Rabu, 29 Oktober 2014

Resensi Buku : Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas



Bagaimana jalan kesunyian ala sufi dan perilaku manusia bisa ditemukan lewat kontol yang tidak bisa ngaceng? Jawabannya ada pada novel terbaru Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (selanjutnya saya singkat Seperti Dendam).

Anggap saja saya terlalu serius dengan kalimat pembuka diatas, tapi saya tidak sedang bercanda ketika menulis “kontol yang tidak bisa ngaceng”, karena novel ini memang bercerita tentang seorang laki-laki yang kontolnya tidak bisa ngaceng setelah menyaksikan 2 orang polisi memperkosa seorang perempuan gila. Terasa ganjil bukan? Sangat khas Eka Kurniawan, namun kali ini Eka Kurniawan mengeksekusinya dengan gaya penulisan serupa buku-buku stensilan karya Enny Arrow yang dicampur dengan cerita-cerita silat. Hanya saja Eka Kurniawan membawanya lebih jauh ke tataran filosofis.

Perlu waktu 10 tahun bagi Eka Kurniawan untuk kembali merilis novel, setelah terakhir kali dia merilis Lelaki Harimau. Jika mau dibandingkan, Seperti Dendam terlihat sangat sederhana jika daripada 2 novel pertama Eka Kurniawan (Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau). Tapi jika kita lihat secara lebih seksama novel ini sepertinya disusun dengan sebuah ketelitian tinggi. Silahkan perhatikan jumlah setiap bab yang terdiri dari 30 halaman (kecuali bab terakhir yang berjumlah 33 halaman). Jika menyimak proses kreatifnya yang sering dia publikasikan di jurnal ekakurniawan.com rasanya susunan halaman ini bukanlah sesuatu yang hadir dengan tidak sengaja. 

 Setiap bab juga kemudian dipotong-potong menjadi beberapa fragmen dengan plot maju-mundur yang memikat. Disini pun kita bisa melihat kejelian dan kelihaian Eka Kurniawan dalam mengatur ritme dan tempo dalam ceritanya. Eka Kurniawan dengan lihai bisa tahu kapan cerita ini harus mengisahkan masa lalu Ajo Kawir, si tokoh utama novel ini, atau kapan harus bercerita tentang pertemuan Ajo Kawir dengan si Iteung. Dengan kelihaian tersebut saya jamin kalian akan langsung terperangkap tepat disaat kalian pertama membacanya.

Lalu bagaimana ceritanya kontol yang tidak bisa ngaceng itu bisa membawa kita menuju jalan kesunyian yang lazim ditempuh oleh para sufi?

Baiklah, tapi pertama-tama kita harus melihat beberapa perilaku manusia yang bisa dijelaskan dari bagaimana cara mereka memperlakukan alat kelaminnya, terutama laki-laki. Seperti yang umum diketahui, bagi sebagian orang kelamin adalah otak kedua mereka. Bahkan mungkin bagi sebagian lainnya, kelamin adalah otak pertama mereka. Mereka lebih berpikir dengan kelaminnya. Kelamin identik dengan hawa nafsu, dengan ambisi. Jadi mereka yang lebih menggunakan kelaminnya untuk berpikir adalah mereka yang lebih mementingkan kepuasan nafsu dan ambisinya.

2 tokoh polisi yang memperkosa seorang perempuan gila secara bergiliran adalah gambaran dari sebuah perilaku yang korup (entah sengaja atau tidak, Eka Kurniawan memakai polisi untuk menggambarkan perliaku korup tersebut). Mereka tidak peduli kalau perempuan itu gila, yang penting bisa mereka “pake” dan memuaskan nafsunya. Sama seperti koruptor, mereka juga tidak akan peduli kalau yang mereka korupsi itu adalah pajak yang dibayar oleh rakyat ataupun dana haji milik umat. Yang penting kaya. Tai ucing dengan yang lain.

Tokoh Pak Toto, seorang guru yang mencabuli si Iteung di kelas adalah gambaran perilaku penguasa yang juga sebenarnya korup (menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan/kepuasan pribadi). Terkadang memang kekuasaan bisa membuat seseorang merasa bisa berbuat apa saja. Termasuk mencabuli (hierarki kekuasaan antara guru-murid), atau dalam hal lain seperti kasus-kasus pelanggaran HAM (menculik, membunuh atas nama stabilitas negara?)

Si Tokek, kawan sehidup-sesekarat Ajo Kawir, mempunyai karir asmara yang bisa dibilang tidak terlalu sukses. Meskipun dalam novel ini kisah percintaan si Tokek tidak diceritakan tapi dalam salah satu bagian si Tokek pernah bercerita kalau dia tidak akan pernah menggunakan kontolnya sebelum kontol Ajo Kawir bisa ngaceng lagi. Sebab musababnya adalah karena si Tokek merasa bersalah atas ke-tidakbisa-ngacengannya kontol Ajo Kawir. Untuk menebus rasa bersalahnya tersebut  si Tokek berikrar untuk tidak menggunakan kontolnya sebelum kontol Ajo Kawir bisa ngaceng. Si Tokek menunjukkan contoh perilaku kesetiakawanannya terhadap Ajo Kawir. Selain dengan selalu menemani Ajo Kawir berkelahi juga dengan tidak menggunakan kontolnya sampai kontol Ajo Kawir bisa ngaceng. Best Friend Forever laah kalau istilah cabe-cabeannya sih.

Lalu ada Ajo Kawir si tokoh utama yang kontolnya tidak bisa ngaceng. Gara-garanya suatu malam dia diajak si Tokek untuk mengintip Rona Merah, si perempuan gila yang sedang diperkosa secara bergiliran oleh 2 orang polisi. Sialnya mereka berdua malah ketahuan. Si Tokek beruntung bisa kabur, Ajo Kawir ketiban sial karena tidak sempat kabur. Dia harus rela menyaksikan (dengan pistol tertempel di jidatnya) bagaimana kedua orang polisi memperkosa Rona Merah secara bergiliran. Setelah peristiwa itu kontol Ajo Kawir tiba-tiba saja menjadi tidak bisa ngaceng. Berbagai upaya pernah dilakukan untuk membuatnya bisa ngaceng kembali tapi hasilnya sia-sia belaka. Bagi Ajo Kawir (dan para lelaki) perkara  ini adalah sebuah kiamat. Akibat frustasi Ajo Kawir jadi gemar berkelahi (tentu saja dengan ditemani si Tokek) sampai suatu saat dia bertemu dengan Paman Gembul yang memintanya untuk membunuh si Macan, preman yang sangat ditakuti reputasinya. Ajo Kawir tidak gentar, toh selama ini pun dia sudah merasakan kiamat dalam hidupnya. Meskipun sempat merasa ragu karena pada saat itu dia jatuh cinta kepada si Iteung dan berencana menikah tapi pada akhirnya si Macan bisa dibunuh juga (ini terjadi setelah si Iteung ketahuan hamil). Ajo Kawir masuk penjara setelah membunuh si Macan. Setelah keluar penjara Ajo Kawir berubah (meskipun masih tidak bisa ngaceng). Dia menjadi seorang supir truk dan mempunyai kenek seorang remaja bernama Mono Ompong. Tabiatnya pun berubah, Ajo Kawir menjadi lebih kalem, lebih pendiam seperti kontolnya. Ajo Kawir lebih bisa mengendalikan emosinya sendiri, seperti yang dikatakan oleh Pidi Baiq, “bukan orang lain yang menentukan kamu harus marah atau tidak tapi dirimu sendiri yang menentukan”. Ajo Kawir lebih memilih jalan kesunyian ala sufi setelah berdamai dengan kontolnya sendiri yang tidak bisa ngaceng. 

Aah, mungkin itu intinya, ditengah dunia yang semakin berisik ini terkadang kita harus menoleh kembali ke dalam diri kita sendiri. Seperti kontol Ajo Kawir yang selalu kalem meskipun dibombardir dengan berbagai godaan.

Novel ini memang kalah liar jika dibandingkan dengan Cantik Itu Luka.  Juga masih kalah muram dan depresif jika harus disandingkan dengan Lelaki Harimau. Tapi novel ini bisa melampaui keduanya jika dilihat dari bagaimana cara Eka Kurniawan menghancurkan plot bercerita yang konvensional. Dan mungkin ini adalah novelnya yang paling filosofis jika dibandingkan 2 novel sebelumnya.

Seperti dendam, novel ini pun harus dibaca tuntas.  

1 komentar: