Habib Rizieq tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan sepotong senja –dengan angin,
suara klakson motor dan mobil, matahari terbenam, orang berlalu-lalang dan
cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya
dengan lengkap? Tapi sebelumnya aku minta maaf karena senja ini tidak disertai
burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, juga barangkali perahu
yang lewat di kejauhan. Karena aku sedang tidak berada di pantai. Apakah di
Petamburan, mungkin dalam hati kamu bertanya. Maaf juga, bukan senja di
Petamburan yang aku kirimkan padamu melainkan senja di Matraman. Apakah kamu
kecewa? Semoga saja tidak. Bagiku semua senja di setiap tempat akan selalu
terlihat indah. Entah itu di Petamburan ataupun di Matraman. Cobalah sesekali
–jika tidak sedang berdemo- kamu
luangkan waktu untuk menikmati senja dengan menumpang commuter line dari Stasiun Jatinegara ke Stasiun Kota. Lihatlah
bagaimana cahaya matahari yang kemerahan itu memantul dari kaca-kaca bangunan
bertingkat lalu menelusup ke dalam gerbong yang kamu duduki. Ah, indah sekali
bukan?
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Habib Rizieq, dalam
amplop yang tertutup rapat, dari jauh.
Mungkin awalnya kamu akan mengira ada lembaran rupiah dalam amplop ini
atau setidaknya selembar cek dengan angka 1 dan 10 digit angka nol
dibelakangnya. Lagi-lagi mungkin kamu akan merasa sedikit kecewa. Tapi tak apa.
Dengarlah, sudah terlalu banyak uang di dunia ini yaa Habib, dan uang, ternyata
tidak mengubah apa-apa. Oh, mungkin kamu akan mendebatku dengan sengit
bahwasannya uang masih sangat berguna untukmu dan hampir semua orang. Uang,
setidaknya bisa berguna untuk menggerakkan orang-orang agar berdemo di Senin
pagi daripada harus bekerja sepeti biasa. Dan bahkan hampir semua hal di dunia
ini selalu membutuhkan uang. Mau menjadi anggota legislatif, butuh uang. Mau
menjadi walikota atau gubernur, butuh uang. Bahkan untuk membeli Sari Roti
sadwich rasa keju kesukaanku pun butuh uang. Dan terkadang itu menyebalkan.
Membuatku muak. Karena itu tak ada uang yang aku sisipkan dalam amplop ini
semata-mata karena aku tak ingin memberikan hal yang membuatku muak untukmu.
Aku ingin memberimu sesuatu yang indah, seperti senja di Matraman yang aku
potong ini.
Kukirimkan sepotong senja untukmu yaa Habib Rizieq, bukan
uang dan kata-kata cinta. Kukirimkan sepotong senja yang sedikit berisik dengan
langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama
seperti ketika aku mengambilnya di sebuah halte Trans Jakarta di Matraman ketika matahari hampir tenggelam ke
balik cakrawala.
Habib Rizieq yang manis, Habib Rizieq yang sendu
Akan kuceritakan kepadamu bagaimana aku mendapatkan senja
ini untukmu.
Sore itu aku berdiri seorang diri di jembatan penyebrangan
halte Trans Jakarta di Matraman, memandang dunia yang terdiri dari waktu.
Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam ini untuk
mataku. Membayangkan diri ini menjelma Jimi Multazham ketika menggubah lagu
berjudul “Matraman” dengan band new wave
miliknya, The Upstairs. Jika Jimi membayangkan seseorang nun jauh di Kota
Kembang sana, maka yang aku bayangkan adalah dirimu yang mungkin sedang
berceramah di Petamburan.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan
berkutat melawan waktu. Dan aku yang sedang mengingatmu spontan berpikir,
“barangkali senja ini bagus untukmu”. Maka kupotong senja itu sebelum
terlambat, kukerat empat sisinya lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu
keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu
kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja yang selalu kamu
bayangkankan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang
panjang. Aku mengerti bagaimana capeknya kamu, harus berdemonstrasi,
marah-marah, konvoi, demonstrasi lagi, lalu marah-marah terus konvoi lagi. Aku
mengerti bagaimana capeknya menjalani semua itu, bahkan tanpa sekalipun kamu harus bilang “sakitnya tuh disini” kepadaku.
Perjalanan yang jauh dan barangkali sepasang kursi malas pada sebuah senja
sembari kita bercakap-cakap sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaan kita akan
menjadi sesuatu yang menyenangkan. Payung Teduh, Sore, Tulus atau Chrisye? Atau
barangkali kamu punya lagu-lagu kesukaan yang lain? Irama gambus atau qosidahan
mungkin? Terserah kamulah, asal jangan kamu bilang David Guetta saja.
Ketika aku memutuskan untuk menumpang angkot saja karena bus
Trans Jakarta tak kunjung lewat, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong.
Ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang! Kulihat cakrawala itu
berlubang sebesar kartu pos.
Habib Rizieq sayang
Aku sudah berada di dalam angkot ketika diantara kerumunan
itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Aku lihat dia yang mengambil
senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat
itu aku segera menyuruh bapak sopir angkot untuk segera jalan.
“Bang, cepet jalan, Bang” kataku sedikit cemas.
“Bentar lagi yes?
Belum dapat buat setoran nih” jawab bapak sopir sambil melihat-lihat ke arah
spion angkotnya.
Tidak dapat diharapkan aku segera turun dari angkot dan
menghampiri tukang ojek. Tanpa banyak cing-cong
tukang ojek itu langsung tancap gas dan melejit di jalan raya. Aku sudah
berniat memberikan senja ini untukmu dan hanya untukmu yaa Habib Rizieq. Tak
seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu
berbinar-binar dalam saku. Aku merasa cemas karena cahaya terang ini bisa
terlihat dari luar. Dan ternyata cahaya terang itu memang menembus sakuku sehingga
bisa terlihat dari luar dan motor yang aku tumpangi melaju bagaikan bintang
berekor.
Dari linimasa twitter yang aku pantau, aku tahu berita
tentang hilangnya senja telah tersebar luas. Tagar #SenjaHilang dalam beberapa
menit bahkan sudah menjadi world wide
trending topic. Mengalahkan rekor tagar #ShameOnYouSBY, pikirku. Waduuuh. Baru hilang satu senja saja
paniknya sudah seperti itu. Tapi kenapa ketika ada manusia-manusia yang hilang
tidak pernah sepanik itu? Aneh memang dunia ini. Bagaimana kalau setiap orang
mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya
untuk dibuat senja tandingan. Seperti halnya DPR tandingan, atau ya yang seperti kamu usulkan baru-baru
ini, Gubernur DKI Jakarta tandingan. Sepertinya segala sesuatu di dunia ini
harus dibuat versi tandingannya agar setiap orang tidak saling berebut.
Motor yang aku tumpangi bersama tukang ojek sudah memasuki
terminal Kampung Melayu. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengendurkan
kewaspadaanku sedikitpun. Aku harus mewaspadai setiap orang yang berlalu-lalang
di terminal ini. Jangan-jangan diantara mereka ada anggota polisi yang sedang
menyamar dengan kemampuan setingkat bapak Wiranto. Dari kejauhan terdengar
sirene mobil polisi meraung-raung. Aku sudah dijadikan terget pengejaran
polisi.
Tapi selain polisi aku yakin ada laskar-laskarmu yang ikut
mengejarku juga yaa Habib. Itu aku
tahu dari sorban yang terikat di kepala mereka, sementara tangannya memegang
helm. Ingin sekali rasanya aku bilang kepada mereka semua kalau senja yang aku
potong ini akan aku persembahkan untukmu, pemimpin dan panutan mereka. Tapi aku
tahu itu tak ada gunanya sama sekali. Mereka terlalu bebal. Hanya perkataanmu
seorang yang mereka turuti laiknya sebuah fatwa.
“Pengemudi motor Supra-X metalik bernomor polisi B 40 NK
harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh membawa senja. Meskipun tak ada peraturan yang melarangnya,
tapi berdasarkan. ..”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Aku suruh si
tukang ojek menggeber motornya lebih kencang lagi. Tapi ah, sialan, sepertinya
si tukang ojek ketakutan karena dikejar polisi. Dia hendak menepi sebelum
sejurus kemudian aku tendang saja dan motornya aku ambil alih. Tanpa peduli si
tukang ojek yang memaki-maki aku langsung tancap gas meliuk-liuk melewati
kemacetan di Jalan Otista. Sirene mobil polisi meraung-raung kencang. Terjadi
kejar-kejaran yang seru. Untung saja aku mengendarai motor. Hal ini membuatku
lebih mudah untuk meliuk-liuk diantara barisan mobil yang terjebak macet.
Kini giliran polisi bersepeda mototr dan laskar bersorban
yang mengejarku. Tapi tenang saja. Kelihaianku mengendarai motor masih satu
level dengan Valentino Rossi ketika masih di tim Repsol Honda. Sreset sreseet. Satu dua tiga mobil
terlewati. Spion mobil disikat, trotoar dikangkangi. Terkadang seperti sepeda
kumbang milik Oemar Bakrie, standing
dan terbang. Sir Dandy atau Iwan Fals. Sikaaat, Jon. Hanya padamulah senja ini
kupersembahkan yaa Habib Rizieq.
Tapi ternyata yaa
Habib, polisi tidak setolol yang aku sangka. Di segenap sudut kota mereka telah
siap siaga. Helikopter melayang-layang di atas langit yang kini sudah menjadi
hitam. Di bilangan Dewi Sartika aku segera membelokkan arah motor ke sebuah
gang. Belok kanan belok kiri, lewati pasar hingga aku sampai di suatu tempat.
Itulah dia, pondok kos temanku.
Namanya Wibowo tapi aku sering memanggilnya A Wowo. Tapi
karena suatu hari dia pernah melakukan perjalanan ke barat maka aku disuruhnya
memanggil A Wokong. Di pondok kos A Wokong itulah aku meminta perlindungan dari
kejaran polisi dan laskar bersorban.
“Masuklah” kata A Wokong dengan tenang. “Disini kamu aman”
Sepertinya A Wokong
sudah mengetahui apa yang sudah aku perbuat. Mungkin dari siaran berita di
televisi yang dia tonton. Tapi aku masih khawatir cahaya senja dari sakuku ini
akan menembus pondokkos itu lalu terlihat dari udara. A Wokong kembali
menenangkanku. Dia berkata bahkan cahaya matahari pun tidak pernah memasuki
kamarnya. Perumahan di daerah ini sudah terlalu padat katanya.
A Wokong membelikanku mie ayam dan sebotol Teh Pucuk Harum .
Aku makan dengan lahap. Kemudian aku menceritakan bagaimana awalnya senja ini
aku potong lalu aku dikejar-kejar bagai seorang komunis di mata Orde Baru. A
Wokong mendengarkan ceritaku dengan seksama sambil sesekali mengusap alisnya
yang nyambung. Aku masih khawatir kalau besok masih akan terjadi lagi drama
pengejaran seperti tadi.
“Tenang saja. Besok orang-orang akan lupa. Orang-orang
Indonesia memang seperti itu. Gampang marah tapi juga gampang lupa. Apa yang
heboh hari ini, akan dilupakan begitu saja besok” begitulah petuah bijak A
Wokong kepadaku.
Habib Rizieq kekasihku, pacarku, lelakiku
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Ketika aku
keluar dari pondok kos A Wokong esoknya semua orang sudah lupa tentang senja
yang hilang, sebagaimana mereka juga lupa pernah ada manusia-manusia yang hilang.
Keramaian yang terjadi kemarin kini telah surut. Sepertinya semua orang sudah
lupa. Oh, ternyata berita tentang senja yang hilang kini sudah berganti. Kini
orang-orang sedang ramai meributkan demonstrasi penolakan Ahok jadi Gubernur
DKI. Ini mesti inisiatifmu kan? Apakah demi menyelamatkanku juga kamu sengaja
bermanuver seperti ini? Ah, atau hanya kebetulan saja? Tak pentinglah itu. Yang
penting senja ini bisa langsung aku kirimkan padamu, tanpa perlu membuatmu
menunggu selama 12 tahun.
Habib Rizieq yang manis, paling manis dan akan selalu manis
Terimalah sepotong senja ini, hanya untukmu, dari seseorang
yang akan membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan motor dan mobil serta matahari
itu, salah-salah kamu bisa tertabrak olehnya dan terbakar cahayanya.
Dengan ini kukirim pula kerinduanku padamu, dengan peluk,
cium dan bisikan terhangat dari tempat paling sunyi di dunia, “jangan gampang
marah-marah dan melakukan tindakan-tindakan yang konyol yes?”
Jakarta, 10 November 2014
Catatan :
*karya ini merupakan saduran dari cerpen berjudul Sepotong
Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Adjidarma