Rindu itu mulai dirasakan Cholil Mahmud di
hari ke tujuh setelah pertemuannya dengan seorang perempuan di Stasiun Senen.
Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Sore itu, dia baru saja turun dari
kereta yang membawanya ke ibukota saat hujan deras tiba-tiba turun dan
menyambutnya. Terlalu deras untuk diterobos, pikirnya. Maka dia arahkan langkah
kakinya ke sebuah minimarket. Cholil memutuskan untuk membeli sebungkus kretek,
kacang, dan kopi panas untuk menemaninya menunggu hujan reda.
Di lantai 2 minimarket tersebut, sambil
membakar kreteknya, Cholil menikmati pemandangan Stasiun Senen yang sedang
diguyur hujan. Ada banyak hal yang sudah berubah dari stasiun ini sejak pertama
kali dia datang ke sini, 3 tahun yang
lalu. Area yang kini dijadikan lahan parkir untuk mobil dulunya penuh dengan
para pedagang buku dan majalah, di belakangnya berjejer warung-warung nasi.
Cholil ingat dulu dia pernah makan di salah satu warung nasi tersebut dan di
sebuah pedagang buku Cholil membeli sebuah kamus bahasa Inggris seharga 30 ribu
rupiah dan buku bajakannya Aku karya Syuman Jaya. Kini pedagang-pedagang buku
tersebut sudah lenyap, dan sebuah tembok berdiri memisahkan lahan parkir dengan
warung-warung penjual nasi. Cholil bingung apakah warung-wrung nasi tersebut
masih berjualan atau tidak.
Lalu matanya menangkap sekumpulan anak kecil
yang sedang menawarkan jasa penyewaan payung kepada setiap orang yang lewat.
Tapi daripada dibilang sedang menawarkan jasa penyewaan payung Cholil lebih
melihat kalau anak-anak itu hanya sedang bermain-main dengan air hujan. Tidak
ada raut muka kecewa meskipun tidak ada seorang pun yang berniat menyewa payung
dari mereka. Hujan membuat anak-anak kecil itu terlihat lebih ceria daripada
biasanya.
Hujan selalu membuat Cholil teringat akan
kampung dan masa kecilnya. Rasanya tidak ada hal yang lebih menyenangkan
baginya selain bermain ketika hujan turun. Biasanya dia akan bermain
mengejar-ngejar perahu yang dibuatnya dari bahan apa saja yang bisa hanyut di
got di depan rumahnya yang sering meluap setiap kali hujan turun.
Perahu-perahuan yang dibuatnya akan mengalir mengikuti aliran air di got yang
memanjang hingga ke ujung jalan. Cholil kecil akan berlari-lari mengejar dan
menangkapnya sebelum perahu-perahuan itu hanyut ke sawah di pinggiran kampungnya.
Atau di lain hujan dia akan bermain sepak bola
bersama teman-temannya. Bermain bola saat hujan juga jauh lebih menyenangkan
dibandingkan dengan ketika hari cerah. Apalagi jika lapang bermainnya adalah
bekas sawah yang baru saja selesai dipanen. Hujan akan membuat lumpur-lumpur di
sawah itu menjadi sangat licin sehingga setiap pemain akan kesulitan
mengendalikan bola. Jangan harap akan ada pesta gol yang terjadi jika bermain
di lapangan seperti itu.
Ingatan Cholil kemudian membawanya kepada
sebuah peristiwa lucu yang terjadi pada dirinya dan teman-temannya sewaktu
duduk di kelas 6 SD. Waktu itu, hujannya sama deras seperti hari ini. Suasana
kelas mulai berisik karena Pak Emon, guru kelas 6, baru saja memberikan sebuah
tugas matematika kemudian pergi meninggalkan kelas. Ditengah suasana berisik
itu, salah seorang siswa – Cholil ingat namanya si Kutil – tiba-tiba berteriak
memberikan sebuah pengumuman,
“woooy,
cuang maen bal bae yuuuk?” katanya kepada anak laki-laki yang ada di kelas.
Semua anak bengong mendengarnya, termasuk Cholil.
“geus
tenang bae, hujan mah sakola ge bebas!” si Kutil berusaha meyakinkan teman-temannya
agar menyetujui idenya.
Sampai hari ini pun Cholil masih berpikir
kalau itu adalah salah satu ide tertolol yang pernah didengarnya. Sejak kapan
sekolah menjadi bebas saat hujan turun? Kecuali mungkin kelas itu hancur
tersambar petir. Tapi waktu itu, tidak ada seorang pun yang menolak ajakan
Kutil. Hanya ada 2 anak laki-laki yang tidak ikut saat itu. Yang satu karena
dia tidak suka sepak bola, yang satu lagi mengaku sedang sakit pada waktu itu.
Sisanya, sebanyak 17 anak laki-laki setuju dengan ajakan si Kutil. Maka satu
per satu anak keluar dari kelas dan
meloncati pagar sekolah menuju ke sebuah lapangan sepak bola.
Lapangan itu, tentu saja bukanlah lapangan
sepak bola sesuai standar internasional, bahkan memenuhi standar nasional pun
tidak. Lapangan itu sejatinya adalah sebuah kebun milik Pak Dedi. Ukurannya
tidak simetris, panjang sebelah. Tiang
gawangnya adalah sebuah pohon mangga. Karena cuma ada satu, maka sisa satu
tiang gawangnya dibuat dari batu atau sendal yang ditumpuk-tumpuk. Tidak ada
mistar gawang. Maka jika bola yang meluncur ke arah gawang dianggap terlalu
tinggi oleh kiper hal itu tidak dianggap
sebagai gol.
Pertandingan itu, seperti pertandingan bola
lain saat hujan, selalu seru dan menyenangkan. Tapi hal yang lebih seru terjadi
ketika pertandingan itu selesai dan hujan perlahan-lahan mulai berhenti. Dua
anak laki-laki yang tidak ikut bermain saat itu, Cholil mengingat-ngingat
namanya, oh iya si Husnan dan si Rudi
tiba-tiba datang ke lapangan.
“diteangan
siah ku Pak Emon!” si Husnan berkata
dengan muka serius.
“ah, nu
bener maneh?” si Kutil tidak percaya dengan apa yang barusan Husnan
sampaikan.
“Beneran
aing mah” si Husnan menjawab masih dengan muka seriusnya.
“Daek
kanjut maneh pindah kana tarang?” si Kutil masih saja tidak percaya.
“Daek
sok, mun aing bohong kanjut maneh gede sabelah!” si Husnan balik nantangin
sumpah si Kutil.
Semua anak mulai percaya dengan berita yang dibawa
oleh Husnan, termasuk juga Cholil. Sepertiya si Husnan serius, tidak sedang
bercanda. Semua mata kini tertuju kepada Kutil yang memberi ide awal untuk
kabur dari kelas. Kutil kikuk, tidak berdaya membalas tatapan mata
teman-temannya. Akhirnya semua anak sepakat untuk kembali ke sekolah, meskipun
dengan tubuh yang kotor penuh dengan tanah.
Kisah itu kemudian ditutup dengan adegan
dimana 17 anak laki-laki dengan tubuh penuh dengan tanah disuruh push up sebanyak 20 kali di lapangan
upacara.
Cholil tertawa kecil mengingat-ngingat
peristiwa itu.
Lamunan tentang masa kecilnya buyar ketika
seorang perempuan tiba-tiba menarik kursi yang ada di sampingnya lalu duduk di
atasnya.
“boleh kan duduk di sini?” katanya kepada
Cholil setelah pantat kecilnya mendarat dengan mulus di atas kursi.
Wajah perempuan itu seperti anak kecil. Ada
sebuah tahi lalat di dagunya. Lensa kacamatanya terlihat buram, mungkin
mengembun karena air hujan. Sepatu dan ujung celana jinsnya terlihat basah,
seperti juga ujung rambutnya. Ada air yang menetes dari ujung rambut ke
wajahnya yang berbentuk bundar. Mungkin dia habis berlari menerobos hujan. Tapi
nafasanya tidak terlihat ngos-ngosan.
“boleh kan duduk di sini?” perempuan itu
kembali bertanya kepda Cholil. Kali ini dia bertanya sambil nyengir.
“i ii yaa, boleh” kata Cholil, pelan.
Perempuan itu meletakkan tasnya yang berwarna
hijau lumut begitu saja di atas meja. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dari
dalam tas. Mungkin sedang mengecek beberapa pesan yang masuk, atau hanya sekedar
memastikan kalau ponselnya tidak terkena air hujan.
Cholil kembali mengarahan pandangannya ke arah
anak-anak kecil yang sedang menjajakan jasa penyewaan payungnya. Tapi kali ini
ingatannya tidak kembali ke masa kecilnya. Dia malah memikirkan perempuan yang
ada di sampingnya. Perempuan itu lucu, pikirnya. Bagi Cholil, perempuan hanya
terdiri dari 2 jenis yaitu, perempuan yang cantik dan perempuan yang lucu.
Perempuan cantik tidak selalu enak dilihat. Perempuan lucu, meskipun tidak
cantik, pasti selalu enak untuk dilihat. Seperti perempuan yang sekarang duduk
di sampingnya.
Cholil mulai berpikir bagaimana cara membuka
percakapan dengannya.
“hai namamu siapa?” atau
“aku Cholil Mahmud, kamu siapa?” atau
“mau kemana?” atau
“boleh pinjem korek api?” dan beberapa kalimat
pembuka percakapan lain yang berseliweran di dalam kepalanya.
Tapi semua kalimat itu hanya berseliweran di
dalam kepala Cholil. Tidak ada satu pun yang keluar dari mulutnya. Cholil
mengutuk dirinya sendiri yang menjadi begitu pemalu. Bagaimana kalau ternyata
saat itu Tuhan sedang mengirimkan calon jodoh untuknya. Tentu hal itu akan
menjadi sebuah kisah romantis yang bisa Cholil ceritakan kepada anak dan
cucunya, bagaimana dulu dia bisa bertemu dengan ibu dan nenek mereka.
“dulu ayah bertemu dengan ibumu saat hujan
mengguyur Jakarta dengan mesra” begitu Cholil akan membuka kisah cintanya
kepada anak-anaknya.
Tapi semua hanya terjadi dalam imajinasi
Cholil. Kenyataannya Cholil masih saja berdiam diri. Hanya ada suara hujan dan
asap yang mengepul dari kretek yang Cholil bakar. Sesekali Cholil melirik ke
arah perempuan yang duduk di sampingnya. Perempuan itu masih asik dengan
ponselnya. Sesekali ada senyum yang tersungging dari bibirnya. Aduh, manis
sekali. Apalagi ada tahi lalat sebesar upil di dagunya.
Tapi Cholil ternyata lebih pemalu dari yang
dia pikir sebelumnya. Menit-menit yang berlalu kemudian hanya diisi dengan
kesunyian masing-masing. Tidak ada secuil keberanian pun yang keluar dari Cholil
untuk sekedar menyapa perempuan yang duduk di sampingnya.
“Bego, ajak kenalan dong?!” diri Cholil yang lain
mengutuknya.
Cholil malah semakin kikuk. Lagi-lagi dia
melirik ke arah perempuan yang ada di sampingnya, berharap perempuan itu pun
melakukan hal yang sama dengannya. Tetapi perempuan itu masih asik dengan
ponselnya. Dan Cholil tetap kehilangan keberanian untuk bicara. Tenggorokannya
malah terasa kering. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah hujan.
Menggaruk-garuk kulit kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
“Tolol! Tolol! Tolol!” diri Cholil yang lain
terus mengutuk ketidakberanianya.
Dia menyeruput kopinya yang sudah dingin. Tapi
tetap saja hal itu tidak bisa memunculkan keberanian untuk menyapa perempuan
bertahi lalat di sampingnya.
“Aku suka bola mata anak kecil” tiba-tiba perempuan
yang duduk di sampingnya bersuara.
Dengan agak ragu Cholil menoleh ke arahnya.
Apakah dia sedang berbicara dengannya atau dengan orang lain? Tapi tidak ada
orang lagi di situ selain mereka. Ada juga 3 orang laki-laki yang duduk agak
jauh dari mereka. Tidak mungkin 3 orang itu akan mendengarnya. Cholil menaikkan
alis matanya sebagai tanda kalau dia merasa bingung.
“Iya, aku ngomong sama kamu” kata perempuan
itu sambil nyengir
“oh iya, maaf. Haha” Cholil tertawa pahit
“Aku suka bola mata anak kecil. Seperti
anak-anak di bawah sana” katanya sambil menunjuk ke arah sekumpulan anak kecil
yang dari tadi menyewakan payung.
Bola mata Cholil bergerak mengikuti arah yang
ditunjukkan oleh perempuan itu. Dia sudah tahu dari tadi anak-anak kecil itu
berkumpul di sana. Tapi dia bingung apa maksud ucapan perempuan itu barusan.
Mulut Cholil masih terkunci tidak tahu harus menjawab apa.
“Tolol! Tolol! Tolol!”Cholil lagi-lagi
mengutuk dirinya sendiri. Ketololannya yang pertama adalah karena dia tidak
berani memulai sebuah pembicaraan dengan perempuan itu. Ketololannya yang kedua
adalah ketika perempuan itu sendiri yang membuka pembicaraan Cholil malah
kebingungan harus menjawab apa. Ingin rasanya saat itu Cholil Mahmud menyundut
tangannya sendiri dengan rokok yang sedang dihisapnya.
“Omonganku aneh ya?” perempuan itu kembali
bertanya. Mungkin dia melihat kebingungan di mata Cholil.
“Ah, nggak kok.” Jawab Cholil sambil
tersenyum. Oke, lumayan bisa jawab juga akhirnya, kata Cholil dalam hatinya.
“Oh
iya, kenapa suka dengan bola mata anak-anak?” akhirnya keberanian Cholil
muncul. Kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulutnya yang dari tadi selalu
terkunci.
“Aku juga nggak tahu pasti. Cuma kalau dilihat-lihat
bola mata anak kecil itu bening. Tiap melihat sesuatu selalu penuh dengan rasa
ingin tahu. Seolah-olah bola matanya itu berkata “waaaw”. Apalagi bola mata
bayi” perempuan itu menjelaskan alasannya dengan agak panjang.
Lalu hening. Bukan, Cholil tidak kehilangan
keberaniannya. Kali ini dia memang benar-benar kehilangan kata-katanya.
“Ayo dong jawab lagi. Jangan diam, tolol” diri
Cholil yang tukang mengutuk kembali muncul, mengejek Cholil yang kehilangan
jawaban.
Cholil hanya mengangguk ragu. Dia meraih gelas
kopi di sampingnya, berharap rasa kikuknya bisa disembunyikan dengan minum
kopi.
“Temanku ada lho yang bisa baca kepribadian orang lewat matanya” kata perempuan
itu. Suaranya terdengar antusias.
“Oh iya? Pasti ayahnya dukun ya?” Cholil
berusaha menjawab sekaligus melucu. Sebuah lelucon yang garing, anjing! Tapi terpaksa karena tidak ada
kalimat lain yang bisa diucapkan olehnya.
Tapi perempuan itu tertawa juga. Entah karena
lelucon itu terdengar lucu atau karena Cholil yang berusaha keras melucu malah
terlihat lucu olehnya.
“Hahaha. Ya, bukan lah. Dia orang biasa kok. Cuma
dia pernah bercerita kalau si A itu tipe pengalah orangnya, atau si B tipe-tipe
ambisius. Waktu aku tanya dia tahu darimana, dia jawab tahu dari matanya. Terus
aku perhatikan orang-orang yang dia omongin, ternyata bener. Nggak jauh beda.
Gitu” jawabnya dengan panjang lebar,
tapi masih penuh antusiasme.
“Keren ya kayak sulap. Hehehe” Cholil mulai
bisa mencairkan rasa kikuknya.
“Ya, gitu. Awalnya aku juga nggak terlalu
percaya”
“Eh, aku juga bisa sulap lho” kali ini Cholil mulai memberanikan diri untuk mengimbangi
perbincangan.
“Ah, masa sih?” perempuan itu terlihat ragu
“Mau lihat?”
“Mau dong, mau dong” nada suaranya selalu
terdengar antusias. Cholil merasa senang. Cholil memandang ke dalam bola mata
perempuan itu yang berada di balik lensa kacamatanya. Bola matanya seperti anak
kecil.
“Lihat baik-baik ya?”
Cholil kemudian menunjukan kedua telapak
tangannya ke arah perempuan itu. Perempuan itu menyimaknya dengan serius.
“Lihat tanganku. Kosong kan? Kosong?” Cholil
memperlihatkan kedua telapak tangannya.
“Iya kosong” kata perempuan itu. Ada
garis-garis keseriusan yang melintas di wajahnya.
“Tanganku kosong. Yang ini juga kosong. Lihat
kan? Kosong kan?”
Lalu Cholil diam sejenak,
“Terus?” perempuan itu semakin penasaran.
“Terus... Perutku juga kosong karena belum
makan” kata Cholil
“Hahahaha” perempuan itu tertawa. Cholil
merasa luar biasa senang.
“Mana sulapnya?” dia kembali menagih sulap
kepada Cholil.
“Iya, yang ini serius nih. Lihat kan kedua
tanganku kosong?”
“Iya, terus?”
“Terus....” kata Cholil menggantung.
“Terus apa?”
“Terus... Dompetku juga kosong karena nggak
punya duit”
“Hahahahaha. Sialan ” lagi-lagi ada tawa
meledak dari perempuan itu.
“Tapi itu sih bukan sulap” kata perempuan itu
mengejek. Cholil hanya nyengir mendengarnya. Dia memang tidak bermaksud bermain
sulap. Itu hanya trik untuk mencuri perhatiannya.
Cholil baru saja berniat mengulurkan tangannya
untuk mengajak berkenalan ketika ponsel perempuan itu bergetar. Sepertinya ada
sebuah panggilan masuk. Perempuan itu mengangkat ponselnya kemudian
membelakangi Cholil. Dia berbicara selama beberapa saat. Cholil tidak bisa
menyimak perbincangan itu dengan jelas. Hanya ada beberapa kata ya yang keluar
dari mulut perempuan itu. Disertai beberapa anggukan kecil. Setelah itu
pembicaran berhenti. Perempuan itu segera memasukakan ponselnya ke dalam tas.
Dengan sedikit tergesa perempuan itu berdiri.
“Eh, duluan ya?” katanya sambil berlalu
meninggalkan Cholil yang masih terbengong-bengong.
Cholil meraih gelas kopi di sampingnya.
Anjing, kopinya habis. Dan perempuan itu meninggalkannya begitu saja.
***
Di hari ke tujuh setelah pertemuannya dengan
perempuan itu, Cholil Mahmud bermimpi bertemu kembali dengannya. Pertemuan itu
persis seperti pertemuan mereka di Stasiun Senen. Dalam mimpinya mereka berbincang
dengan asik sambil menikmati kacang rebus. Kali ini Cholil berhasil
memperkenalkan dirinya kepada perempuan itu. Tapi sebelum perempuan itu
menyebutkan siapa namanya, Choli keburu terbangun dari mimpinya. Bahkan dalam
mimpi pun perempuan itu tidak mau menyebutkan namanya.
Cholil terbangun dengan gelisah. Setelah mimpi
itu hatinya dipenuhi rasa gundah. Wajah perempuan itu selalu terbayang-bayang
dalam kepalanya. Matanya menjadi sulit terpejam kembali. Sisa pagi itu hanya
Cholil habiskan dengan berguling-guling di kasur tanpa bisa tertidur kembali.
Pagi itu semangat kerjanya menurun dengan
drastis. Dia bangun dari tempat tidurnya dengan enggan. Setelah air
mengguyur kepala dan seluruh tubuhnya,
rasa gundah itu masih tetap saja melekat.
Cholil berangkat kerja dengan malas-malasan. Wajahnya muramnya dia bawa
terus sampai ke tempat kerja.
Cholil memesan secangkir kopi hitam kepada
tukang warung langganannya. Kepalanya masih dipenuhi oleh bayangan perempuan
itu. Setelah mimpi itu rasanya ada sesuatu yang bolong dalam hatinya. Cholil
sulit untuk menjelaskan apa yang sedang dirasakannya. Rasanya baru kali ini dia
merasa seperti ini. Apakah karena perempuan itu? Atau karena mimpi bertemu
dengannya?
Seseorang menyapa Cholil dari arah jalan.
Teman kantornya. Sapaan itu tidak Cholil jawab. Kemudian dia menghentikan laju
motornya di depan warung. Setelah membuka helm dia duduk di depan Cholil dan
memesan secangkir kopi hitam sama seperti Cholil.
“Mukamu kusut. Kalah taruhan ya?” katanya
sambil membakar sebatang rokok.
Cholil tetap diam. Dia hanya menanggapinya
dengan sebuah senyum yang sepertinya dia keluarkan dengan agak terpaksa juga.
Temannya tidak terlalu ambil peduli. Dia mengalihkan perhatiannya ke layar
ponsel. Cholil memperhatikan ampas kopi yang mulai turun ke dasar cangkir. Dia
masih mengingat perempuan yang ditemuinya di Stasiun Senen, seminggu yang lalu.
***
Malamnya Cholil kembali bertemu dengan perempuan
itu dalam mimpi. Kali ini mereka bertemu di warung kopi langganan Cholil.
Perempuan itu datang dari arah timur jalan. Mengendarai sebuah sepeda motor matic kemudian berhenti tepat di depan
warung. Dia membuka helmnya. Tersenyum ke arah Cholil lalu berjalan
menghampirinya.
Dia duduk di hadapan Cholil. Wajahnya cerah.
Bola matanya selalu berbinar-binar.Bola mata seorang anak kecil. Cholil senang
melihatnya.
“Mukamu kusut. Kalah taruhan ya?” kata
perempuan itu.
Cholil kaget. Rasanya tadi pagi seorang kawan
juga menyapanya seperti itu. Cholil lalu memperhatikan wajah perempuan itu
dengan seksama. Seperti ada yang berubah. Perempuan itu berkumis! Dan mirip
kawannya yang tadi pagi ngopi bareng dengannya di warung. Cholil kaget lalu
bangun dari tidurnya.
Setelah itu Cholil kembali tidak bisa tidur.
Hatinya semakin bertambah gelisah. Pagi itu dia kembali berangkat kerja dengan
dipenuhi perasaan malas.
***
Malam-malam selanjutnya mimpi Cholil selalu
dipenuhi oleh perempuan itu. Di salah satu mimpinya mereka bertemu di tepi
sebuah danau. Matahari sedang surut di ufuk barat. Lalu mereka berciuman di
sana. Seingat Cholil, ada lagu Risalah Hati dari Dewa 19 yang mengalun
mengiringi adegan ciuman itu. Tapi perempuan itu belum mau menyebutkan siapa
namanya.
Setelah itu, pagi harinya Cholil terserang
rasa gelisah yang luar biasa. Dia menjadi malas mandi, malas sarapan dan malas
berangkat kerja. Pagi itu dia putuskan untuk tidak masuk kerja. Cholil
mengurung diri di kamar kontrakannya. Dia hanya keluar untuk membeli makan dan
rokok. Sisa waktunya dia habiskan di kamar memikirkan perempuan itu.
***
Di mimpinya yang lain akhirnya perempuan itu
menyebutkan namanya. Tapi begitu Cholil terbangun dia lupa siapa nama perempuan
itu. Entah Dini, Rini, atau Marni? Cholil tidak ingat sama sekali.
Cholil masih tetap gelisah. Sudah 3 hari dia
tidak mandi dan tidak berangkat kerja. Dia juga mulai malas makan. Tapi masih
rajin merokok. Karena malas pergi keluar Cholil memutuskan membeli satu slop
rokok sebagai bahan persedian. Dia akan melanjutkan diri mengurung di kamar.
Siapa tahu di salah satu mimpinya perempuan itu akan memperkenalkan diri dan
memberitahu dimana alamat rumahnya.
“Kau tidak pernah kelihatan, Bung. Sakit?”
seorang tetangga kamar menyapanya ketika mereka berpapasan di pintu. Cholil
baru saja pulang membeli kopi. Persediaan kopinya sudah habis.
“Ah, tidak Bung. Hanya sedang malas saja”
“Tapi kau terlihat tidak sehat. Ada masalah,
Bung?”
“Tidak, Bung. Tidak ada apa-apa” Cholil
meninggalkan tetangganya lalu kembali mengurung diri di kamar.
Malamnya, sesorang mengetuk pintu kamar
Cholil. Orang itu adalah orang yang tadi menyapa Cholil. Cholil
mempersilahkannya masuk. Tubuh Cholil terlihat lebih kurus. Matanya cekung.
Mungkin dia kebanyakan begadang dan kurang makan.
“Aku hanya khawatir kepadamu, Bung” dia
menjelaskan maksud kedatangannya.
“Tidak ada apa-apa, Bung” Cholil masih tidak
mau bercerita apa pun.
“Cerita saja, Bung. Mungkin aku bisa
membantumu?”
Awalnya Cholil merasa ragu untuk bercerita.
Tapi kemudian lambat laun dia mulai bercerita tentang perempuan yang ditemuinya
di Stasiun Senen. Lalu tentang mimpi-mimpinya yang selalu dihiasi oleh sosok
perempuan itu.
“Kau sedang jatuh cinta, Bung!”
“Tidak. Aku hanya merasa rindu kepadanya”
“Rindu adalah tanda seorang sedang jatuh
cinta, Bung!”
Cholil tidak peduli apakah dia sedang jatuh
cinta atau tidak. Dia hanya merasa sangat rindu kepada perempuan itu.
“Siapa namanya, Bung?”
“Aku tidak tahu”
“Temui saja langsung. Kau tahu di mana dia
tinggal?”
Cholil kembali mengelengkan kepalanya.
“Kalau begitu hubungi saja nomer handphonenya.
Kau pasti menyimpannya bukan?”
Cholil kembali menggeleng, “aku tidak punya”
Kawannya merasa heran.
“Kau tidak sedang jatuh cinta, Bung. Kau sakit
jiwa”
Cholil tetap tidak peduli apakah dia sedang
jatuh cinta atau sakit jiwa. Yang dia inginkan hanyalah bertemu perempuan itu.
Tapi dia tidak tahu di mana perempuan itu tinggal. Dia tidak tahu alamat mana
yang harus dituju, dia juga tidak nomor handphone yang harus dihubungi. Bahkan
namanya saja dia tidak tahu, apakah
Dini, Rini atau Marni? Atau mungkin bukan ketiganya karena nama-nama yang
disebutkan itu hanya didengarnya dalam mimpi.
“Baiklah. Kau bertemu dengan perempuan itu di
Stasiun Senen bukan?”
Cholil mengangguk.
“Kalau begitu, tunggu saja di sana. Barangkali
perempuan itu kembali lagi ke sana” kawannya memberi sebuah nasihat.
Cholil mengangguk lagi. Nasihat yang cukup bijak.
***
Esoknya Cholil kembali tidak masuk kerja.
Pagi-pagi setelah dia bangun, tentu setelah bermimpi bertemu dengan perempuan
itu, dia segera mandi. Mengguyur badannya yang sudah satu minggu tidak pernah
disiram air. Menggosok daki-daki yang mulai menempel di tubuhnya. Setelah selesai
dia berangkat ke Stasiun Senen.
Cholil menunggu di sebuah minimarket di mana
dia bertemu dengan perempuan itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Dia
membeli sebungkus rokok kretek dan segelas kopi panas. Pagi-pagi dia sudah nongkrong
dengan manis di lantai 2 minimarket tesebut dengan beberapa orang yang
tanpaknya sedang menunggu jadwal pemberangkatan kereta api mereka.
1, 2, 3, 4, 5 jam berlalu dan perempuan itu
masih tidak ada. Cholil sudah menghabiskan 3 gelas kopi dan 2 bungkus kretek.
Dan orang-orang sudah berganti keluar masuk dan naik turun dari minimarket
tersebut. Tapi tidak ada perempuan itu di antara mereka.
Cholil pulang kembali ke kontrakannya selepas
lewat adzan Isya. Dia kelelahan. Perempuan itu tidak berhasil ditemuinya. Tapi
besok dia akan kembali ke Stasiun Senen.
Besok dan besoknya lagi dan besoknya lagi lalu
besoknya lagi Cholil Mahmud kembali menunggu di sebuah minimarket di Stasiun
Senen. Tapi hasilnya selalu sama, perempuan itu tetap tidak terlihat. Kali ini
Cholil mulai merasa putus asa.
***
Tubuh Cholil semakin kurus. Wajahnya terlihat
semakin acak-acakan. Rambut dan kumisnya mulai memanjang tak terurus. Keadaanya
terlihat semakin mengkhawatirkan. Sudah seminggu ini Cholil bahkan tidak masuk kerja.
Tadi pagi atasannya menelepon. Cholil hanya
berkata kalau dirinya sedang sakit. Mungkin dalam beberapa hari lagi akan
sembuh, katanya. Tapi itu cuma alasan. Cholil tahu dia sudah tidak berniat
bekerja. Dia kehilangan minat hampir dalam segala hal. Semua gara-gara seorang
perempuan yang ditemuinya di Stasiun Senen dan dengan iseng selalu datang dalam
mimpinya setiap malam.
“Perempuan itu waktu kecilnya pasti suka
mengisengi orang” kata kawannya.
“Kenapa memangnya, Bung?”
“Karena bahkan dalam mimpi pun dia tidak mau
menyebutkan nama dan tempat tinggalnya”
“Asuuuu”
Si kawan, yang sudah 2 tahun tinggal satu
kontrakan dengan Cholil mulai merasa khawatir juga dengan keadaan Cholil.
Kurang dari sebulan lagi Cholil bisa mati kalau begini terus. Dan dia akan mati
penasaran karena perempuan itu. Tidak baik membiarkan seseorang mati dengan
membawa rasa penasaran karena hantunya pasti akan selalu gentayangan. Si kawan
teringat kepada tetangganya yang pernah mati penasaran. Tetangganya, seorang
fans berat Juventus suatu hari mati karena stroke. Sebelum mati dia sangat
ingin melihat Juventus kembali juara Liga Champion. Tapi sampai hari ketika
Izrail membawa nyawanya, Juventus masih belum juga menjuarai Liga Champions.
Hingga hari ini hantu si tetangga masih sering muncul. Gentayangan setiap malam
Jum’at memakai baju belang-belang mirip narapidana. Semua do’a dan usaha para
pengusir hantu tidak bisa membuat hantu si tetangga tenang di alam kuburnya.
“Dia cuma akan tenang kalau Juventus juara
Champions” tetangga yang lain berspekulasi.
“Ah, itu pasti azab. Si Fulan kan waktu hidup
kerjanya cuma mengejek klub bola lain. Inter diejek, Milan diejek, MU diejek,
Madrid diejek, semuanya dia ejek kecuali Juventus. Makanya pas hidup banyak
yang doain jelek. Pas mati jadi nggak tenang di kuburnya” kata tetangga yang
lainnya.
Si kawan hanya tidak ingin Cholil bernasib
seperti tetangganya. Mati dengan membawa rasa penasaran. Apalagi rasa penasaran
ini akibat seorang perempuan.
***
Cholil
mulai menulis puisi dan bermain gitar. Semua atas saran dari kawannya yang
sudah mulai khawatir dengan keadaan Cholil. Sesungguhnya, mengharapkan Cholil
untuk bertemu kembali dengan perempuan itu adalah perkara yang hampir mustahil.
Nama dan alamat tinggalnya saja tidak tahu. Mungkin hanya sebuah mukjizat yang
bisa mempertemukan mereka kembali.
“Menulislah, Bung. Semua puisi dan lagu-lagu
indah tercipta dari rasa rindu dan patah hati” begitu nasihat dari kawannya.
“Barangkali, suatu saat perempuan itu akan
membaca puisi dan mendengar lagu-lagumu” lanjutnya.
“Kalau tidak?”
“Yah, setidaknya kau bisa terkenal seperti
Ahmad Dhani”
Maka Cholil pun mulai menulis puisi dan lagu.
Dia mulai memainkan jari-jarinya di atas
fret gitar. Meskipun kemampuan bermain gitarnya hanya sanggup bermain di
level Em C G D.
Paginya si kawan sudah menemukan
berlembar-lembar kertas tergeletak di lantai kamar Cholil. Dia membaca salah
satunya.
Sebuah
puisi (mungkin) :
Ada yang
rindu
Pada
Hari Sabtu
Cuacanya
seperti sekarang
Paginya
cerah, sorenya hujan
Lalu
malamnya aku tidur lelap sekali
“Puisi macam apa ini?” kata si kawan dalam
hatinya.
Si Kawan kemudian membangunkan Cholil yang
tertidur sambil memeluk gitar. Cholil membuka mata dengan malas. Mungkin dia
sedang bermimpi bertemu dengan perempuan itu lagi dan pertemuan itu terganggu
karena si kawan membangunkannya. Cholil mengucek-ngucek matanya dan menguap
beberapa kali.
“Kau tidak kerja lagi, Bung?”
Cholil menggelengkan kepalanya. Dia meraih
sebatang rokok kemudian membakarnya.
Kawannya kemudian pergi meninggalkan Cholil
yang masih menikmati rokok pertamanya.
“Mungkin kau harus ke psikiater, Bung” kata
kawannya yang sudah berdiri di muka pintu lalu pergi.
***
Dalam seminggu Cholil sudah berhasil menulis
puisi satu buku penuh. Juga beberapa buah lagu. Kadang dia nyanyikan lagu-lagu
itu di depan kawannya,
“Ah, yang ini terdengar seperti lagu Armada”
kata kawannya mengomentari salah satu lagu yang Cholil nyanyikan.
“Aku pikir seperti Coldplay”
Di lain lagu si kawan bilang kalau lagunya
mirip lagu Noah. Yang lain mirip D’massiv. Ada juga yang dibilang mirip dengan
lagu Geisha, versi suara cempreng laki-laki. Si kawan kemudian menyadari kalau
Cholil tidak berbakat sama sekali dan menulis lagu atau pun bernyanyi.
Cholil sendiri sudah merasa kalau usahanya
menulis lagu dan puisi terasa sia-sia. Karena semua yang dilakukannya tidak
juga berhasil mengusir rindu kepada perempuan itu pergi dari hati dan
kepalanya. Juga mimpinya. Di hari ke 10 Cholil sudah berhenti menulis lagu dan
puisi. Dan dia kembali murung.
***
“Jika ide ini gagal, aku rela dikebiri!” kata
si Kawan kepada Cholil dengan berapi-api.
Malam itu, sepeda motor yang mereka tumpangi
sedang melaju menyusuri rel kereta api untuk menemukan sebuah tempat yang
dipercaya oleh si kawan bisa menyembuhkan rindu yang diderita oleh Cholil.
Awalnya Cholil menolak ajakan itu. Tapi si kawan terus menerus memaksanya. Dia
tidak ingin jika Cholil Mahmud harus mati penasaran gara-gara seorang
perempuan. Dan dia lebih tidak ingin lagi jika arwah Cholil yang penasaran akan
mengganggu malam-malamnya. Cholil pun menuruti ajakan si kawan. Tapi sepanjang
perjalanan dia lebih banyak diam.
Setelah menyusuri rel kereta api sepeda motor
itu kemudian masuk ke gang-gang sempit. Cholil sudah tidak ingat lagi ada
berapa belokan yang mereka lewati. Dirinya juga sudah tidak hapal sedang berada
di daerah mana. Yang ada hanya sebuah jalan sempit di antara jejeran rumah yang
saling menghimpit. Sepeda motor itu kemudian keluar gang dan melaju lurus di
sebuah jalanan besar yang tidak terlalu ramai.
Setelah 30 menit perjalanan akhirnya mereka
tiba di suatu tempat. Dari luar tempat itu terlihat seperti sebuah pondok
indekost dengan pagar besi berwarna hitam yang menjulang tinggi sehingga kau
tidak mungkin melompatinya. Tinggi pagar itu sejajar dengan tinggi tembok yang
mengelilingi bangunan itu. Tepat di samping pintu gerbang berdiri sebuah gardu
kecil. Seorang laki-laki berkumis tebal tampak berjaga di sana.
Si kawan kemudian menepikan motornya dan
berjalan menghampiri laki-laki berkumis tebal tadi. Cholil tidak mengikutinya.
Dia masih duduk di atas jok sepeda motor sambil menghisap rokoknya. Si kawan
terlihat berbicara sebentar dengan laki-laki berkumis tebal tersebut. Laki-laki
berkumis tebal itu kemudian membuka pintu gerbang. Si kawan kembali ke tempat
Cholil berada dan menyalakan motornya memasuki tempat seperti pondok indekost
tersebut.
***
Cholil
sedang berada di sebuah kamar di dalam bangunan yang mirip pondok indekost
tadi. Kamar itu berukuran tidak terlalu
luas. Dindingnya dicat putih dengan sebuah kipas angin menempel. Di dalamnya
hanya terdapat sebuah lemari kayu, sebuah meja tulis dan ranjang. Juga sebuah
kamar mandi di samping kanan tempat Cholil duduk. Cholil sedang duduk di atas
ranjang. Dia masih membiasakan diri berada di tempat itu. Terutama karena di
sampingnya juga duduk seorang perempuan.
Rupanya bangunan seperti pondok indekost itu
adalah sebuah rumah bordir. Letaknya memang jauh dari keramaian sehingga tidak
terlihat terlalu mencolok. Bangunan itu terbagi menjadi 2 lantai dan beberapa
buah kamar. Seorang ibu-ibu paruh baya, yang sempat Cholil dan kawannya temui
ketika mereka masuk adalah induk semangnya. Ternyata ini ide yang yang dimaksud
oleh kawannya tersebut, yang digadang-gadang bisa menyembuhkan rindu yang
diderita oleh Cholil. Mengunjungi rumah bordir, ha! Cholil jadi bertanya-tanya sebenarnya dia atau kawannya yang
sedang sakit jiwa.
“Biasanya orang yang datang ke sini selalu
terburu-buru” kata perempuan di samping Cholil. Kalimat itu membuyarkan lamunan
Cholil. Dia menoleh ke arah perempuan tersebut.
“Sebenarnya, aku nggak berniat ke sini”
jawabnya.
“Jadi?” perempuan itu tampak heran.
Cholil diam sejenak. Dia kemudian berdiri dan menarik sebuah kursi
dari dekat meja dan duduk di atasnya. Kini matanya bertatapan langsung dengan
mata perempuan yang berada di hadapannya. Cholil mengamati perempuan itu.
Kulitnya bersih. Rambutnya panjang sebahu dan berwarna sedikit kecokelatan.
Salah satu rambutnya dia jepit dengan jepitan rambut berwarna biru langit. Dan
bola matanya bersinar seperti bola mata anak kecil. Kata induk semang yang tadi
ditemuinya, perempuan ini adalah yang paling cantik di rumah bordir ini. Tidak,
induk semang itu keliru, perempuan ini yang paling cantik sekaligus lucu.
Cholil mengambil sebuah rokok dari saku
celananya. Menawarkan sebatang rokok kepada perempuan yang ada di depannya,
tapi perempuan itu menolaknya. Kemudian Cholil membakar rokoknya sendiri.
Setelah hembusan asap rokok ketiga Cholil mulai menceritakan alasannya datang
ke tempat itu.
“Jadi begitu lah” kata Cholil menutup
ceritanya.
“Hahahahaha” perempuan yang ada di depannya
tertawa.
“Kamu lucu”
“Perempuan yang aku ceritakan barusan juga
pernah berkata seperti itu”
“Oh iya?” perempuan itu terlihat senang.
“Siapa namamu?”
“Melati”
“Kenapa kerja di sini?”
“Ceritanya panjang”
“Aku punya banyak uang dan waktu luang untuk
mendengar ceritamu”
Kali ini giliran Melati yang bercerita tentang
masa lalunya kepada Cholil. Cholil menyimaknya dengan penuh perhatian. Menjadi
seorang pelacur ternyata tidak sebusuk yang seperti dia bayangkan sebelumnya.
Tentu, bisa saja Cholil menyebutnya tidak bermoral atau pun mengutuknya. Tapi
jika dia pikir lebih jauh lagi, semuanya tetap berawal dari negara. Kenapa
pendidikan begitu mahal? Kenapa lapangan kerja sempit? Lalu jika sudah seperti
ini, di mana tanggung jawab negara terhadap warganya?
Lamunan Cholil lagi-lagi buyar oleh suara
Melati.
“Menyedihkan ya?”
Cholil hanya tersenyum. Dia tidak bisa berkata
apa-apa.
“Tapi rugi juga jika kamu ke sini hanya untuk
ngobrol” bola mata Melati menggodanya.
“Aku baru pertama kali datang ke tempat
seperti ini. Jadi nggak tahu juga harus ngapain?”
“Kalau begitu, biar aku ajarin” kata Melati
sambil medekatkan tubuhnya lalu mencumbu Cholil Mahmud. Aroma tubuhnya seharum
bunga melati.
***
Mimpi bertemu dengan perempuan di Stasiun
Senen mendadak hilang setelah Cholil Mahmud bertemu dengan Melati. Seiring
dengan hilangnya perempuan itu dari mimpi Cholil, rasa rindunya pun berkurang
sedikit demi sedikit. Hatinya sudah tidak terasa bolong lagi. Mungkin ide
kawannya kali ini berhasil.
Tapi hanya bertahan beberapa minggu mimpi itu
kembali lagi menghampiri Cholil dan demam rindunya kembali kambuh. Cholil
Mahmud kembali uring-uringan dan gelisah. Dia pikir perempuan itu tidak akan
kembali mengganggunya tapi ternyata dia datang lagi. Membawa rindu yang kembali
membuat hati Cholil bolong-bolong.
Cholil Mahmud kemudian mengunjungi kembali
Melati. Dan ajaib, setelah bercinta dengan Melati rindu itu hilang dan perempuan
itu tidak pernah mengganggu mimpinya lagi. Cholil mulai merasa ada sesuatu
dalam diri Melati yang mampu memadamkan rindunya kepada perempuan itu.
Selanjutnya menjadi seperti sebuah rutinitas.
Jika Cholil sedang merindukan perempuan itu dia akan datang kembali ke tempat
Melati dan bercinta dengannya sampai puas. Terus-menerus seperti itu sampai
suatu hari Melati berkata kepadanya,
“Rasanya, aku mulai mencintaimu”
Cholil diam saja dan tetap melanjutkan
kegiatan percintaan mereka.
Di lain waktu, di tengah percintaan mereka, Melati
tetap berkata seperti itu kepadanya.
“Rasanya, aku mulai mencintaimu”
Cholil tetap menganggapnya sebagai sebuah
angin lalu. Tapi Melati terus membatu dan terus menerus berkata seperti itu
kepadanya.
“Rasanya, aku mulai mencintaimu”
Kali ini Cholil Mahmud menjawabnya,
“Aku tidak mencintaimu”
“Lalu kenapa kamu selalu datang ke sini?”
“Aku hanya merindukan perempuan itu”
“Kenapa setiap kali kamu merindukan perempuan
itu kamu selalu datang kepadaku?”
Lagi-lagi Cholil diam.
"Kenapa setiap kali kamu merindukan perempuan itu kamu selalu datang kepadaku?" Melati terus-menerus bertanya. Tapi mulut Cholil tetap bungkam.
Tapi pada suatu hari, entah pada adegan percintaan mereka yang ke berapa akhirnya Cholil Mahmud membuka mulut dan menjawab pertanyaan Melati.
“Perempuan itu pernah bilang, dia suka bola
mata anak kecil. Dan bola matamu seperti anak kecil”
Ya, bola
matamu seperti anak keci, ulang Cholil dalam hatinya. Dia mengulangnya sambil terus bercumbu dengan Melati. Terus dan terus sampai rasa rindunya kepada perempuan itu hilang dan sampai suatu ketika, kamar itu ramai dipenuhi oleh orang-orang, juga polisi,
setelah seorang ibu-ibu paruh baya menemukan mayat seorang perempuan teronggok di sana. Mayat Melati. Mayat itu masih bersih seolah bukan mati karena
pembunuhan, kecuali kedua bola matanya yang sudah tidak berada lagi di
tempatnya.
Kampung Melayu, 12 Juni 2015