Rabu, 30 Desember 2015

Tentang Perempuan Di Depan Kamar

Perempuan itu pernah tinggal di sebuah kamar yang terletak persis di depan kamarku. Ia tinggal dengan seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya. Aku katakan "kemungkinan besar" karena bisa saja laki-laki itu bukan suaminya. Bisa saja laki-laki itu adalah pacarnya atau mungkin kakaknya atau jika kau pernah melihat laki-laki itu secara langsung kau akan menduga kalau laki-laki itu adalah ayahnya. Masalahnya, aku tidak tahu dan tidak mau tahu hubungan mereka yang sebenarnya. Jadi untuk lebih gampangnya aku tetap menganggap mereka adalah pasangan suami istri.

Sebelum perempuan dan laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya tinggal di sana, kamar itu sempat ditinggali oleh pasangan suami istri lain. Si suami, seorang laki-laki jangkung berkulit gelap dan berjanggut lebat yang bekerja di Kedubes Amerika Serikat. Aku memanggilnya Mas Agus. Istrinya, berkulit lebih cerah dan bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMP dan aku tidak tahu namanya. Aku kadang memanggilnya Mbak Agus. Mereka adalah pasangan suami istri yang baik. Mereka sering mengirimiku makanan dan kue-kue kering apalagi kalau mereka baru datang dari kampung halamannya.

Aku sering mengobrol dengan Mas Agus. Ia hanya lebih tua dua tahun dariku dan karena di pondok indekost itu tidak ada orang lain yang sebaya dengan Mas Agus maka aku jadi lebih dekat dengannya. Aku rasa Mas Agus juga merasakan hal yang sama denganku.

Mas Agus sering mengajakku minum kopi di warung depan sebuah SD yang tidak jauh dari tempat kami indekost. Di sana juga ada tukang nasi goreng yang rasanya nikmat dan cara masaknya luar biasa cepat. Setelah menghabiskan kopi dan obrolan, kami biasanya akan memesan nasi goreng lalu membawanya pulang.

Dari obrolan di warung kopi itu aku jadi tahu beberapa hal tentang Mas Agus. Ia sebelumnya pernah bekerja di sebuah perusahaan tambang di pedalaman hutan Kalimantan. Ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan pindah ke Jakarta ketika akan menikah. Sebelum menikah dengan perempuan yang sekarang menjadi istrinya, Mas Agus hampir saja menikah dengan perempuan lain. Mereka sudah bertunangan tapi entah karena alasan apa pihak perempuan kemudian memutuskan hubungan pertunangan itu secara sepihak. Bahkan jauh sebelum Mas Agus menikah, ia pernah jatuh cinta setengah mampus kepada salah seorang teman kuliahnya. Perempuan itu, Mas Agus memanggilnya L.J, adalah teman sekelasnya ketika mereka kuliah. Mereka saling mencintai tapi tak pernah bisa bersama. Begini, saat Mas Agus sendiri L.J sudah punya pacar, begitu juga sebaliknya, saat L.J putus dari pacarnya Mas Agus baru saja jadian. Sampai bertahun-tahun setelah Mas Agus lulus kuliah dan menikah, ia tetap tidak bisa memiliki L.J. Mungkin bukan jodoh, begitu yang Mas Agus yakini.

"Rasanya seperti lagu Tulus"

"Maksudnya apa, Mas?"

Mas Agus kemudian menyanyikan sebaris lirik dari lagu yang ia maksud,

Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu.

Suaranya sumbang. Aku tertawa terbahak-bahak sedangkan Mas Agus hanya tersenyum kecut. Mungkin kenangan itu rasanya pahit.

"Jadi menurut Mas Agus, jodoh itu orang yang kita cintai sampai mati atau orang yang kita nikahi?" tanyaku.

Mas Agus tidak langsung menjawab. Aku lihat ia malah memperhatikan kopi di gelasnya yang tinggal setengah.

"Jodoh itu adalah orang yang kita nikahi." jawabnya kemudian. Matanya masih memperhatikan sisa kopi di gelas.

"Tapi begini, kata guru ngajiku di kampung, orang yang kita cintai di dunia tapi tak bisa kita miliki akan menjadi jodoh kita di akhirat" pungkasnya. Kali ini ia menatapku dengan senyum lebar di bibirnya. Ia tampak tersenyum puas tidak sekecut senyumnya tadi.

Aku rasa Mas Agus hanya sedang menghiburnya sendiri.

Mas Agus tidak tinggal lama di tempat itu. Enam bulan kemudian setelah istrinya hamil ia memutuskan untuk pindah. Ia bilang mau mencari tempat kontrakan yang lebih luas. Sebelum pergi ia sempat menyalamiku dan berdoa untuk kesuksesanku. Aku menyalaminya balik dan berterima kasih atas kebaikannya selama ini. Mas Agus memang orang yang baik.

Kamar itu sempat kosong untuk beberapa minggu sebelum seorang perempuan dan laki-laki yang kemungkinan besar suaminya datang dan menempatinya.

Aku tidak ingat kapan pasangan itu datang ke sana. Hanya saja suatu pagi saat aku membuka pintu aku sudah melihat sebuah rak sepatu berisi bermacam-macam sepatu wanita dan beberapa kardus sudah teronggok di depan kamar itu. Seorang perempuan baru saja menempati kamar itu, pikirku saat itu. Dugaanku meleset sedikit, seorang perempuan dan laki-laki baru saja menempati kamar itu. Aku melihatnya saat hendak pergi ke warung kopi dan berpapasan dengan pasangan itu di lorong antar kamar.

Perempuan itu cantik. Aku bisa meyakinkanmu soal kecantikannya. Lima dari lima orang kawanku yang pernah main ke tempatku dan kebetulan sempat melihatnya bilang kalau perempuan itu cantik. Dan laki-laki itu, yang kemungkinan besar adalah suaminya, aku pikir ia terlalu tua dan lebih cocok menjadi ayahnya ketimbang suaminya. Aku juga bisa meyakinkanmu tentang hal ini. Lima dari lima kawanku yang pernah melihatnya juga sepakat kalau laki-laki itu terlalu tua untuk perempuan secantik itu. Aku tidak tahu pasti apakah mereka bicara jujur atau hanya sebatas karena mereka merasa iri kalau laki-laki tua itu bisa mendapatkan perempuan yang begitu cantik.

Pasangan itu selalu mengurung diri di dalam kamar. Tidak seperti Mas Agus, aku bahkan tidak pernah berbicara sama sekali dengan laki-laki yang terlihat terlalu tua itu. Aku hanya melihat pasangan itu keluar ketika mereka hendak berangkat kerja. Sekitar pukul enam lewat 30 menit. Biasanya si laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya yang akan keluar terlebih dahulu dan memanaskan mesin motornya, perempuan itu menyusul kemudian dengan sedikit tergesa. Kami biasanya hanya saling bertukar senyum tanpa bicara sama sekali. Kurang atau lebih dari jam itu kamar mereka akan selalu tertutup.

Di hari libur sekali pun kamar itu selalu tertutup. Aku bingung bagaimana mereka bisa begitu betah mendekam seharian di dalam kamar. Aku pikir mereka mungkin sedang tidur. Di dalam kitab suci ada dongeng tentang tujuh orang pemuda yang tidur selama 300 tahun di dalam gua. Mungkin pasangan itu mendapatkan inspirasi dari dongeng di kitab suci tersebut dan memutuskan untuk tidur selama seharian. Lagipula tidur seharian belum ada apa-apanya dibandingkan dengan tidur selama 300 tahun. Seharusnya aku tidak perlu merasa bingung.

Kadang aku sengaja membuka pintu kamarku dan melihat apakah mereka akan keluar dari dalam kamarnya atau tidak tapi kamar itu tetap saja tertutup. Aku tidak pernah melihat mereka keluar dari dalam kamar kecuali ketika mereka hendak berangkat kerja. Atau aku kadang berpapasan dengan mereka di jalan. Atau aku melihat mereka lewat dari warung tempatku minum kopi. Tapi sekali pun aku tidak pernah melihat mereka keluar kamar selain di pagi ketika mereka akan berangkat kerja.

Mereka juga tidak pernah menerima tamu. Tidak seperti bapak-bapak penghuni kamar pojok atau tante-tante di kamar pojok lainnya yang senang bernyanyi lagu-lagu Mariah Carey yang sering sekali kedatangan tamu. Kamar di depanku selalu sepi dari kunjungan. Saat Mas Agus masih tinggal di kamar itu ia juga beberapa kali kedatangan kunjungan dari teman-temannya. Tapi perempuan cantik dan laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya tidak pernah kedatangan tamu sama sekali.

Perempuan itu cantik dan aku senang sekali melihatnya. Ini bukan jatuh cinta, kau harus bisa membedakannya. Ini seperti saat kau melihat pemandangan indah yang membuat matamu betah berlama-lama memandangnya. Ya, semacam itu lah. 

Aku sendiri tidak pernah berbicara dengan perempuan itu. Kami hanya saling bertukar senyum jika kebetulan berpapasan dan perempuan itu sedang sendirian. Jika aku kebetulan berpapasan dengan perempuan itu ketika ia sedang bersama laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya maka aku akan tersenyum kepada laki-laki itu. Rasanya bukan pilihan bijak jika aku tetap melempar senyum ke arah perempuan itu meskipun laki-laki yang terlihat lebih tua itu bukan benar-benar suaminya.

Pasangan itu juga tidak terlalu lama tinggal di tempat itu. Aku tidak tahu apakah karena perempuan itu juga hamil kemudian mereka memutuskan untuk pindah atau karena ada alasan lain. Yang jelas, seperti saat mereka datang, mereka juga pergi begitu saja. Ketika suatu pagi aku bangun dan membuka pintu kamar, rak sepatu dan kardus-kardus yang ada di depan kamar itu sudah lenyap. Dan besoknya juga besoknya lagi aku tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Sampai hari ini.

Aku bahkan tidak pernah tahu siapa namanya. Ingatanku tentang perempuan itu hanya berkisar sebatas pada rak sepatu dan pada pukul enam lewat 30 pagi saat perempuan itu terburu-buru memakai sepatunya. Dan pada suatu malam saat aku tak sengaja berpapasan dengannya di jalan.

Malam itu aku baru saja pulang kerja. Hujan yang mengguyur dari tadi sore baru saja berhenti. Udara menjadi lebih dingin. Air menggenang di beberapa bagian jalan dan memantulkan cahaya dari lampu merkuri yang berwarna kuning. Aku berjalan agak cepat karena khawatir hujan akan kembali turun. Aku melihat perempuan itu berjalan ke arahku. Ia hanya mengenakan hotpants berwarna hitam dan jersey Arsenal dan sebuah sandal jepit berwarna merah muda. Rambutnya diikat ke belakang dan aku baru sadar kalau aku tidak pernah melihatnya menggerai rambut. Dan ia sendirian.

Tidak ada orang lain di jalanan itu selain kami. Tidak ada kendaraan lewat. Tukang nasi goreng yang rasanya nikmat dan cara memasaknya cepat sudah mangkal di depan sebuah SD. Hujan sudah berhenti tapi udara lebih dingin. Kami berpapasan di depan sebuah gereja. Ia sendirian. Aku melihat wajahnya. Aku memandang ke dalam bola matanya. Rasanya begitu lama. Mungkin waktu memang berhenti berputar saat itu.

Kami saling melemparkan senyum. Aku tidak tahu bagaimana mulanya, mungkin aku tersenyum lebih dulu kepadanya dan ia membalasnya atau ia yang tersenyum kepadaku lebih dulu dan aku membalas senyumnya. Atau kami tersenyum di saat yang bersamaan. Aku tidak ingat. Waktu berhenti berputar dan ada sesuatu yang membakar jantungku. Seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku. 

Seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku.

Saat waktu kembali berputar ia sudah berjalan melewatiku dan aku sudah berjalan melewatinya. Aku ingin sekali berhenti dan menoleh balik ke arahnya. Tapi tidak aku lakukan. Aku terus berjalan dan berjalan. Dan ada sesuatu yang membakar jantungku. Dan seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku saat itu.

Seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku saat itu.


Tambun Selatan, 30 Desember 2015

Jumat, 04 Desember 2015

Tahukah Kamu Kenapa Tuhan Menciptakan Radio?

"Tahukah kamu kenapa Tuhan menciptakan radio?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Asroji 35 menit setelah kereta yang ditumpanginya melaju meninggalkan stasiun. Sebenarnya ia hanya bergumam tapi gumaman itu terdengar begitu jelas. Sebelas detik kemudian ia merasa menjadi manusia paling tolol di dunia karena telah melemparkan pertanyaan semacam itu. Pertanyaan itu membuat perempuan yang duduk di sampingnya hanya mengangkat alis dan memacak senyum canggung seolah ingin berkata pertanyaan-bodoh-macam-apa-itu.

Asroji bisa saja memilih pertanyaan lain yang lebih normal jika saja fungsi otaknya tidak terganggu. Sayangnya, saat itu kinerja otaknya memang sedang tidak bisa diharapkan. Asroji bahkan lupa berapa jumlah jari-jari tangannya sendiri. Ia sedang gugup.

30 menit sebelumnya otak Asroji masih berfungsi dengan baik. Ia masih bisa memesan segelas Nutrisari dingin rasa jeruk dan menikmati beberapa batang kretek di warung depan stasiun. Di tengah kebosanannya menunggu jam keberangkatan kereta, Asroji pun masih bisa mendengarkan lagu-lagu The Beach Boys dari ponselnya, memperhatikan orang-orang berlalu lalang di stasiun - melihat seorang tukang becak berteduh di bawah bayangan sebuah baliho dengan raut muka kelelahan, bapak-bapak yang tampaknya sedang menunggu seseorang, dan dua orang perempuan yang berbincang dan tertawa di kedai teh.

Ia bahkan masih sempat mengutuk nasibnya sendiri. 

Tahun ini usianya memasuki angka 32. Ia sudah mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji lumayan, sebuah rumah minimalis di daerah Parung Panjang, dan koleksi batu akik yang bisa membikin orang-orang iri. Sayangnya sampai saat ini ia belum mempunyai seorang istri. Jangankan istri, pacar pun ia tidak punya. Hal itu yang membikin orang tua dan keluarga besarnya uring-uringan. Mereka sangat khawatir di usianya yang sudah kepala tiga Asroji masih belum menikah sementara keponakannya sendiri yang masih bocah SMA sudah menikah tiga minggu yang lalu meskipun secara terpaksa karena ia membuntingi anak perawan tetangga. Mereka takut jika Asroji adalah seorang penyuka sesama jenis atau burungnya tidak bisa ngaceng karena diguna-guna oleh seorang perempuan yang sakit hati padanya atau alasan lain yang membikin Asroji belum mempunyai pendamping hidup sampai saat ini. Kepada mereka yang selalu menaruh perhatian lebih terhadap nasib asmaranya, Asroji hanya berkilah kalau dirinya terlalu sibuk bekerja sehingga tidak mempunyai waktu berlebih untuk hal-hal semacam itu. Tentu itu semua bohong belaka.

Alasan sebenarnya : hatinya masih belum bisa lepas dari sosok Siti Rohimah.

Jika saja Asroji boleh menyesali satu hal dalam hidupnya maka hal itu adalah keputusannya untuk meninggalkan Siti Rohimah. Sesungguhnya ia adalah seorang gadis baik dan penyayang meskipun gaya bercintanya sungguh payah dan sangat membosankan. 

Mereka bertemu di sebuah tukang nasi goreng di depan rumah sakit. Asroji sedang menemani ibunya yang sakit saat itu. Merasa perutnya lapar ia memutuskan untuk membeli nasi goreng. Ia memesan satu porsi nasi goreng pedas. Siti Rohimah datang tidak lama setelah Asroji memesan. Ia juga memesan nasi goreng. Nasi goreng keduanya jadi bersamaan. Tapi kemudian Siti Rohimah protes karena nasi gorengnya sangat pedas sementara Asroji merasa kalau nasi goreng yang ia makan tidak pedas sama sekali. Rupanya nasi goreng mereka tertukar. Mereka berkenalan setelahnya lalu saling jatuh hati.

Tiga bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu mereka bercinta untuk pertama kalinya di kamar kost yang disewa oleh Asroji. Bukan percintaan yang luar biasa - Asroji tidak kuat menahan birahi yang sudah berada di ubun-ubun kepalanya sehingga ia hanya mampu bertahan satu menit empat puluh sembilan detik di atas ranjang dan Siti Rohimah merasa  cemas sepanjang percintaan karena takut kegiatan mesum mereka digrebek oleh warga sekitar.

Lima bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu mereka masih bercinta dengan gaya yang sama.

Enam bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu mereka tetap bercinta dengan gaya yang itu-itu juga.

Tujuh bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji mulai protes karena gaya bercinta mereka yang itu-itu saja.

"Bagaimana kalau kamu di atas?" pinta Asroji.

Siti Rohimah menggeleng dan Asroji terpaksa tetap bercinta dengan posisi yang itu-itu lagi.

Sembilan bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji kembali protes karena gaya bercinta mereka sangat membosankan.

"Bagaimana kalau kita mencoba doggy style?"

"Kamu pikir aku anjing?" jawab Siti Rohimah sengit.

Dan Asroji harus pasrah kembali bercinta dengan gaya yang sama. Kali ini ia hanya bisa cemberut sepanjang percintaan.

Sebelas bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji mulai mengajukan permintaan yang macam-macam kepada Siti Rohimah. Ia pernah meminta burungnya dijepit di antara payudara Siti Rohimah seperti yang pernah ia lihat di film bokep Jepang, dan ditolak. Ia juga pernah meminta mereka mempraktekan posisi 69 dan beberapa eksperimen lain yang semuanya ditolak mentah-mentah oleh Siti Rohimah.

Tepat setahun setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji mulai bosan dengan Siti Rohimah. Ia kesal karena ternyata hubungannya di atas ranjang tidak seenak yang ia lihat di film-film bokep.

Di tengah kebosanannya Asroji kemudian bertemu dengan seorang perempuan gemuk yang gemar menggambar alisnya sendiri. Ia rupanya mempunyai keterampilan yang sungguh aduhai untuk menggambar alisnya menjadi tebal seperti alis Sinchan. Sayangnya perempuan itu tidak bisa menggambar bulu dada, padahal Asroji sudah berniat meminta dadanya digambar bulu-bulu tebal agar terlihat gagah seperti Rhoma Irama di film Perjuangan Dan Doa.

Selain kemampuan menggambar alisnya yang sungguh aduhai, perempuan gemuk itu pun mempunyai gaya bercinta yang luar biasa panas dan liar di atas ranjang. Dan hal ini membikin Asroji senang betul kepadanya. Akhirnya Asroji bisa juga mempraktekkan 65 dari 99 adegan bercinta yang pernah ia lihat di film bokep. Beberapa adegan memang tidak bisa ia praktekan, seperti misalnya bercinta sambil menggendong pasangannya (perempuan gemuk itu masya alloh berat sekali).

Lima belas bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Siti Rohimah memergoki Asroji sedang bercinta dengan seorang perempuan gemuk di kamar sewaannya sendiri. Asroji lupa mengunci kamarnya. Ia memang sering mendadak menjadi pelupa setiap kali birahinya sudah naik ke ubun-ubun. Siti Rohimah masuk tepat saat Asroji sedang asik menggoyang-goyangkan pantatnya yang hitam dan penuh bercak bekas cacar air di atas tubuh perempuan gemuk itu. Hubungan mereka kandas saat itu juga.

Awalnya Asroji tidak begitu peduli dengan kandasnya hubungan mereka. Toh ia sendiri sedang asik-asiknya dengan perempuan gemuk yang jago menggambar alis dan bercinta itu. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Asroji mulai bosan dan sebal dengan perempuan gemuk itu, apalagi ia baru tahu kalau si perempuan gemuk mempunyai kebiasaan mendengkur saat tidur dan suka menempelkan upilnya secara sembarangan. Ia masih bisa mentolerir suara dengkurannya yang keras minta ampun, hanya saja ia tidak bisa membiarkan perempuan gemuk itu menempelkan upilnya secara sembarangan, apalagi di meja makan saat ia hendak menyantap makanan. Mereka berpisah tidak lama setelah pertengkaran hebat di atas ranjang dan sejak saat itu Asroji tidak pernah mempunyai pacar lagi. Ia yakin dirinya dikutuk oleh Siti Rohimah.

Di tahun-tahun penuh kesepian itu Asroji sering kali merindukan Siti Rohimah. Ia gadis baik dan penyayang dan Asroji selalu suka caranya mengikat rambut, terlepas dari gaya bercintanya yang payah dan membosankan. Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini? Pepatah itu sudah sering ia dengar tetapi baru belakangan ini ia memahami maknanya.

Bertahun-tahun ia tidak pernah bertemu lagi dengan Siti Rohimah. Ia lenyap begitu saja dari hidup Asroji. Kadang Siti Rohimah datang di mimpinya. Mengajaknya makan nasi goreng dan mendengarkan lagu-lagu favoritnya. Ia suka Bruno Mars dan Sandy Sandoro. Ia juga pasti akan menyukai Tulus atau Silampukau atau The Beach Boys. Ya, ia pasti akan menyukai The Beach Boys. Jika ia bertemu lagi dengan Siti Rohimah, Asroji ingin sekali memperdengarkan The Beach Boys kepadanya. Dalam doanya sebelum tidur Asroji selalu berharap ia akan dipertemukan kembali dengan Siti Rohimah meski hanya sekedar untuk bertanya kabar atau meminta maaf atau sebatas mengajaknya mendengarkan lagu-lagu milik The Beach Boys.

Tuhan mungkin mendengar doa-doa yang dipanjatkan oleh Asroji setiap malam atau -kalau pun tidak- Dia pasti mempunyai selera humor yang aduhai betul ketika mempertemukan kembali Asroji dengan Siti Rohimah di kereta yang sama, gerbong yang sama, dan bangku yang sama. 

Asroji tidak pernah menduga kalau orang yang akan duduk di bangku kereta yang sama dengannya adalah Siti Rohimah. Padahal satu jam sebelumnya Asroji masih sempat mengutuk nasibnya sendiri. Kini perempuan itu duduk tepat di sampingnya dan otaknya seketika membeku sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah mematung seperti orang tolol.

Ia tahu mungkin itu satu-satunya kesempatan yang ia punya untuk memperbaiki hubungannya dengan Siti Rohimah. Setidaknya ia bisa meminta maaf dan mereka masih bisa tetap berteman baik meskipun tidak sampai kembali berbuat mesum seperti dulu. Tapi otaknya beku dan keberaniannya kabur entah ke mana. Kursi yang didudukinya terasa begitu panas sementara waktu dirasakannya berjalan begitu lambat. Lima belas menit setelah kereta melaju ia hanya bisa diam dan memasang tampang seperti ikan mujair.

Untuk meredam rasa gugupnya Asroji memutuskan untuk mendengarkan musik. Mungkin dengan itu rasa gugupnya akan berkurang atau ia akan jatuh tertidur sehingga ia tidak perlu merasa tersiksa dengan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Ia memasang headphone dan mengalunlah lagu-lagu milik The Beach Boys melalui lubang telinganya.

Asroji mulai merasa tenang. Nafasnya mulai teratur. Perlahan-lahan rasa gugupnya lenyap dan keberaniannya mulai berkumpul. Tapi tiap kali ia memejamkan mata dan berusaha untuk tidur kenangannya dengan Siti Rohimah silih berganti menghampirinya. Ia teringat Siti Rohimah yang sering membuatkannya sarapan pagi. Ia teringat pertemuan pertama mereka di tukang nasi goreng. Ia ingat hujan itu, tawa itu, malam itu, hidung itu, buah dada itu, kamar itu dan semuanya.

Ia mendadak ingat semuanya dan tanpa sadar mulutnya bergumam,

"Tahukah kamu kenapa Tuhan menciptakan radio?"

Siti Rohimah yang sedari tadi sedang asik bermain-main dengan ponselnya mendadak berhenti. Ia menoleh ke arah Asroji, memasang senyum canggung dan memastikan kalau pertanyaan barusan itu memang ditujukan kepadanya. Tapi yang ia lihat hanyalah muka tolol seorang laki-laki.

Dan Asroji mendadak ingin berubah menjadi sebatang lumut saja atau semut atau kabut atau apa pun itu yang tidak bisa dilihat oleh Siti Rohimah. Tapi tidak bisa. Ia tetap tidak bisa berubah menjadi lumut atau semut atau kabut atau apa pun itu. 

Dan ia tidak bisa menghentikan lagu The Beach Boys yang terus-menerus mengalun di telinganya.

I'll give you shelter from the storm
And a house to keep you warm
I'll give you shelter through the night
And a chance to make this right
Do you ever still think of me
And the way that we used to be
When the world was just you and me
Hanging out in our shelter
Do you think that you'd ever stay
Take a page out of yesterday
If we could only find a way
Hanging out in our shelter

Tambun Selatan, 04 Desember 2015