Hari itu adalah hari Kamis 22
September 2011, hari ketika saya wisuda. Tanpa terasa hari itu sudah berlalu hampir
2 tahun. Banyak hal yang sudah berubah. Terutama saya yang sudah menjadi
seorang ayah. Wulan yang seminggu lagi mau nikah tapi bukan sama Iwang. Anita
Cheerleader sudah jadi seorang ibu. Sama kayak Dessy. Sementara si Mbul belum
kawin juga padahal pacarannya paling lama di angkatan kami. Ipoel sudah
bertunangan dengan seorang gadis yang ternyata dulunya satu SMP sama saya (ah
dunia memang sempit). Wastika sudah terbang ke Jepang dan Imam Taufik berhasil
membuktikan kepada Agit bahwa dirinya juga bisa punya pacar dan bukan seorang
bujang lapuk lagi. Dan jangan lupa Sumedi sudah berancang-ancang mau mencari
pacar baru (hah!).
Praktis dalam kurun waktu tersebut
saya sudah jarang bertemu lagi dengan teman-teman semasa kuliah. Hanya beberapa
orang saja yang sering saya temui, itupun karena tempat kerja kami yang sama. Selebihnya saya jarang
sekali bertemu dengan mereka.
Diantara teman-teman yang jarang
saya temui tersebut salah satunya adalah Dendi Nugraha. Ya, Dendi Nugraha si
juara kelas yang pada waktu wisuda IPnya paling tinggi se-civitas akademi. Dendi
yang rajin bertanya dan menjadi idola para dosen. Seingat saya bahkan saya
belum pernah bertemu lagi dengan dia selepas perpisahan kelas. Dia seakan
menghilang begitu saja dari radar kehidupan saya. Tanpa ada kabar berita sama
sekali.
Tapi sekalinya ada kabar tentang
Dendi selalu saja kabar jelek dan tidak enak untuk didengar. Kabarnya Dendi
pernah menjadi buronan salah satu rumah sakit karena kabur begitu saja tanpa
pamitan sama sekali. Terakhir saya malah mendengar kalau Dendi sedang kebelet
kawin dan lagi getol-getolnya nelponin teman-teman cewek di kelas saya dahulu
untuk diajak nikah. Salah satu korban yang berhasil saya ketahui adalah
Ropikoh, si toge kelas. Beuuuh (oke Den, seleramu tidak terlalu buruk laah).
Meskipun begitu saya selalu ingat
kalau saya pernah mempunyai hutang kepada Dendi. Hutang budi lebih tepatnya. Dan
saya masih mengingatnya sampai sekarang. Karena itu, kepada Dendi saya
persembahkan tulisan ini sebagai bentuk balas budi saya. Mungkin tulisan ini
tidak akan pernah cukup membalas budi baikmu, tapi percayalah tulisan ini saya
tulis dengan hati yang tulus, setulus ketika saya mengucapkan ijab qabul di depan
penghulu , 1 tahun yang lalu.
***
Saat itu saya masih duduk di
tingkat 2 akhir, menjelang naik ke tingkat 3. Tingkat 3 saat itu sebentar lagi
lulus. Kebetulan untuk acara perpisahan tingkat 3 saat itu setiap kelas
diwajibkan mengirimkan apresiasi seninya untuk acara perpisahan. Awalnya kelas
kami sudah sepakat untuk menampilkan band The Awas Angkot untuk acara
perpisahan tersebut. Tapi kemudian ada seseorang yang mengusulkan untuk
menampilkan drama saja. Karena kadung sudah mengirim The Awas Angkot untuk
tampil maka sesuai kesepakatan bersama kelas kami akan menampilkan sebuah drama
musikal versi ecek-ecek nan kacrut.
Saya ingat malam harinya saya
langsung menulis naskah drama tersebut di sebuah binder berwarna ungu yang
sekarang entah dimana keberadaannya. Tapi sayang saya lupa lagi judul dari
drama tersebut. Sialan. Besoknya saya dan teman-teman segera berembuk untuk
mencari para aktor dan aktris untuk bermain didalamnya. Tokoh utama yang
rencananya akan diperankan oleh Cadila terpaksa diganti karena Cadila menolak. Lalu
Sumedi yang seharusnya berperan sebagai preman juga ikut-ikutan menolak. Saya sempat
bingung karena kekurangan pemain. Disinilah kemudian saya berhutang budi yang
pertama kapada Dendi. Ketika Sumedi
menolak ikut dalam drama maka peran itu saya tawarkan kepada Dendi . Dendi
sangat antusias sekali dan langsung menyetujuinya.
Ada banyak orang yang terlibat
dalam drama ini. Eko, Yossie, Ocha, Obet, Bayu, Cacing, Lilis, Bang Mamat,
Agiet, Apip, Anita, Ipoel, Mbol dan hampir semua teman-teman di kelas ikut mengapresiasinya.
Drama itu sendiri sebenarnya hanya
sebuah drama yang sederhana dan cenderung acak-adul. Tidak memerlukan banyak properti
yang mahal maupun rumit, kecuali satu hal yaitu sepeda. Dan ini hal yang sangat
krusial, tanpa sepeda drama itu tidak akan berjalan dengan sempurna. Karena itu
dari jauh-jauh hari saya sudah mem-booking sepeda milik Nurlela yang sering
dibawanya ke kampus. Sampai H-1 Nurlela masih setuju sepedanya dipinjam buat
drama. Tapi semua berubah pas hari H. beberapa jam sebelum acara dimulai
Nurlela masih belum kelihatan batang handphonenya (maklum Nurlela terlihat
sering menelpon). Saya kemudian samperin ke kelasnya. Waktu itu sedang
kuliahnya Pak Komar. Saya tanya mana sepedanya? Nurlela hanya menjawab kalau
dia tidak membawa sepedanaya (padahal di hari biasa dia selalu membawa sepeda).
Saya kemudian menyuruhnya untuk mengambil dahulu sepedanya di tempat dia kos
yang tidak terlalu jauh jaraknya dari kampus. Tapi dia tidak mau. Saya kemudian menawarkan diri untuk
mengambilnya sendiri ke tempat kosnya. Dia tetap tidak mau juga. Alasannya banyak,
sepedanya mau dipinjam sama saudaranya lah, kunci kosannya dibawa bapak kos
lah, ban sepedanya kempes lah, entut lah, tai ucing lah, silit lah,
ngentot lah. Pokoknya semenjak saat itu saya memutuskan untuk mendendam
kepada Nurlela. Go to hell with your fucking
bike, Nurlela!!
Saya sempat kelabakan waktu itu. Campur
aduk antara perasaan kesal kepada Nurlela dan bingung mencari sepeda. Sementara
waktu pementasan drama semakin dekat. Akhirnya, berdua dengan Dendi saya
putuskan untuk mencari langsung sepeda penggantinya di seputaran Karang Jalak.
Ternyata pencarian sepeda itu tidak
mudah dan sangat pelik, sepelik ustadz pelik siauw. Model sepedanya memang
harus seperti model sepeda Nurlela yang bisa distandar dua seperti motor
sehingga bisa diduduki. Setelah berkeliling beberapa lama akhirnya sepeda model
itu bisa ditemukan. Di sebuah rumah tukang jahit di dekat warung Mbak Nana.
Kebingungan kedua kemudian melanda
saya. Saya adalah tipe orang yang sulit berdiplomasi dengan orang lain. Bagaimana
saya harus menjelaskan ke pemilik sepeda itu bahwa sepedanya mau dipijam untuk
pementasan drama? Apakah saya harus member imbalan untuk mereka? Syukur kalau
tidak, tapi gak enak juga. Kalu pun iya ngasih, berapa yang harus saya kasih? Ketika
kebingungan itulah kemudian Dendi tampil ke depan dan bilang kepada saya, “udah,
Ky. Biar saya yang ngomong”. Dengan mantap dan penuh keyakinan Dendi kemudian
berdiplomasi dengan pemilik sepeda tersebut. Dan berhasil! Kami diizinkan untuk
meminjam sepeda itu. Syaratnya hanya satu, “jangan pulang lebih dari jam 2 ya? Sepedanya
mau dipake jemput anak di sekolah”. Saya
merasa plong seketika. Dan itulah hutang budi kedua saya kepada Dendi.
***
Saya tidak
tahu bagaimana penilaian penonton terhadap drama yang kelas kami pentaskan. Tapi
menurut saya drama itu keren sekali. Bukan karena saya menulis lakonnya
sendiri, tapi karena semua yang terlibat dalam drama ini berperan dengan
sempurna dan terlihat senang. Eko berperan sebagai dalang dengan konyol, Yossie
dan Ocha men-dubbing suara dengan pas, Bayu dan Obet dan The Awas Angkot memainkan
musiknya dengan serius, Lilis tampil manis sekali hari itu. Sementara Bang
Mamat dan Agiet menari dengan imut dan sangat menggelikan. Oh iya, Dendi pun
tampil gagah dengan jaket jins buluk yang dipinjam dari Obet. Dan jangan
dilupakan peran Imam Taufik yang sangat brilian sebagai seorang kakek-kakek. Meskipun
kita ketahui bersama ditengah adegan beliau kembali lupa skrip, seperti ketika
latihan. Tapi justru hal itulah yang membuat drama ini menjadi lebih hidup. Puncaknya
adalah ketika drama itu selesai dan The Awas Angkot memainkan lagu Arti Sahabat
dari Nidji sebagai penutup semua teman-teman naik ke atas panggung dan
menciptakan sebentuk chaos. Saya yakin saat itu sambil bernyanyi na. . na. . na.
. na. . na. . na . . na. , saya merasa benar-benar bahagia. The best day ever
lah kalau mengutip salah satu episode Spongebob mah.
Saya senyum-senyum sendiri seperti orang
gila di sisa hari itu. Dan tentu saja senyuman itu tidak akan pernah menghiasi
wajah saya tanpa bantuan dari teman-teman semua. Tanpa keikhlasan si pemilik
sepeda yang meminjamkan sepedanya, dan tanpa Dendi Nugraha yang sudah
berdiplomasi sehingga sepeda itu bisa
kami pinjam.
Pokoknya untuk Dendi dimana pun
kamu berada saat ini. Saya tidak peduli kamu sekarang sudah punya mobil. Pun saya
tidak peduli kalau kamu sudah punya rumah dan jadi PNS. Saya juga tidak peduli
kalau kamu kebelet kawin dan nelponin setiap teman-teman cewek di kelas untuk
diajak nikah. Saya makin tidak peduli kalau nanti kamu mau nikah sama siapa
(asal jangan sama istri dan anak saya aja sih). Pokoknya terima kasih, Dendi! Saya
pernah berhutang budi kepadamu. Sekali lagi, TERIMA KASIH, DENDI!!! DAN JANGAN TENGGELAM DALAM BIRAHI!!!!
Kampung Melayu, 18
Agustus 2013