Rabu, 29 Oktober 2014

Menjadi Lebay di Smoking Area



Saya setuju jika manusia dikatakan sebagai tempatnya khilaf dan salah. Saya hanya ingin menambahkan sedikit, selain tempatnya khilaf dan salah manusia juga tempatnya lebay. Ya, lebay, istilah yang sering digunakan untuk merujuk suatu sikap yang berlebihan. Misalnya berdandan, berbicara atau bahkan dalam menulis review musik. Dalam beberapa hal tulisan ini pun bisa dibilang lebay. Tapi tak apa, toh di awal saya sudah menjelaskan kalau manusia itu tempatnya khilaf dan salah, juga lebay. Jadi anggap saja wajar karena lebay itu manusiawi.

Hanya saja, ketika sikap lebay ini memasuki fase yang lebih lebay lagi (artinya sikap lebaynya sudah berlebihan) saya kira itu sudah menjadi tidak wajar dan sulit dimaklumi. Lebay yang berlebihan. Lebay kuadrat. (ah, entahlah saya belum menemukan istilah yang cocok untuk menyebut sikap lebay yang berlebihan ini). Contoh yang paling jelas tentang sifat lebay yang berlebihan itu salah satunya adalah pernikahan Raffi Ahmad.Salah duanya adalah  tulisan Mas Puthut EA disini http://mojok.co/2014/09/menjadi-manusia-di-smoking-area/ yang berjudul Menjadi Manusia di Smoking Area.

Dari tulisan-tulisan Mas Puthut yang pernahsaya baca, sikap lebay Mas Puthut setidaknya bisa dilihat dari 2 hal. Yang pertama adalah tingkat fanatismenya terhadap klub sepakbola AS Roma. Yang kedua adalah sikap nyinyir Mas Puthut terhadap kaum anti-rokok. Lebay yang pertama masih saya anggap wajar. Sudahlah jangan didebat, sepakbola bagi sebagian orang adalah agama kedua mereka. Bahkan mungkin mereka lebih taat menyaksikan klub idolanya bertanding daripada melakukan ibadah sesuai anjuran agamanya. Meskipun terkadang tidak masuk akal tetapi ke-lebay-an seperti itu masih saya maklumi dan anggap wajar. Lebay yang kedua pun sebenarnya masih saya anggap wajar. Apalagi jika melihat pembelaan-pembelaan Mas Puthut terhadap industri kretek lokal dan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Tapi dalam tulisan Menjadi Manusia di Smoking Area, saya kira Mas Puthut sudah terlalu lebay.

Coba saja disimak bagaimana Mas Puthut mendeskripsikan suasana di bandara dan orang-orang yang berlalu lalang di dalamnya. Begitu kaku, dingin dan tanpa emosi. Seolah-olah mereka semua adalah robot. Mekanis. Hambar. Mungkin sepeti ikan teri tanpa sambal terasi.

Kemudian suasana itu berubah ketika kita memasuki ruang smoking area. Kekakuan itu menjadi cair. Orang-orang menjadi lebih rileks. Robot-robot itu sudah menjadi manusia kembali. Mereka kembali ekspresif. 

Disana orang-orang bisa saling menyapa dan berkomunikasi, tidak seperti di luar smoking area dimana orang-orang itu hanya asik dengan perangkat gadgetnya sendiri. Di dalam smoking area orang-orang itu bisa bekisah tentang bisnis mereka, berseloroh, atau mengomentari tayangan-tayangan dari layar televisi. Juga kadang diselingi dengan perdebatan-perdebatan kecil. Ah, sungguh indah membayangkannya.
Mereka akan melepaskan semua atribut yang melekat dalam diri mereka. Tidak peduli dia direktur atau karyawan, selebritas atau wartawan, intelektual atau budayawan, semuanya membaur. Orang-orang berjas dan berdasi tidak lebih istimewa daripada orang-orang yang berkaos dan bercelana jins. Pokoknya semua membaur. Tanpa ada kelas!! (well, selamat Marx, cita-cita anda akhirnya bisa tercapai juga di smoking area ).

Anehnya, sebagai seorang perokok saya merasa apa yang dituliskan oleh Mas Puthut terlalu berlebihan. Lebay. Bagi saya, merokok dimanapun terasa sama saja. Mau di smoking area atau di warung kopi, mau sendiri atau rame-rame. Sama saja. Biasa saja. Tidak terasa menjadi lebih “manusia”. Bahwasannya merokok di smoking area membuat manusia robot itu menjadi “manusia” kembali, saya pikir itu tergantung kepada pribadi si individu tersebut. Jika seseorang yang senang mengobrol bertemu dengan seseorang yang senang mengobrol lagi kemungkinan besar akan terjadi sebuah percakapan disitu. Tapi bagaimana kalau misalnya individu tersebut adalah seorang introvert dan pendiam? Apa mungkin obrolan itu akan tercipta? Apa mungkin juga si pendiam tersebut kemudian akan berkisah tentang bisnisnya? Rasanya tidak.  Pun begitu, merokok di smoking area juga belum tentu membuat seseorang akan kehilangan keasyikan dengan gadgetnya. Ah, mungkin saja dia sedang asyik main Clash Of Clans di ponselnya sambil merokok. Mungkin juga dia sedang asyik BBM-an dengan pacarnya nun jauh disana. Toh, merokok di smoking area tidak serta merta membuat seseorang mematikan ponselnya kemudian berseloroh dengan orang di dekatanya dan menjadi “manusia” kembali. Terlalu dangkal rasanya jika status “kemanusiaan” seseorang hanya ditentukan oleh adanya komunikasi gara-gara merokok bareng di smoking area dengan keasyikan sendiri ketika berada di luar smoking area.

Yang lebih lebay dan menggelikan lagi adalah ketika Mas Puthut menganggap para perokok di smoking area diperlakukan seperti kaum paria, interniran dan kriminal. Demi toket Nikita Mirzani, apakah iya sampai segitunya? Ada berapa banyak? Apakah setiap orang yang merokok di smoking area? Atau hanya segelintir orang saja? Saya kira kebanyakan orang hanya ingin merokok saja, tok. Tanpa perlu misuh-misuh dan merasa seperti seorang kriminal. Dalam tulisan Mas Puthut smoking area dikesankan seperti kamar gas dalam kisah-kisah kekejaman Hitler. Lebay? Tentu saja.

Mas Puthut melanjutkan, “bukankah dengan cukai yang mereka beli seharusnya justru para perokok diberi tempat yang nyaman?”. Wah kalau logikanya seperti itu saya sebagai pengendara sepeda motor juga bisa menuntut untuk diberikan tempat yang nyaman juga dong? Saya kan sudah membayar pajak, seharusnya saya juga diberi tempat yang nyaman. Misalnya jalur khusus untuk sepeda motor agar kita tidak perlu berebutan dengan para pengendara mobil, juga agar kita tidak perlu menyerobot jalur bus Trans Jakarta. Seperti itu logikanya? Lagipula tempat yang nyaman itu seperti apa? Apakah harus ada kipas anginnya? Ada sofanya? Ada lemari pendingin? Ada fasilitas untuk karaokenya? Ada gadis pemandu lagunya? Sialan, saya malah jadi ikutan lebay.

Sebagai penutup, jika Mas Puthut bilang di smoking area para manusia robot itu menjadi “manusia” kembali maka saya bilang di smoking area Mas Puthut malah menjadi manusia yang lebay.

Resensi Buku : Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas



Bagaimana jalan kesunyian ala sufi dan perilaku manusia bisa ditemukan lewat kontol yang tidak bisa ngaceng? Jawabannya ada pada novel terbaru Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (selanjutnya saya singkat Seperti Dendam).

Anggap saja saya terlalu serius dengan kalimat pembuka diatas, tapi saya tidak sedang bercanda ketika menulis “kontol yang tidak bisa ngaceng”, karena novel ini memang bercerita tentang seorang laki-laki yang kontolnya tidak bisa ngaceng setelah menyaksikan 2 orang polisi memperkosa seorang perempuan gila. Terasa ganjil bukan? Sangat khas Eka Kurniawan, namun kali ini Eka Kurniawan mengeksekusinya dengan gaya penulisan serupa buku-buku stensilan karya Enny Arrow yang dicampur dengan cerita-cerita silat. Hanya saja Eka Kurniawan membawanya lebih jauh ke tataran filosofis.

Perlu waktu 10 tahun bagi Eka Kurniawan untuk kembali merilis novel, setelah terakhir kali dia merilis Lelaki Harimau. Jika mau dibandingkan, Seperti Dendam terlihat sangat sederhana jika daripada 2 novel pertama Eka Kurniawan (Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau). Tapi jika kita lihat secara lebih seksama novel ini sepertinya disusun dengan sebuah ketelitian tinggi. Silahkan perhatikan jumlah setiap bab yang terdiri dari 30 halaman (kecuali bab terakhir yang berjumlah 33 halaman). Jika menyimak proses kreatifnya yang sering dia publikasikan di jurnal ekakurniawan.com rasanya susunan halaman ini bukanlah sesuatu yang hadir dengan tidak sengaja. 

 Setiap bab juga kemudian dipotong-potong menjadi beberapa fragmen dengan plot maju-mundur yang memikat. Disini pun kita bisa melihat kejelian dan kelihaian Eka Kurniawan dalam mengatur ritme dan tempo dalam ceritanya. Eka Kurniawan dengan lihai bisa tahu kapan cerita ini harus mengisahkan masa lalu Ajo Kawir, si tokoh utama novel ini, atau kapan harus bercerita tentang pertemuan Ajo Kawir dengan si Iteung. Dengan kelihaian tersebut saya jamin kalian akan langsung terperangkap tepat disaat kalian pertama membacanya.

Lalu bagaimana ceritanya kontol yang tidak bisa ngaceng itu bisa membawa kita menuju jalan kesunyian yang lazim ditempuh oleh para sufi?

Baiklah, tapi pertama-tama kita harus melihat beberapa perilaku manusia yang bisa dijelaskan dari bagaimana cara mereka memperlakukan alat kelaminnya, terutama laki-laki. Seperti yang umum diketahui, bagi sebagian orang kelamin adalah otak kedua mereka. Bahkan mungkin bagi sebagian lainnya, kelamin adalah otak pertama mereka. Mereka lebih berpikir dengan kelaminnya. Kelamin identik dengan hawa nafsu, dengan ambisi. Jadi mereka yang lebih menggunakan kelaminnya untuk berpikir adalah mereka yang lebih mementingkan kepuasan nafsu dan ambisinya.

2 tokoh polisi yang memperkosa seorang perempuan gila secara bergiliran adalah gambaran dari sebuah perilaku yang korup (entah sengaja atau tidak, Eka Kurniawan memakai polisi untuk menggambarkan perliaku korup tersebut). Mereka tidak peduli kalau perempuan itu gila, yang penting bisa mereka “pake” dan memuaskan nafsunya. Sama seperti koruptor, mereka juga tidak akan peduli kalau yang mereka korupsi itu adalah pajak yang dibayar oleh rakyat ataupun dana haji milik umat. Yang penting kaya. Tai ucing dengan yang lain.

Tokoh Pak Toto, seorang guru yang mencabuli si Iteung di kelas adalah gambaran perilaku penguasa yang juga sebenarnya korup (menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan/kepuasan pribadi). Terkadang memang kekuasaan bisa membuat seseorang merasa bisa berbuat apa saja. Termasuk mencabuli (hierarki kekuasaan antara guru-murid), atau dalam hal lain seperti kasus-kasus pelanggaran HAM (menculik, membunuh atas nama stabilitas negara?)

Si Tokek, kawan sehidup-sesekarat Ajo Kawir, mempunyai karir asmara yang bisa dibilang tidak terlalu sukses. Meskipun dalam novel ini kisah percintaan si Tokek tidak diceritakan tapi dalam salah satu bagian si Tokek pernah bercerita kalau dia tidak akan pernah menggunakan kontolnya sebelum kontol Ajo Kawir bisa ngaceng lagi. Sebab musababnya adalah karena si Tokek merasa bersalah atas ke-tidakbisa-ngacengannya kontol Ajo Kawir. Untuk menebus rasa bersalahnya tersebut  si Tokek berikrar untuk tidak menggunakan kontolnya sebelum kontol Ajo Kawir bisa ngaceng. Si Tokek menunjukkan contoh perilaku kesetiakawanannya terhadap Ajo Kawir. Selain dengan selalu menemani Ajo Kawir berkelahi juga dengan tidak menggunakan kontolnya sampai kontol Ajo Kawir bisa ngaceng. Best Friend Forever laah kalau istilah cabe-cabeannya sih.

Lalu ada Ajo Kawir si tokoh utama yang kontolnya tidak bisa ngaceng. Gara-garanya suatu malam dia diajak si Tokek untuk mengintip Rona Merah, si perempuan gila yang sedang diperkosa secara bergiliran oleh 2 orang polisi. Sialnya mereka berdua malah ketahuan. Si Tokek beruntung bisa kabur, Ajo Kawir ketiban sial karena tidak sempat kabur. Dia harus rela menyaksikan (dengan pistol tertempel di jidatnya) bagaimana kedua orang polisi memperkosa Rona Merah secara bergiliran. Setelah peristiwa itu kontol Ajo Kawir tiba-tiba saja menjadi tidak bisa ngaceng. Berbagai upaya pernah dilakukan untuk membuatnya bisa ngaceng kembali tapi hasilnya sia-sia belaka. Bagi Ajo Kawir (dan para lelaki) perkara  ini adalah sebuah kiamat. Akibat frustasi Ajo Kawir jadi gemar berkelahi (tentu saja dengan ditemani si Tokek) sampai suatu saat dia bertemu dengan Paman Gembul yang memintanya untuk membunuh si Macan, preman yang sangat ditakuti reputasinya. Ajo Kawir tidak gentar, toh selama ini pun dia sudah merasakan kiamat dalam hidupnya. Meskipun sempat merasa ragu karena pada saat itu dia jatuh cinta kepada si Iteung dan berencana menikah tapi pada akhirnya si Macan bisa dibunuh juga (ini terjadi setelah si Iteung ketahuan hamil). Ajo Kawir masuk penjara setelah membunuh si Macan. Setelah keluar penjara Ajo Kawir berubah (meskipun masih tidak bisa ngaceng). Dia menjadi seorang supir truk dan mempunyai kenek seorang remaja bernama Mono Ompong. Tabiatnya pun berubah, Ajo Kawir menjadi lebih kalem, lebih pendiam seperti kontolnya. Ajo Kawir lebih bisa mengendalikan emosinya sendiri, seperti yang dikatakan oleh Pidi Baiq, “bukan orang lain yang menentukan kamu harus marah atau tidak tapi dirimu sendiri yang menentukan”. Ajo Kawir lebih memilih jalan kesunyian ala sufi setelah berdamai dengan kontolnya sendiri yang tidak bisa ngaceng. 

Aah, mungkin itu intinya, ditengah dunia yang semakin berisik ini terkadang kita harus menoleh kembali ke dalam diri kita sendiri. Seperti kontol Ajo Kawir yang selalu kalem meskipun dibombardir dengan berbagai godaan.

Novel ini memang kalah liar jika dibandingkan dengan Cantik Itu Luka.  Juga masih kalah muram dan depresif jika harus disandingkan dengan Lelaki Harimau. Tapi novel ini bisa melampaui keduanya jika dilihat dari bagaimana cara Eka Kurniawan menghancurkan plot bercerita yang konvensional. Dan mungkin ini adalah novelnya yang paling filosofis jika dibandingkan 2 novel sebelumnya.

Seperti dendam, novel ini pun harus dibaca tuntas.