Rabu, 21 Agustus 2013

TERIMA KASIH, DENDI! DAN JANGAN TENGGELAM DALAM BIRAHI!


Hari itu adalah hari Kamis 22 September 2011, hari ketika saya wisuda. Tanpa terasa hari itu sudah berlalu hampir 2 tahun. Banyak hal yang sudah berubah. Terutama saya yang sudah menjadi seorang ayah. Wulan yang seminggu lagi mau nikah tapi bukan sama Iwang. Anita Cheerleader sudah jadi seorang ibu. Sama kayak Dessy. Sementara si Mbul belum kawin juga padahal pacarannya paling lama di angkatan kami. Ipoel sudah bertunangan dengan seorang gadis yang ternyata dulunya satu SMP sama saya (ah dunia memang sempit). Wastika sudah terbang ke Jepang dan Imam Taufik berhasil membuktikan kepada Agit bahwa dirinya juga bisa punya pacar dan bukan seorang bujang lapuk lagi. Dan jangan lupa Sumedi sudah berancang-ancang mau mencari pacar baru (hah!).
Praktis dalam kurun waktu tersebut saya sudah jarang bertemu lagi dengan teman-teman semasa kuliah. Hanya beberapa orang saja yang sering saya temui, itupun karena tempat  kerja kami yang sama. Selebihnya saya jarang sekali bertemu dengan mereka.
Diantara teman-teman yang jarang saya temui tersebut salah satunya adalah Dendi Nugraha. Ya, Dendi Nugraha si juara kelas yang pada waktu wisuda IPnya paling tinggi se-civitas akademi. Dendi yang rajin bertanya dan menjadi idola para dosen. Seingat saya bahkan saya belum pernah bertemu lagi dengan dia selepas perpisahan kelas. Dia seakan menghilang begitu saja dari radar kehidupan saya. Tanpa ada kabar berita sama sekali.
Tapi sekalinya ada kabar tentang Dendi selalu saja kabar jelek dan tidak enak untuk didengar. Kabarnya Dendi pernah menjadi buronan salah satu rumah sakit karena kabur begitu saja tanpa pamitan sama sekali. Terakhir saya malah mendengar kalau Dendi sedang kebelet kawin dan lagi getol-getolnya nelponin teman-teman cewek di kelas saya dahulu untuk diajak nikah. Salah satu korban yang berhasil saya ketahui adalah Ropikoh, si toge kelas. Beuuuh (oke Den, seleramu tidak terlalu buruk laah).
Meskipun begitu saya selalu ingat kalau saya pernah mempunyai hutang kepada Dendi. Hutang budi lebih tepatnya. Dan saya masih mengingatnya sampai sekarang. Karena itu, kepada Dendi saya persembahkan tulisan ini sebagai bentuk balas budi saya. Mungkin tulisan ini tidak akan pernah cukup membalas budi baikmu, tapi percayalah tulisan ini saya tulis dengan hati yang tulus, setulus ketika saya mengucapkan ijab qabul di depan penghulu , 1 tahun yang lalu.

***
Saat itu saya masih duduk di tingkat 2 akhir, menjelang naik ke tingkat 3. Tingkat 3 saat itu sebentar lagi lulus. Kebetulan untuk acara perpisahan tingkat 3 saat itu setiap kelas diwajibkan mengirimkan apresiasi seninya untuk acara perpisahan. Awalnya kelas kami sudah sepakat untuk menampilkan band The Awas Angkot untuk acara perpisahan tersebut. Tapi kemudian ada seseorang yang mengusulkan untuk menampilkan drama saja. Karena kadung sudah mengirim The Awas Angkot untuk tampil maka sesuai kesepakatan bersama kelas kami akan menampilkan sebuah drama musikal versi ecek-ecek nan kacrut.
Saya ingat malam harinya saya langsung menulis naskah drama tersebut di sebuah binder berwarna ungu yang sekarang entah dimana keberadaannya. Tapi sayang saya lupa lagi judul dari drama tersebut. Sialan. Besoknya saya dan teman-teman segera berembuk untuk mencari para aktor dan aktris untuk bermain didalamnya. Tokoh utama yang rencananya akan diperankan oleh Cadila terpaksa diganti karena Cadila menolak. Lalu Sumedi yang seharusnya berperan sebagai preman juga ikut-ikutan menolak. Saya sempat bingung karena kekurangan pemain. Disinilah kemudian saya berhutang budi yang pertama kapada Dendi.  Ketika Sumedi menolak ikut dalam drama maka peran itu saya tawarkan kepada Dendi . Dendi sangat antusias sekali dan langsung menyetujuinya.
Ada banyak orang yang terlibat dalam drama ini. Eko, Yossie, Ocha, Obet, Bayu, Cacing, Lilis, Bang Mamat, Agiet, Apip, Anita, Ipoel, Mbol dan hampir semua teman-teman di kelas ikut mengapresiasinya.
Drama itu sendiri sebenarnya hanya sebuah drama yang sederhana dan cenderung acak-adul. Tidak memerlukan banyak properti yang mahal maupun rumit, kecuali satu hal yaitu sepeda. Dan ini hal yang sangat krusial, tanpa sepeda drama itu tidak akan berjalan dengan sempurna. Karena itu dari jauh-jauh hari saya sudah mem-booking sepeda milik Nurlela yang sering dibawanya ke kampus. Sampai H-1 Nurlela masih setuju sepedanya dipinjam buat drama. Tapi semua berubah pas hari H. beberapa jam sebelum acara dimulai Nurlela masih belum kelihatan batang handphonenya (maklum Nurlela terlihat sering menelpon). Saya kemudian samperin ke kelasnya. Waktu itu sedang kuliahnya Pak Komar. Saya tanya mana sepedanya? Nurlela hanya menjawab kalau dia tidak membawa sepedanaya (padahal di hari biasa dia selalu membawa sepeda). Saya kemudian menyuruhnya untuk mengambil dahulu sepedanya di tempat dia kos yang tidak terlalu jauh jaraknya dari kampus. Tapi dia tidak  mau. Saya kemudian menawarkan diri untuk mengambilnya sendiri ke tempat kosnya. Dia tetap tidak mau juga. Alasannya banyak, sepedanya mau dipinjam sama saudaranya lah, kunci kosannya dibawa bapak kos lah, ban sepedanya kempes lah, entut lah, tai ucing lah,  silit lah,  ngentot lah. Pokoknya semenjak saat itu saya memutuskan untuk mendendam kepada Nurlela. Go to hell with your fucking bike, Nurlela!!
Saya sempat kelabakan waktu itu. Campur aduk antara perasaan kesal kepada Nurlela dan bingung mencari sepeda. Sementara waktu pementasan drama semakin dekat. Akhirnya, berdua dengan Dendi saya putuskan untuk mencari langsung sepeda penggantinya di seputaran Karang Jalak.
Ternyata pencarian sepeda itu tidak mudah dan sangat pelik, sepelik ustadz pelik siauw. Model sepedanya memang harus seperti model sepeda Nurlela yang bisa distandar dua seperti motor sehingga bisa diduduki. Setelah berkeliling beberapa lama akhirnya sepeda model itu bisa ditemukan. Di sebuah rumah tukang jahit di dekat warung Mbak Nana.
Kebingungan kedua kemudian melanda saya. Saya adalah tipe orang yang sulit berdiplomasi dengan orang lain. Bagaimana saya harus menjelaskan ke pemilik sepeda itu bahwa sepedanya mau dipijam untuk pementasan drama? Apakah saya harus member imbalan untuk mereka? Syukur kalau tidak, tapi gak enak juga. Kalu pun iya ngasih, berapa yang harus saya kasih? Ketika kebingungan itulah kemudian Dendi tampil ke depan dan bilang kepada saya, “udah, Ky. Biar saya yang ngomong”. Dengan mantap dan penuh keyakinan Dendi kemudian berdiplomasi dengan pemilik sepeda tersebut. Dan berhasil! Kami diizinkan untuk meminjam sepeda itu. Syaratnya hanya satu, “jangan pulang lebih dari jam 2 ya? Sepedanya mau dipake jemput anak di sekolah”.  Saya merasa plong seketika. Dan itulah hutang budi kedua saya kepada Dendi.

***
                Saya tidak tahu bagaimana penilaian penonton terhadap drama yang kelas kami pentaskan. Tapi menurut saya drama itu keren sekali. Bukan karena saya menulis lakonnya sendiri, tapi karena semua yang terlibat dalam drama ini berperan dengan sempurna dan terlihat senang. Eko berperan sebagai dalang dengan konyol, Yossie dan Ocha men-dubbing suara dengan pas, Bayu dan Obet dan The Awas Angkot memainkan musiknya dengan serius, Lilis tampil manis sekali hari itu. Sementara Bang Mamat dan Agiet menari dengan imut dan sangat menggelikan. Oh iya, Dendi pun tampil gagah dengan jaket jins buluk yang dipinjam dari Obet. Dan jangan dilupakan peran Imam Taufik yang sangat brilian sebagai seorang kakek-kakek. Meskipun kita ketahui bersama ditengah adegan beliau kembali lupa skrip, seperti ketika latihan. Tapi justru hal itulah yang membuat drama ini menjadi lebih hidup. Puncaknya adalah ketika drama itu selesai dan The Awas Angkot memainkan lagu Arti Sahabat dari Nidji sebagai penutup semua teman-teman naik ke atas panggung dan menciptakan sebentuk chaos. Saya yakin saat itu sambil bernyanyi na. . na. . na. . na. . na. . na . . na. , saya merasa benar-benar bahagia. The best day ever lah kalau mengutip salah satu episode Spongebob mah.
Saya senyum-senyum sendiri seperti orang gila di sisa hari itu. Dan tentu saja senyuman itu tidak akan pernah menghiasi wajah saya tanpa bantuan dari teman-teman semua. Tanpa keikhlasan si pemilik sepeda yang meminjamkan sepedanya, dan tanpa Dendi Nugraha yang sudah berdiplomasi sehingga  sepeda itu bisa kami pinjam.
Pokoknya untuk Dendi dimana pun kamu berada saat ini. Saya tidak peduli kamu sekarang sudah punya mobil. Pun saya tidak peduli kalau kamu sudah punya rumah dan jadi PNS. Saya juga tidak peduli kalau kamu kebelet kawin dan nelponin setiap teman-teman cewek di kelas untuk diajak nikah. Saya makin tidak peduli kalau nanti kamu mau nikah sama siapa (asal jangan sama istri dan anak saya aja sih). Pokoknya terima kasih, Dendi! Saya pernah berhutang budi kepadamu. Sekali lagi, TERIMA KASIH, DENDI!!! DAN  JANGAN TENGGELAM DALAM BIRAHI!!!!


Kampung Melayu, 18 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar