Senin, 26 Januari 2015

Cholil Mahmud dan Seekor Kucing yang Tidak Bisa Ereksi



Tepat pada malam ke 20 di Bulan Ramadhan, Cholil Mahmud datang ke rumahku. Dan dia akan rutin datang di tujuh hari seterusnya. Tidak peduli apakah malam itu aku sedang berada di rumah atau masih melaksanakan sholat taraweh di mesjid, Cholil Mahmud pasti datang, dengan sebungkus Marlboro merah dan Teh Botol kemasan pastik yang dibelinya di Alfamart atau di warung Mbip. Jika Teh Botolnya habis kadang aku menyuguhinya secangkir kopi. Tapi lebih sering dia akan meminjam motorku untuk membeli lagi Teh Botol. Dia mengaku sudah kecanduan Teh Botol. Gejalanya mirip seperti Hasief Ardiasyah yang kecanduan Coca Cola.

Jika aku belum tiba di rumah dia akan menunggu sambil duduk-duduk di teras dan bermain-main dengan Ocil, kucingku yang ternyata impoten. Aku tahu Ocil impoten karena setiap kali didekati kucing betina dia selalu uring-uringan, seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya. Setelah aku periksa ternyata kemaluannya tidak bisa ereksi. Mungkin karena pertarungannya dengan kucing kampung milik tetangga tempo hari. Urusannya sepele. Si kucing tetangga itu masuk rumah dan mengambil kepala ikan. Ocil yang melihat kejadian itu merasa tidak bisa tinggal diam. Pertarungan antara keduanya pun tak bisa terelakan lagi. Saling cakar mewarnai pertarungan tersebut. Tapi dasar kucing rumahan Ocil pun kalah. Kemaluannya terluka kena cakar. Dia sempat menjerit keras sekali. Setelah itu aku tahu kemaluannya tidak bisa ereksi. Aku sebagai tuannya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tahu ada dokter hewan tapi aku tidak pernah mendengar ada On-Clinic khusus hewan. Untuk membantu menghilangkan kesedihannya kadang aku memberinya jatah makan yang lebih banyak. Juga membeli banyak judul dvd film horor di pasar untuk kita tonton bersama. Aku harap dengan itu kesedihan Ocil bisa berkurang. Setidaknya dia masih punya kepercayaan diri untuk bisa mendekati kucing betina. Semoga.

Tapi semenjak Cholil Mahmud dengan rutin datang ke rumahku Ocil terlihat kembali bersemangat untuk menjalani hidup. Setiap kali Cholil datang Ocil pasti akan mendekat ke arahnya. Mungkin nalurinya mengatakan kalau mereka menanggung beban kepedihan yang sama. Meski aku tidak pernah melihat mereka mengobrol tapi aku yakin mereka sedang berbagi porsi kesedihannya masing-masing. Cholil yang terluka karena patah hati, Ocil yang berduka karena tidak bisa ereksi. Lalu mereka berdua (Cholil dan Ocil) akan mendengarkan lagu dari speaker Mito milik Cholil bersama-sama. Favoritnya di bulan ini adalah lagu Benang Biru dari Meggy Z. Itu aku tebak secara sembarangan saja karena lagu itu yang paling sering diputar olehnya. On heavy rotation, istilah yang agak kerennya.

Aku sendiri sudah mengenal Cholil sejak kecil. Sebenarnya dia lebih tua tiga tahun dibanding denganku. Cuma karena rumahku yang dulu (sekarang sudah pindah ke rumah yang baru) berdekatan kami jadi sering bermain bersama. Dari Cholil juga aku tahu pertama kali tentang coli. Dari Cholil juga aku tahu rasanya Anggur Merah Cap Orang Tua. Di rumah Cholil juga aku pertama kali menonton film bokep. Judulnya Tarzan-X. Scene yang aku suka ketika si Tarzan ngewe di kandang kuda. Dari Cholil aku mendapat banyak pelajaran berharga. Cholil memang seorang senior yang baik.

“Nih enak nih, Ki” katanya kepadaku di belakang mushola sepulang mengaji. Dia kemudian mengeluarkan sebuah majalah berisi foto-foto cewek telanjang sambil mengusap-ngusap tititnya. Aku pun disuruh mencobanya. Awalnya terasa aneh. Makin lama makin enak dan tiba-tiba saja aku merasa ada serbuan cairan yang mendobrak ingin keluar dari tititku. Setelah itu aku merasa lemas. Juga ketagihan. Itu pertama kali aku coli. Dibawah bimbingan langsung Cholil Mahmud. Itu terjadi kira-kira 12 tahun yang lalu.

Tepat pada malam ke 17 di Bulan Ramadhan Cholil Mahmud mengirimiku sebuah pesan singkat. Isinya mengabarkan kalau kisah asmaranya dengan Rohimah kandas. Rohimah, pacar Cholil selama 3 tahun ini rela meninggalkannya demi lelaki lain. Lelaki yang lebih menyukai David Guetta dibandingkan dengan Meggy Z. Lelaki yang lebih menykai clubbing daripada menonton orkes dangdut pimpinan Bapak Didi Supardi Spd. Begitulah yang Cholil ceritakan kepadaku. Dan itulah salah satu alasan kenapa di minggu terakhir Ramadhan ini dia rutin menyambangi rumahku.

Rohimah yang aku kenal adalah seorang gadis manis anaknya Pak Emon. Dia adik kelasku ketika SD. 2 tahun dibawahku.  Sebenarnya kami masih tinggal di satu desa, hanya saja berbeda blok. Aku dan Cholil di Blok Wage. Rohimah di Blok Pahing. Tapi semua warga desa seharusnya mengenal Rohimah, ayahnya adalah salah seorang tokoh yang disegani di desaku. Pak Emon pernah menjadi anggota legislatif daerah. Jalan lingkungan yang diaspal plus gapura megah di setiap pintu masuk gang adalah salah satu persembahan Pak Emon ketika beliau menjabat sebagai anggota dewan.

Aku tidak begitu dekat dengan Rohimah. Setelah lulus SMP dia melanjutkan sekolahnya di luar kota. Aku hanya kadang bertemu dengannya apabila dia sedang pulang kampung. Itu pun hanya sebatas bertegur sapa saja. Maka aku merasa kaget ketika Cholil cerita bahwa dia sudah jadian dengan Rohimah.

Cholil cerita kalau awal kedekatannya dengan Rohimah terjadi ketika ada pagelaran orkes dangdut. Waktu itu di acara sunatannya Kabir Ghufron, adiknya Rizky Akbar, anaknya Pak Jojo Hermawan, kepala desaku. Sebagai salah satu tokoh terpenting di desa orang tua Kabir Ghufron ingin acara sunatan anaknya meriah. Maka diundanglah orkes dangdut pimpinan Didi Supardi Spd untuk mentas. Di seantero kecamatan bahkan mungkin kabupaten orkes dangdut pimpinan Bapak Didi Supardi SPd bisa dibilang memiliki reputasi yang bagus. Bahkan mungkin yang terbaik. Deretan biduannya, wuiiiih. Terutama sosok yang bernama Ayu si Mata Roda. Tak ada lelaki yang tak ereksi jika melihat dan mendengar suaranya. 

Aku ingat waktu acara itu berlangsung aku diajak mabok oleh Bendot di rumahnya. Katanya dia baru saja menang taruhan. Dia taruhan lomba coli dengan si Tri Wibowo, siapa cepat dia dapat. Bendot menang karena ternyata dia yang lebih dulu keluar. Dia merasa sangat bangga dengan kemenangannya itu. Katanya, biarpun tititku kecil tapi soal coli aku lebih cepat daripada si Tri Wibowo. Dia tertawa bangga. Kemudian kami berdua mabok bareng sampai jekpot dan melewatkan kejadian rame yang terjadi di arena dangdut.

Kejadian rame yang aku maksud itu adalah sebuah keributan besar yang terjadi ketika pagelaran dangdut baru dimulai. Kejadian itu menyebabkan acara goyang dangdut massal menjadi terhenti untuk beberapa saat. Mang Dodo sebagai komandan hansip yang bertugas malam itu sampai harus turun tangan untuk melerai perkelahian. Tapi usahanya tidak berhasil. Keributan semakin membesar. Maklum, acara itu saking ramenya sampe mendatangkan para penonton dari luar desa. Banyak teori konspirasi yang muncul terkait kejadian ini.  Ada yang bilang keributan itu berawal karena ada segerombolan pemuda dari luar desa yang ngegodain kembang desa sini. Ada yang bilang keributan itu terjadi karena ada sejumlah pemuda yang beli sorabi tapi tidak bayar. Yang lain lagi bilang kalau itu terjadi gara-gara pemuda yang lagi teler tapi reseh jadi pada digebukin oleh orang-orang di sekitarnya. Yang lainnya malah bilang itu adalah sebuah upaya coup yang gagal terhadap kepemerintahan Bapak Jojo Hermawan. Tapi yang paling absurd adalah yang bilang kalau biang keladi keributan itu adalah oknum Komunis yang sedang mencoba bangkit dan membalas dendam kepada negara Indonesia. Teori terakhir dicetuskan oleh Mang Kimul yang pasti pada malam itu sedang mabok ciu.

Tapi tak ada yang tahu kalau sebelum keributan terjadi Cholil dan Rohimah sempat bertemu sebentar.Mereka bertemu di tukang sorabi. Cholil waktu itu sedang menikmati sorabinya yang kedua dan gorengannya yang kelima, tapi kepada Bi Kesih penjualnya dia mengaku baru makan sorabi satu dan gorengan dua. Saat itu Rohimah datang untuk memesan sorabi.

“Bi, meser 5 sorabina. Gorenganna 10 muhun?” suaranya begitu merdu terdengar di telinga Cholil. Begitu dia cerita.

“Mangga geulis, diantosnya?” 

“Muhun, Bi” 

Ketika menunggu sorabi matang itulah tatapan Cholil dan Rohimah bertemu. Keduanya saling tersenyum tersipu malu. Kata Cholil, itu senyuman cewek paling manis yang pernah diterima olehnya seumur hidup. Satu menit. Dua menit. Tatapan mereka kembali bertemu. Senyum kembali tersungging dari bibir Rohimah dan Cholil. Satu menit. Dua menit. Kembali mereka saling bertatapan. Ah, ternyata ada tahi lalat di ujung bibirnya, begitu Cholil bercerita kepadaku sambil tersenyum malu-malu. Lalat mana yang beruntung bisa boker disitu dan hasilnya malah membuat wajah Rohimah menjadi tambah manis. 

Adegan romantis dan malu-malu kucing itu harus berakhir ketika sorabi pesanan Rohimah sudah matang. Setelah menyelesaikan pembayaran Rohimah berbalik untuk pulang.

“Hatur nuhun, Bi” katanya kepada Bi Kesih dan suara merdu itu kembali terdengar di telinga Cholil.

“Muhun, neng geulis” Bi Kesih menimpali.

“Punten A, mayunan” tiba-tiba suara merdu itu tertuju langsung ke arah Cholil. Aduh, sesak nafas. Aduh aduh aduh. Cholil tak berdaya. Hanya bisa senyum lalu sisanya bengong melihat wajah itu memandang dirinya kemudian berlalu pergi.

Baru saja langkah Rohimah  berjalan beberapa meter meninggalkan lapak Bi Kesih sekelompok pemuda mulai menggodanya. 

“Ceweeek. Prikitiwwww”

“Neng ojeg, Neng?”

Ada yang bersiul-siul, ada yang tepuk tangan bahkan ada yang tepuk Pramuka segala. Mungkin waktu SMPnya pemuda itu ikutan kegiatan eskul Pramuka.

“Proook proook proook, proook proook proook proook proook prook proook” (tentu saja dalam irama tepuk Pramuka).

Cholil cerita dia tidak bisa merima perlakuan seperti itu kepada Rohimah. Sorabi yang masih tersisa setengah di tangannya pun dia buang. Dia langsung berdiri menghampiri para pemuda yang sedang ngegodain Rohimah.

“Eh beungeut su’uk, nanahaan sia euweuh gawe kalah kareprok. Gandeng nyaho teu?!” kata si Cholil ke arah para pemuda. Dia ngakunya sih berkata seperti itu. Aku tidak tahu pasti soalnya waktu kejadian berlangsung aku sedang mabok sama si Bendot.

Tentu saja para pemuda tidak terima.

“Ai sia naha kunyuk?” kata salah seorang pemuda yang Cholil ceritakan bertubuh kekar.

“Teu tarima, Nyet?” seorang pemuda ikut menimpali lagi. Cholil juga cerita kalau pemuda ini juga bertubuh kekar.

“Teu, kuya! Sia tong ngayah uget lah di lembur batuh. Monyet teh!” si Cholil makin emosi.

“Ngajak ribut sia? Ageh dieu?”

Tanpa dikomando Cholil langsung menyerbu gerombolan pemuda itu. Dia tidak ingat ada berapa orang, yang jelas katanya lebih dari 3 orang. Seorang dia hajar tepat di hidungnya. Tapi temannya berhasil menghantam Cholil tepat di matanya. Teman yang satunya lagi berhasil mendaratkan tendangan di perutnya. Teman yang satunya lagi sukses meninju pipinya. Teman yang satunya lagi agak kurang beruntung, tinjunya Cuma mengenai rambut Cholil.

“Anjing, nyeri monyeet” Cholil berteriak. 

Buuuuk. Baru juga selesai berteriak sebuah tinju sudah mendarat di mulutnya. Bibirnya robek, berdarah. Buuuuuk. Satu lagi tinju kena di pipinya. Satu giginya rontok. Buuuuk. Satu tunju lagi di mendarat mulus di matanya. Sekarang kedua matanya bengkak. Bak bik buk bak bik buk bak bik buk bak bik buk bak bik buk bak bik buk bak bik buk bak bik bukbak bik buk. Sisanya yang terdengar hanya suara itu. Dan semuanya mengarah ke tubuh Cholil. Penderitaan Cholil ditutup dengan sebuah tendangan maut yang mengarah tepat ke selangkangannya. Braaaak. Setelah itu Cholil roboh dan tidak ingat apa-apa lagi.

Keributan itu sendiri akhirnya bisa dilerai setelah sang primadona Ayu si Mata Roda berorasi dari atas panggung. Dia mengultimatum kalau masih saja ribut maka dia tidak akan bernyanyi. Ternyata ancaman itu berhasil. Orang-orang tidak rela jika Ayu si Mata Roda yang mereka tunggu-tunggu malah tidak bernyanyi sama sekali. Akhirnya keributan pun mereda. Dangdut bisa berjalan kembali. Sementara Cholil akhirnya masuk  rumah sakit.

Aku baru bisa menjenguknya di hari kedua Cholil masuk rumah sakit. Di hari pertama aku malah sakit sehabis mabok bareng si Bendot. Mencret-mencret. Sepertinya anggur merah yang dibeli dari uang hasil judi tidak barokah. Malah bikin mencret.

Ibuku yang mengabari kalau Cholil masuk rumah sakit karena babak belur dihajar orang. Aku langsung pergi menengoknya. Aku melihat wajahnya memang babak belur abis. Kedua matanya bengkak. Pipinya lebam. Tapi anehnya Cholil malah terlihat bahagia. Waktu itu dia tidak bercerita kenapa dia bisa terlihat sebahagia itu. Aku baru tahu beberapa waktu kemudian alasan kenapa dia bisa sebahagia itu meskipun babak belur. Ternyata di hari pertama Rohimah datang menjenguk dan menemaninya. Pantesan. Dari situlah hubungan Cholil dan Rohimah menjadi semakin dekat. Dan pada akhirnya mereka pun jadian.

***

“Tadi aku mendengar ceramah di mesjid..” kata Cholil sambil menghembuskan asap Marlboro merah kesukaannya. Aku menyimaknya dengan seksama. Ocil juga, sesekali dia ikut menimpali dengan bersuara meoong meooong. 

“Ustadznya bilang gini, bulan Ramadhan itu seperti seorang kekasih. Pas kita lagi sayang-sayangnya ehhh dia malah pergi. Kampreet tuh ustadz ceramah apa nyindir?” umpat Cholil.

Aku tertawa mendengar umpatannya. Sepertinya memang begitulah gejala orang yang sedang patah hati. Menjadi lebih sensitif. Semua hal dikaitkan dengan perasaan sendiri. Seolah-olah semuanya itu terhubung kepada dirinya.

“Udah, Lil ikhlasin aja” aku mencoba menghiburnya.

“Udah, Ki. Tapi susah. Kemarin waktu beres-beres kamar aku nemu tiket konser ST 12. Aku inget nonton konser itu bareng Rohimah di Stadion Bima. Dulu mau kau buang aja itu tiket. Tapi aku mikir lagi, ah buat kenang-kenangan ah. Jadi aku simpen. Eh taunya malah kayak gini. Assuuuu!” lagi-lagi Cholil mengumpat. Dan lagi-lagi aku tertawa mendengar umpatannya.

Selain lebih sensitif gejala lain orang yang sedang patah hati adalah menjadi lebih sering mengumpat. Seperti itulah Cholil. Jika tidak sedang mengumpat dia akan membaca kembali chat-chat mesranya bersama Rohimah dulu. Atau memandangi foto-foto mereka berdua yang masih tersimpan di ponsel Mitonya. Setelah selesai, dipastikan dia akan kembali mengumpat.

“Juancuuuuk!” 

“Kenapa lagi sih?”

“Teh botolnya abis, Ki. Minjem motor dong mau beli lagi”

“Dasar kuya” kataku sambil melemparkan kunci motor dengan gantungan kepala monyet ke arahnya.

***

Tepat pada malam ke 27 Bulan Ramadhan , Cholil Mahmud kembali datang ke rumahku. Ini sudah malam ketujuhnya secara berturut-turut. Aku sudah jarang pergi ke mesjid karena sholat Taraweh sudah semakin sepi menjelang Lebaran. Aku menunggunya di teras rumah. Bersama Ocil tentunya, kucingku yang tidak bisa ereksi. Dia selalu terlihat senang jika Cholil datang ke rumah. Meskipun tidak selalu tetap jamnya Cholil pasti tetap datang. Dengan sebungkus Marlboro merah dan Teh Botol. Dan mukanya yang masih tetap terlihat menyedihkan.

Urutan selanjutnya sudah bisa aku tebak. Rohimah lalu David Guetta lalu konser ST 12 balik lagi ke Rohimah lalu ke laki-laki penyuka David Guetta lalu ke konser ST 12 yang pernah mereka tonton di Stadion Bima lalu balik lagi ke Rohimah. Sisanya adalah berbagai macam umpatan dari bahasa Cerbon , Sunda, Indonesia sampai Inggris. Kirik, monyet, asuuu, babi, fuck, bitch. Lengkap.

 Kadang aku bosan juga mendengar curhatannya. Tapi aku sendiri tidak tega melihatnya terus-terusan seperti itu. Biar bagaimana pun Cholil sudah aku anggap sebagai orang yang paling berjasa karena pernah mengajariku coli. Sesekali aku menyarankan untuk mencari pacar baru sebagai pengganti Rohimah. Cobalah buka hati untuk cewek lain, saranku. Tapi Cholil menolak, dia tetap keukeuh hanya ingin sama Rohimah. Dengan sok-sok bijak aku bilang padanya kalau sudah jodoh nanti pasti balik lagi. Tapi Cholil kadung pesimis duluan. Dia tetap merasa bahwa Rohimah tidak akan balik lagi ke pangkuannya. Bahkan Ocil pun sepertinya ikut memberi saran juga kepada Cholil.

“Meooong meooong meooong”

Aku tidak mengerti apa yang Ocil katakan, tapi sepertinya Cholil paham.

“Sudahlah Cil, kamu kucing mana tahu perasaanku sebagai manusia?” begitu kata Cholil kepada Ocil. Luar biasa pikirku. Aku saja yang sudah 5 tahun menjadi majikan Ocil tidak pernah bisa sekalipun mengerti bahasanya. Kalau Ocil sudah mulai meong meong kadang aku memberinya makan. Kalau masih tetap meong-meong kadang aku memperdengarkannya musik (biasanya lagu-lagu Blur). Kalau masih saja tetap meong meong aku bawa dia ke depan tv dan nonton infotainment bareng-bareng. Biasanya dia tenang kalau sudah lihat beritanya Nazar-Muzdalifah.

“Tuh Cil liat Cil, si Nazar katanya diguna-guna sama orang tuanya Muzdalifah” kataku pada Ocil sambil melihat berita terbaru dari Nazar. Aku lihat Ocil memperhatikan dengan serius.

Begitulah komunikasiku dengan Ocil sehari-hari.  Tapi sepatah kata yang Ocil ucapkan pun aku tidak pernah mengerti apa artinya. Berbeda sekali dengan Cholil yang bisa langsung mengerti. Padahal dia baru rutin main ke rumahku selama seminggu ini. Aku bingung apakah Cholil patah hati atau gila.

Jika nasehat-nasehat sok bijak ala Mario Teguh yang sudah aku keluarkan tidak pernah bisa menghibur Cholil biasanya aku membiarkan dia diam. Biar saja dia dengan kesedihannya. Menikmati suasana malam sambil mendengarkan lagu yang Cholil putar dari ponselnya. 

Kalau hanya untuk mengejar laki-laki lain, buat ap sih benang biru kau sulam menjadi kelambu?

Lagu Benang Biru dari Meggy Z mengalun dengan syahdu. Menyulap suasana teras rumahku menjadi warung burjo. Aku perhatikan Cholil begitu menghayati lagu itu. Matanya terpejam sambil mulutnya bergumam mengikuti lirik lagu. Mungkin untuk saat ini hanya lagu itulah yang bisa menjadi penghiburnya. 

Cholil akan memutar lagu itu sampai beberapa kali. Sampai mungkin dia bosan atau mengantuk. Lalu setelah itu dia akan pamit pulang. Meninggalkan bekas Teh Botol dan beberapa puntung rokok. Lalu berjalan gontai menuju ke arah gerbang pagar rumahku. Aku dan Ocil biasanya menemani dia sampai keluar pagar. Melihat langkah kakinya satu per satu membawanya menjauh meninggalkanku dan Ocil. Dia tidak berbicara apa-apa lagi. Mungkin yang ada di kepalanya hanya Rohimah. Jika bukan, mungkin si laki-laki sialan pecinta David Guetta.

Kampung Melayu, 26 Januari 2015

Sabtu, 24 Januari 2015

Chapter I : So I Start a Revolution From My Bed



Di dalam dunia dimana dusta merajalela menulis cerita cabul adalah sebuah tindakan revolusioner – Bram Rahma Hidayat

“Gimana? Keren kan? Terasa seperti George Orwell” kataku kepada laki-laki yang duduk di sampingku. Laki-laki itu adalah kawan dekatku. Juga seseorang yang meminjamkan laptopnya untuk aku pakai menulis.

“Hmmmm” di hanya bergumam pelan. Matanya menatap lekat-lekat kepada monitor laptop yang ada di hadapannya. Sementara jari-jari tangannya dengan lincah mengambil sebatang rokok Gudang Garam filter yang berada tidak jauh dari laptop. Telingaku kemudian menangkap bunyi dari suara rokok yang dibakar. Aku masih menunggu respon darinya.

“Ya, ya keren. Tapi Bung, aku rasa sebaiknya kau coret nama Rahmat Hidayatnya. Cukup pakai nama Bram saja” katanya sambil menghembuskan asap rokok. Wajahnya terlihat serius dan meyakinkan.

“Oh, ya?” kataku penasaran. Aku perhatikan kembali kalimat yang baru saja aku ketikkan. Aku rasa kalimat itu sudah cukup keren.

“Bung, ini cerita bokep! Cerita cabul! Nama Rahma Hidayat terdengar terlalu religius untuk sebuah cerita cabul. Tak cocok itu, tak cocok” terangnya meyakinkan.

Aku renungkan perkataannya barusan. Untuk seseorang yang berasal dari suku Sunda aku sangat menghargai kejujurannya. Orang Sunda terkenal dengan sifatnya yang sering tidak enakan kepada orang lain, sehingga terkadang mereka suka takut ketika ingin mengkritik seseorang.

Kini giliran jari-jari tanganku yang mengambil sebatang rokok Gudang Garam dan membakarnya. Kopi dari cangkir kami sudah tinggal separuh dan dingin. Sudah hampir satu jam berlalu sejak aku membuka laptop dan mencari kalimat pembuka untuk sebuah cerita yang akan aku tulis. Kawanku sesekali memprotes karena dipikirnya aku terlalu membuang-buang waktu hanya untuk sebuah kalimat pembuka. Aku balik mendebatnya, kataku kalimat pembuka sebuah novel, meskipun itu cerita cabul, adalah hal yang sangat krusial. Para penulis besar macam Gabriel Garcia Marquez bahkan memerlukan waktu yang sangat lama hanya untuk membuat kalimat pembuka ceritanya. Akhirnya kawanku mau mengerti dan tetap setia menungguku mengetik sambil sesekali bermain Clash Of Clans di hpnya.

“Ah, aku rasa kau benar, Bung. Nama Bram lebih pas dengan ceritanya” kataku beberapa menit kemudian. Aku geserkan kursor laptop dan menghapus nama Rahma Hidayat dari layar. Sekali lagi aku bacakan kalimat pembuka dari cerita yang akan aku tulis itu.

Di dalam dunia dimana dusta merajalela menulis cerita cabul adalah sebuah tindakan revolusioner – Bram

Aku tersenyum puas mengagumi betapa kerennya kalimat yang baru saja aku temukan. Aku lihat kawanku pun ikut tersenyum dan mengangguk-ngangguk senang. 

“Bung, sebuah revolusi baru saja dimulai!” kataku setengah berteriak dari dalam kamar. Kawanku tertawa mendengarnya. Aku matikan rokok di sebuah asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok dan meneguk habis kopi dari cangkir kami yang tinggal separuh.

***

Namaku Bram. Ah, tentu saja kau sudah bisa menebaknya kalau itu bukanlah namaku yang sebenarnya. Tapi untuk saat ini rasanya kau tak perlu tahu siapa nama asliku. Aku seorang perawat, percayalah. Juga seorang calon penulis cerita-cerita cabul.  Kau juga harus percaya itu. Meskipun sebenarnya aku bisa saja menulis kisah-kisah romantis yang menyayat hati seperti halnya kisah asmaraku sendiri. Tapi kawanku meyakinkanku bahwasannya aku lebih cocok menulis cerita-cerita cabul. Bahkan dia percaya kalau takdirku adalah untuk menjadi penulis cerita-cerita cabul seputar selangkangan dan birahi. Sialnya, aku percaya pada perkataannya. Kelak aku akan menyesal karena cerita-cerita cabulku malah membuatku sulit mendapatkan pacar.  Tai ucing.

Di dunia ini ada banyak hal yang aku percayai dan tidak. Aku percaya pada Tuhan tapi tidak percaya kepada agama. Makanya aku bingung ketika membuat  KTP harus mencantumkan agama. Lebih bingung lagi karena agamanya sudah ditentukan. Padahal kalau boleh bebas mengisinya mungkin aku akan mengisi kolom agamaku dengan nama Manchester United atau JKT 48. Sayang sekali tidak bisa.

Aku percaya kalau alien itu memang ada. Rasanya tidak adil saja kalau alam semesta yang maha luas ini hanya diisi oleh manusia. Waktu kecil aku pernah mengira kalau Mang Kanjut, tetanggaku, adalah alien. Soalnya dia sering berbicara dan tertawa sendiri. Setelah aku beranjak dewasa aku baru tahu kalau Mang Kanjut itu gila. Itu kata orang tuaku. Konon katanya Mang Kanjut stres setelah gagal nikah padahal undangannya sudah disebar. Sejak saat itu Mang Kanjut mulai sering berbicara dan tertawa sendiri. Juga mulai sering menggaruk-garuk kanjutnya. Oh iya, kanjut adalah istilah lain untuk testis atau skrotum. Istilah yang lebih populer daripada kanjut adalah peler. Sejak saat itulah nama Mang Kanjut menjadi populer di kampungku.

Tapi mungkin saja memang Mang Kanjut sebenarnya adalah alien. Mungkin dia sedang berbicara dengan sesamanya yang tidak kita lihat, lalu mereka sama-sama menertawakan kita, umat manusia. Ah sudahlah, terlepas dari siapkah sebenarnya Mang Kanjut aku tetap yakin kalau alien itu ada. Hanya saja, aku pun yakin kalau para alien itu mempunyai masalah yang sama dengan penduduk bumi. Mereka, sama seperti kita, belum menemukan teknologi yang super canggih untuk bisa menjelajahi jagat raya yang berjarak jutaan tahun cahaya. Jadi sepertinya kita tidak akan pernah bertemu dengan para alien itu. 

Aku juga percaya pada Jim Morrison tapi aku tidak percaya kepada Mario Teguh, meskipun aku setuju kepada salah satu kalimat motivasinya bahwa dibalik kesuksesan seorang pria terdapat peran wanita hebat dibelakangnya. Ya, begitu juga sebaliknya, dibalik kehancuran seorang pria terdapat peran seorang wanita sialan di belakangnya. Aku yakin nasib yang membawaku menjadi seorang perawat pun tidak terlepas dari peran seorang wanita.

Wanita itu bernama Noni. Dia adalah pacarku ketika SMA. Cantik, bohay dan mempunyai deretan gigi berjajar rapi seperti pasukan pengibar bendera. Kami pertama kali berkenalan ketika duduk di bangku kelas 2. Dia murid baru di sekolahku. Aku dikenalkan oleh Tia, temanku. Kami saling bertukar nomor hp dan sering berkomunikasi setelahnya. Ketika menginjak kelas 3 SMA kami resmi berpacaran. 3 hari setelahnya kami berciuman dengan panas di ruangan kelas. Dan seminggu setelahnya kami bercinta untuk pertama kali di rumahnya.

Noni adalah gadis yang menyenangkan dan terkadang manja. Tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi berisi. Bola matanya berwarna cokelat, asli bukan karena memakai lensa kontak. Itu adalah salah satu bagian fisik yang aku suka dari Noni. Selain tentu saja toketnya yang berukuran lumayan besar dan padat.

Sialnya, setelah beberapa bulan berpacaran tabiat Noni perlahan-lahan mulai berubah. Dia menjadi sangat posesif dan cemburuan. Tidak bisa melihat aku dekat dengan wanita lain, pasti akan langsung dicemburui. Saking ekstrimnya Noni bahkan cemburu kepada Leo, teman satu kamar kostku. Mungkin karena aku selalu tidur bareng dengan Leo, sementara Noni tidak bisa aku tiduri seenaknya. Ya habis mau bagaimana lagi? Aku satu kamar dengan  Leo jadi mau tidak mau setiap malam aku pasti berbagi ranjang dengannya. Mungkin tidak terlalu bermasalah jika Leo itu berjenis kelamin perempuan, hanya saja Leo itu berjenis kelamin laki-laki sama sepertiku. Kadang, kecemburuan Noni memang tidak masuk akal. Seringkali karena sifatnya yang pencemburu kami jadi harus terlibat pertengkaran yang aku rasa tidak perlu terjadi.

Hubungan kami bisa bertahan sampai lulus SMA. Aku kira setelah lulus hubungan kami akan berubah menjadi lebih harmonis. Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya. Hubungan kami bertambah runyam. Permasalahannya adalah Noni memaksaku untuk kuliah di tempat yang sama dengannya. Dia tidak mau berpisah denganku. Sedangkan aku mati-matian tidak ingin satu kampus dengannya. Dari awal Noni memang sudah bercita-cita untuk menjadi seorang perawat sehingga dia mendaftar di sebuah Akademi Keperawatan di Cirebon. Dan aku dipaksa ikut mendaftar juga. Sial, seharusnya aku menolak ajakan Noni saat itu. Tapi disinilah letak kehebatan Noni, dia bisa membuatku tak bisa melawan rayuan dan godaannya. Akhirnya aku pun ikut mendaftar bersama Noni. Tapi sebenarnya tanpa sepengetahuan Noni diam-diam aku juga ikut mendaftar ujian SMPTN.

Seminggu kemudian hasil ujian masuk Akper diumumkan. Aku lulus, sedangkan Noni tidak. Noni sangat kecewa. Aku lihat ada air mata yang menggenang di bola matanya yang cokelat itu. Aku merasa kasihan padanya. Hanya sebuah pelukan yang bisa aku berikan untuk menghiburnya. 10 hari kemudian hasil ujian SMPTN diumumkan. Kini giliranku yang tidak lulus ujian. Aku sedih. Noni yang pada akhirnya tahu kalau aku mengikuti ujian SMPTN malah tertawa senang. Mampus kau, aku lihat matanya yang berwarna cokelat berkata seperti itu. Kali ini tidak ada pelukan yang menghiburku. Yang ada hanyalah Noni yang memarahiku habis-habisan.

Pada akhirnya kami berkuliah di kampus yang berbeda dan hubungan kami pun kandas di tengah jalan. Aku, disertai sebuah nasihat dan ancaman dari ibuku, akhirnya memilih untuk tetap kuliah di Akper. “Kau sudah lulus ujian, jangan disia-siakan. Kesempatan hanya datang satu kali, sementara penyesalan selamanya. Siapa tahu nanti kau bisa jadi seperti Mantri Otong. Tuh liat, sekarang sudah naik haji. Mobilnya juga sudah dua” kata ibuku menasehati. Mantri Otong adalah seorang mantri di kampungku. Dia adalah lulusan akper yang membuka praktek pengobatan. Pasiennya banyak. Maklum di kampungku belum banyak dokter yang membuka praktek. Selain nasihat ibuku juga memberi ancaman yang mengerikan. Katanya, jika aku tidak berkuliah di Akper maka lebih baik aku masuk pesantren. Oh tidak, jangan pesantren. Aku tidak pantas masuk pesantren. Bisa-bisa aku menjadi seorang kiayi dari kegelapan. Karena itulah aku memlilih masuk akper dan 3 tahun kemudian secara resmi aku menjadi seorang perawat.

Namaku Bram dan kau tahu itu bukanlah nama asliku. Kini aku bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit kecil di Jakarta. Gajinya kecil, tinggal jauh dari orang tua, punya banyak hutang di warung, dan jomblo. Hidup terkadang memang seperti posisi missionaris dalam sex. Sialnya, aku yang sedang berada di posisi bawah.

Sabtu, 03 Januari 2015

The Kids From Yesterday : Surat Cinta Balasan Buat Mas Mbeb



Seperti judulnya, tulisan ini memang sengaja ditujukan buat Mas Mbeb. Saya merasa sangat terharu dan tersanjung karena dalam salah satu tulisannya Mas Mbeb mencantumkan nama saya (bisa dibaca disini http://nursestation69.blogspot.com/2015/01/random-notes.html ). Jadi anggap saja ini sebagai surat cinta balasan dari saya, meskipun saya tahu  kalau Mas Mbeb tidak akan merasa terlalu senang karena sekarang Mas Mbeb sudah punya dua orang gebetan yang memberinya kasih sayang dan perhatian (huh, xombong). Tapi biarlah, biar semua orang juga tahu kenapa saya bisa mengenal Mas Mbeb.

Jadi, kenapa saya bisa kenal Mas Mbeb? Jawabannya sama seperti jawaban yang diberikan Mas Mbeb kepada Mas Maung, “tidak tahu”. Ya, saya tidak tahu kenapa saya bisa mengenal Mas Mbeb. Saya juga lupa kapan pertama kali kita mengobrol atau saling berbicara. Tapi saya ingat kapan pertama kali saya bertemu dengan Mas Mbeb meskipun sedihnya pasti Mas Mbeb tidak ingat kapan pertama kali bertemu dengan saya.

Ini adalah kisah yang tejadi bertahun-tahun silam ketika rezim SBY masih berkuasa di negeri ini. Dan ketika kantung matanya belum terlalu besar. Peristiwa ini terjadi ketika awal-awal saya masuk kuliah. Peristiwa ini selalu melekat dalam ingatan saya. Bahkan mungkin diantara teman-teman saya yang lain peristiwa pertemuan dengan Mas Mbeb merupakan salah satu peristiwa yang selalu saya ingat.

Waktu itu adalah masa-masa sebelum OSPEK (atau di kampus kami disebutnya Pra-PPS). Saya tidak terlalu ingat dengan pasti apakah saat itu saya sedang daftar ulang atau sedang melihat dftar peserta yang lulus ujian masuk Akper Depkes.  Yang saya ingat saat itu semua calon mahasiswa masih memakai pakaian bebas, belum memakai seragam. Disitulah pertama kalinya saya bertemu dengan Mas Mbeb. Sebetulnya kurang tepat juga jika peristiwa itu disebut sebagai pertemuan karena sebenarnya saya hanya melihat Mas Mbeb dari jauh tanpa berusaha berkenalan atau pun menyapanya.

Mas Mbeb pada waktu itu adalah sesosok bocah gendut dengan rambut poni lempar miring kiri, kaos putih dengan logo Superman, skinny jins hitam dan sepatu Converse buluk. Sepertinya waktu itu pun Mas Mbeb sudah berstatus jomblo karena saya melihatnya sendirian tanpa ada wanita yang menemaninya. “wiiiih anak Emo nih pasti” gumam saya dalam hati.

Emo memang sedang menjadi hype tersendiri di Indonesia pada waktu itu. Band-band macam My Chemical Romance, The Used, Fall Out Boys sedang rame-ramenya diperbincangkan. Dandanan anak Emo pun khas, rambut poni lempar + skinny jins + sepatu Converse (kalau perlu pasang muka murung penuh kesedihan). Melihat Mas Mbeb dengan dandanan seperti itu saya jadi menebak kalau bocah gendut ini adalah salah satu  jamaah Emo (yaah meskipun muka Mas Mbeb bisa dibilang lebih terlihat mesum daripada murung dan sedih).

Tebakan saya ternyata tepat. Meskipun tidak Emo-Emo banget tapi Mas Mbeb adalah seorang fans berat My Chemical Romance (saya lupa tahu darimana kalau Mas Mbeb suka My Chemical Romance). Adalah suatu hal yang canggih juga seseorang yang suka My Chemical Romance jadi perawat. Lebih canggih lagi karena itu terjadi di Akper Depkes angkatan saya. Karena setahu saya di angkatan saya mahasiswa yang suka My Chemical Romance hanya ada empat orang. Selain Mas Mbeb dan saya, dua orang laginya adalah Omesh dan Anita Widyaningsih.

Tapi semua selesai sampai disitu. Setelah pertemuan itu, praktis saya tidak pernah memikirkan Mas Mbeb lagi. Kita ditempatkan di kelas yang berbeda, saya di kelas A dan Mas Mbeb di kelas B. Saya Cuma tahu bahwa bocah gendut yang saya lihat itu bernama Mas Mbeb, suka My Chemical Romance dan pernah menjadi MC saat acara Caping Day. Saya tidak pernah ngobrol serius dan panjang lebar dengannya. Mungkin sesekali pernah saling menyapa. Terkadang saya juga sering melihatnya dengan motor Supra dan helm hitamnya yang khas. Bisa dibilang meskipun 3 tahun kita kuliah di tempat yang sama tapi hubungan kami tidak terlalu intim. Setahu saya Mas Mbeb lebih intim dengan Gugun.

Kemudian kami lulus dan saling berpencar. Saya kemana, Mas Mbeb kemana. Selama itu saya tidak pernah mengetahui kabar dari Mas Mbeb. Saya menganggur selama kurang lebih 5 bulan. Hingga suatu hari saya bertemu kembali dengan Mas Mbeb di parkiran motor Grage Mall, sebuah mall di pusat Kota Cirebon. Lagi-lagi Mas Mbeb hanya terlihat seorang diri (mungkin masih tetap jomblo). Tentu saja kami saling menyapa dan bertanya kabar masing-masing. “Hai Mas Mbeb”. Eh, dulu sih belum pake awalan Mas jadi mungkin sapaannya seperti ini, “Hai Mbeb”. Blaa blaa blaa. Saya jadi tahu kalau saat itu Mas Mbeb sudah bekerja di Pertamina tapi bukan di rumah sakitnya melainkan di tempat pengeborannya. Jadi 2 minggu dia bekerja di tempat pengeboran, 2 minggu libur. Pada saat bertemu dengan saya waktu itu Mas Mbeb sedang libur.

Dan lagi-lagi semua selesai sampai disitu. Karena setelah pertemuan itu ada jeda yang cukup panjang sehingga saya tidak pernah bertemu lagi dengan Mas Mbeb.  Sampai kemudian saya diterima bekerja di RSCM. Pada waktu itu hanya saya dan Dini, teman angkatan satu kampus, yang bekerja di RSCM. Saya merasa kesepian karena tidak mempunyai teman satu angkatan yang bekerja bareng.

Saya tidak tahu bagaimana mulanya tapi kemudian Mas Mbeb juga bekerja di RSCM. Mungkin karena merasa ada teman dari situ saya mulai sering main ke kosan Mas Mbeb. Dulu Mas Mbeb masih kos di Wisma Pevita Bembi sebelum pindah ke Kosan Bang Udin. Kamar kosnya sangat sempit, hanya muat untuk 2 orang. Tapi saya sering mampir kesana. Kadang saya mampir ke sana sepulang kerja, atau sesekali mampir saat saya baru mudik dari Cirebon (biasanya kalau hanya malas masuk kerja). Atau sesekali saya Cuma mampir untuk numpang ee di WCnya. WCnya sudah seperti WC umum yang bisa digunakan oleh siapa saja. Mungkin itulah awal kedekatan saya dengan Mas Mbeb. Sebelum Yosie dan Mas Maung datang, MasMbeb adalah teman seangkatan yang sering saya kunjungi.

Suatu hari saya kepikiran untuk membuat zine tentang keperawatan. Cuma saya tahu kalau saya tidak bisa mengerjakannya sendirian. Karena itu saya berniat mengajak teman-teman saya yang lain untuk bergabung. Anehnya, orang yang pertama kali terlintas untuk diajak bergabung adalah Mas Mbeb. Padahal saat itu saya tidak tahu apakah Mas Mbeb suka menulis atau tidak? Maka hanya dengan bermodal keyakinan bahwa fans My Chemical Romance adalah orang yang keren saya ajaklah Mas Mbeb untuk bergabung. Ternyata Mas Mbeb setuju dan bisa nulis juga! Saya ingat tulisan pertamanya adalah “Sperma Siapa di Celana Dalam Bunga” (Hmmm, selain jomblo sepertinya sejak dulu Mas Mbeb sudah menunjukkan bakat mesumnya). Setelah proyek zine itu berjalan hubungan saya dengan Mas Mbeb menjadi semakin dekat. Apalagi kemudian datang Yosie dan Mas Maung dan kemudian mereka mendirikan Udin Syndicate.

Itulah sejarah perkenalan saya dengan Mas Mbeb. Ketika menulis ini tahun 2014 sudah berlalu selama 4 hari. Saya pertama kali melihat Mas Mbeb pada tahun 2008. Ketemu di Grage Mall tahun 2011. Main ke kamar Mas Mbeb di Wisma Pevita Bembi tahun 2012 dan sekarang sudah tahun 2015. Ada banyak hal yang sudah berubah tentunya, baik dalam diri Mas Mbeb atau pun diri saya sendiri. Sekarang saya sudah berkeluarga. Anak saya sudah berumur 2 tahun, mulai pinter ngomong dan cerewet. Rambut Mas Mbeb kini bukan poni lempar ala anak Emo lagi. Mas Mbeb juga sekarang sudah punya gebetan meskipun masih jomblo. Tapi diantara kami berdua ada dua hal yang belum berubah, 

1.     Titit kami masih sama-sama mungil
2.     Kami masih suka dengan My Chemical Romance meskipun band itu kini sudah bubar.

Sebagai sesama fans My Chemical Romance maka tulisan ini saya tutup dengan sebuah lirik lagu milik mereka,

Cause you only live forever in the lights you make
When we were young we used to say
That you only hear the music when your heart begins to break
Now we are the kids from yesterday

We are the kids from yesterday, Mas Mbeb.


Kampung Melayu, 4 Januari 2015


Catatan tambahan :
1.       Oh iya kedekatan saya dengan Mas Mbeb juga terjadi karena dulu saya sering meminjam uang kepadanya. Sampai sekarang pun saya masih punya hutang yang belum dibayar.
2.    Saya juga menulis sebuah tulisan pengantar untuk undangan pernikahan saya di kamar kos Mas Mbeb di Wisma Pevita Bembi. Tulisan itu bisa dibaca di surat undangan pernikahan saya (bagi mereka yang kebagian undangan).