Jumat, 22 Maret 2013

Jilbab : Antara Kewajiban, Tren Atau Sebuah Topeng Belaka


Maraknya fenomena remaja perempuan yang memutuskan untuk berjilbab dalam beberapa tahun belakangan ini menarik perhatian saya terhadap persoalan jilbab. Terutama karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam tetapi bukan negara yang memberlakukan hukum Islam di dalamnya, sehingga negara tidak berhak mengatur warganya untuk berjilbab. Meskipun ternyata dalam Islam sendiri kewajiban berjilbab ini masih menjadi pertentangan diantara para ulama dan cendikiawan muslim didalamnya (untuk lebih jelasnya bisa baca buku karya M. Quraish Shihab yang berjudul Jilbab : Pakaian Wanita Muslimah. Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer).

Saya kemudian melakukan survei kecil-kecilan kepada beberapa teman perempuan saya tentang alasan mereka tidak berjilbab meskipun mereka seorang muslim. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa dirinya belum siap untuk berjilbab (karena baginya persoalan jilbab bukan hanya persoalan pakaian semata), ada juga yang menyatakan keputusannya tidak berjilbab karena menurutnya jilbab itu terkesan kaku, “kuno”, dan tidak sesuai mode, atau bahkan pernyataan bombastis nan narsistis dari temannya teman saya seperti berikut, “saya merasa lebih cantik nggak pake kerudung karena kata orang rambut saya bagus, apalagikalau kena angin berasa mirip artis Luna Maya”.

Oke, apapun alasan mereka survei tadi hanyalah sebuah survei kecil-kecilan yang tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut untuk bisa menganalisis faktor-faktor penyebab perempuan Muslim tidak berjilbab. Tapi saya kira pernyataan yang menyatakan kalau berjilbab itu terkesan kuno dan tidak sesuai mode sudah kurang relevan lagi sekarang. Apalagi jika mencermati perkembangannya beberapa tahun belakangan ini. Indikasinya bisa terlihat dari banyaknya buku/majalah yang berisi panduan-panduan dan model-model jilbab yang mudah kita temui di toko buku. Video tutorial berjilbab pun bisa dengan mudah kita cari di Youtube. Bahkan kini komunitas perempuan berjilbab (hijabers) sudah mulai ramai terbentuk, seperti saat ramainya  komunitas Stand Up Comedy yang terbentuk  di beberapa kota saat Stand Up Comedy mulai booming di Indonesia. Hal ini mengindikasikan jilbab sebagai sebuah pakaian sudah mengalami modifikasi sedemikian rupa sehingga kini bisa dikatakan berjilbab menjadi sebuah tren tersendiri, tidak lagi kuno dan ketinggalan mode.

Selain beberapa gambaran tadi, ada juga fenomena lain yang menarik mengenai jilbab ini. Munawar Azis dalam tulisannya di harian Tempo tanggal 3 Februari 2013 menyebutnya dengan fenomena “mendadak saleh”. Fenomena mendadak saleh ini terkait dengan fenomena dimana seseorang (entah itu pejabat publik atau warga sipil) yang tersandung kasus hukum lalu tiba-tiba saja berjilbab, padahal dalam kesehariannya individu tersebut bukanlah seseorang yang biasa berjilbab. Munawar Azis memberikan 3 contoh kasus yang lekat dengan ingatan publik mengenai fenomena mendadak saleh ini. Neneng Sri Wahyuni (kasus korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya), Nunun Nurbaeti (kasus cek pelawat Gubernur Bank Indonesia) dan Afriyani Susanti (pelaku tabrakan maut di Tugu Tani). Ketiganya mendadak memakai jilbab saat tampil di gelanggang pengadilan (Neneng bahkan sampai menggunakan cadar), padahal dalam dokumentasi kesehariannya, ketiga orang tersebut tidak pernah terlihat berjilbab. Fenomena mendadak saleh inilah, lanjut Munawar Azis, yang dalam diskursus identitas sosial disebut sebagai politic of piety (politik kesalehan). Dimana politik kesalehan ini menjadi suatu strategi untuk mengkonstruksi citra yang baru dengan merobohknan citra lama yang kejam dan jahat. Citra lama yang coba mereka robohkan sebagai seorang pesakitan hukum yang kemudian direkonstruksikan lewat  jilbab atau kerudung sebagai bagian dari penanda kesalehan. Dalam khasanah sosial Indonesia, jilbab memang sudah kadung identik dengan kesan saleh dan agamis.

Sebenarnya tanpa harus memahami makna politic of piety dan segala tetek bengeknya pun kita sudah maklum dengan negara ini yang gemar dan mudah memberi stigma seenaknya terhadap sesuatu. Seperti terhadap seseorang bertatto yang lekat dengan stigma negatif. Atau betapa menakutkannya stigma yang melekat pada kata Komunis, yang seolah-olah tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat kita. Hal demikian juga berlaku untuk jilbab. Para perempuan berjilbab akan terkesan sebagai individu yang saleh, agamis dan religius. Meskipun sikap mengeneralisasi seperti ini adalah sebuah tindakan yang sembarangan dan terkesan bodoh. Karena kita tidak pernah tahu individu seperti apa yang bersembunyi dibalik tatto maupun jilbabnya?

Jadi pada akhirnya akumulasi dari berbagai  fenomena dan gambaran tentang jilbab  tadi membawa saya (dan seharusnya juga mereka) kepada sebuah pertanyaan, apakah keputusan mereka berjilbab itu murni karena panggilan agama, mengikuti arus tren semata atau mungkin hanya sebagai topeng dan sarana pencitraan belaka?