Rabu, 27 Juni 2012

Cinta Melulu


Oh God let it end, I cannot go on
I fall to my knees, my frail is will gone
my frail is will  gone!
I've been sleeping for so long
At last I see..
What you did behind me!

Perhatikan penggalan lirik diatas. Jika saja yang menyanyikan lirik itu adalah band sekelas VOP atau Setia band mungkin saya tidak akan terlalu peduli. Tapi yang menyanyikan lirik diatas adalah pasukan melodic death metal paling beracun di Cirebon, Poison Nova. Lirik diatas adalah penggalan dari lagu milik Poison Nova yang berjudul Forsaken. Dan setelah saya menyimak dan mendengarkan beberapa materi dari band-band yang berasal dari Cirebon, hampir semuanya (tidak semuanya) masih bernyanyi dengan tema yang sama, cinta. Dan yang membuat saya gelisah adalah band-band yang bernyanyi tentang cinta itu bukanlah band-band sekelas Setia Band dan sejenisnya, melainkan band-band yang biasa menyebut dirinya punk, melodic, death metal, dan sejenisnya yang  berada di luar jalur mainstream atau indie (itu pun jika kata indie masih relevan untuk digunakan)
 
Memang tidak ada aturan yang mengatakan jika band-band dengan aliran tersebut tidak boleh bernyanyi tentang cinta dan patah hati. Tapi jika kita mau menengok sejarahnya, mungkin kita pun akan mengernyitkan dahi? Entah apa yang akan dikatakan almarhum Joe Strummer kalau tahu jika punk mendadak menjadi ngepop dan bernyanyi tentang cinta-cintaan para kimcil? Atau betapa terkejutnya kita jika tahu dibalik serang brutal musik death metal dan suara growl vokalisnya mereka sebenarnya sedang bernyanyi tentang patah hati karena diselingkuhin pacarnya? Aneh sekali, bukan? Tapi bukan hal ini yang akan saya kometari lebih lanjut.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini saya tegaskan bahwa menulis lirik tentang cinta dan patah hati itu tidak salah dan tidak haram sama sekali, mungkin hanya sejenis Habib Rizieqan yang akan menyebutnya haram. Saya juga tidak akan menyalahkan mereka yang menulis lirik tentang cinta-cintaan. Saya juga tidak akan mengajari bagaimana mereka seharusnya menulis lirik, karena mengajari seseorang dalam menulis lirik itu seperti mengajari bagaimana seseorang berpikir. Menulis lirik bukanlah skill yang bisa dilatih, hal itu sudah tertanam dalam diri setiap manusia yang dibentuk dari pengalaman dan cara pandangnya terhadap lingkungan dan sekitarnya. Jadi yang bisa saya tuliskan disini hanyalah “menyayangkan” mereka yang masih menulis lirik tentang cinta.

Kenapa saya bisa “menyayangkan” sebuah hal yang mungkin bisa dianggap sepele? Hal ini mungkin sepele untuk sebagian orang, tapi tidak bagi saya. Saya setuju dengan filsuf dan sastrawan  Prancis, Jean-Paul Sartre yang menolak adagium art for art’s sake, seni untuk seni sendiri. Jika Sartre berpendapat bahwa sastra harusnya bisa membangkitkan keberanian pada manusia untuk mengubah dunia hidupnya dan menolak gagasan bahwa sastra tidak perlu terlibat dalam masalah sosial, maka begitupun halnya dengan musik. Saya setuju kalau musik bisa terlibat dalam permasalahan sosial ditempatnya dan bisa sangat berpengaruh terhadap seseorang. Jika para sastrawan menggunakan puisi sebagai senjata mereka, maka bagi sebuah band lagulah yang menjadi senjatanya. Dan elemen yang sangat penting dari sebuah lagu adalah liriknya. Sebuah band bisa menjadi motivator yang sangat hebat melebihi Mario Teguh bagi para fans dan pendengarnya melalui lirik lagu mereka. Sebagai contoh Ozzy Osborne pernah dikritik karena lagunya yang berjudul Suicide Solution karena dianggap “menyesatkan”. Jika lirik lagu yang dianggap “menyesatkan” seperti itu saja bisa mempengaruhi seseorang, bagaimana dengan lirik lagu yang misalnya berisi ajakan atau pesan-pesan yang positif seperti menjaga lingkungan dan alam? 

Dalam film Inception, kita tahu jika sekali sebuah ide terlintas maka ide itu tidak akan pernah hilang dan jika sudah semakin menyebar maka ide itu akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan kita. Ide itu bisa datang dari mana saja, dari hasil pengamatan kita, hasil perenungan, dari sebuah buku yang kita baca dan tentu saja dari sebuah lirik lagu yang kita dengar. Tapi sayangnya band-band disini (Cirebon) masih saja berkutat dengan lirik cinta dan patah hati, meskipun tidak secara terang-terangan karena sebagian masih disamarkan lewat lirik berbahasa Inggris seperti penggalan lirik yang saya tulis pada awal tulisan ini. Seorang kawan yang pernah saya wawancara sempat mengetweet di akun twitternya, “musisi Cutting Edge tidak dekat dengan buku dan Turba, itulah salah satu sebab musik mereka terdengar banal”. Entahlah hal itu benar atau tidak? Setidaknya hal itu lebih baik daripada mereka terlalu apatis dan tidak peduli dengan sekitarnya.

Cinta dan patah hati memang bukan hanya milik Aurel Hermansyah seorang, setiap orang mungkin pernah merasakannya, mau dia itu seorang tukang becak, sopir angkot,  atau seorang metalhead sekalipun. Mungkin karena itu pula menulis lirik tentang cinta menjadi lebih mudah, karena hampir setiap orang pernah merasakan dan mengalaminya. Tapi tidak semua orang merasakan efek langsung karena korupsi, sehingga mungkin karena itu menulis lirik tentang korupsi menjadi lebih sulit. Tapi sayang sekali jika kita yang hidup di Indonesia ini hanya menulis lagu tentang cinta dan patah hati, karena sebenarnya kita beruntung hidup di Negara yang kata si Justin Bieber, random country. Karena ada begitu banyak masalah di negara yang geje ini. Jangankan untuk ukuran Indonesia, untuk ukuran Cirebon pun masih banyak masalah yang setidaknya menuntut kita untuk peduli. Apakah kita harus menjadi korban dari geng motor terlebih dahulu untuk bisa peduli kalau geng motor itu sangat meresahkan dan harus dibumihanguskan dari dunia ini? Atau kita harus ditilang terlebih dahulu oleh polisi hanya untuk menyadarkan kalau mereka hanyalah para bajingan yang bersembunyi dibalik seragam??
 
Terlepas dari semua itu, menulis lirik memang hak dan kewenangan  penulisnya sendiri.Apapun temanya, mau cinta atau patah hati tidak ada yang bisa menyalahkan dan mengharamkannya. Dan memang yang paling penting dari semua itu adalah pelaksanaannya. Bagaimana kita mempertanggung jawabkan apa yang kita tulis? Karena akan menjadi percuma dan memalukan jika kita bernyanyi-nyanyi tentang anti korupsi kalau ternyata kita sendiri korupsi. Atau kata kawan saya tadi, bersembunyi dibalik label PEMBERONTAKAN tapi tidak melakukan aksi apa-apa. Mengutip sebuah penggalan puisi dari W.S Rendra, “perjuangan adalah pelaksanaan dari kata-kata.”