangkan diri ini menjelma Jimi Multazham ketika menggubah lagu berjudul “Matraman” dengan band new wave miliknya, The Upstairs. Jika Jimi membayangkan seseorang nun jauh di Kota Kembang sana, maka yang aku bayangkan adalah dirimu yang mungkin sedang berceramah di Petamburan.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu. Dan aku yang sedang mengingatmu spontan berpikir, “barangkali senja ini bagus untukmu”. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat empat sisinya lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkankan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang. Aku mengerti bagaimana capeknya kamu, harus berdemonstrasi, marah-marah, konvoi, demonstrasi lagi, lalu marah-marah terus konvoi lagi. Aku mengerti bagaimana capeknya menjalani semua itu, bahkan  tanpa sekalipun kamu harus bilang “sakitnya tuh disini” kepadaku. Perjalanan yang jauh dan barangkali sepasang kursi malas pada sebuah senja sembari kita bercakap-cakap sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaan kita akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Payung Teduh, Sore, Tulus atau Chrisye? Atau barangkali kamu punya lagu-lagu kesukaan yang lain? Irama gambus atau qosidahan mungkin? Terserah kamulah, asal jangan kamu bilang David Guetta saja.

Ketika aku memutuskan untuk menumpang angkot saja karena bus Trans Jakarta tak kunjung lewat, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong. Ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang! Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Habib Rizieq sayang

Aku sudah berada di dalam angkot ketika diantara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Aku lihat dia yang mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera menyuruh bapak sopir angkot untuk segera jalan.

“Bang, cepet jalan, Bang” kataku sedikit cemas.

“Bentar lagi yes? Belum dapat buat setoran nih” jawab bapak sopir sambil melihat-lihat ke arah spion angkotnya.

Tidak dapat diharapkan aku segera turun dari angkot dan menghampiri tukang ojek. Tanpa banyak cing-cong tukang ojek itu langsung tancap gas dan melejit di jalan raya. Aku sudah berniat memberikan senja ini untukmu dan hanya untukmu yaa Habib Rizieq. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar dalam saku. Aku merasa cemas karena cahaya terang ini bisa terlihat dari luar. Dan ternyata cahaya terang itu memang menembus sakuku sehingga bisa terlihat dari luar dan motor yang aku tumpangi melaju bagaikan bintang berekor.

Dari linimasa twitter yang aku pantau, aku tahu berita tentang hilangnya senja telah tersebar luas. Tagar #SenjaHilang dalam beberapa menit bahkan sudah menjadi world wide trending topic. Mengalahkan rekor tagar #ShameOnYouSBY, pikirku. Waduuuh. Baru hilang satu senja saja paniknya sudah seperti itu. Tapi kenapa ketika ada manusia-manusia yang hilang tidak pernah sepanik itu? Aneh memang dunia ini. Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya untuk dibuat senja tandingan. Seperti halnya DPR tandingan, atau ya yang seperti kamu usulkan baru-baru ini, Gubernur DKI Jakarta tandingan. Sepertinya segala sesuatu di dunia ini harus dibuat versi tandingannya agar setiap orang tidak saling berebut.

Motor yang aku tumpangi bersama tukang ojek sudah memasuki terminal Kampung Melayu. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengendurkan kewaspadaanku sedikitpun. Aku harus mewaspadai setiap orang yang berlalu-lalang di terminal ini. Jangan-jangan diantara mereka ada anggota polisi yang sedang menyamar dengan kemampuan setingkat bapak Wiranto. Dari kejauhan terdengar sirene mobil polisi meraung-raung. Aku sudah dijadikan terget pengejaran polisi.

Tapi selain polisi aku yakin ada laskar-laskarmu yang ikut mengejarku juga yaa Habib. Itu aku tahu dari sorban yang terikat di kepala mereka, sementara tangannya memegang helm. Ingin sekali rasanya aku bilang kepada mereka semua kalau senja yang aku potong ini akan aku persembahkan untukmu, pemimpin dan panutan mereka. Tapi aku tahu itu tak ada gunanya sama sekali. Mereka terlalu bebal. Hanya perkataanmu seorang yang mereka turuti laiknya sebuah fatwa.

“Pengemudi motor Supra-X metalik bernomor polisi B 40 NK harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh membawa senja.  Meskipun tak ada peraturan yang melarangnya, tapi berdasarkan. ..”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Aku suruh si tukang ojek menggeber motornya lebih kencang lagi. Tapi ah, sialan, sepertinya si tukang ojek ketakutan karena dikejar polisi. Dia hendak menepi sebelum sejurus kemudian aku tendang saja dan motornya aku ambil alih. Tanpa peduli si tukang ojek yang memaki-maki aku langsung tancap gas meliuk-liuk melewati kemacetan di Jalan Otista. Sirene mobil polisi meraung-raung kencang. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Untung saja aku mengendarai motor. Hal ini membuatku lebih mudah untuk meliuk-liuk diantara barisan mobil yang terjebak macet.

Kini giliran polisi bersepeda mototr dan laskar bersorban yang mengejarku. Tapi tenang saja. Kelihaianku mengendarai motor masih satu level dengan Valentino Rossi ketika masih di tim Repsol Honda. Sreset sreseet. Satu dua tiga mobil terlewati. Spion mobil disikat, trotoar dikangkangi. Terkadang seperti sepeda kumbang milik Oemar Bakrie, standing dan terbang. Sir Dandy atau Iwan Fals. Sikaaat, Jon. Hanya padamulah senja ini kupersembahkan yaa Habib Rizieq.

Tapi ternyata yaa Habib, polisi tidak setolol yang aku sangka. Di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. Helikopter melayang-layang di atas langit yang kini sudah menjadi hitam. Di bilangan Dewi Sartika aku segera membelokkan arah motor ke sebuah gang. Belok kanan belok kiri, lewati pasar hingga aku sampai di suatu tempat. Itulah dia, pondok kos temanku.

Namanya Wibowo tapi aku sering memanggilnya A Wowo. Tapi karena suatu hari dia pernah melakukan perjalanan ke barat maka aku disuruhnya memanggil A Wokong. Di pondok kos A Wokong itulah aku meminta perlindungan dari kejaran polisi dan laskar bersorban.

“Masuklah” kata A Wokong dengan tenang. “Disini kamu aman”

Sepertinya  A Wokong sudah mengetahui apa yang sudah aku perbuat. Mungkin dari siaran berita di televisi yang dia tonton. Tapi aku masih khawatir cahaya senja dari sakuku ini akan menembus pondokkos itu lalu terlihat dari udara. A Wokong kembali menenangkanku. Dia berkata bahkan cahaya matahari pun tidak pernah memasuki kamarnya. Perumahan di daerah ini sudah terlalu padat katanya.

A Wokong membelikanku mie ayam dan sebotol Teh Pucuk Harum . Aku makan dengan lahap. Kemudian aku menceritakan bagaimana awalnya senja ini aku potong lalu aku dikejar-kejar bagai seorang komunis di mata Orde Baru. A Wokong mendengarkan ceritaku dengan seksama sambil sesekali mengusap alisnya yang nyambung. Aku masih khawatir kalau besok masih akan terjadi lagi drama pengejaran seperti tadi.

“Tenang saja. Besok orang-orang akan lupa. Orang-orang Indonesia memang seperti itu. Gampang marah tapi juga gampang lupa. Apa yang heboh hari ini, akan dilupakan begitu saja besok” begitulah petuah bijak A Wokong kepadaku.

Habib Rizieq kekasihku, pacarku, lelakiku

Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Ketika aku keluar dari pondok kos A Wokong esoknya semua orang sudah lupa tentang senja yang hilang, sebagaimana mereka juga lupa pernah ada manusia-manusia yang hilang. Keramaian yang terjadi kemarin kini telah surut. Sepertinya semua orang sudah lupa. Oh, ternyata berita tentang senja yang hilang kini sudah berganti. Kini orang-orang sedang ramai meributkan demonstrasi penolakan Ahok jadi Gubernur DKI. Ini mesti inisiatifmu kan? Apakah demi menyelamatkanku juga kamu sengaja bermanuver seperti ini? Ah, atau hanya kebetulan saja? Tak pentinglah itu. Yang penting senja ini bisa langsung aku kirimkan padamu, tanpa perlu membuatmu menunggu selama 12 tahun.

Habib Rizieq yang manis, paling manis dan akan selalu manis

Terimalah sepotong senja ini, hanya untukmu, dari seseorang yang akan membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan motor dan mobil serta matahari itu, salah-salah kamu bisa tertabrak olehnya dan terbakar cahayanya.

Dengan ini kukirim pula kerinduanku padamu, dengan peluk, cium dan bisikan terhangat dari tempat paling sunyi di dunia, “jangan gampang marah-marah dan melakukan tindakan-tindakan yang konyol yes?”



Jakarta, 10 November 2014

Catatan :
*karya ini merupakan saduran dari cerpen berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Adjidarma