Minggu, 22 November 2015

Si Pembual

Tentang kegemaranku membual -kau juga bisa menyebutnya bakat- aku yakin mendapatkannya dari ayahku. Ia seorang pembual tulen. Ia pernah bilang kalau hanya ada dua pekerjaan yang cocok untuk para pembual, menjadi pemuka agama atau penulis. Ayahku memilih yang kedua. Dan sepertinya ia salah pilih. Seharusnya ia menjadi pemuka agama saja, menjual ayat-ayat suci, berbual tentang surga dan neraka dan tanda-tanda kiamat nyatanya lebih menguntungkan daripada menjual sebuah tulisan dan dengan begitu mungkin saja saat ini aku tidak akan berada di sini ; duduk menjaga warung sambil menonton gosip tentang selebriti yang rasanya baru sebulan lalu menikah dan kini sedang dalam proses perceraian.

Ibuku yang memutuskan untuk membuka warung kecil ini setelah ia mendapatkan warisan dari orang tuanya. Ia mungkin sadar tidak bisa berharap banyak dari karir kepenulisan ayahku. Dan ia benar, setelah ayahku wafat saat aku masih berusia delapan tahun warung inilah yang menjadi penopang hidup kami sampai bisa membuatku lulus SMA. Aku tidak melanjutkan kuliah dan memutuskan untuk membantu ibuku menjaga warung ini.

Ayahku penulis cerita-cerita anak meskipun kata ibu ia juga pernah menulis novel dan kumpulan cerpen yang sama-sama tidak pernah laku. Salah satu novelnya yang pernah kubaca berjudul Pulanglah, Kau Mabuk. Bercerita tentang seorang lelaki yang kerjanya hanya mengeluh dan mengeluh dan mengeluh setiap saat tentang hidupnya, pekerjaannya, kisah asmaranya, dan semuanya. Setiap halaman novel hanya berisi keluhannya saja. Di akhir novel lelaki itu bertemu seorang penjual sapu keliling dan ia tetap saja mengeluh kepadanya. Setelah mendengar rentetan keluhannya, si penjual sapu itu hanya berkata singkat, "pulanglah, kau mabuk". Dan novel itu selesai.

Novel itu tidak terlalu tebal tapi aku membacanya sampai berminggu-minggu dan hampir mati bosan karenanya.

Pantas saja novel itu tidak pernah laku.

Belakangan aku juga baru tahu kalau ayahku sempat menulis cerita stensilan. Aku menemukan sebuah manuskripnya tentang petualangan seorang polisi mesum saat ibuku membongkar gudang dan berniat menjual semua tumpukan kertas kepada pedagang loak yang kebetulan lewat - ia tampaknya tidak begitu suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan menulis ayah. Aku ingat beberapa bagian dari manuskrip itu. Salah satunya seperti ini,

"Mas Bram, rudalmu terlalu besar. Aku takut"

"Jangan takut, Mira. Hanya sakit sebentar, kok"

"Ouuuhhh, Mas Bram"

"Ouh, Mira"

Dan sisanya hanya diisi dengan kalimat uhh ahh uhh ohh uhh ahh uhhh ooohh sampai selesai.

Memang benar, seharusnya ia jadi seorang pemuka agama saja.

Aku tidak pernah membenci ayahku sekalipun ia adalah seorang penulis yang payah dan tukang membual. Aku bahkan senang dengan bualannya karena ia bisa mendongengiku bermacam-macam cerita. Ia pernah bercerita bahwa Jenderal Sudirman sebenarnya sedang terkena mencret dan harus ditandu ketika bergerilya semasa agresi militer Belanda. Meskipun harus ditandu dan sering berhenti karena perutnya mulas dan harus berak dalam keadaan waswas takut diberondong tembakan beliau tetap berjuang. Semangat juangnya memang luar biasa sekali. Mungkin kekeras kepalaan ayahku yang tetap ngotot menjadi seorang penulis terinspirasi dari kisah Jenderal Sudirman yang ia ceritakan padaku.

Ayahku juga sering mengajakku jalan-jalan dengan sepeda motor bebek tuanya yang tidak pernah mau ia jual meskipun sering keluar masuk bengkel. Ia sangat menyayangi sepeda motornya itu. Ia mengaku membeli sepeda motor itu dari hadiah sayembara menulis novel yang dijuarainya. Tentang hal itu aku agak ragu juga. Aku menduga itu hanya bentuk bualannya yang lain, tapi waktu itu aku masih kecil sehingga tidak pernah bertanya lebih jauh tentang sayembara menulis novel yang dijuarainya itu.

Lalu ayahku meninggal dan aku mulai senang membual.

Aku tidak menjadi seorang pemuka agama ataupun penulis tapi aku senang membual. Rasanya ada kesenangan tersendiri saat kau berbual-bual kepada orang lain. Mereka mungkin tidak akan percaya dengan bualanmu tapi itu bukan masalah. Membual bukanlah perkara memaksa orang lain agar percaya dengan bualanmu. Itu yang harus kau pahami.

"Om, rokok dong?" Tiba-tiba suara seorang bocah menghampiri telingaku. Aku melongok ke luar dan kulihat seorang bocah kurus berkaus Green Day sedang berdiri sambil bersiul-siul.

Namanya Ilung. Ia sepupuku. Baru kelas dua SMP dan sudah menggemari Green Day. Lagaknya memang rada tengil.

"Masih bocah udah ngerokok. Gue bilangin emak lu"

"Elaaah, Om. Sebatang doang"

"Eh, lu bolos ya? Jam segini masih di sini?"

"Libur, Om. Guru-gurunya ada rapat apa gitu jadi muridnya diliburin"

"Beraaaak. Bohong lu"

Aku memberinya sebatang Sampoerna Mild. Ia langsung membakarnya dan duduk di bangku kayu di depan warung.  

"Eh lu baru keliatan, Om. Ke mana aja?" Ia bertanya dengan sedikit berteriak karena aku ada di dalam warung. Aku mengambil sebatang rokok dan keluar dari dalam warung lalu duduk menemaninya.

"Gue baru pulang dari Tibet"

"Hah, serius lu Om?"

Aku mengangguk pasti. Ia terlihat tidak percaya.

"Ngapain lu ke Tibet?"

"Ada semacam ritual gitu, biar enteng jodoh dan rejeki lancar"

"Ah berak, lu pasti bohong"

"Nggak percaya lu? Nih lihat kepala gue botak" kataku sambil memperlihatkan kepalaku yang botak. Tiga hari yang lalu aku memang sengaja menggundulinya. Rambutku memang tidak bisa diharapkan. Dibiarkan pendek menjadi seperti duri landak, dibiarkan panjang malah dikira banci.

"Ah nggak percaya"

"Terserah lu"

Seminggu yang lalu aku memang tidak berada di rumah. Tapi aku tidak pergi ke  Tibet, aku hanya menginap di rumah seorang temanku. Kedua orangtuanya sedang menunaikan ibadah haji sehingga rumahnya kosong dan ia begitu penakutnya sampai memintaku untuk menemaninya. Aku hanya menemaninya selama satu minggu karena ibuku mulai ngoceh-ngoceh tentang warung yang tidak ada penjaganya. Aku memutuskan untuk pulang dan kepada setiap orang yang menanyainkeberadaanku selama seminggu itu aku selalu bilang kalau aku baru saja pulang dari Tibet.

Begitulah aku biasa membual.

Ilung pergi setelah rokoknya habis. Aku yakin ia memang bolos sekolah dan membual kepada orang tuanya kalau sekolah diliburkan. Tapi, ah, apa peduliku. Biarkan sajalah.

Aku matikan bara rokokku pada bangku yang aku duduki. Tidak ada orang dan aku mulai bosan. 

Dari jarak 25 meter aku melihat sesosok tubuh gemuk berjalan. Ia pasti menuju ke sini.

"Roi, Garpit sebungkus dong" 

Benar saja, ia ke sini. Itu Bang Eddie. Ia punya panggilan khusus untukku. Namaku Roy tapi Bang Eddie selalu memanggilku Roi. Saat aku tanya kenapa ia memanggilku seperti itu ia hanya tertawa. Tidak ada alasan khusus, lebih enak begitu, katanya.

Ia berjalan dengan langkah-langkah pendek membawa tubuh gemuknya lalu duduk di bangku yang tadi ditempati Ilung, menyandarkan tubuhnya yang tampak kelelahan. Terdengar bunyi berderak dari bangku kayu yang didudukinya.

Aku masuk kembali ke dalam warung mengambil sebungkus Gudang Garam Filter -yang dalam istilah Bang Eddie disebut Garpit.

"Utang lagi ya? Lu catet aja, Roi" katanya setelah menerima sebungkus Gudang Garam Filter dariku. Aku mengangguk lalu masuk lagi ke dalam warung, mengambil sebuah buku catatan yang sudah mulai buluk.

Eddie. Aku menemukan nama itu. Hutangnya lumayan banyak juga. Pantas ibuku tidak suka jika ia datang ke warung. Untung saja saat ini ibu sedang tidak menjaga warung, ia sedang sakit dan sejak semalam hanya berdiam diri di dalam rumah.

Aku sendiri biasa saja. Menurutku Bang Eddie orang yang baik, aku pernah ditraktirnya bir ketika musim pemilu tahun lalu.

Nama aslinya Edi tapi ia lebih suka menulisnya Eddie dengan huruf D ganda dan ditambahkan E di ujungnya. 

"Biar seperti Eddie Vedder" katanya bangga.

Pekerjaannya cukup unik. Ia mengumpulkan massa untuk berdemo. Maksudnya jika kau butuh massa untuk berdemo atau untuk menghadiri kampanye partaimu atau apa saja yang memerlukan kehadiran banyak orang kau bisa menghubunginya. Ia bisa mengumpulkan 50 sampai 100 orang, bahkan jika bayarannya lebih banyak lagi ia mampu mengumpulkan sampai 500 orang. Itu yang ia katakan padaku. Makanya saat musim pemilu kemarin ia kebanjiran rejeki sampai bisa mentraktirku minum bir.

Setelah musim pemilu berakhir rejekinya mulai tersendat. Belakangan ini malah ia belum dapat orderan sama sekali. Pantas aku lihat tubuhnya seperti kelelahan dan batok kepalanya semakin licin. Jika sudah begitu biasanya ia berhutang di warungku.

Aku menemaninya merokok. Biasanya ia punya banyak cerita menarik. Tapi rasanya kali ini ia sedang tidak kepingin bercerita. Mungkin sedang punya banyak masalah. Aku jadi segan membual padanya. Jadi aku putuskan untuk diam saja. 

Bang Eddie tidak lama berada di warung. Belum juga habis rokoknya ia sudah pamit pergi. Katanya ada urusan penting. Ia juga berjanji akan segera membayar hutangnya.

"Santai sajalah Bang. Kayak tai ngambang" jawabku. Ia tertawa, sebentar, lalu pergi.

Tinggal aku sendirian. Hari sudah mulai siang dan aku semakin bosan.

Inilah tidak enaknya menjaga warung siang-siang. Jarang ada pembeli. Sekali pun ada biasanya ibu-ibu dan aku kurang suka membual kepada ibu-ibu. Mereka lebih lihai berbicara dibandingkan denganku. Dan mereka tidak suka mendengarkan. Mereka lebih senang berbicara.

Sebenarnya jaga warung di pagi dan siang adalah tugas ibuku. Tapi karena ia sedang sakit maka seharian penuh aku yang ditugasi menjaga warung. Mungkin ia juga sengaja menghukumku yang selama seminggu mangkir dari tugas karena harus menemani temanku yang penakut.

Aku masuk kembali ke dalam warung. Menonton acara tv yang lagi-lagi sedang menayangkan gosip selebriti. Kupikir luar biasa sekali acara gosip selebriti ini. Jam tayangnya sudah seperti minum obat, tiga kali sehari ; pagi, siang, dan sore. Atau mungkin itu memang betul-betul sebuah obat yang bikin orang Indonesia lupa dengan segala tetek-bengek masalah hidupnya. Waah ide yang sangat brilian. Cocok untuk sebuah kisah fiksi. Jika ayahku masih hidup aku pasti menyuruh ia untuk menuliskannya.

Aku jadi benar-benar bosan. Tidak ada yang benar-benar bisa aku kerjakan. Warung sepi, acara tv tidak ada yang menarik, mau masturbasi sedang tidak kepingin. Hah!

Aku mengambil buku catatan hutang yang tergeletak tidak jauh dari jangkauan tanganku. Tiba-tiba saja aku jadi kepingin menulis. Sebelumnya aku tidak pernah menulis sama sekali. Maksudku, kegiatan menulis seperti ayah. Kupikir tidak ada salahnya juga menuangkan bualanku ke dalam tulisan. Rasanya lumayan untuk mengurangi rasa bosanku.

Aku mulai memikirkan beberapa kalimat pembuka. Ada beberapa kalimat yang melintas di otakku. Aku dapat satu. Sepertinya kalimat ini yang paling pas. Aku mulai menuliskannya di kertas.

Tentang kegemaranku membual -kau juga bisa menyebutnya bakat- aku yakin mendapatkannya dari ayahku...

Cirebon, 21 November 2015


Jumat, 13 November 2015

Bertemu Izrail

Aku kira ia mempunyai tampang yang menyeramkan. Dengan predikatnya sebagai malaikat pencabut nyawa wajar saja bila aku mempunyai pikiran seperti itu. Aku pernah membayangkannya sebagai sosok raksasa dengan 600 pasang sayap api dan mata yang menyala-nyala, atau seperti sosok Dementor dalam film Harry Potter yang pernah aku tonton tayangan ulangnya di RCTI. Ternyata ia biasa saja. Benar-benar seperti manusia pada umumnya. Seorang kakek-kakek gemuk dengan rambut kaku seperti sikat WC dan mulai beruban. Ia menutupinya dengan topi yang sering dipakai orang memancing. Janggutnya tumbuh lebat menutupi seluruh dagu, juga sudah beruban sebagian. Rupanya ia juga senang menghisap kretek.

Aku bertemu dengannya beberapa menit yang lalu ketika aku siuman dari pingsan. Ia sudah duduk di sampingku yang saat itu berbaring di pinggir trotoar jalan. Kepalaku agak berat. Aku sendiri tidak tahu apakah aku memang betulan pingsan atau tidak. Yang terakhir aku ingat adalah motor yang dikemudikan temanku menghantam trotoar dan kami terpelanting hingga beberapa meter. Setelah itu aku lupa. Semuanya gelap. Ketika aku sadar ia sudah duduk di sampingku dan sedang menghisap kreteknya.

Aku beranjak duduk dan mengusap bagian belakang kepalaku yang terasa berat. Ia menoleh ke arahku, tersenyum dan menawariku kretek. Aku menerimanya begitu saja. Semacam gerak refleks.

Aku memijit-mijit kretek pemberiannya sambil berusaha mengingat kejadian yang baru saja menimpaku.

Sore tadi, Anton temanku, mengajak membeli sebuah hadiah untuk temannya yang akan menikah. Ia ingin memberinya sebuah buku dan peralatan memasak. Aku dimintanya mengantar ke toko buku. Sebetulnya Anton sudah berencana untuk membelikannya sebuah novel dari seorang penulis yang saking produktifnya sampai-sampai novelnya bisa mengisi satu rak buku penuh. Tapi ia berpikir barangkali aku punya pilihan lain maka ia mengajakku pergi bersamanya. Tidak ada ide lain di kepalaku. Aku malah teringat sebuah film bokep yang berisi 99 adegan bercinta yang pernah aku tonton secara sembunyi-sembunyi di rumah.
Untuk orang yang sebentar lagi menikah, aku pikir itu adalah hadiah yang bagus. Tapi tidak aku utarakan ide menghadiahkan film bokep itu.

Anton menjemputku di rumah ketika awan mendung sudah menggantung di langit kota. Beberapa menit lagi mungkin hujan akan turun. Ia bertanya apakah aku mempunyai jas hujan. Aku bilang hanya punya satu. Ia berkata, "Ya gampang lah, nanti beli di pinggir jalan".

Di seorang penjual di pinggir jalan yang pertama kali kami temui, Anton membeli sebuah jas hujan berwarna merah. Penjual itu mematok harga 80 ribu rupiah. 

"50 ribu saja, Mang?" Anton menawar. Penjual itu, seorang bapak-bapak dengan bekas luka di pipi kanannya yang berbentuk tanda silang yang mengingatkanku kepada Battosai Si Pembantai, menggeleng tegas. Aku pun jika menjadi si bapak-bapak bercodet akan menolak tawaran harga yang keterlaluan itu.

Kami mentok di harga 75 ribu dan transaksi itu langsung beres. Awalnya Anton ngotot di angka 70 dan si bapak bercodet masih keras kepala menolaknya. Untung Anton mengalah, aku khawatir bapak bercodet itu benar-benar Battosai si Pembantai dan ia akan menebas kepala kami. Anton yang mungkin lebih dulu akan dipenggal karena ia yang paling ngotot.

Benar saja, tiga menit setelah Anton membayar untuk jas hujan merahnya, hujan turun dengan deras. Kami tetap melanjutkan perjalanan, khawatir jika menunggu reda hari akan keburu malam dan toko buku yang akan kami datangi sudah tutup.

Anton mengantongi dua buah buku sekeluarnya ia dari toko buku yang kami datangi. Satu buku untuk hadiah pernikahan temannya, satu buku lagi untuk ia baca sendiri, sebuah karya Richard Dawkins yang berjudul The God Delusions. Ia tertarik membelinya setelah penjaga toko buku itu mengatakan kalau buku tersebut akan menambah kadar keimanannya kepada Tuhan. Aku sendiri tidak membeli apa-apa. Pikiranku saat itu malah sedang mengingat-ingat di mana keping VCD film bokep yang berisi 99 adegan bercinta itu aku simpan. Apakah masih ada di rumah atau sudah ketahuan ibuku lalu ia membakarnya. Seingatku VCD bokep itu dulu aku simpan di laci ranjang yang kuncinya selalu aku pegang. Tapi suatu hari ranjang itu diganti dan waktu itu aku sudah jarang tinggal di rumah karena harus indekost di luar kota. Saat aku pulang di liburan kuliah, ranjang di kamarku sudah berganti dan nasib koleksi VCD bokepku entah bagaimana. Aku tidak berani bertanya kepada ibuku dan ibuku juga tidak pernah bilang apa-apa tentang VCD bokep itu. Aku yakin ia pasti menemukannya lalu membakarnya.

Sesuai rencana, setelah keluar dari toko buku kami mampir di sebuah supermarket untuk membeli peralatan memasak.

"Apakah temanmu itu senang memasak?" 

"Seharusnya sih begitu. Aku pikir setiap perempuan senang memasak"

"Ya biasanya mereka senang memasak"

Aku baru tahu kalau teman Anton yang akan menikah adalah seorang perempuan. Untung saja aku tidak memaksanya untuk menghadiahkan film bokep.

Tempat parkir motor di supermarket itu berada di lantai empat, sedangkan tempat perlengkapan memasak berada di lantai satu. Kami harus naik terlebih dahulu untuk kemudian turun lagi. Agak merepotkan juga sebenarnya. Di lantai dua Anton mengeluh perutnya mulas.

"Perutku mulas. Sepertinya aku pengin berak"

"Maka beraklah" jawabku bijak.

Anton diam sejenak. Sepertinya ia sedang menimang-nimang apakah ia harus berak atau tidak. 

"Aku tidak jadi berak. Sepertinya rasa mulas di perutku sudah hilang"

"Mungkin sebaiknya kamu mengantongi sebuah batu. Di kampungku, jika perutmu mulas dan kamu kebelet berak kamu harus mengantongi batu agar rasa mulasmu hilang"

"Tidak ada batu di sini"

"Kamu mungkin bisa mengantongi benda lain selain batu"

"Tenang saja. Dari tadi aku mengantongi dompet"

Anton memilih beberapa wajan. Ia mengangkat sebuah wajan dengan gagang berwarna merah. Menelitinya dari ujung ke ujung. Memperagakan adegan menggoreng seperti yang biasa ia lihat di tukang nasi goreng. Sepertinya wajan ini cocok, tidak terlalu berat, katanya kemudian. Aku memberinya sebuah spatula.

"Biar seperti Spongebob" kataku.

"Dari mana kamu tahu kalau temanku suka Spongebob?"

Aku mengangkat bahu. Sebetulnya aku tidak tahu kalau teman Anton suka Spongebob. Spatula itu sendiri yang mengingatkanku pada Spongebob saat pikiranku masih berusaha mengingat-ingat nasib koleksi VCD bokep yang aku simpan di laci kamar.

Rasanya sayang juga koleksi VCD bokepku hilang begitu saja. Ada puluhan judul bokep lintas genre yang aku simpan di laci itu. Semuanya merupakan warisan dari Mang Dodo, seorang paman mesum yang tinggal tiga blok dari rumahku. Dulu di depan rumahnya ada sebuah pos ronda yang sering dipakai nongkrong oleh bapak-bapak paruh baya dengan lingkar perut mengkhawatirkan. Mang Dodo ada di salah seorang bapak-bapak berlingkar perut mengkhawatirkan tersebut. Aku kadang suka ikut nongkrong di sana, sekadar menonton mereka bermain gaple atau karambol.

Sekali waktu Mang Dodo datang ke pos ronda itu saat aku sedang sendirian bermain karambol. Aku lihat ia menenteng sebuah kantong kresek hitam yang aku tahu kemudian tenyata berisi puluhan keping VCD bokep.

"Pernah dengar pepatah tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?" tanyanya kepadaku yang saat itu sedang membidik mata karambol merah nomor sembilan. Aku urung menembak. Pepatah itu rasanya pernah aku dengar dari seorang ustad di tempatku mengaji.

"Itu artinya memberi lebih baik dari pada meminta-minta, Mang"

"Kalau begitu ini buatmu" katanya seraya menyorongkan kantong kresek hitam itu kepadaku. Aku berhenti bermain karambol. Penasaran dengan kantong kresek hitam di depanku.

"Apa itu?"

"Buka saja sendiri" kata Mang Dodo sembari melolos sebatang kretek dari bungkusnya. Ia merokok sambil mengguntingi kuku kakinya. Entah sejak kapan ia membawa gunting kuku itu.

Aku membuka kantong kresek itu perlahan. Sedetik kemudian aku langsung terhenyak dengan isinya. Puluhan keping VCD. Beberapa memang tidak bersampul apa-apa. Beberapa lainnya bersampul gambar yang saat itu bisa membikin penisku tegang.

"Benar buat saya, Mang?"

"Iya, buatmu"

Mataku langsung berkaca-kaca. Aku seperti baru mendapat sebuah harta karun. Aku melirik Mang Dodo yang masih mengguntingi kuku-kukunya, bertanya-tanya dalam hatiku sendiri apakah ia benar-benar Mang Dodo ataukah seorang jelmaan malaikat?

"Kamu beneran Mang Dodo, kan? Bukan malaikat?" tanyaku kemudian dengan sedikit ragu.

Mang Dodo berhenti menggunting kuku. Kreteknya yang sudah habis setengah menggantung di bibirnya.

"Anak bodoh. Mana ada malaikat yang memberimu film be'ep?!"

Lalu aku melihat spatula menggantung di jejeran wajan dan panci dan pikiranku teralihkan dari Mang Dodo ke Spongebob Squarepants. Aku mengambilnya satu dan memberikannya kepada Anton.

"Biar seperti Spongebob" kataku.

"Dari mana kamu tahu kalau temanku suka Spongebob?"

Aku mengangkat bahu.

Aku masih ingat dengan jelas kejadian-kejadian setelahnya. Kami membayar wajan dan spatula di kasir, lalu berjalan kembali ke lantai empat untuk mengambil motor. Di luar hujan sudah berhenti dan jalanan basah. Anton masih memakai jas hujan barunya, ia bilang malas melepasnya, takut-takut hujan akan turun lagi. Di perjalanan menuju rumahku Anton baru sadar kalau belanjaan yang ia beli tertinggal di tempat parkir. Kami memutar arah kembali ke supermarket tadi. Anton menambah kecepatan motornya karena hari sudah malam. Aku sedang bermain Candy Crush di ponsel saat sepeda motor oleng dan menabrak trotoar jalan. Kami terpelanting dan ingatanku berhenti sampai di situ. Saat aku bangun seorang kakek-kakek gemuk sudah duduk di sampingku, memberiku kretek, dan Anton tidak ada di sana.

Aku berhenti memijit-mijit kretek pemberian si kakek gemuk dan celingukan mencari-cari Anton. Di mana bocah itu?

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, si kakek gemuk kemudian mengarahkan telunjuknya ke arah kerumunan orang di seberang jalan. Orang yang kamu cari ada di sana, katanya. Aku langsung berdiri dan pamit kepadanya.

"Tapi sebaiknya kamu jangan ke sana"

"Kenapa?" tanyaku heran. Ia diam saja. Aku menyelipkan kretek pemberiannya di telinga kanan dan langsung meninggalkannya.

Aku berjalan melintasi sebuah jembatan penyeberangan. Kerumunan orang itu menyebabkan jalanan macet total. Pasti sudah terjadi kecelakaan di sana. Aku malah menduga kalau itu adalah tempat motor kami terjungkal tadi dan Anton masih ada di sana. Yang membikin aku heran kenapa aku bisa ada di seberang jalan. Aku mempercepat langkahku mendekati kerumunan itu. Dengan sedikit berteriak aku meminta orang-orang minggir. Tak ada yang menghiraukanku. Aku merangsek maju ke arah kerumunan dan ajaib sekali tubuhku bisa menembus tubuh orang-orang. Saat itulah tahu kenapa kakek gemuk tadi melarangku pergi.

Aku lihat Anton di sana, terduduk lemas sambil meraung sejadi-jadinya. Dahi dan siku kanannya berdarah. Di depannya sesosok tubuh terbaring kaku, kepalanya ditutupi selembar koran yang membasah karena hujan atau mungkin juga darah. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dari sepatu yang dikenakan olehnya aku tahu kalau itu adalah sepatuku. Itu adalah tubuhku sendiri.

Tak ada yang bisa aku lakukan. Tak ada yang bisa mendengarku, juga melihatku. Aku kembali ke tempat si kakek gemuk. Ia masih ada di sana, menikmati kreteknya entah yang ke berapa. Ia tertawa begitu melihatku berjalan ke arahnya.

Aku duduk di sampingnya, mengambil kretek pemberiannya yang tadi aku selipkan di telinga kananku. Tangannya yang bulat dan berbulu menyodorkan sebuah korek api kepadaku.

"Apa kubilang" katanya setelah aku menghisap kretek pemberiannya.

Aku tidak menghiraukan perkataannya. Hari ini terlalu aneh. Sore tadi aku masih mengantar temanku berbelanja dan sekarang aku bisa melihat tubuhku sendiri tergolek kaku di pinggir jalan . Aku sudah mati. Tapi aku malah memikirkan nasib koleksi VCD bokepku.

RSCM, 13 November 2015


Kamis, 05 November 2015

Merindukan Ibu

Ibu pernah bilang kalau di bulan ada seorang nenek yang sedang menenun kain dan seekor kucing yang setia menemaninya. Aku bertanya dari mana ia bisa tahu tentang hal itu.

"Kau bisa melihatnya saat bulan sedang purnama" jawab ibu.

Maka setiap kali purnama aku selalu memandang bulan, mencari seorang nenek dan seekor kucing yang dimaksud oleh ibu. Tapi aku tak pernah bisa menemukannya.

"Purnama sekarang tidak seterang ketika ibu kecil dulu" Ibu berkilah setiap kali aku protes karena tidak ada nenek-nenek dan kucing di bulan. Mungkin ia benar, meskipun dalam hati aku selalu berharap bisa melihat nenek dan kucing itu seperti yang ibu lihat ketika ia masih kecil.

Ketika aku sudah dewasa aku baru tahu kalau di bulan tidak ada apa-apa. Setidaknya begitu menurut pelajaran yang aku terima di sekolah. Memang pernah ada dua makhluk hidup yang pernah menginjakkan kakinya di bulan, tapi mereka bukan nenek-nenek dan seekor kucing.

Aku tidak merasa sakit hati dan menganggap ibu sudah berbohong kepadaku. Mungkin ia hanya sedang berusaha menghiburku saat itu. Mungkin juga ibu melihat permukaan bulan menyerupai bentuk seorang nenek yang sedang menenun kain dan seekor kucing. Atau mungkin ia juga hanya mendengar cerita itu dari orang lain lalu menceritakannya kepadaku. Tapi aku selalu penasaran dan berharap suatu saat aku juga bisa melihat permukaan bulan yang menyerupai seorang nenek yang sedang menenun kain dan ditemani oleh kucingnya.

Maka setiap kali purnama aku selalu memandang bulan. Dan aku tetap tidak bisa menemukan nenek dan kucing itu.

Ibu sudah lama meninggal. Ia meninggal karena sakit. Ada sebuah benjolan di leher kanannya. Awalnya hanya sebesar kelereng, lalu bertambah menjadi sebesar biji salak,  lalu sebesar biji durian. Benjolan itu seperti menyedot semua daging dan lemak di tubuhnya. Benjolan itu semakin besar dan tubuh ibu semakin kurus. Dokter pernah menyarankannya untuk operasi tapi ibu tidak mau. Ia takut dioperasi. Ia hanya menelan obat-obatan herbal dari beberapa pengobatan alternatif yang menjanjikan benjolan itu bisa hilang tanpa pembedahan. Benjolan itu malah semakin membesar dan ibu semakin kurus. 

Ibu sudah lama meninggal. Aku selalu merindukannya. Di antara beberapa kenangan yang selalu membuat aku rindu, ceritanya tentang bulanlah yang selalu aku ingat. Tentang seorang nenek yang sedang menenun kain dan ditemani oleh kucingnya.

Maka setiap kali purnama, aku selalu memandang bulan. Aku tetap tidak bisa menemukan nenek dan kucing itu. Mungkin memang nenek-nenek dan kucing itu tidak pernah ada. Tapi aku berharap ibu ada di sana. Ibu ada di bulan. Sendirian atau ditemani oleh nenek dan kucingnya, aku tidak peduli. Aku hanya berharap ibu ada di bulan sehingga aku bisa melihatnya dari sini.

Maka setiap kali aku merindukan ibu, aku akan selalu memandang bulan.


Warung Kopi Pakde, 06 November 2015