Saya setuju jika manusia dikatakan sebagai tempatnya khilaf
dan salah. Saya hanya ingin menambahkan sedikit, selain tempatnya khilaf dan
salah manusia juga tempatnya lebay.
Ya, lebay, istilah yang sering
digunakan untuk merujuk suatu sikap yang berlebihan. Misalnya berdandan,
berbicara atau bahkan dalam menulis review musik. Dalam beberapa hal tulisan
ini pun bisa dibilang lebay. Tapi tak
apa, toh di awal saya sudah
menjelaskan kalau manusia itu tempatnya khilaf dan salah, juga lebay. Jadi anggap saja wajar karena lebay itu manusiawi.
Hanya saja, ketika sikap lebay
ini memasuki fase yang lebih lebay
lagi (artinya sikap lebaynya sudah
berlebihan) saya kira itu sudah menjadi tidak wajar dan sulit dimaklumi. Lebay yang berlebihan. Lebay kuadrat. (ah, entahlah saya belum menemukan istilah yang cocok untuk menyebut
sikap lebay yang berlebihan ini). Contoh
yang paling jelas tentang sifat lebay
yang berlebihan itu salah satunya adalah pernikahan Raffi Ahmad.Salah duanya
adalah tulisan Mas Puthut EA disini http://mojok.co/2014/09/menjadi-manusia-di-smoking-area/ yang berjudul Menjadi Manusia di
Smoking Area.
Dari tulisan-tulisan Mas Puthut yang pernahsaya baca, sikap lebay Mas Puthut setidaknya bisa dilihat
dari 2 hal. Yang pertama adalah tingkat fanatismenya terhadap klub sepakbola AS
Roma. Yang kedua adalah sikap nyinyir
Mas Puthut terhadap kaum anti-rokok. Lebay
yang pertama masih saya anggap wajar. Sudahlah jangan didebat, sepakbola bagi
sebagian orang adalah agama kedua mereka. Bahkan mungkin mereka lebih taat
menyaksikan klub idolanya bertanding daripada melakukan ibadah sesuai anjuran
agamanya. Meskipun terkadang tidak masuk akal tetapi ke-lebay-an seperti itu masih saya maklumi dan anggap wajar. Lebay yang kedua pun sebenarnya masih
saya anggap wajar. Apalagi jika melihat pembelaan-pembelaan Mas Puthut terhadap
industri kretek lokal dan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Tapi dalam
tulisan Menjadi Manusia di Smoking Area,
saya kira Mas Puthut sudah terlalu lebay.
Coba saja disimak bagaimana Mas Puthut mendeskripsikan
suasana di bandara dan orang-orang yang berlalu lalang di dalamnya. Begitu
kaku, dingin dan tanpa emosi. Seolah-olah mereka semua adalah robot. Mekanis.
Hambar. Mungkin sepeti ikan teri tanpa sambal terasi.
Kemudian suasana itu berubah ketika kita memasuki ruang smoking area. Kekakuan itu menjadi cair.
Orang-orang menjadi lebih rileks. Robot-robot itu sudah menjadi manusia
kembali. Mereka kembali ekspresif.
Disana orang-orang bisa saling menyapa dan berkomunikasi,
tidak seperti di luar smoking area dimana
orang-orang itu hanya asik dengan perangkat gadgetnya
sendiri. Di dalam smoking area
orang-orang itu bisa bekisah tentang bisnis mereka, berseloroh, atau
mengomentari tayangan-tayangan dari layar televisi. Juga kadang diselingi
dengan perdebatan-perdebatan kecil. Ah,
sungguh indah membayangkannya.
Mereka akan melepaskan semua atribut yang melekat dalam diri
mereka. Tidak peduli dia direktur atau karyawan, selebritas atau wartawan,
intelektual atau budayawan, semuanya membaur. Orang-orang berjas dan berdasi
tidak lebih istimewa daripada orang-orang yang berkaos dan bercelana jins.
Pokoknya semua membaur. Tanpa ada kelas!! (well,
selamat Marx, cita-cita anda akhirnya bisa tercapai juga di smoking area ).
Anehnya, sebagai seorang perokok saya merasa apa yang
dituliskan oleh Mas Puthut terlalu berlebihan. Lebay. Bagi saya, merokok dimanapun terasa sama saja. Mau di smoking area atau di warung kopi, mau
sendiri atau rame-rame. Sama saja. Biasa saja. Tidak terasa menjadi lebih
“manusia”. Bahwasannya merokok di smoking
area membuat manusia robot itu menjadi “manusia” kembali, saya pikir itu
tergantung kepada pribadi si individu tersebut. Jika seseorang yang senang
mengobrol bertemu dengan seseorang yang senang mengobrol lagi kemungkinan besar
akan terjadi sebuah percakapan disitu. Tapi bagaimana kalau misalnya individu
tersebut adalah seorang introvert dan pendiam? Apa mungkin obrolan itu akan
tercipta? Apa mungkin juga si pendiam tersebut kemudian akan berkisah tentang
bisnisnya? Rasanya tidak. Pun begitu,
merokok di smoking area juga belum
tentu membuat seseorang akan kehilangan keasyikan dengan gadgetnya. Ah, mungkin
saja dia sedang asyik main Clash Of Clans di ponselnya sambil merokok. Mungkin
juga dia sedang asyik BBM-an dengan pacarnya nun jauh disana. Toh, merokok di smoking area tidak
serta merta membuat seseorang mematikan ponselnya kemudian berseloroh dengan
orang di dekatanya dan menjadi “manusia” kembali. Terlalu dangkal rasanya jika
status “kemanusiaan” seseorang hanya ditentukan oleh adanya komunikasi
gara-gara merokok bareng di smoking area
dengan keasyikan sendiri ketika berada di luar smoking area.
Yang lebih lebay
dan menggelikan lagi adalah ketika Mas Puthut menganggap para perokok di smoking area diperlakukan seperti kaum
paria, interniran dan kriminal. Demi toket
Nikita Mirzani, apakah iya sampai segitunya? Ada berapa banyak? Apakah setiap
orang yang merokok di smoking area? Atau hanya segelintir orang saja? Saya kira
kebanyakan orang hanya ingin merokok saja,
tok. Tanpa perlu misuh-misuh dan
merasa seperti seorang kriminal. Dalam tulisan Mas Puthut smoking area dikesankan seperti kamar gas dalam kisah-kisah
kekejaman Hitler. Lebay? Tentu saja.
Mas Puthut melanjutkan, “bukankah
dengan cukai yang mereka beli seharusnya justru para perokok diberi tempat yang
nyaman?”. Wah kalau logikanya
seperti itu saya sebagai pengendara sepeda motor juga bisa menuntut untuk
diberikan tempat yang nyaman juga dong?
Saya kan sudah membayar pajak, seharusnya saya juga diberi tempat yang nyaman.
Misalnya jalur khusus untuk sepeda motor agar kita tidak perlu berebutan dengan
para pengendara mobil, juga agar kita tidak perlu menyerobot jalur bus Trans
Jakarta. Seperti itu logikanya? Lagipula tempat yang nyaman itu seperti apa?
Apakah harus ada kipas anginnya? Ada sofanya? Ada lemari pendingin? Ada
fasilitas untuk karaokenya? Ada gadis pemandu lagunya? Sialan, saya malah jadi
ikutan lebay.
Sebagai penutup, jika Mas Puthut bilang di smoking area para manusia robot itu
menjadi “manusia” kembali maka saya bilang di smoking area Mas Puthut malah menjadi manusia yang lebay.