Maraknya fenomena remaja perempuan yang memutuskan untuk
berjilbab dalam beberapa tahun belakangan ini menarik perhatian saya terhadap
persoalan jilbab. Terutama karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas
penduduk yang beragama Islam tetapi bukan negara yang memberlakukan hukum Islam
di dalamnya, sehingga negara tidak berhak mengatur warganya untuk berjilbab.
Meskipun ternyata dalam Islam sendiri kewajiban berjilbab ini masih menjadi
pertentangan diantara para ulama dan cendikiawan muslim didalamnya (untuk lebih
jelasnya bisa baca buku karya M. Quraish Shihab yang berjudul Jilbab : Pakaian Wanita Muslimah. Pandangan
Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer).
Saya kemudian melakukan survei kecil-kecilan kepada beberapa
teman perempuan saya tentang alasan mereka tidak berjilbab meskipun mereka
seorang muslim. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa dirinya belum siap untuk
berjilbab (karena baginya persoalan jilbab bukan hanya persoalan pakaian
semata), ada juga yang menyatakan keputusannya tidak berjilbab karena
menurutnya jilbab itu terkesan kaku, “kuno”, dan tidak sesuai mode, atau bahkan
pernyataan bombastis nan narsistis dari temannya teman saya seperti berikut, “saya merasa lebih cantik nggak pake kerudung
karena kata orang rambut saya bagus, apalagikalau kena angin berasa mirip artis
Luna Maya”.
Oke, apapun alasan mereka survei tadi hanyalah sebuah survei
kecil-kecilan yang tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut untuk bisa
menganalisis faktor-faktor penyebab perempuan Muslim tidak berjilbab. Tapi saya
kira pernyataan yang menyatakan kalau berjilbab itu terkesan kuno dan tidak
sesuai mode sudah kurang relevan lagi sekarang. Apalagi jika mencermati
perkembangannya beberapa tahun belakangan ini. Indikasinya bisa terlihat dari
banyaknya buku/majalah yang berisi panduan-panduan dan model-model jilbab yang
mudah kita temui di toko buku. Video tutorial berjilbab pun bisa dengan mudah
kita cari di Youtube. Bahkan kini komunitas perempuan berjilbab (hijabers)
sudah mulai ramai terbentuk, seperti saat ramainya komunitas Stand Up Comedy yang terbentuk di beberapa kota saat Stand Up Comedy mulai booming di Indonesia. Hal ini
mengindikasikan jilbab sebagai sebuah pakaian sudah mengalami modifikasi
sedemikian rupa sehingga kini bisa dikatakan berjilbab menjadi sebuah tren
tersendiri, tidak lagi kuno dan ketinggalan mode.
Selain beberapa gambaran tadi, ada juga fenomena lain yang
menarik mengenai jilbab ini. Munawar Azis dalam tulisannya di harian Tempo
tanggal 3 Februari 2013 menyebutnya dengan fenomena “mendadak saleh”. Fenomena
mendadak saleh ini terkait dengan fenomena dimana seseorang (entah itu pejabat
publik atau warga sipil) yang tersandung kasus hukum lalu tiba-tiba saja
berjilbab, padahal dalam kesehariannya individu tersebut bukanlah seseorang
yang biasa berjilbab. Munawar Azis memberikan 3 contoh kasus yang lekat dengan
ingatan publik mengenai fenomena mendadak saleh ini. Neneng Sri Wahyuni (kasus
korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya), Nunun Nurbaeti (kasus cek pelawat
Gubernur Bank Indonesia) dan Afriyani Susanti (pelaku tabrakan maut di Tugu
Tani). Ketiganya mendadak memakai jilbab saat tampil di gelanggang pengadilan
(Neneng bahkan sampai menggunakan cadar), padahal dalam dokumentasi
kesehariannya, ketiga orang tersebut tidak pernah terlihat berjilbab. Fenomena
mendadak saleh inilah, lanjut Munawar Azis, yang dalam diskursus identitas
sosial disebut sebagai politic of piety (politik
kesalehan). Dimana politik kesalehan ini menjadi suatu strategi untuk
mengkonstruksi citra yang baru dengan merobohknan citra lama yang kejam dan
jahat. Citra lama yang coba mereka robohkan sebagai seorang pesakitan hukum
yang kemudian direkonstruksikan lewat
jilbab atau kerudung sebagai bagian dari penanda kesalehan. Dalam
khasanah sosial Indonesia, jilbab memang sudah kadung identik dengan kesan
saleh dan agamis.
Sebenarnya tanpa harus memahami makna politic of piety dan segala tetek bengeknya pun kita sudah maklum
dengan negara ini yang gemar dan mudah memberi stigma seenaknya terhadap
sesuatu. Seperti terhadap seseorang bertatto yang lekat dengan stigma negatif.
Atau betapa menakutkannya stigma yang melekat pada kata Komunis, yang
seolah-olah tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat kita. Hal demikian juga
berlaku untuk jilbab. Para perempuan berjilbab akan terkesan sebagai individu
yang saleh, agamis dan religius. Meskipun sikap mengeneralisasi seperti ini
adalah sebuah tindakan yang sembarangan dan terkesan bodoh. Karena kita tidak
pernah tahu individu seperti apa yang bersembunyi dibalik tatto maupun
jilbabnya?
Jadi pada akhirnya akumulasi dari berbagai fenomena dan gambaran tentang jilbab tadi membawa saya (dan seharusnya juga
mereka) kepada sebuah pertanyaan, apakah keputusan mereka berjilbab itu murni
karena panggilan agama, mengikuti arus tren semata atau mungkin hanya sebagai
topeng dan sarana pencitraan belaka?