Senin, 22 Desember 2014

Urip (yang tidak sedang) Mengkenen Temen : Untuk Si Mamah Yang Tidak Pernah Terlihat Tua



Hidup tidak hadir dengan sebuah buku panduan. Ia hadir melalui seorang ibu.

Beuh keren sekali kan kutipan diatas? Tentu saja keren karena itu bukan kutipan dari saya. Saya menemukannya dari linimasa seseorang di twitter. Maklum hari ini kan Hari Ibu jadi di media sosial orang rame-rame mem-posting segala hal tentang ibu.

Tapi mari kita baca secara seksama kutipan diatas. Tidak seperti handphone atau barang elektronik lainnya yang begitu kita beli lalu buka kita akan mendapatkan booklet berisi panduan dan segala tetek-bengeknya (meskipun saya yakin buku panduan itu tidak pernah dibaca), hidup manusia tidak seperti itu. Kita brojol ke dunia tanpa tahu apa-apa. Kecuali nangis karena lapar dan minta nenen. Itupun tidak serta-merta langsung ngomong ke ibu kita “Mah nenen dong Mah?”. Semua membutuhkan proses yang tidak sebentar. Dari mulai kita belajar merangkak, berdiri, berjalan sampai bisa berbicara. Dan dari semua proses itu, ibu adalah seseorang yang mempunyai peranan yang sangat besar dan krusial. Maka tidak heran juga kalau ada idiom yang menyebutkan kalau proses pembelajaran pertama seorang anak berasal dari ibunya. Coba saja perhatikan para mamah-mamah muda kalau sedang mengajari anaknya bicara. “Ma ma, pa pa, da da” begitu berulang-ulang dengan wajah ceria dan penuh kehangatan. Mengenalkan nama-nama hewan, pohon, bunga dan semua benda yang ada di sekelilingnya.

Maka adalah sebuah usaha yang sia-sia jika kita ingin mencoba menghitung jasa-jasa seorang ibu. Menghitungnya saja sudah susah bagaimana cara kita membalasnya? Wah ini menurut saya lebih susah lagi. Tapi kalau saya pribadi sih percaya cara sederhana untuk membalas jasa seorang ibu adalah dengan tidak membuatnya kecewa. Yah meskipun saya bukanlah anak yang baik-baik amat, suka coli, suka minum bir, suka ngecein Jonru dan Felix Siauw, dan di pilpres kemarin dengan rendah hati menolak  ajakan ibu saya  untuk nyoblos Prabowo tapi kalau berada di depan ibu saya sebisa mungkin bersikap seperti anak yang baik-baik. Semata karena saya benar-benar tidak ingin membuatnya merasa kecewa karena sudah melahirkan anak sebadung saya. Semoga itu semua cukup untuk membuatnya bahagia.

Diantara jasa-jasanya yang segunung itu, ada satu hal yang saya syukuri telah Mamah (ini panggilan untuk ibu saya) wariskan kepada saya, yaitu kegemarannya membaca dan mendengarkan musik. Kesukaan saya terhadap buku dan musik itulah yang saya kira berasal dari ibu saya. Saya sendiri sebenarnya juga tidak tahu kenapa saya bisa tumbuh dengan suka membaca, hanya saja dulu waktu kecil saya sering kali meliha si Mamah sedang membaca cerpen di Majalah Femina atau pun di Majalah Kartini. Kadang si Mamah membacanya ketika sedang menunggu nasi matang atau ketika potong rambut di salon. Saya juga ingat dulu si Mamah pernah membaca sebuah novel berjudul Kisi-Kisi entah karangan siapa. Aneh juga, saya masih mengingatnya sampai sekarang meskipun pada waktu itu saya tidak pernah membacanya. Mungkin saja dari situ hasrat membaca saya mulai tumbuh. Apalagi ketika saya sudah  mulai masuk sekolah dasar, si Mamah terkadang suka membawa buku bacaan dari perpustakaan sekolahnya ke rumah. Satu judul buku yang saya ingat adalah kumpulan cerita Petani Dan Kerbaunya. 

Begitu juga halnya dengan musik. Pendidikan musik pertama saya bisa dibilang berasal dari si Mamah juga. Dari sejak saya TK saya sudah akrab dengan lagu-lagunya Oma Irama, Elvie Sukaesih, Rita Sugiarto sampai Evi Tamala. Juga dengan lagu-lagu pop Sunda macam Darso, Yayan Jatinika ataupun Hetty Koes Endang. Saya dapatkan semuanya dari si Mamah. Karena si Mamah ini rutin menyetel lagu-lagu tadi setiap sore. Biasanya sih sambil beliau ngepel. Atau kalau tidak menyetel lagu-lagu dari penyanyi tadi si Mamah akan mendengarkan siaran radio yang juga memutarkan lagu-lagu dangdut atau pop Sunda.

Mungkin karena itu juga sampai sekarang saya lebih merasa akrab dengan lagu-lagu dangdutnya Rhoma Irama ataupun Evi Tamala dibandingkan dengan misalnya Cita Citata atau pedangdut masa kini lainnya. Karena sering diperdengarkan sejak saya kecil maka lagu-lagu dangdut juga pop Sunda tadi begitu menempel di alam bawah sadar saya. Meskipun lagu-lagu tadi sangat-tidak-obscure-dan-gaul sama sekali tapi saya selalu suka setiap kali mendengarnya.

“Urip mengkenen temen” begitu kawan saya Yosie Rivanto sering berkata.   Terkadang saya sendiri pun sering merasakan berada di situasi tersebut. Situasi yang urip-mengkenen-temen, situasi yang kadang selalu membuat saya merasa, “anjiir kok idup gini-gini amat ya?”. Tapi dengan buku-buku yang pernah saya baca dan musik yang pernah saya dengarkan saya merasa bahwa hidup juga terkadang menyenangkan. Tidak selalu untuk menggerutu dan menyesali. Bahwa biasanya dengan membaca buku dan mendengarkan lagu kesukaan sambil ngopi, hidup saya sudah terasa indah seperti di surga. Untuk kedua hal itu saya merasa sangat berterima kasih kepada si Mamah. 

Terimakasih Tuhan sudah memberi ibu yang tidak pernah terlihat tua di mata saya. Selamat hari ibu dan i love you.

Kamis, 13 November 2014

Sepotong Senja Untuk Habib Rizieq*



Habib Rizieq tercinta,

Bersama surat ini kukirimkan sepotong senja –dengan angin, suara klakson motor dan mobil, matahari terbenam, orang berlalu-lalang dan cahaya keemasan.  Apakah kamu menerimanya dengan lengkap? Tapi sebelumnya aku minta maaf karena senja ini tidak disertai burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, juga barangkali perahu yang lewat di kejauhan. Karena aku sedang tidak berada di pantai. Apakah di Petamburan, mungkin dalam hati kamu bertanya. Maaf juga, bukan senja di Petamburan yang aku kirimkan padamu melainkan senja di Matraman. Apakah kamu kecewa? Semoga saja tidak. Bagiku semua senja di setiap tempat akan selalu terlihat indah. Entah itu di Petamburan ataupun di Matraman. Cobalah sesekali –jika tidak sedang berdemo-  kamu luangkan waktu untuk menikmati senja dengan menumpang commuter line dari Stasiun Jatinegara ke Stasiun Kota. Lihatlah bagaimana cahaya matahari yang kemerahan itu memantul dari kaca-kaca bangunan bertingkat lalu menelusup ke dalam gerbong yang kamu duduki. Ah, indah sekali bukan?

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Habib Rizieq, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh.  Mungkin awalnya kamu akan mengira ada lembaran rupiah dalam amplop ini atau setidaknya selembar cek dengan angka 1 dan 10 digit angka nol dibelakangnya. Lagi-lagi mungkin kamu akan merasa sedikit kecewa. Tapi tak apa. Dengarlah, sudah terlalu banyak uang di dunia ini yaa Habib, dan uang, ternyata tidak mengubah apa-apa. Oh, mungkin kamu akan mendebatku dengan sengit bahwasannya uang masih sangat berguna untukmu dan hampir semua orang. Uang, setidaknya bisa berguna untuk menggerakkan orang-orang agar berdemo di Senin pagi daripada harus bekerja sepeti biasa. Dan bahkan hampir semua hal di dunia ini selalu membutuhkan uang. Mau menjadi anggota legislatif, butuh uang. Mau menjadi walikota atau gubernur, butuh uang. Bahkan untuk membeli Sari Roti sadwich rasa keju kesukaanku pun butuh uang. Dan terkadang itu menyebalkan. Membuatku muak. Karena itu tak ada uang yang aku sisipkan dalam amplop ini semata-mata karena aku tak ingin memberikan hal yang membuatku muak untukmu. Aku ingin memberimu sesuatu yang indah, seperti senja di Matraman yang aku potong ini.

Kukirimkan sepotong senja untukmu yaa Habib Rizieq, bukan uang dan kata-kata cinta. Kukirimkan sepotong senja yang sedikit berisik dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya di sebuah halte Trans Jakarta di  Matraman ketika matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Habib Rizieq yang manis, Habib Rizieq yang sendu

Akan kuceritakan kepadamu bagaimana aku mendapatkan senja ini untukmu.

Sore itu aku berdiri seorang diri di jembatan penyebrangan halte Trans Jakarta di Matraman, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam ini untuk mataku. Membayangkan diri ini menjelma Jimi Multazham ketika menggubah lagu berjudul “Matraman” dengan band new wave miliknya, The Upstairs. Jika Jimi membayangkan seseorang nun jauh di Kota Kembang sana, maka yang aku bayangkan adalah dirimu yang mungkin sedang berceramah di Petamburan.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu. Dan aku yang sedang mengingatmu spontan berpikir, “barangkali senja ini bagus untukmu”. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat empat sisinya lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkankan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang. Aku mengerti bagaimana capeknya kamu, harus berdemonstrasi, marah-marah, konvoi, demonstrasi lagi, lalu marah-marah terus konvoi lagi. Aku mengerti bagaimana capeknya menjalani semua itu, bahkan  tanpa sekalipun kamu harus bilang “sakitnya tuh disini” kepadaku. Perjalanan yang jauh dan barangkali sepasang kursi malas pada sebuah senja sembari kita bercakap-cakap sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaan kita akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Payung Teduh, Sore, Tulus atau Chrisye? Atau barangkali kamu punya lagu-lagu kesukaan yang lain? Irama gambus atau qosidahan mungkin? Terserah kamulah, asal jangan kamu bilang David Guetta saja.

Ketika aku memutuskan untuk menumpang angkot saja karena bus Trans Jakarta tak kunjung lewat, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong. Ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang! Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Habib Rizieq sayang

Aku sudah berada di dalam angkot ketika diantara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Aku lihat dia yang mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera menyuruh bapak sopir angkot untuk segera jalan.

“Bang, cepet jalan, Bang” kataku sedikit cemas.

“Bentar lagi yes? Belum dapat buat setoran nih” jawab bapak sopir sambil melihat-lihat ke arah spion angkotnya.

Tidak dapat diharapkan aku segera turun dari angkot dan menghampiri tukang ojek. Tanpa banyak cing-cong tukang ojek itu langsung tancap gas dan melejit di jalan raya. Aku sudah berniat memberikan senja ini untukmu dan hanya untukmu yaa Habib Rizieq. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar dalam saku. Aku merasa cemas karena cahaya terang ini bisa terlihat dari luar. Dan ternyata cahaya terang itu memang menembus sakuku sehingga bisa terlihat dari luar dan motor yang aku tumpangi melaju bagaikan bintang berekor.

Dari linimasa twitter yang aku pantau, aku tahu berita tentang hilangnya senja telah tersebar luas. Tagar #SenjaHilang dalam beberapa menit bahkan sudah menjadi world wide trending topic. Mengalahkan rekor tagar #ShameOnYouSBY, pikirku. Waduuuh. Baru hilang satu senja saja paniknya sudah seperti itu. Tapi kenapa ketika ada manusia-manusia yang hilang tidak pernah sepanik itu? Aneh memang dunia ini. Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya untuk dibuat senja tandingan. Seperti halnya DPR tandingan, atau ya yang seperti kamu usulkan baru-baru ini, Gubernur DKI Jakarta tandingan. Sepertinya segala sesuatu di dunia ini harus dibuat versi tandingannya agar setiap orang tidak saling berebut.

Motor yang aku tumpangi bersama tukang ojek sudah memasuki terminal Kampung Melayu. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengendurkan kewaspadaanku sedikitpun. Aku harus mewaspadai setiap orang yang berlalu-lalang di terminal ini. Jangan-jangan diantara mereka ada anggota polisi yang sedang menyamar dengan kemampuan setingkat bapak Wiranto. Dari kejauhan terdengar sirene mobil polisi meraung-raung. Aku sudah dijadikan terget pengejaran polisi.

Tapi selain polisi aku yakin ada laskar-laskarmu yang ikut mengejarku juga yaa Habib. Itu aku tahu dari sorban yang terikat di kepala mereka, sementara tangannya memegang helm. Ingin sekali rasanya aku bilang kepada mereka semua kalau senja yang aku potong ini akan aku persembahkan untukmu, pemimpin dan panutan mereka. Tapi aku tahu itu tak ada gunanya sama sekali. Mereka terlalu bebal. Hanya perkataanmu seorang yang mereka turuti laiknya sebuah fatwa.

“Pengemudi motor Supra-X metalik bernomor polisi B 40 NK harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh membawa senja.  Meskipun tak ada peraturan yang melarangnya, tapi berdasarkan. ..”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Aku suruh si tukang ojek menggeber motornya lebih kencang lagi. Tapi ah, sialan, sepertinya si tukang ojek ketakutan karena dikejar polisi. Dia hendak menepi sebelum sejurus kemudian aku tendang saja dan motornya aku ambil alih. Tanpa peduli si tukang ojek yang memaki-maki aku langsung tancap gas meliuk-liuk melewati kemacetan di Jalan Otista. Sirene mobil polisi meraung-raung kencang. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Untung saja aku mengendarai motor. Hal ini membuatku lebih mudah untuk meliuk-liuk diantara barisan mobil yang terjebak macet.

Kini giliran polisi bersepeda mototr dan laskar bersorban yang mengejarku. Tapi tenang saja. Kelihaianku mengendarai motor masih satu level dengan Valentino Rossi ketika masih di tim Repsol Honda. Sreset sreseet. Satu dua tiga mobil terlewati. Spion mobil disikat, trotoar dikangkangi. Terkadang seperti sepeda kumbang milik Oemar Bakrie, standing dan terbang. Sir Dandy atau Iwan Fals. Sikaaat, Jon. Hanya padamulah senja ini kupersembahkan yaa Habib Rizieq.

Tapi ternyata yaa Habib, polisi tidak setolol yang aku sangka. Di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. Helikopter melayang-layang di atas langit yang kini sudah menjadi hitam. Di bilangan Dewi Sartika aku segera membelokkan arah motor ke sebuah gang. Belok kanan belok kiri, lewati pasar hingga aku sampai di suatu tempat. Itulah dia, pondok kos temanku.

Namanya Wibowo tapi aku sering memanggilnya A Wowo. Tapi karena suatu hari dia pernah melakukan perjalanan ke barat maka aku disuruhnya memanggil A Wokong. Di pondok kos A Wokong itulah aku meminta perlindungan dari kejaran polisi dan laskar bersorban.

“Masuklah” kata A Wokong dengan tenang. “Disini kamu aman”

Sepertinya  A Wokong sudah mengetahui apa yang sudah aku perbuat. Mungkin dari siaran berita di televisi yang dia tonton. Tapi aku masih khawatir cahaya senja dari sakuku ini akan menembus pondokkos itu lalu terlihat dari udara. A Wokong kembali menenangkanku. Dia berkata bahkan cahaya matahari pun tidak pernah memasuki kamarnya. Perumahan di daerah ini sudah terlalu padat katanya.

A Wokong membelikanku mie ayam dan sebotol Teh Pucuk Harum . Aku makan dengan lahap. Kemudian aku menceritakan bagaimana awalnya senja ini aku potong lalu aku dikejar-kejar bagai seorang komunis di mata Orde Baru. A Wokong mendengarkan ceritaku dengan seksama sambil sesekali mengusap alisnya yang nyambung. Aku masih khawatir kalau besok masih akan terjadi lagi drama pengejaran seperti tadi.

“Tenang saja. Besok orang-orang akan lupa. Orang-orang Indonesia memang seperti itu. Gampang marah tapi juga gampang lupa. Apa yang heboh hari ini, akan dilupakan begitu saja besok” begitulah petuah bijak A Wokong kepadaku.

Habib Rizieq kekasihku, pacarku, lelakiku

Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Ketika aku keluar dari pondok kos A Wokong esoknya semua orang sudah lupa tentang senja yang hilang, sebagaimana mereka juga lupa pernah ada manusia-manusia yang hilang. Keramaian yang terjadi kemarin kini telah surut. Sepertinya semua orang sudah lupa. Oh, ternyata berita tentang senja yang hilang kini sudah berganti. Kini orang-orang sedang ramai meributkan demonstrasi penolakan Ahok jadi Gubernur DKI. Ini mesti inisiatifmu kan? Apakah demi menyelamatkanku juga kamu sengaja bermanuver seperti ini? Ah, atau hanya kebetulan saja? Tak pentinglah itu. Yang penting senja ini bisa langsung aku kirimkan padamu, tanpa perlu membuatmu menunggu selama 12 tahun.

Habib Rizieq yang manis, paling manis dan akan selalu manis

Terimalah sepotong senja ini, hanya untukmu, dari seseorang yang akan membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan motor dan mobil serta matahari itu, salah-salah kamu bisa tertabrak olehnya dan terbakar cahayanya.

Dengan ini kukirim pula kerinduanku padamu, dengan peluk, cium dan bisikan terhangat dari tempat paling sunyi di dunia, “jangan gampang marah-marah dan melakukan tindakan-tindakan yang konyol yes?”



Jakarta, 10 November 2014

Catatan :
*karya ini merupakan saduran dari cerpen berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Adjidarma

Rabu, 29 Oktober 2014

Menjadi Lebay di Smoking Area



Saya setuju jika manusia dikatakan sebagai tempatnya khilaf dan salah. Saya hanya ingin menambahkan sedikit, selain tempatnya khilaf dan salah manusia juga tempatnya lebay. Ya, lebay, istilah yang sering digunakan untuk merujuk suatu sikap yang berlebihan. Misalnya berdandan, berbicara atau bahkan dalam menulis review musik. Dalam beberapa hal tulisan ini pun bisa dibilang lebay. Tapi tak apa, toh di awal saya sudah menjelaskan kalau manusia itu tempatnya khilaf dan salah, juga lebay. Jadi anggap saja wajar karena lebay itu manusiawi.

Hanya saja, ketika sikap lebay ini memasuki fase yang lebih lebay lagi (artinya sikap lebaynya sudah berlebihan) saya kira itu sudah menjadi tidak wajar dan sulit dimaklumi. Lebay yang berlebihan. Lebay kuadrat. (ah, entahlah saya belum menemukan istilah yang cocok untuk menyebut sikap lebay yang berlebihan ini). Contoh yang paling jelas tentang sifat lebay yang berlebihan itu salah satunya adalah pernikahan Raffi Ahmad.Salah duanya adalah  tulisan Mas Puthut EA disini http://mojok.co/2014/09/menjadi-manusia-di-smoking-area/ yang berjudul Menjadi Manusia di Smoking Area.

Dari tulisan-tulisan Mas Puthut yang pernahsaya baca, sikap lebay Mas Puthut setidaknya bisa dilihat dari 2 hal. Yang pertama adalah tingkat fanatismenya terhadap klub sepakbola AS Roma. Yang kedua adalah sikap nyinyir Mas Puthut terhadap kaum anti-rokok. Lebay yang pertama masih saya anggap wajar. Sudahlah jangan didebat, sepakbola bagi sebagian orang adalah agama kedua mereka. Bahkan mungkin mereka lebih taat menyaksikan klub idolanya bertanding daripada melakukan ibadah sesuai anjuran agamanya. Meskipun terkadang tidak masuk akal tetapi ke-lebay-an seperti itu masih saya maklumi dan anggap wajar. Lebay yang kedua pun sebenarnya masih saya anggap wajar. Apalagi jika melihat pembelaan-pembelaan Mas Puthut terhadap industri kretek lokal dan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Tapi dalam tulisan Menjadi Manusia di Smoking Area, saya kira Mas Puthut sudah terlalu lebay.

Coba saja disimak bagaimana Mas Puthut mendeskripsikan suasana di bandara dan orang-orang yang berlalu lalang di dalamnya. Begitu kaku, dingin dan tanpa emosi. Seolah-olah mereka semua adalah robot. Mekanis. Hambar. Mungkin sepeti ikan teri tanpa sambal terasi.

Kemudian suasana itu berubah ketika kita memasuki ruang smoking area. Kekakuan itu menjadi cair. Orang-orang menjadi lebih rileks. Robot-robot itu sudah menjadi manusia kembali. Mereka kembali ekspresif. 

Disana orang-orang bisa saling menyapa dan berkomunikasi, tidak seperti di luar smoking area dimana orang-orang itu hanya asik dengan perangkat gadgetnya sendiri. Di dalam smoking area orang-orang itu bisa bekisah tentang bisnis mereka, berseloroh, atau mengomentari tayangan-tayangan dari layar televisi. Juga kadang diselingi dengan perdebatan-perdebatan kecil. Ah, sungguh indah membayangkannya.
Mereka akan melepaskan semua atribut yang melekat dalam diri mereka. Tidak peduli dia direktur atau karyawan, selebritas atau wartawan, intelektual atau budayawan, semuanya membaur. Orang-orang berjas dan berdasi tidak lebih istimewa daripada orang-orang yang berkaos dan bercelana jins. Pokoknya semua membaur. Tanpa ada kelas!! (well, selamat Marx, cita-cita anda akhirnya bisa tercapai juga di smoking area ).

Anehnya, sebagai seorang perokok saya merasa apa yang dituliskan oleh Mas Puthut terlalu berlebihan. Lebay. Bagi saya, merokok dimanapun terasa sama saja. Mau di smoking area atau di warung kopi, mau sendiri atau rame-rame. Sama saja. Biasa saja. Tidak terasa menjadi lebih “manusia”. Bahwasannya merokok di smoking area membuat manusia robot itu menjadi “manusia” kembali, saya pikir itu tergantung kepada pribadi si individu tersebut. Jika seseorang yang senang mengobrol bertemu dengan seseorang yang senang mengobrol lagi kemungkinan besar akan terjadi sebuah percakapan disitu. Tapi bagaimana kalau misalnya individu tersebut adalah seorang introvert dan pendiam? Apa mungkin obrolan itu akan tercipta? Apa mungkin juga si pendiam tersebut kemudian akan berkisah tentang bisnisnya? Rasanya tidak.  Pun begitu, merokok di smoking area juga belum tentu membuat seseorang akan kehilangan keasyikan dengan gadgetnya. Ah, mungkin saja dia sedang asyik main Clash Of Clans di ponselnya sambil merokok. Mungkin juga dia sedang asyik BBM-an dengan pacarnya nun jauh disana. Toh, merokok di smoking area tidak serta merta membuat seseorang mematikan ponselnya kemudian berseloroh dengan orang di dekatanya dan menjadi “manusia” kembali. Terlalu dangkal rasanya jika status “kemanusiaan” seseorang hanya ditentukan oleh adanya komunikasi gara-gara merokok bareng di smoking area dengan keasyikan sendiri ketika berada di luar smoking area.

Yang lebih lebay dan menggelikan lagi adalah ketika Mas Puthut menganggap para perokok di smoking area diperlakukan seperti kaum paria, interniran dan kriminal. Demi toket Nikita Mirzani, apakah iya sampai segitunya? Ada berapa banyak? Apakah setiap orang yang merokok di smoking area? Atau hanya segelintir orang saja? Saya kira kebanyakan orang hanya ingin merokok saja, tok. Tanpa perlu misuh-misuh dan merasa seperti seorang kriminal. Dalam tulisan Mas Puthut smoking area dikesankan seperti kamar gas dalam kisah-kisah kekejaman Hitler. Lebay? Tentu saja.

Mas Puthut melanjutkan, “bukankah dengan cukai yang mereka beli seharusnya justru para perokok diberi tempat yang nyaman?”. Wah kalau logikanya seperti itu saya sebagai pengendara sepeda motor juga bisa menuntut untuk diberikan tempat yang nyaman juga dong? Saya kan sudah membayar pajak, seharusnya saya juga diberi tempat yang nyaman. Misalnya jalur khusus untuk sepeda motor agar kita tidak perlu berebutan dengan para pengendara mobil, juga agar kita tidak perlu menyerobot jalur bus Trans Jakarta. Seperti itu logikanya? Lagipula tempat yang nyaman itu seperti apa? Apakah harus ada kipas anginnya? Ada sofanya? Ada lemari pendingin? Ada fasilitas untuk karaokenya? Ada gadis pemandu lagunya? Sialan, saya malah jadi ikutan lebay.

Sebagai penutup, jika Mas Puthut bilang di smoking area para manusia robot itu menjadi “manusia” kembali maka saya bilang di smoking area Mas Puthut malah menjadi manusia yang lebay.

Resensi Buku : Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas



Bagaimana jalan kesunyian ala sufi dan perilaku manusia bisa ditemukan lewat kontol yang tidak bisa ngaceng? Jawabannya ada pada novel terbaru Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (selanjutnya saya singkat Seperti Dendam).

Anggap saja saya terlalu serius dengan kalimat pembuka diatas, tapi saya tidak sedang bercanda ketika menulis “kontol yang tidak bisa ngaceng”, karena novel ini memang bercerita tentang seorang laki-laki yang kontolnya tidak bisa ngaceng setelah menyaksikan 2 orang polisi memperkosa seorang perempuan gila. Terasa ganjil bukan? Sangat khas Eka Kurniawan, namun kali ini Eka Kurniawan mengeksekusinya dengan gaya penulisan serupa buku-buku stensilan karya Enny Arrow yang dicampur dengan cerita-cerita silat. Hanya saja Eka Kurniawan membawanya lebih jauh ke tataran filosofis.

Perlu waktu 10 tahun bagi Eka Kurniawan untuk kembali merilis novel, setelah terakhir kali dia merilis Lelaki Harimau. Jika mau dibandingkan, Seperti Dendam terlihat sangat sederhana jika daripada 2 novel pertama Eka Kurniawan (Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau). Tapi jika kita lihat secara lebih seksama novel ini sepertinya disusun dengan sebuah ketelitian tinggi. Silahkan perhatikan jumlah setiap bab yang terdiri dari 30 halaman (kecuali bab terakhir yang berjumlah 33 halaman). Jika menyimak proses kreatifnya yang sering dia publikasikan di jurnal ekakurniawan.com rasanya susunan halaman ini bukanlah sesuatu yang hadir dengan tidak sengaja. 

 Setiap bab juga kemudian dipotong-potong menjadi beberapa fragmen dengan plot maju-mundur yang memikat. Disini pun kita bisa melihat kejelian dan kelihaian Eka Kurniawan dalam mengatur ritme dan tempo dalam ceritanya. Eka Kurniawan dengan lihai bisa tahu kapan cerita ini harus mengisahkan masa lalu Ajo Kawir, si tokoh utama novel ini, atau kapan harus bercerita tentang pertemuan Ajo Kawir dengan si Iteung. Dengan kelihaian tersebut saya jamin kalian akan langsung terperangkap tepat disaat kalian pertama membacanya.

Lalu bagaimana ceritanya kontol yang tidak bisa ngaceng itu bisa membawa kita menuju jalan kesunyian yang lazim ditempuh oleh para sufi?

Baiklah, tapi pertama-tama kita harus melihat beberapa perilaku manusia yang bisa dijelaskan dari bagaimana cara mereka memperlakukan alat kelaminnya, terutama laki-laki. Seperti yang umum diketahui, bagi sebagian orang kelamin adalah otak kedua mereka. Bahkan mungkin bagi sebagian lainnya, kelamin adalah otak pertama mereka. Mereka lebih berpikir dengan kelaminnya. Kelamin identik dengan hawa nafsu, dengan ambisi. Jadi mereka yang lebih menggunakan kelaminnya untuk berpikir adalah mereka yang lebih mementingkan kepuasan nafsu dan ambisinya.

2 tokoh polisi yang memperkosa seorang perempuan gila secara bergiliran adalah gambaran dari sebuah perilaku yang korup (entah sengaja atau tidak, Eka Kurniawan memakai polisi untuk menggambarkan perliaku korup tersebut). Mereka tidak peduli kalau perempuan itu gila, yang penting bisa mereka “pake” dan memuaskan nafsunya. Sama seperti koruptor, mereka juga tidak akan peduli kalau yang mereka korupsi itu adalah pajak yang dibayar oleh rakyat ataupun dana haji milik umat. Yang penting kaya. Tai ucing dengan yang lain.

Tokoh Pak Toto, seorang guru yang mencabuli si Iteung di kelas adalah gambaran perilaku penguasa yang juga sebenarnya korup (menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan/kepuasan pribadi). Terkadang memang kekuasaan bisa membuat seseorang merasa bisa berbuat apa saja. Termasuk mencabuli (hierarki kekuasaan antara guru-murid), atau dalam hal lain seperti kasus-kasus pelanggaran HAM (menculik, membunuh atas nama stabilitas negara?)

Si Tokek, kawan sehidup-sesekarat Ajo Kawir, mempunyai karir asmara yang bisa dibilang tidak terlalu sukses. Meskipun dalam novel ini kisah percintaan si Tokek tidak diceritakan tapi dalam salah satu bagian si Tokek pernah bercerita kalau dia tidak akan pernah menggunakan kontolnya sebelum kontol Ajo Kawir bisa ngaceng lagi. Sebab musababnya adalah karena si Tokek merasa bersalah atas ke-tidakbisa-ngacengannya kontol Ajo Kawir. Untuk menebus rasa bersalahnya tersebut  si Tokek berikrar untuk tidak menggunakan kontolnya sebelum kontol Ajo Kawir bisa ngaceng. Si Tokek menunjukkan contoh perilaku kesetiakawanannya terhadap Ajo Kawir. Selain dengan selalu menemani Ajo Kawir berkelahi juga dengan tidak menggunakan kontolnya sampai kontol Ajo Kawir bisa ngaceng. Best Friend Forever laah kalau istilah cabe-cabeannya sih.

Lalu ada Ajo Kawir si tokoh utama yang kontolnya tidak bisa ngaceng. Gara-garanya suatu malam dia diajak si Tokek untuk mengintip Rona Merah, si perempuan gila yang sedang diperkosa secara bergiliran oleh 2 orang polisi. Sialnya mereka berdua malah ketahuan. Si Tokek beruntung bisa kabur, Ajo Kawir ketiban sial karena tidak sempat kabur. Dia harus rela menyaksikan (dengan pistol tertempel di jidatnya) bagaimana kedua orang polisi memperkosa Rona Merah secara bergiliran. Setelah peristiwa itu kontol Ajo Kawir tiba-tiba saja menjadi tidak bisa ngaceng. Berbagai upaya pernah dilakukan untuk membuatnya bisa ngaceng kembali tapi hasilnya sia-sia belaka. Bagi Ajo Kawir (dan para lelaki) perkara  ini adalah sebuah kiamat. Akibat frustasi Ajo Kawir jadi gemar berkelahi (tentu saja dengan ditemani si Tokek) sampai suatu saat dia bertemu dengan Paman Gembul yang memintanya untuk membunuh si Macan, preman yang sangat ditakuti reputasinya. Ajo Kawir tidak gentar, toh selama ini pun dia sudah merasakan kiamat dalam hidupnya. Meskipun sempat merasa ragu karena pada saat itu dia jatuh cinta kepada si Iteung dan berencana menikah tapi pada akhirnya si Macan bisa dibunuh juga (ini terjadi setelah si Iteung ketahuan hamil). Ajo Kawir masuk penjara setelah membunuh si Macan. Setelah keluar penjara Ajo Kawir berubah (meskipun masih tidak bisa ngaceng). Dia menjadi seorang supir truk dan mempunyai kenek seorang remaja bernama Mono Ompong. Tabiatnya pun berubah, Ajo Kawir menjadi lebih kalem, lebih pendiam seperti kontolnya. Ajo Kawir lebih bisa mengendalikan emosinya sendiri, seperti yang dikatakan oleh Pidi Baiq, “bukan orang lain yang menentukan kamu harus marah atau tidak tapi dirimu sendiri yang menentukan”. Ajo Kawir lebih memilih jalan kesunyian ala sufi setelah berdamai dengan kontolnya sendiri yang tidak bisa ngaceng. 

Aah, mungkin itu intinya, ditengah dunia yang semakin berisik ini terkadang kita harus menoleh kembali ke dalam diri kita sendiri. Seperti kontol Ajo Kawir yang selalu kalem meskipun dibombardir dengan berbagai godaan.

Novel ini memang kalah liar jika dibandingkan dengan Cantik Itu Luka.  Juga masih kalah muram dan depresif jika harus disandingkan dengan Lelaki Harimau. Tapi novel ini bisa melampaui keduanya jika dilihat dari bagaimana cara Eka Kurniawan menghancurkan plot bercerita yang konvensional. Dan mungkin ini adalah novelnya yang paling filosofis jika dibandingkan 2 novel sebelumnya.

Seperti dendam, novel ini pun harus dibaca tuntas.