Tepat pada malam ke 20 di Bulan Ramadhan, Cholil Mahmud
datang ke rumahku. Dan dia akan rutin datang di tujuh hari seterusnya. Tidak
peduli apakah malam itu aku sedang berada di rumah atau masih melaksanakan
sholat taraweh di mesjid, Cholil Mahmud pasti datang, dengan sebungkus Marlboro
merah dan Teh Botol kemasan pastik yang dibelinya di Alfamart atau di warung
Mbip. Jika Teh Botolnya habis kadang aku menyuguhinya secangkir kopi. Tapi
lebih sering dia akan meminjam motorku untuk membeli lagi Teh Botol. Dia
mengaku sudah kecanduan Teh Botol. Gejalanya mirip seperti Hasief Ardiasyah
yang kecanduan Coca Cola.
Jika aku belum tiba di rumah dia akan menunggu sambil
duduk-duduk di teras dan bermain-main dengan Ocil, kucingku yang ternyata
impoten. Aku tahu Ocil impoten karena setiap kali didekati kucing betina dia
selalu uring-uringan, seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya.
Setelah aku periksa ternyata kemaluannya tidak bisa ereksi. Mungkin karena
pertarungannya dengan kucing kampung milik tetangga tempo hari. Urusannya
sepele. Si kucing tetangga itu masuk rumah dan mengambil kepala ikan. Ocil yang
melihat kejadian itu merasa tidak bisa tinggal diam. Pertarungan antara
keduanya pun tak bisa terelakan lagi. Saling cakar mewarnai pertarungan
tersebut. Tapi dasar kucing rumahan Ocil pun kalah. Kemaluannya terluka kena
cakar. Dia sempat menjerit keras sekali. Setelah itu aku tahu kemaluannya tidak
bisa ereksi. Aku sebagai tuannya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tahu
ada dokter hewan tapi aku tidak pernah mendengar ada On-Clinic khusus hewan.
Untuk membantu menghilangkan kesedihannya kadang aku memberinya jatah makan
yang lebih banyak. Juga membeli banyak judul dvd film horor di pasar untuk kita
tonton bersama. Aku harap dengan itu kesedihan Ocil bisa berkurang. Setidaknya
dia masih punya kepercayaan diri untuk bisa mendekati kucing betina. Semoga.
Tapi semenjak Cholil Mahmud dengan rutin datang ke rumahku
Ocil terlihat kembali bersemangat untuk menjalani hidup. Setiap kali Cholil
datang Ocil pasti akan mendekat ke arahnya. Mungkin nalurinya mengatakan kalau
mereka menanggung beban kepedihan yang sama. Meski aku tidak pernah melihat
mereka mengobrol tapi aku yakin mereka sedang berbagi porsi kesedihannya
masing-masing. Cholil yang terluka karena patah hati, Ocil yang berduka karena
tidak bisa ereksi. Lalu mereka berdua (Cholil dan Ocil) akan mendengarkan lagu
dari speaker Mito milik Cholil bersama-sama. Favoritnya di bulan ini adalah
lagu Benang Biru dari Meggy Z. Itu aku tebak secara sembarangan saja karena
lagu itu yang paling sering diputar olehnya. On heavy rotation, istilah yang agak kerennya.
Aku sendiri sudah mengenal Cholil sejak kecil. Sebenarnya
dia lebih tua tiga tahun dibanding denganku. Cuma karena rumahku yang dulu
(sekarang sudah pindah ke rumah yang baru) berdekatan kami jadi sering bermain
bersama. Dari Cholil juga aku tahu pertama kali tentang coli. Dari Cholil juga
aku tahu rasanya Anggur Merah Cap Orang Tua. Di rumah Cholil juga aku pertama
kali menonton film bokep. Judulnya Tarzan-X. Scene yang aku suka ketika si Tarzan ngewe di kandang kuda. Dari
Cholil aku mendapat banyak pelajaran berharga. Cholil memang seorang senior
yang baik.
“Nih enak nih, Ki” katanya kepadaku di belakang mushola
sepulang mengaji. Dia kemudian mengeluarkan sebuah majalah berisi foto-foto
cewek telanjang sambil mengusap-ngusap tititnya. Aku pun disuruh mencobanya. Awalnya
terasa aneh. Makin lama makin enak dan tiba-tiba saja aku merasa ada serbuan
cairan yang mendobrak ingin keluar dari tititku. Setelah itu aku merasa lemas.
Juga ketagihan. Itu pertama kali aku coli. Dibawah bimbingan langsung Cholil
Mahmud. Itu terjadi kira-kira 12 tahun yang lalu.
Tepat pada malam ke 17 di Bulan Ramadhan Cholil Mahmud
mengirimiku sebuah pesan singkat. Isinya mengabarkan kalau kisah asmaranya
dengan Rohimah kandas. Rohimah, pacar Cholil selama 3 tahun ini rela
meninggalkannya demi lelaki lain. Lelaki yang lebih menyukai David Guetta
dibandingkan dengan Meggy Z. Lelaki yang lebih menykai clubbing daripada menonton orkes dangdut pimpinan Bapak Didi
Supardi Spd. Begitulah yang Cholil ceritakan kepadaku. Dan itulah salah satu
alasan kenapa di minggu terakhir Ramadhan ini dia rutin menyambangi rumahku.
Rohimah yang aku kenal adalah seorang gadis manis anaknya
Pak Emon. Dia adik kelasku ketika SD. 2 tahun dibawahku. Sebenarnya kami masih tinggal di satu desa,
hanya saja berbeda blok. Aku dan Cholil di Blok Wage. Rohimah di Blok Pahing.
Tapi semua warga desa seharusnya mengenal Rohimah, ayahnya adalah salah seorang
tokoh yang disegani di desaku. Pak Emon pernah menjadi anggota legislatif
daerah. Jalan lingkungan yang diaspal plus gapura megah di setiap pintu masuk
gang adalah salah satu persembahan Pak Emon ketika beliau menjabat sebagai
anggota dewan.
Aku tidak begitu dekat dengan Rohimah. Setelah lulus SMP dia
melanjutkan sekolahnya di luar kota. Aku hanya kadang bertemu dengannya apabila
dia sedang pulang kampung. Itu pun hanya sebatas bertegur sapa saja. Maka aku
merasa kaget ketika Cholil cerita bahwa dia sudah jadian dengan Rohimah.
Cholil cerita kalau awal kedekatannya dengan Rohimah terjadi
ketika ada pagelaran orkes dangdut. Waktu itu di acara sunatannya Kabir
Ghufron, adiknya Rizky Akbar, anaknya Pak Jojo Hermawan, kepala desaku. Sebagai
salah satu tokoh terpenting di desa orang tua Kabir Ghufron ingin acara sunatan
anaknya meriah. Maka diundanglah orkes dangdut pimpinan Didi Supardi Spd untuk
mentas. Di seantero kecamatan bahkan mungkin kabupaten orkes dangdut pimpinan
Bapak Didi Supardi SPd bisa dibilang memiliki reputasi yang bagus. Bahkan
mungkin yang terbaik. Deretan biduannya, wuiiiih.
Terutama sosok yang bernama Ayu si Mata Roda. Tak ada lelaki yang tak ereksi
jika melihat dan mendengar suaranya.
Aku ingat waktu acara itu berlangsung aku diajak mabok oleh
Bendot di rumahnya. Katanya dia baru saja menang taruhan. Dia taruhan lomba
coli dengan si Tri Wibowo, siapa cepat dia dapat. Bendot menang karena ternyata
dia yang lebih dulu keluar. Dia merasa sangat bangga dengan kemenangannya itu.
Katanya, biarpun tititku kecil tapi soal coli aku lebih cepat daripada si Tri
Wibowo. Dia tertawa bangga. Kemudian kami berdua mabok bareng sampai jekpot dan melewatkan kejadian rame yang
terjadi di arena dangdut.
Kejadian rame yang aku maksud itu adalah sebuah keributan
besar yang terjadi ketika pagelaran dangdut baru dimulai. Kejadian itu
menyebabkan acara goyang dangdut massal menjadi terhenti untuk beberapa saat.
Mang Dodo sebagai komandan hansip yang bertugas malam itu sampai harus turun
tangan untuk melerai perkelahian. Tapi usahanya tidak berhasil. Keributan
semakin membesar. Maklum, acara itu saking ramenya sampe mendatangkan para
penonton dari luar desa. Banyak teori konspirasi yang muncul terkait kejadian
ini. Ada yang bilang keributan itu
berawal karena ada segerombolan pemuda dari luar desa yang ngegodain kembang
desa sini. Ada yang bilang keributan itu terjadi karena ada sejumlah pemuda
yang beli sorabi tapi tidak bayar. Yang lain lagi bilang kalau itu terjadi
gara-gara pemuda yang lagi teler tapi reseh jadi pada digebukin oleh
orang-orang di sekitarnya. Yang lainnya malah bilang itu adalah sebuah upaya coup yang gagal terhadap kepemerintahan
Bapak Jojo Hermawan. Tapi yang paling absurd adalah yang bilang kalau biang
keladi keributan itu adalah oknum Komunis yang sedang mencoba bangkit dan
membalas dendam kepada negara Indonesia. Teori terakhir dicetuskan oleh Mang
Kimul yang pasti pada malam itu sedang mabok ciu.
Tapi tak ada yang tahu kalau sebelum keributan terjadi
Cholil dan Rohimah sempat bertemu sebentar.Mereka bertemu di tukang sorabi.
Cholil waktu itu sedang menikmati sorabinya yang kedua dan gorengannya yang
kelima, tapi kepada Bi Kesih penjualnya dia mengaku baru makan sorabi satu dan
gorengan dua. Saat itu Rohimah datang untuk memesan sorabi.
“Bi, meser 5 sorabina. Gorenganna 10 muhun?” suaranya begitu
merdu terdengar di telinga Cholil. Begitu dia cerita.
“Mangga geulis, diantosnya?”
“Muhun, Bi”
Ketika menunggu sorabi matang itulah tatapan Cholil dan
Rohimah bertemu. Keduanya saling tersenyum tersipu malu. Kata Cholil, itu
senyuman cewek paling manis yang pernah diterima olehnya seumur hidup. Satu
menit. Dua menit. Tatapan mereka kembali bertemu. Senyum kembali tersungging
dari bibir Rohimah dan Cholil. Satu menit. Dua menit. Kembali mereka saling
bertatapan. Ah, ternyata ada tahi lalat di ujung bibirnya, begitu Cholil
bercerita kepadaku sambil tersenyum malu-malu. Lalat mana yang beruntung bisa
boker disitu dan hasilnya malah membuat wajah Rohimah menjadi tambah manis.
Adegan romantis dan malu-malu kucing itu harus berakhir
ketika sorabi pesanan Rohimah sudah matang. Setelah menyelesaikan pembayaran
Rohimah berbalik untuk pulang.
“Hatur nuhun, Bi” katanya kepada Bi Kesih dan suara merdu
itu kembali terdengar di telinga Cholil.
“Muhun, neng geulis” Bi Kesih menimpali.
“Punten A, mayunan” tiba-tiba suara merdu itu tertuju
langsung ke arah Cholil. Aduh, sesak nafas. Aduh aduh aduh. Cholil tak berdaya.
Hanya bisa senyum lalu sisanya bengong melihat wajah itu memandang dirinya
kemudian berlalu pergi.
Baru saja langkah Rohimah
berjalan beberapa meter meninggalkan lapak Bi Kesih sekelompok pemuda
mulai menggodanya.
“Ceweeek. Prikitiwwww”
“Neng ojeg, Neng?”
Ada yang bersiul-siul, ada yang tepuk tangan bahkan ada yang
tepuk Pramuka segala. Mungkin waktu SMPnya pemuda itu ikutan kegiatan eskul
Pramuka.
“Proook proook proook, proook proook proook proook proook
prook proook” (tentu saja dalam irama tepuk Pramuka).
Cholil cerita dia tidak bisa merima perlakuan seperti itu
kepada Rohimah. Sorabi yang masih tersisa setengah di tangannya pun dia buang.
Dia langsung berdiri menghampiri para pemuda yang sedang ngegodain Rohimah.
“Eh beungeut su’uk, nanahaan sia euweuh gawe kalah kareprok.
Gandeng nyaho teu?!” kata si Cholil ke arah para pemuda. Dia ngakunya sih
berkata seperti itu. Aku tidak tahu pasti soalnya waktu kejadian berlangsung
aku sedang mabok sama si Bendot.
Tentu saja para pemuda tidak terima.
“Ai sia naha kunyuk?” kata salah seorang pemuda yang Cholil
ceritakan bertubuh kekar.
“Teu tarima, Nyet?” seorang pemuda ikut menimpali lagi.
Cholil juga cerita kalau pemuda ini juga bertubuh kekar.
“Teu, kuya! Sia tong ngayah uget lah di lembur batuh. Monyet
teh!” si Cholil makin emosi.
“Ngajak ribut sia? Ageh dieu?”
Tanpa dikomando Cholil langsung menyerbu gerombolan pemuda
itu. Dia tidak ingat ada berapa orang, yang jelas katanya lebih dari 3 orang. Seorang
dia hajar tepat di hidungnya. Tapi temannya berhasil menghantam Cholil tepat di
matanya. Teman yang satunya lagi berhasil mendaratkan tendangan di perutnya.
Teman yang satunya lagi sukses meninju pipinya. Teman yang satunya lagi agak
kurang beruntung, tinjunya Cuma mengenai rambut Cholil.
“Anjing, nyeri monyeet” Cholil berteriak.
Buuuuk. Baru juga selesai berteriak sebuah tinju sudah
mendarat di mulutnya. Bibirnya robek, berdarah. Buuuuuk. Satu lagi tinju kena
di pipinya. Satu giginya rontok. Buuuuk. Satu tunju lagi di mendarat mulus di
matanya. Sekarang kedua matanya bengkak. Bak bik buk bak bik buk bak bik buk
bak bik buk bak bik buk bak bik buk bak bik buk bak bik bukbak bik buk. Sisanya
yang terdengar hanya suara itu. Dan semuanya mengarah ke tubuh Cholil. Penderitaan
Cholil ditutup dengan sebuah tendangan maut yang mengarah tepat ke
selangkangannya. Braaaak. Setelah itu Cholil roboh dan tidak ingat apa-apa
lagi.
Keributan itu sendiri akhirnya bisa dilerai setelah sang
primadona Ayu si Mata Roda berorasi dari atas panggung. Dia mengultimatum kalau
masih saja ribut maka dia tidak akan bernyanyi. Ternyata ancaman itu berhasil. Orang-orang
tidak rela jika Ayu si Mata Roda yang mereka tunggu-tunggu malah tidak
bernyanyi sama sekali. Akhirnya keributan pun mereda. Dangdut bisa berjalan
kembali. Sementara Cholil akhirnya masuk
rumah sakit.
Aku baru bisa menjenguknya di hari kedua Cholil masuk rumah
sakit. Di hari pertama aku malah sakit sehabis mabok bareng si Bendot. Mencret-mencret.
Sepertinya anggur merah yang dibeli dari uang hasil judi tidak barokah. Malah
bikin mencret.
Ibuku yang mengabari kalau Cholil masuk rumah sakit karena babak
belur dihajar orang. Aku langsung pergi menengoknya. Aku melihat wajahnya
memang babak belur abis. Kedua matanya bengkak. Pipinya lebam. Tapi anehnya
Cholil malah terlihat bahagia. Waktu itu dia tidak bercerita kenapa dia bisa
terlihat sebahagia itu. Aku baru tahu beberapa waktu kemudian alasan kenapa dia
bisa sebahagia itu meskipun babak belur. Ternyata di hari pertama Rohimah
datang menjenguk dan menemaninya. Pantesan. Dari situlah hubungan Cholil dan
Rohimah menjadi semakin dekat. Dan pada akhirnya mereka pun jadian.
***
“Tadi aku mendengar ceramah di mesjid..” kata Cholil sambil
menghembuskan asap Marlboro merah kesukaannya. Aku menyimaknya dengan seksama.
Ocil juga, sesekali dia ikut menimpali dengan bersuara meoong meooong.
“Ustadznya bilang gini, bulan Ramadhan itu seperti seorang
kekasih. Pas kita lagi sayang-sayangnya ehhh dia malah pergi. Kampreet tuh ustadz
ceramah apa nyindir?” umpat Cholil.
Aku tertawa mendengar umpatannya. Sepertinya memang
begitulah gejala orang yang sedang patah hati. Menjadi lebih sensitif. Semua
hal dikaitkan dengan perasaan sendiri. Seolah-olah semuanya itu terhubung
kepada dirinya.
“Udah, Lil ikhlasin aja” aku mencoba menghiburnya.
“Udah, Ki. Tapi susah. Kemarin waktu beres-beres kamar aku
nemu tiket konser ST 12. Aku inget nonton konser itu bareng Rohimah di Stadion
Bima. Dulu mau kau buang aja itu tiket. Tapi aku mikir lagi, ah buat
kenang-kenangan ah. Jadi aku simpen. Eh taunya malah kayak gini. Assuuuu!”
lagi-lagi Cholil mengumpat. Dan lagi-lagi aku tertawa mendengar umpatannya.
Selain lebih sensitif gejala lain orang yang sedang patah
hati adalah menjadi lebih sering mengumpat. Seperti itulah Cholil. Jika tidak
sedang mengumpat dia akan membaca kembali chat-chat mesranya bersama Rohimah
dulu. Atau memandangi foto-foto mereka berdua yang masih tersimpan di ponsel
Mitonya. Setelah selesai, dipastikan dia akan kembali mengumpat.
“Juancuuuuk!”
“Kenapa lagi sih?”
“Teh botolnya abis, Ki. Minjem motor dong mau beli lagi”
“Dasar kuya” kataku sambil melemparkan kunci motor dengan
gantungan kepala monyet ke arahnya.
***
Tepat pada malam ke 27 Bulan Ramadhan , Cholil Mahmud
kembali datang ke rumahku. Ini sudah malam ketujuhnya secara berturut-turut.
Aku sudah jarang pergi ke mesjid karena sholat Taraweh sudah semakin sepi
menjelang Lebaran. Aku menunggunya di teras rumah. Bersama Ocil tentunya,
kucingku yang tidak bisa ereksi. Dia selalu terlihat senang jika Cholil datang
ke rumah. Meskipun tidak selalu tetap jamnya Cholil pasti tetap datang. Dengan
sebungkus Marlboro merah dan Teh Botol. Dan mukanya yang masih tetap terlihat
menyedihkan.
Urutan selanjutnya sudah bisa aku tebak. Rohimah lalu David
Guetta lalu konser ST 12 balik lagi ke Rohimah lalu ke laki-laki penyuka David
Guetta lalu ke konser ST 12 yang pernah mereka tonton di Stadion Bima lalu
balik lagi ke Rohimah. Sisanya adalah berbagai macam umpatan dari bahasa Cerbon
, Sunda, Indonesia sampai Inggris. Kirik, monyet, asuuu, babi, fuck, bitch.
Lengkap.
Kadang aku bosan juga
mendengar curhatannya. Tapi aku sendiri tidak tega melihatnya terus-terusan
seperti itu. Biar bagaimana pun Cholil sudah aku anggap sebagai orang yang
paling berjasa karena pernah mengajariku coli. Sesekali aku menyarankan untuk
mencari pacar baru sebagai pengganti Rohimah. Cobalah buka hati untuk cewek
lain, saranku. Tapi Cholil menolak, dia tetap keukeuh hanya ingin sama Rohimah.
Dengan sok-sok bijak aku bilang padanya kalau sudah jodoh nanti pasti balik
lagi. Tapi Cholil kadung pesimis duluan. Dia tetap merasa bahwa Rohimah tidak
akan balik lagi ke pangkuannya. Bahkan Ocil pun sepertinya ikut memberi saran
juga kepada Cholil.
“Meooong meooong meooong”
Aku tidak mengerti apa yang Ocil katakan, tapi sepertinya
Cholil paham.
“Sudahlah Cil, kamu kucing mana tahu perasaanku sebagai
manusia?” begitu kata Cholil kepada Ocil. Luar biasa pikirku. Aku saja yang
sudah 5 tahun menjadi majikan Ocil tidak pernah bisa sekalipun mengerti
bahasanya. Kalau Ocil sudah mulai meong meong kadang aku memberinya makan.
Kalau masih tetap meong-meong kadang aku memperdengarkannya musik (biasanya
lagu-lagu Blur). Kalau masih saja tetap meong meong aku bawa dia ke depan tv
dan nonton infotainment bareng-bareng. Biasanya dia tenang kalau sudah lihat
beritanya Nazar-Muzdalifah.
“Tuh Cil liat Cil, si Nazar katanya diguna-guna sama orang
tuanya Muzdalifah” kataku pada Ocil sambil melihat berita terbaru dari Nazar.
Aku lihat Ocil memperhatikan dengan serius.
Begitulah komunikasiku dengan Ocil sehari-hari. Tapi sepatah kata yang Ocil ucapkan pun aku
tidak pernah mengerti apa artinya. Berbeda sekali dengan Cholil yang bisa
langsung mengerti. Padahal dia baru rutin main ke rumahku selama seminggu ini. Aku
bingung apakah Cholil patah hati atau gila.
Jika nasehat-nasehat sok bijak ala Mario Teguh yang sudah
aku keluarkan tidak pernah bisa menghibur Cholil biasanya aku membiarkan dia
diam. Biar saja dia dengan kesedihannya. Menikmati suasana malam sambil
mendengarkan lagu yang Cholil putar dari ponselnya.
Kalau hanya untuk
mengejar laki-laki lain, buat ap sih benang biru kau sulam menjadi kelambu?
Lagu Benang Biru dari Meggy Z mengalun dengan syahdu.
Menyulap suasana teras rumahku menjadi warung burjo. Aku perhatikan Cholil
begitu menghayati lagu itu. Matanya terpejam sambil mulutnya bergumam mengikuti
lirik lagu. Mungkin untuk saat ini hanya lagu itulah yang bisa menjadi
penghiburnya.
Cholil akan memutar lagu itu sampai beberapa kali. Sampai
mungkin dia bosan atau mengantuk. Lalu setelah itu dia akan pamit pulang.
Meninggalkan bekas Teh Botol dan beberapa puntung rokok. Lalu berjalan gontai
menuju ke arah gerbang pagar rumahku. Aku dan Ocil biasanya menemani dia sampai
keluar pagar. Melihat langkah kakinya satu per satu membawanya menjauh
meninggalkanku dan Ocil. Dia tidak berbicara apa-apa lagi. Mungkin yang ada di
kepalanya hanya Rohimah. Jika bukan, mungkin si laki-laki sialan pecinta David
Guetta.
Kampung Melayu, 26 Januari 2015