Sabtu, 13 Juni 2015

Bagaimana Cholil Mahmud Membunuh Rasa Rindunya Kepada Seorang Perempuan?



Rindu itu mulai dirasakan Cholil Mahmud di hari ke tujuh setelah pertemuannya dengan seorang perempuan di Stasiun Senen. Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Sore itu, dia baru saja turun dari kereta yang membawanya ke ibukota saat hujan deras tiba-tiba turun dan menyambutnya. Terlalu deras untuk diterobos, pikirnya. Maka dia arahkan langkah kakinya ke sebuah minimarket. Cholil memutuskan untuk membeli sebungkus kretek, kacang, dan kopi panas untuk menemaninya menunggu hujan reda.

Di lantai 2 minimarket tersebut, sambil membakar kreteknya, Cholil menikmati pemandangan Stasiun Senen yang sedang diguyur hujan. Ada banyak hal yang sudah berubah dari stasiun ini sejak pertama kali dia datang ke sini,  3 tahun yang lalu. Area yang kini dijadikan lahan parkir untuk mobil dulunya penuh dengan para pedagang buku dan majalah, di belakangnya berjejer warung-warung nasi. Cholil ingat dulu dia pernah makan di salah satu warung nasi tersebut dan di sebuah pedagang buku Cholil membeli sebuah kamus bahasa Inggris seharga 30 ribu rupiah dan buku bajakannya Aku karya Syuman Jaya. Kini pedagang-pedagang buku tersebut sudah lenyap, dan sebuah tembok berdiri memisahkan lahan parkir dengan warung-warung penjual nasi. Cholil bingung apakah warung-wrung nasi tersebut masih berjualan atau tidak. 

Lalu matanya menangkap sekumpulan anak kecil yang sedang menawarkan jasa penyewaan payung kepada setiap orang yang lewat. Tapi daripada dibilang sedang menawarkan jasa penyewaan payung Cholil lebih melihat kalau anak-anak itu hanya sedang bermain-main dengan air hujan. Tidak ada raut muka kecewa meskipun tidak ada seorang pun yang berniat menyewa payung dari mereka. Hujan membuat anak-anak kecil itu terlihat lebih ceria daripada biasanya.

Hujan selalu membuat Cholil teringat akan kampung dan masa kecilnya. Rasanya tidak ada hal yang lebih menyenangkan baginya selain bermain ketika hujan turun. Biasanya dia akan bermain mengejar-ngejar perahu yang dibuatnya dari bahan apa saja yang bisa hanyut di got di depan rumahnya yang sering meluap setiap kali hujan turun. Perahu-perahuan yang dibuatnya akan mengalir mengikuti aliran air di got yang memanjang hingga ke ujung jalan. Cholil kecil akan berlari-lari mengejar dan menangkapnya sebelum perahu-perahuan itu hanyut ke sawah di pinggiran kampungnya.   

Atau di lain hujan dia akan bermain sepak bola bersama teman-temannya. Bermain bola saat hujan juga jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan ketika hari cerah. Apalagi jika lapang bermainnya adalah bekas sawah yang baru saja selesai dipanen. Hujan akan membuat lumpur-lumpur di sawah itu menjadi sangat licin sehingga setiap pemain akan kesulitan mengendalikan bola. Jangan harap akan ada pesta gol yang terjadi jika bermain di lapangan seperti itu.

Ingatan Cholil kemudian membawanya kepada sebuah peristiwa lucu yang terjadi pada dirinya dan teman-temannya sewaktu duduk di kelas 6 SD. Waktu itu, hujannya sama deras seperti hari ini. Suasana kelas mulai berisik karena Pak Emon, guru kelas 6, baru saja memberikan sebuah tugas matematika kemudian pergi meninggalkan kelas. Ditengah suasana berisik itu, salah seorang siswa – Cholil ingat namanya si Kutil – tiba-tiba berteriak memberikan sebuah pengumuman,

woooy, cuang maen bal bae yuuuk?” katanya kepada anak laki-laki yang ada di kelas. Semua anak bengong mendengarnya, termasuk Cholil.

geus tenang bae, hujan mah sakola ge bebas!” si Kutil berusaha meyakinkan teman-temannya agar menyetujui idenya.

Sampai hari ini pun Cholil masih berpikir kalau itu adalah salah satu ide tertolol yang pernah didengarnya. Sejak kapan sekolah menjadi bebas saat hujan turun? Kecuali mungkin kelas itu hancur tersambar petir. Tapi waktu itu, tidak ada seorang pun yang menolak ajakan Kutil. Hanya ada 2 anak laki-laki yang tidak ikut saat itu. Yang satu karena dia tidak suka sepak bola, yang satu lagi mengaku sedang sakit pada waktu itu. Sisanya, sebanyak 17 anak laki-laki setuju dengan ajakan si Kutil. Maka satu per satu anak keluar dari  kelas dan meloncati pagar sekolah menuju ke sebuah lapangan sepak bola.

Lapangan itu, tentu saja bukanlah lapangan sepak bola sesuai standar internasional, bahkan memenuhi standar nasional pun tidak. Lapangan itu sejatinya adalah sebuah kebun milik Pak Dedi. Ukurannya tidak simetris, panjang sebelah.  Tiang gawangnya adalah sebuah pohon mangga. Karena cuma ada satu, maka sisa satu tiang gawangnya dibuat dari batu atau sendal yang ditumpuk-tumpuk. Tidak ada mistar gawang. Maka jika bola yang meluncur ke arah gawang dianggap terlalu tinggi oleh kiper  hal itu tidak dianggap sebagai gol.

Pertandingan itu, seperti pertandingan bola lain saat hujan, selalu seru dan menyenangkan. Tapi hal yang lebih seru terjadi ketika pertandingan itu selesai dan hujan perlahan-lahan mulai berhenti. Dua anak laki-laki yang tidak ikut bermain saat itu, Cholil mengingat-ngingat namanya, oh iya si Husnan dan si Rudi tiba-tiba datang ke lapangan.

diteangan siah ku Pak Emon!”  si Husnan berkata dengan muka serius.

ah, nu bener maneh?” si Kutil tidak percaya dengan apa yang barusan Husnan sampaikan.

Beneran aing mah” si Husnan menjawab masih dengan muka seriusnya.

Daek kanjut maneh pindah kana tarang?” si Kutil masih saja tidak percaya.

Daek sok, mun aing bohong kanjut maneh gede sabelah!” si Husnan balik nantangin sumpah si Kutil.

Semua anak mulai percaya dengan berita yang dibawa oleh Husnan, termasuk juga Cholil. Sepertiya si Husnan serius, tidak sedang bercanda. Semua mata kini tertuju kepada Kutil yang memberi ide awal untuk kabur dari kelas. Kutil kikuk, tidak berdaya membalas tatapan mata teman-temannya. Akhirnya semua anak sepakat untuk kembali ke sekolah, meskipun dengan tubuh yang kotor penuh dengan tanah.

Kisah itu kemudian ditutup dengan adegan dimana 17 anak laki-laki dengan tubuh penuh dengan tanah disuruh push up sebanyak 20 kali di lapangan upacara. 

Cholil tertawa kecil mengingat-ngingat peristiwa itu.

Lamunan tentang masa kecilnya buyar ketika seorang perempuan tiba-tiba menarik kursi yang ada di sampingnya lalu duduk di atasnya. 

“boleh kan duduk di sini?” katanya kepada Cholil setelah pantat kecilnya mendarat dengan mulus di atas kursi.

Wajah perempuan itu seperti anak kecil. Ada sebuah tahi lalat di dagunya. Lensa kacamatanya terlihat buram, mungkin mengembun karena air hujan. Sepatu dan ujung celana jinsnya terlihat basah, seperti juga ujung rambutnya. Ada air yang menetes dari ujung rambut ke wajahnya yang berbentuk bundar. Mungkin dia habis berlari menerobos hujan. Tapi nafasanya tidak terlihat ngos-ngosan.

“boleh kan duduk di sini?” perempuan itu kembali bertanya kepda Cholil. Kali ini dia bertanya sambil nyengir.

“i ii yaa, boleh” kata Cholil, pelan.

Perempuan itu meletakkan tasnya yang berwarna hijau lumut begitu saja di atas meja. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mungkin sedang mengecek beberapa pesan yang masuk, atau hanya sekedar memastikan kalau ponselnya tidak terkena air hujan.

Cholil kembali mengarahan pandangannya ke arah anak-anak kecil yang sedang menjajakan jasa penyewaan payungnya. Tapi kali ini ingatannya tidak kembali ke masa kecilnya. Dia malah memikirkan perempuan yang ada di sampingnya. Perempuan itu lucu, pikirnya. Bagi Cholil, perempuan hanya terdiri dari 2 jenis yaitu, perempuan yang cantik dan perempuan yang lucu. Perempuan cantik tidak selalu enak dilihat. Perempuan lucu, meskipun tidak cantik, pasti selalu enak untuk dilihat. Seperti perempuan yang sekarang duduk di sampingnya.

Cholil mulai berpikir bagaimana cara membuka percakapan dengannya.

“hai namamu siapa?” atau 

“aku Cholil Mahmud, kamu siapa?” atau

“mau kemana?” atau

“boleh pinjem korek api?” dan beberapa kalimat pembuka percakapan lain yang berseliweran di dalam kepalanya.

Tapi semua kalimat itu hanya berseliweran di dalam kepala Cholil. Tidak ada satu pun yang keluar dari mulutnya. Cholil mengutuk dirinya sendiri yang menjadi begitu pemalu. Bagaimana kalau ternyata saat itu Tuhan sedang mengirimkan calon jodoh untuknya. Tentu hal itu akan menjadi sebuah kisah romantis yang bisa Cholil ceritakan kepada anak dan cucunya, bagaimana dulu dia bisa bertemu dengan ibu dan nenek mereka.

“dulu ayah bertemu dengan ibumu saat hujan mengguyur Jakarta dengan mesra” begitu Cholil akan membuka kisah cintanya kepada anak-anaknya.

Tapi semua hanya terjadi dalam imajinasi Cholil. Kenyataannya Cholil masih saja berdiam diri. Hanya ada suara hujan dan asap yang mengepul dari kretek yang Cholil bakar. Sesekali Cholil melirik ke arah perempuan yang duduk di sampingnya. Perempuan itu masih asik dengan ponselnya. Sesekali ada senyum yang tersungging dari bibirnya. Aduh, manis sekali. Apalagi ada tahi lalat sebesar upil di dagunya.

Tapi Cholil ternyata lebih pemalu dari yang dia pikir sebelumnya. Menit-menit yang berlalu kemudian hanya diisi dengan kesunyian masing-masing. Tidak ada secuil keberanian pun yang keluar dari Cholil untuk sekedar menyapa perempuan yang duduk di sampingnya.

“Bego, ajak kenalan dong?!” diri Cholil yang lain mengutuknya.

Cholil malah semakin kikuk. Lagi-lagi dia melirik ke arah perempuan yang ada di sampingnya, berharap perempuan itu pun melakukan hal yang sama dengannya. Tetapi perempuan itu masih asik dengan ponselnya. Dan Cholil tetap kehilangan keberanian untuk bicara. Tenggorokannya malah terasa kering. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah hujan. Menggaruk-garuk kulit kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

“Tolol! Tolol! Tolol!” diri Cholil yang lain terus mengutuk ketidakberanianya.

Dia menyeruput kopinya yang sudah dingin. Tapi tetap saja hal itu tidak bisa memunculkan keberanian untuk menyapa perempuan bertahi lalat di sampingnya.

“Aku suka bola mata anak kecil” tiba-tiba perempuan yang duduk di sampingnya bersuara.

Dengan agak ragu Cholil menoleh ke arahnya. Apakah dia sedang berbicara dengannya atau dengan orang lain? Tapi tidak ada orang lagi di situ selain mereka. Ada juga 3 orang laki-laki yang duduk agak jauh dari mereka. Tidak mungkin 3 orang itu akan mendengarnya. Cholil menaikkan alis matanya sebagai tanda kalau dia merasa bingung.

“Iya, aku ngomong sama kamu” kata perempuan itu sambil nyengir

“oh iya, maaf. Haha” Cholil tertawa pahit

“Aku suka bola mata anak kecil. Seperti anak-anak di bawah sana” katanya sambil menunjuk ke arah sekumpulan anak kecil yang dari tadi menyewakan payung.

Bola mata Cholil bergerak mengikuti arah yang ditunjukkan oleh perempuan itu. Dia sudah tahu dari tadi anak-anak kecil itu berkumpul di sana. Tapi dia bingung apa maksud ucapan perempuan itu barusan. Mulut Cholil masih terkunci tidak tahu harus menjawab apa.

“Tolol! Tolol! Tolol!”Cholil lagi-lagi mengutuk dirinya sendiri. Ketololannya yang pertama adalah karena dia tidak berani memulai sebuah pembicaraan dengan perempuan itu. Ketololannya yang kedua adalah ketika perempuan itu sendiri yang membuka pembicaraan Cholil malah kebingungan harus menjawab apa. Ingin rasanya saat itu Cholil Mahmud menyundut tangannya sendiri dengan rokok yang sedang dihisapnya.

“Omonganku aneh ya?” perempuan itu kembali bertanya. Mungkin dia melihat kebingungan di mata Cholil.

“Ah, nggak kok.” Jawab Cholil sambil tersenyum. Oke, lumayan bisa jawab juga akhirnya, kata Cholil dalam hatinya.

“Oh  iya, kenapa suka dengan bola mata anak-anak?” akhirnya keberanian Cholil muncul. Kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulutnya yang dari tadi selalu terkunci.

“Aku juga nggak tahu pasti. Cuma kalau dilihat-lihat bola mata anak kecil itu bening. Tiap melihat sesuatu selalu penuh dengan rasa ingin tahu. Seolah-olah bola matanya itu berkata “waaaw”. Apalagi bola mata bayi” perempuan itu menjelaskan alasannya dengan agak panjang.

Lalu hening. Bukan, Cholil tidak kehilangan keberaniannya. Kali ini dia memang benar-benar kehilangan kata-katanya.

“Ayo dong jawab lagi. Jangan diam, tolol” diri Cholil yang tukang mengutuk kembali muncul, mengejek Cholil yang kehilangan jawaban.

Cholil hanya mengangguk ragu. Dia meraih gelas kopi di sampingnya, berharap rasa kikuknya bisa disembunyikan dengan minum kopi.

“Temanku ada lho yang bisa baca kepribadian orang lewat matanya” kata perempuan itu. Suaranya terdengar antusias.

“Oh iya? Pasti ayahnya dukun ya?” Cholil berusaha menjawab sekaligus melucu. Sebuah lelucon yang garing, anjing! Tapi terpaksa karena tidak ada kalimat lain yang bisa diucapkan olehnya.

Tapi perempuan itu tertawa juga. Entah karena lelucon itu terdengar lucu atau karena Cholil yang berusaha keras melucu malah terlihat lucu olehnya.

“Hahaha. Ya, bukan lah. Dia orang biasa kok. Cuma dia pernah bercerita kalau si A itu tipe pengalah orangnya, atau si B tipe-tipe ambisius. Waktu aku tanya dia tahu darimana, dia jawab tahu dari matanya. Terus aku perhatikan orang-orang yang dia omongin, ternyata bener. Nggak jauh beda. Gitu” jawabnya dengan panjang  lebar, tapi masih penuh antusiasme.

“Keren ya kayak sulap. Hehehe” Cholil mulai bisa mencairkan rasa kikuknya.

“Ya, gitu. Awalnya aku juga nggak terlalu percaya”

“Eh, aku juga bisa sulap lho” kali ini Cholil mulai memberanikan diri untuk mengimbangi perbincangan.

“Ah, masa sih?” perempuan itu terlihat ragu

“Mau lihat?”

“Mau dong, mau dong” nada suaranya selalu terdengar antusias. Cholil merasa senang. Cholil memandang ke dalam bola mata perempuan itu yang berada di balik lensa kacamatanya. Bola matanya seperti anak kecil.

“Lihat baik-baik ya?”

Cholil kemudian menunjukan kedua telapak tangannya ke arah perempuan itu. Perempuan itu menyimaknya dengan serius.

“Lihat tanganku. Kosong kan? Kosong?” Cholil memperlihatkan kedua telapak tangannya.

“Iya kosong” kata perempuan itu. Ada garis-garis keseriusan yang melintas di wajahnya.

“Tanganku kosong. Yang ini juga kosong. Lihat kan? Kosong kan?”

Lalu Cholil diam sejenak,

“Terus?” perempuan itu semakin penasaran.

“Terus... Perutku juga kosong karena belum makan” kata Cholil 

“Hahahaha” perempuan itu tertawa. Cholil merasa luar biasa senang.

“Mana sulapnya?” dia kembali menagih sulap kepada Cholil.

“Iya, yang ini serius nih. Lihat kan kedua tanganku kosong?” 

“Iya, terus?”

“Terus....” kata Cholil menggantung.

“Terus apa?”

“Terus... Dompetku juga kosong karena nggak punya duit”

“Hahahahaha. Sialan ” lagi-lagi ada tawa meledak dari perempuan itu. 

“Tapi itu sih bukan sulap” kata perempuan itu mengejek. Cholil hanya nyengir mendengarnya. Dia memang tidak bermaksud bermain sulap. Itu hanya trik untuk mencuri perhatiannya.

Cholil baru saja berniat mengulurkan tangannya untuk mengajak berkenalan ketika ponsel perempuan itu bergetar. Sepertinya ada sebuah panggilan masuk. Perempuan itu mengangkat ponselnya kemudian membelakangi Cholil. Dia berbicara selama beberapa saat. Cholil tidak bisa menyimak perbincangan itu dengan jelas. Hanya ada beberapa kata ya yang keluar dari mulut perempuan itu. Disertai beberapa anggukan kecil. Setelah itu pembicaran berhenti. Perempuan itu segera memasukakan ponselnya ke dalam tas. Dengan sedikit tergesa perempuan itu berdiri.

“Eh, duluan ya?” katanya sambil berlalu meninggalkan Cholil yang masih terbengong-bengong.
Cholil meraih gelas kopi di sampingnya. Anjing, kopinya habis. Dan perempuan itu meninggalkannya begitu  saja.

***

Di hari ke tujuh setelah pertemuannya dengan perempuan itu, Cholil Mahmud bermimpi bertemu kembali dengannya. Pertemuan itu persis seperti pertemuan mereka di Stasiun Senen. Dalam mimpinya mereka berbincang dengan asik sambil menikmati kacang rebus. Kali ini Cholil berhasil memperkenalkan dirinya kepada perempuan itu. Tapi sebelum perempuan itu menyebutkan siapa namanya, Choli keburu terbangun dari mimpinya. Bahkan dalam mimpi pun perempuan itu tidak mau menyebutkan namanya.

Cholil terbangun dengan gelisah. Setelah mimpi itu hatinya dipenuhi rasa gundah. Wajah perempuan itu selalu terbayang-bayang dalam kepalanya. Matanya menjadi sulit terpejam kembali. Sisa pagi itu hanya Cholil habiskan dengan berguling-guling di kasur tanpa bisa tertidur kembali.

Pagi itu semangat kerjanya menurun dengan drastis. Dia bangun dari tempat tidurnya dengan enggan. Setelah air mengguyur  kepala dan seluruh tubuhnya, rasa gundah itu masih tetap saja melekat.  Cholil berangkat kerja dengan malas-malasan. Wajahnya muramnya dia bawa terus sampai ke tempat kerja. 

Cholil memesan secangkir kopi hitam kepada tukang warung langganannya. Kepalanya masih dipenuhi oleh bayangan perempuan itu. Setelah mimpi itu rasanya ada sesuatu yang bolong dalam hatinya. Cholil sulit untuk menjelaskan apa yang sedang dirasakannya. Rasanya baru kali ini dia merasa seperti ini. Apakah karena perempuan itu? Atau karena mimpi bertemu dengannya?

Seseorang menyapa Cholil dari arah jalan. Teman kantornya. Sapaan itu tidak Cholil jawab. Kemudian dia menghentikan laju motornya di depan warung. Setelah membuka helm dia duduk di depan Cholil dan memesan secangkir kopi hitam sama seperti Cholil.

“Mukamu kusut. Kalah taruhan ya?” katanya sambil membakar sebatang rokok.

Cholil tetap diam. Dia hanya menanggapinya dengan sebuah senyum yang sepertinya dia keluarkan dengan agak terpaksa juga. Temannya tidak terlalu ambil peduli. Dia mengalihkan perhatiannya ke layar ponsel. Cholil memperhatikan ampas kopi yang mulai turun ke dasar cangkir. Dia masih mengingat perempuan yang ditemuinya di Stasiun Senen, seminggu yang lalu.

***

Malamnya Cholil kembali bertemu dengan perempuan itu dalam mimpi. Kali ini mereka bertemu di warung kopi langganan Cholil. Perempuan itu datang dari arah timur jalan. Mengendarai sebuah sepeda motor matic kemudian berhenti tepat di depan warung. Dia membuka helmnya. Tersenyum ke arah Cholil lalu berjalan menghampirinya.

Dia duduk di hadapan Cholil. Wajahnya cerah. Bola matanya selalu berbinar-binar.Bola mata seorang anak kecil. Cholil senang melihatnya.

“Mukamu kusut. Kalah taruhan ya?” kata perempuan itu. 

Cholil kaget. Rasanya tadi pagi seorang kawan juga menyapanya seperti itu. Cholil lalu memperhatikan wajah perempuan itu dengan seksama. Seperti ada yang berubah. Perempuan itu berkumis! Dan mirip kawannya yang tadi pagi ngopi bareng dengannya di warung. Cholil kaget lalu bangun dari tidurnya.
Setelah itu Cholil kembali tidak bisa tidur. Hatinya semakin bertambah gelisah. Pagi itu dia kembali berangkat kerja dengan dipenuhi perasaan malas.

***

Malam-malam selanjutnya mimpi Cholil selalu dipenuhi oleh perempuan itu. Di salah satu mimpinya mereka bertemu di tepi sebuah danau. Matahari sedang surut di ufuk barat. Lalu mereka berciuman di sana. Seingat Cholil, ada lagu Risalah Hati dari Dewa 19 yang mengalun mengiringi adegan ciuman itu. Tapi perempuan itu belum mau menyebutkan siapa namanya.

Setelah itu, pagi harinya Cholil terserang rasa gelisah yang luar biasa. Dia menjadi malas mandi, malas sarapan dan malas berangkat kerja. Pagi itu dia putuskan untuk tidak masuk kerja. Cholil mengurung diri di kamar kontrakannya. Dia hanya keluar untuk membeli makan dan rokok. Sisa waktunya dia habiskan di kamar memikirkan perempuan itu.

***

Di mimpinya yang lain akhirnya perempuan itu menyebutkan namanya. Tapi begitu Cholil terbangun dia lupa siapa nama perempuan itu. Entah Dini, Rini, atau Marni? Cholil tidak ingat sama sekali. 

Cholil masih tetap gelisah. Sudah 3 hari dia tidak mandi dan tidak berangkat kerja. Dia juga mulai malas makan. Tapi masih rajin merokok. Karena malas pergi keluar Cholil memutuskan membeli satu slop rokok sebagai bahan persedian. Dia akan melanjutkan diri mengurung di kamar. Siapa tahu di salah satu mimpinya perempuan itu akan memperkenalkan diri dan memberitahu dimana alamat rumahnya.

“Kau tidak pernah kelihatan, Bung. Sakit?” seorang tetangga kamar menyapanya ketika mereka berpapasan di pintu. Cholil baru saja pulang membeli kopi. Persediaan kopinya sudah habis.

“Ah, tidak Bung. Hanya sedang malas saja”

“Tapi kau terlihat tidak sehat. Ada masalah, Bung?”

“Tidak, Bung. Tidak ada apa-apa” Cholil meninggalkan tetangganya lalu kembali mengurung diri di kamar.

Malamnya, sesorang mengetuk pintu kamar Cholil. Orang itu adalah orang yang tadi menyapa Cholil. Cholil mempersilahkannya masuk. Tubuh Cholil terlihat lebih kurus. Matanya cekung. Mungkin dia kebanyakan begadang dan kurang makan.

“Aku hanya khawatir kepadamu, Bung” dia menjelaskan maksud kedatangannya.

“Tidak ada apa-apa, Bung” Cholil masih tidak mau bercerita apa pun.

“Cerita saja, Bung. Mungkin aku bisa membantumu?”

Awalnya Cholil merasa ragu untuk bercerita. Tapi kemudian lambat laun dia mulai bercerita tentang perempuan yang ditemuinya di Stasiun Senen. Lalu tentang mimpi-mimpinya yang selalu dihiasi oleh sosok perempuan itu.

“Kau sedang jatuh cinta, Bung!”

“Tidak. Aku hanya merasa rindu kepadanya”

“Rindu adalah tanda seorang sedang jatuh cinta, Bung!”

Cholil tidak peduli apakah dia sedang jatuh cinta atau tidak. Dia hanya merasa sangat rindu kepada perempuan itu. 

“Siapa namanya, Bung?”

“Aku tidak tahu”

“Temui saja langsung. Kau tahu di mana dia tinggal?”

Cholil kembali mengelengkan kepalanya.

“Kalau begitu hubungi saja nomer handphonenya. Kau pasti menyimpannya bukan?”

Cholil kembali menggeleng, “aku tidak punya”

Kawannya merasa heran.

“Kau tidak sedang jatuh cinta, Bung. Kau sakit jiwa” 

Cholil tetap tidak peduli apakah dia sedang jatuh cinta atau sakit jiwa. Yang dia inginkan hanyalah bertemu perempuan itu. Tapi dia tidak tahu di mana perempuan itu tinggal. Dia tidak tahu alamat mana yang harus dituju, dia juga tidak nomor handphone yang harus dihubungi. Bahkan namanya saja dia tidak tahu,  apakah Dini, Rini atau Marni? Atau mungkin bukan ketiganya karena nama-nama yang disebutkan itu hanya didengarnya dalam mimpi.

“Baiklah. Kau bertemu dengan perempuan itu di Stasiun Senen bukan?”

Cholil mengangguk.

“Kalau begitu, tunggu saja di sana. Barangkali perempuan itu kembali lagi ke sana” kawannya memberi sebuah nasihat.

Cholil mengangguk lagi. Nasihat yang cukup bijak.

***

Esoknya Cholil kembali tidak masuk kerja. Pagi-pagi setelah dia bangun, tentu setelah bermimpi bertemu dengan perempuan itu, dia segera mandi. Mengguyur badannya yang sudah satu minggu tidak pernah disiram air. Menggosok daki-daki yang mulai menempel di tubuhnya. Setelah selesai dia berangkat ke Stasiun Senen.

Cholil menunggu di sebuah minimarket di mana dia bertemu dengan perempuan itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Dia membeli sebungkus rokok kretek dan segelas kopi panas. Pagi-pagi dia sudah nongkrong dengan manis di lantai 2 minimarket tesebut dengan beberapa orang yang tanpaknya sedang menunggu jadwal pemberangkatan kereta api mereka.

1, 2, 3, 4, 5 jam berlalu dan perempuan itu masih tidak ada. Cholil sudah menghabiskan 3 gelas kopi dan 2 bungkus kretek. Dan orang-orang sudah berganti keluar masuk dan naik turun dari minimarket tersebut. Tapi tidak ada perempuan itu di antara mereka.

Cholil pulang kembali ke kontrakannya selepas lewat adzan Isya. Dia kelelahan. Perempuan itu tidak berhasil ditemuinya. Tapi besok dia akan kembali ke Stasiun Senen.

Besok dan besoknya lagi dan besoknya lagi lalu besoknya lagi Cholil Mahmud kembali menunggu di sebuah minimarket di Stasiun Senen. Tapi hasilnya selalu sama, perempuan itu tetap tidak terlihat. Kali ini Cholil mulai merasa putus asa.

*** 

Tubuh Cholil semakin kurus. Wajahnya terlihat semakin acak-acakan. Rambut dan kumisnya mulai memanjang tak terurus. Keadaanya terlihat semakin mengkhawatirkan. Sudah seminggu ini Cholil  bahkan tidak masuk kerja.

Tadi pagi atasannya menelepon. Cholil hanya berkata kalau dirinya sedang sakit. Mungkin dalam beberapa hari lagi akan sembuh, katanya. Tapi itu cuma alasan. Cholil tahu dia sudah tidak berniat bekerja. Dia kehilangan minat hampir dalam segala hal. Semua gara-gara seorang perempuan yang ditemuinya di Stasiun Senen dan dengan iseng selalu datang dalam mimpinya setiap malam. 

“Perempuan itu waktu kecilnya pasti suka mengisengi orang” kata kawannya.

“Kenapa memangnya, Bung?”

“Karena bahkan dalam mimpi pun dia tidak mau menyebutkan nama dan tempat tinggalnya”

“Asuuuu”

Si kawan, yang sudah 2 tahun tinggal satu kontrakan dengan Cholil mulai merasa khawatir juga dengan keadaan Cholil. Kurang dari sebulan lagi Cholil bisa mati kalau begini terus. Dan dia akan mati penasaran karena perempuan itu. Tidak baik membiarkan seseorang mati dengan membawa rasa penasaran karena hantunya pasti akan selalu gentayangan. Si kawan teringat kepada tetangganya yang pernah mati penasaran. Tetangganya, seorang fans berat Juventus suatu hari mati karena stroke. Sebelum mati dia sangat ingin melihat Juventus kembali juara Liga Champion. Tapi sampai hari ketika Izrail membawa nyawanya, Juventus masih belum juga menjuarai Liga Champions. Hingga hari ini hantu si tetangga masih sering muncul. Gentayangan setiap malam Jum’at memakai baju belang-belang mirip narapidana. Semua do’a dan usaha para pengusir hantu tidak bisa membuat hantu si tetangga tenang di alam kuburnya.

“Dia cuma akan tenang kalau Juventus juara Champions” tetangga yang lain berspekulasi.

“Ah, itu pasti azab. Si Fulan kan waktu hidup kerjanya cuma mengejek klub bola lain. Inter diejek, Milan diejek, MU diejek, Madrid diejek, semuanya dia ejek kecuali Juventus. Makanya pas hidup banyak yang doain jelek. Pas mati jadi nggak tenang di kuburnya” kata tetangga yang lainnya.

Si kawan hanya tidak ingin Cholil bernasib seperti tetangganya. Mati dengan membawa rasa penasaran. Apalagi rasa penasaran ini akibat seorang perempuan.

*** 

 Cholil mulai menulis puisi dan bermain gitar. Semua atas saran dari kawannya yang sudah mulai khawatir dengan keadaan Cholil. Sesungguhnya, mengharapkan Cholil untuk bertemu kembali dengan perempuan itu adalah perkara yang hampir mustahil. Nama dan alamat tinggalnya saja tidak tahu. Mungkin hanya sebuah mukjizat yang bisa mempertemukan mereka kembali. 

“Menulislah, Bung. Semua puisi dan lagu-lagu indah tercipta dari rasa rindu dan patah hati” begitu nasihat dari kawannya. 

“Barangkali, suatu saat perempuan itu akan membaca puisi dan mendengar lagu-lagumu” lanjutnya.

“Kalau tidak?”

“Yah, setidaknya kau bisa terkenal seperti Ahmad Dhani”

Maka Cholil pun mulai menulis puisi dan lagu. Dia mulai memainkan jari-jarinya di atas fret gitar. Meskipun kemampuan bermain gitarnya hanya sanggup bermain di level Em C G D. 

Paginya si kawan sudah menemukan berlembar-lembar kertas tergeletak di lantai kamar Cholil. Dia membaca salah satunya.

Sebuah puisi (mungkin) :
Ada yang rindu
Pada Hari Sabtu
Cuacanya seperti sekarang
Paginya cerah, sorenya hujan
Lalu malamnya aku tidur lelap sekali

“Puisi macam apa ini?” kata si kawan dalam hatinya.

Si Kawan kemudian membangunkan Cholil yang tertidur sambil memeluk gitar. Cholil membuka mata dengan malas. Mungkin dia sedang bermimpi bertemu dengan perempuan itu lagi dan pertemuan itu terganggu karena si kawan membangunkannya. Cholil mengucek-ngucek matanya dan menguap beberapa kali.

“Kau tidak kerja lagi, Bung?”

Cholil menggelengkan kepalanya. Dia meraih sebatang rokok kemudian membakarnya. 
Kawannya kemudian pergi meninggalkan Cholil yang masih menikmati rokok pertamanya.

“Mungkin kau harus ke psikiater, Bung” kata kawannya yang sudah berdiri di muka pintu lalu pergi.

***

Dalam seminggu Cholil sudah berhasil menulis puisi satu buku penuh. Juga beberapa buah lagu. Kadang dia nyanyikan lagu-lagu itu di depan kawannya,

“Ah, yang ini terdengar seperti lagu Armada” kata kawannya mengomentari salah satu lagu yang Cholil nyanyikan.

“Aku pikir seperti Coldplay”

Di lain lagu si kawan bilang kalau lagunya mirip lagu Noah. Yang lain mirip D’massiv. Ada juga yang dibilang mirip dengan lagu Geisha, versi suara cempreng laki-laki. Si kawan kemudian menyadari kalau Cholil tidak berbakat sama sekali dan menulis lagu atau pun bernyanyi.

Cholil sendiri sudah merasa kalau usahanya menulis lagu dan puisi terasa sia-sia. Karena semua yang dilakukannya tidak juga berhasil mengusir rindu kepada perempuan itu pergi dari hati dan kepalanya. Juga mimpinya. Di hari ke 10 Cholil sudah berhenti menulis lagu dan puisi. Dan dia kembali murung.

*** 

“Jika ide ini gagal, aku rela dikebiri!” kata si Kawan kepada Cholil dengan berapi-api.

Malam itu, sepeda motor yang mereka tumpangi sedang melaju menyusuri rel kereta api untuk menemukan sebuah tempat yang dipercaya oleh si kawan bisa menyembuhkan rindu yang diderita oleh Cholil. Awalnya Cholil menolak ajakan itu. Tapi si kawan terus menerus memaksanya. Dia tidak ingin jika Cholil Mahmud harus mati penasaran gara-gara seorang perempuan. Dan dia lebih tidak ingin lagi jika arwah Cholil yang penasaran akan mengganggu malam-malamnya. Cholil pun menuruti ajakan si kawan. Tapi sepanjang perjalanan dia lebih banyak diam.

Setelah menyusuri rel kereta api sepeda motor itu kemudian masuk ke gang-gang sempit. Cholil sudah tidak ingat lagi ada berapa belokan yang mereka lewati. Dirinya juga sudah tidak hapal sedang berada di daerah mana. Yang ada hanya sebuah jalan sempit di antara jejeran rumah yang saling menghimpit. Sepeda motor itu kemudian keluar gang dan melaju lurus di sebuah jalanan besar yang tidak terlalu ramai.  

Setelah 30 menit perjalanan akhirnya mereka tiba di suatu tempat. Dari luar tempat itu terlihat seperti sebuah pondok indekost dengan pagar besi berwarna hitam yang menjulang tinggi sehingga kau tidak mungkin melompatinya. Tinggi pagar itu sejajar dengan tinggi tembok yang mengelilingi bangunan itu. Tepat di samping pintu gerbang berdiri sebuah gardu kecil. Seorang laki-laki berkumis tebal tampak berjaga di sana.

Si kawan kemudian menepikan motornya dan berjalan menghampiri laki-laki berkumis tebal tadi. Cholil tidak mengikutinya. Dia masih duduk di atas jok sepeda motor sambil menghisap rokoknya. Si kawan terlihat berbicara sebentar dengan laki-laki berkumis tebal tersebut. Laki-laki berkumis tebal itu kemudian membuka pintu gerbang. Si kawan kembali ke tempat Cholil berada dan menyalakan motornya memasuki tempat seperti pondok indekost tersebut.

*** 

 Cholil sedang berada di sebuah kamar di dalam bangunan yang mirip pondok indekost tadi. Kamar itu berukuran  tidak terlalu luas. Dindingnya dicat putih dengan sebuah kipas angin menempel. Di dalamnya hanya terdapat sebuah lemari kayu, sebuah meja tulis dan ranjang. Juga sebuah kamar mandi di samping kanan tempat Cholil duduk. Cholil sedang duduk di atas ranjang. Dia masih membiasakan diri berada di tempat itu. Terutama karena di sampingnya juga duduk seorang perempuan.

Rupanya bangunan seperti pondok indekost itu adalah sebuah rumah bordir. Letaknya memang jauh dari keramaian sehingga tidak terlihat terlalu mencolok. Bangunan itu terbagi menjadi 2 lantai dan beberapa buah kamar. Seorang ibu-ibu paruh baya, yang sempat Cholil dan kawannya temui ketika mereka masuk adalah induk semangnya. Ternyata ini ide yang yang dimaksud oleh kawannya tersebut, yang digadang-gadang bisa menyembuhkan rindu yang diderita oleh Cholil. Mengunjungi rumah bordir, ha! Cholil jadi bertanya-tanya sebenarnya dia atau kawannya yang sedang sakit jiwa.

“Biasanya orang yang datang ke sini selalu terburu-buru” kata perempuan di samping Cholil. Kalimat itu membuyarkan lamunan Cholil. Dia menoleh ke arah perempuan tersebut.

“Sebenarnya, aku nggak berniat ke sini” jawabnya.

“Jadi?” perempuan itu tampak heran.

Cholil diam sejenak.  Dia kemudian berdiri dan menarik sebuah kursi dari dekat meja dan duduk di atasnya. Kini matanya bertatapan langsung dengan mata perempuan yang berada di hadapannya. Cholil mengamati perempuan itu. Kulitnya bersih. Rambutnya panjang sebahu dan berwarna sedikit kecokelatan. Salah satu rambutnya dia jepit dengan jepitan rambut berwarna biru langit. Dan bola matanya bersinar seperti bola mata anak kecil. Kata induk semang yang tadi ditemuinya, perempuan ini adalah yang paling cantik di rumah bordir ini. Tidak, induk semang itu keliru, perempuan ini yang paling cantik sekaligus lucu. 

Cholil mengambil sebuah rokok dari saku celananya. Menawarkan sebatang rokok kepada perempuan yang ada di depannya, tapi perempuan itu menolaknya. Kemudian Cholil membakar rokoknya sendiri. Setelah hembusan asap rokok ketiga Cholil mulai menceritakan alasannya datang ke tempat itu.

“Jadi begitu lah” kata Cholil menutup ceritanya.

“Hahahahaha” perempuan yang ada di depannya tertawa. 

“Kamu lucu”

“Perempuan yang aku ceritakan barusan juga pernah berkata seperti itu”

“Oh iya?” perempuan itu terlihat senang.

“Siapa namamu?”

“Melati”

“Kenapa kerja di sini?”

“Ceritanya panjang”

“Aku punya banyak uang dan waktu luang untuk mendengar ceritamu”

Kali ini giliran Melati yang bercerita tentang masa lalunya kepada Cholil. Cholil menyimaknya dengan penuh perhatian. Menjadi seorang pelacur ternyata tidak sebusuk yang seperti dia bayangkan sebelumnya. Tentu, bisa saja Cholil menyebutnya tidak bermoral atau pun mengutuknya. Tapi jika dia pikir lebih jauh lagi, semuanya tetap berawal dari negara. Kenapa pendidikan begitu mahal? Kenapa lapangan kerja sempit? Lalu jika sudah seperti ini, di mana tanggung jawab negara terhadap warganya?

Lamunan Cholil lagi-lagi buyar oleh suara Melati.

“Menyedihkan ya?”

Cholil hanya tersenyum. Dia tidak bisa berkata apa-apa.

“Tapi rugi juga jika kamu ke sini hanya untuk ngobrol” bola mata Melati menggodanya.

“Aku baru pertama kali datang ke tempat seperti ini. Jadi nggak tahu juga harus ngapain?”

“Kalau begitu, biar aku ajarin” kata Melati sambil medekatkan tubuhnya lalu mencumbu Cholil Mahmud. Aroma tubuhnya seharum bunga melati.

*** 

Mimpi bertemu dengan perempuan di Stasiun Senen mendadak hilang setelah Cholil Mahmud bertemu dengan Melati. Seiring dengan hilangnya perempuan itu dari mimpi Cholil, rasa rindunya pun berkurang sedikit demi sedikit. Hatinya sudah tidak terasa bolong lagi. Mungkin ide kawannya kali ini berhasil.  

Tapi hanya bertahan beberapa minggu mimpi itu kembali lagi menghampiri Cholil dan demam rindunya kembali kambuh. Cholil Mahmud kembali uring-uringan dan gelisah. Dia pikir perempuan itu tidak akan kembali mengganggunya tapi ternyata dia datang lagi. Membawa rindu yang kembali membuat hati Cholil bolong-bolong.

Cholil Mahmud kemudian mengunjungi kembali Melati. Dan ajaib, setelah bercinta dengan Melati rindu itu hilang dan perempuan itu tidak pernah mengganggu mimpinya lagi. Cholil mulai merasa ada sesuatu dalam diri Melati yang mampu memadamkan rindunya kepada perempuan itu.

Selanjutnya menjadi seperti sebuah rutinitas. Jika Cholil sedang merindukan perempuan itu dia akan datang kembali ke tempat Melati dan bercinta dengannya sampai puas. Terus-menerus seperti itu sampai suatu hari Melati berkata kepadanya,

“Rasanya, aku mulai mencintaimu”

Cholil diam saja dan tetap melanjutkan kegiatan percintaan mereka.

Di lain waktu, di tengah percintaan mereka, Melati tetap berkata seperti itu kepadanya.

“Rasanya, aku mulai mencintaimu”

Cholil tetap menganggapnya sebagai sebuah angin lalu. Tapi Melati terus membatu dan terus menerus berkata seperti itu kepadanya.

“Rasanya, aku mulai mencintaimu”

Kali ini Cholil Mahmud menjawabnya,

“Aku tidak mencintaimu”

“Lalu kenapa kamu selalu datang ke sini?”

“Aku hanya merindukan perempuan itu”

“Kenapa setiap kali kamu merindukan perempuan itu kamu selalu datang kepadaku?”
 
Lagi-lagi Cholil diam. 

"Kenapa setiap kali kamu merindukan perempuan itu kamu selalu datang kepadaku?" Melati terus-menerus bertanya. Tapi mulut Cholil tetap bungkam.

Tapi pada suatu hari, entah pada adegan percintaan mereka yang ke berapa akhirnya Cholil Mahmud membuka mulut dan menjawab pertanyaan Melati.

“Perempuan itu pernah bilang, dia suka bola mata anak kecil. Dan bola matamu seperti anak kecil”

Ya, bola matamu seperti anak keci, ulang Cholil dalam hatinya. Dia mengulangnya sambil terus bercumbu dengan Melati. Terus dan terus sampai rasa  rindunya kepada perempuan itu hilang dan sampai suatu ketika, kamar itu ramai dipenuhi oleh orang-orang, juga polisi, setelah seorang ibu-ibu paruh baya menemukan mayat seorang perempuan teronggok di sana. Mayat Melati. Mayat itu masih bersih seolah bukan mati karena pembunuhan, kecuali kedua bola matanya yang sudah tidak berada lagi di tempatnya.

Kampung Melayu, 12 Juni 2015

Tuhan Yang Maha Woles



“Tuhan seperti apa yang kamu percayai?” 

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari si Cacing, kawan baikku, pada suatu malam ketika aku pulang mendaki gunung. Aku, yang pada malam itu sedang mendengarkan lagu River dari JKT48 dan berusaha untuk tidur menjadi terjaga kembali. Pertanyaan tentang Tuhan membuat rasa kantukku menguap jauh.
Entah dalam rangka apa tiba-tiba si Cacing bertanya tentang hal itu? Mungkin dia berpikir aku pergi mendaki gunung untuk mencari keberadaan Tuhan, padahal tentu saja pikirannya itu keliru. Pertama, aku pergi mendaki gunung untuk mengusir penat akibat rutinitasku bekerja sebagai perawat. Kedua, memangnya sejak kapan Tuhan tinggal di gunung?

Tapi tetap saja pertanyaan si Cacing itu membuatku tergelitik untuk menjawabnya. Dan sisa malam itu jadi aku habiskan untuk memikirkan Tuhan.

Pertanyaan tentang Tuhan, aku yakin, merupakan sebuah pertanyaan yang sudah berusia ribuan tahun. Dimulai sejak manusia pertama kali menyadari keberadaannya di dunia ini. Kesadaran tentang dirinya dan keberadaannya membuat manusia menjadi berpikir untuk apa dan kenapa mereka ada di dunia. Ada yang pernah berkata bahwa kesadaran ini adalah sebuah kutukan bagi umat manusia karena mereka jadi harus repot-repot memikirkan segala tetek-bengek kehidupannya.  Berbeda dengan kecoa misalnya, yang tidak perlu berpikir kenapa mereka ada di dunia ini (atau mungkin kecoa juga pernah berpikir tentang hal itu? Aku tidak terlalu yakin). Kecuali jika kau memang benar-benar tidak peduli terhadap hidupmu atau hidupmu memang seperti seekor kecoa tadi, kau tidak perlu repot-repot memikirkan hal ini.

Awalnya aku pun begitu. Tidak peduli kenapa aku hidup dan untuk apa? Apalagi hidup di tengah lingkungan orang-orang beragama aku menjadi percaya begitu saja kalau hidup itu sudah terjamin. Kau berbuat baik maka kau akan masuk surga dan hidup di sana selamanya. Atau jika kau berbuat jahat maka Tuhan akan menghukummu di neraka. Kita tinggal menjalani dan tak usah berpikir macam-macam. Aku jadi berpikir mungkin itu salah satu alasan kenapa manusia membutuhkan Tuhan. Artinya, jika memang hidup itu tidak pernah mempunyai tujuan akhir atau katakanlah tidak ada kehidupan lain setelah mati maka sosok Tuhan tentu saja tidak dibutuhkan. Kau hidup terus mati dan hilang. Selesai begitu saja. Pernah mencoba memikirkan bagaimana rasanya lenyap dari dunia ini? Aku pernah mencobanya, dan rasanya seperti mau muntah.

Mungkin karena kebanyakan orang tidak sanggup membayangkan dirinya lenyap begitu saja dan keberadaanya di dunia hanyalah nihilisme belaka, maka sosok Tuhan dihadirkan. Setidaknya mereka mempunyai sebuah jaminan dan tentu saja, tujuan, bahwa hidup gak gini-gini amat yak.

Keyakinanku sendiri tentang keberadaan Tuhan masih bersifat setengah-setengah. Setengah percaya dan setengah tidak. Setengah percaya karena aku masih belum mampu menerima jika kenyataannya hidup hanyalah sebuah nihilisme belaka tanpa ada tujuan dan jaminan. Setengahnya lagi tidak percaya, karena aku masih ragu apakah keyakinan tentang Tuhan ini adalah sesuatu yang dibentuk sejak kecil (karena hidup di lingkungan orang-orang yang percaya dengan keberadaan Tuhan). Lain halnya dengan agama. Aku sudah tidak mempercayai lagi agama. Agamamu adalah tempat di mana kau lahir dan dibesarkan. Jika kau tumbuh di lingkungan dan keluarga yang beragama Islam maka kemungkinan besar kau akan beragama Islam. Kata Islam tinggal kau ganti saja dengan nama lain maka itulah agamamu. Bagiku, hal ini tidak layak disebut sebagai sebuah keyakinan karena kau tidak mencarinya sendiri melainkan dibentuk oleh lingkungan sejak kau kecil. Tapi bisa saja suatu saat kau pindah agama setelah berusaha mencari apa yang benar-benar membuatmu yakin. Baru aku bisa menyebut hal itu sebagai sebuah keyakinan. Tapi jika kau tidak pernah menegok keluar dan percaya begitu saja aku tidak menganggap itu sebagai sebuah keyakinan. Lagipula beragama itu tidak jauh berbeda dengan kau menyukai klub sepakbola, hanya saja dengan kadar fanatisme yang lebih ekstrim. Maka adalah sebuah hal yang sia-sia jika ada orang yang berdebat tentang agama. Lebih sia-sia dari usaha menggosok batu akik atau berharap Teuku Wisnu akan mencukur janggutnya.

Sebenarnya hal itu juga berlaku terhadap keyakinanku akan Tuhan. Apakah keyakinan ini adalah hasil bentukan selama aku hidup seperti halnya agama atau bukan? Tapi untuk saat ini, aku masih ingin percaya kalau Tuhan itu benar-benar ada. Sehingga aku juga bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Cacing, Tuhan seperti apa yang kamu percayai?

Entah sejak kapan aku mulai membayangkan kalau Tuhan adalah sosok yang woles. Maha Woles.Aku bahkan membayangkannya mirip dengan sosok Pak Guru Koro dalam komik Assassination Classroom yang baru-baru ini aku baca (kau harus membaca komiknya). Sosok yang woles dan sedikit konyol. Berbeda dengan gambaran beberapa orang yang melihat Tuhan sebagai sosok yang kejam. Dikit-dikit azab. Dikit-dikit hukum. Ada banjir dibilang azab Tuhan. Tsunami dibilang murka Tuhan. Semua bencana selalu dikaitkan dengan hukuman dari Tuhan. Menurutku ini aneh. Coba pikirkan sejenak. Jika percaya kalau Tuhan adalah sosok yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang lalu kenapa Dia harus marah-marah? Bukankah hal ini menjadi kontradiktif? Maha Pengasih tapi marah-marah?

Lagipula kenapa Tuhan harus marah? Jika sekarang aku bilang, Tuhan sudah mati, lalu apakah Dia marah? Bukankah Dia yang kau percayai adalah Yang Maha Tahu Segalanya? Jadi Dia pasti sudah tahu kalau aku akan berkata Tuhan sudah mati, jadi buat apa Dia harus marah? Oleh karena itu, penggambaran Tuhan sebagai sosok Yang Maha Satpam dan Maha Pentung tidak pernah cocok dengan apa yang aku bayangkan.  
Aku menjadi berpikir lebih jauh bahwa mungkin saja perilaku seseorang bisa ditentukan dari bagaimana cara orang tersebut meyakini Tuhan. Jika dia meyakini Tuhan sebagai sosok yang Maha Pengasih maka kemungkinan hidupnya juga akan dipenuhi perasaan cinta dan kasih. Tapi jika hidupnya hobi mentungin orang lain yang berbeda keyakinan dengannya aku yakin kalau orang itu memang membayangkan Tuhan sebagai sosok Yang Maha Pentung, bukan sosok Yang Maha Pengasih.

Yah, membicarakan Tuhan memang membikin lelah. Mungkin sebaiknya aku menyarankan si Cacing untuk pergi berlibur agar dia tidak membuat malam-malam kawannya dihabiskan untuk memikirkan Tuhan. Lagipula yang bikin malas dari pembicaraan tentang Tuhan adalah sering munculnya orang-orang yang percaya Tuhan Maha Pentung. Percayalah, kau akan malas sekali berurusan dengan orang-orang sejenis itu. Aplikasi hiburan semacam Ketika Tuhan Menciptakan Saya di ponsel saja sudah diprotes bagaimana dengan pembicaraan yang bersifat lebih serius? Maka sebaiknya tulisan ini aku sudahi saja.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh si Cacing, jadi Tuhan seperti apa yang kamu percayai? Kau sudah tahu jawabannya, Cing. Aku hanya percaya pada Tuhan Yang Maha Woles.