Rabu, 30 Desember 2015

Tentang Perempuan Di Depan Kamar

Perempuan itu pernah tinggal di sebuah kamar yang terletak persis di depan kamarku. Ia tinggal dengan seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya. Aku katakan "kemungkinan besar" karena bisa saja laki-laki itu bukan suaminya. Bisa saja laki-laki itu adalah pacarnya atau mungkin kakaknya atau jika kau pernah melihat laki-laki itu secara langsung kau akan menduga kalau laki-laki itu adalah ayahnya. Masalahnya, aku tidak tahu dan tidak mau tahu hubungan mereka yang sebenarnya. Jadi untuk lebih gampangnya aku tetap menganggap mereka adalah pasangan suami istri.

Sebelum perempuan dan laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya tinggal di sana, kamar itu sempat ditinggali oleh pasangan suami istri lain. Si suami, seorang laki-laki jangkung berkulit gelap dan berjanggut lebat yang bekerja di Kedubes Amerika Serikat. Aku memanggilnya Mas Agus. Istrinya, berkulit lebih cerah dan bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMP dan aku tidak tahu namanya. Aku kadang memanggilnya Mbak Agus. Mereka adalah pasangan suami istri yang baik. Mereka sering mengirimiku makanan dan kue-kue kering apalagi kalau mereka baru datang dari kampung halamannya.

Aku sering mengobrol dengan Mas Agus. Ia hanya lebih tua dua tahun dariku dan karena di pondok indekost itu tidak ada orang lain yang sebaya dengan Mas Agus maka aku jadi lebih dekat dengannya. Aku rasa Mas Agus juga merasakan hal yang sama denganku.

Mas Agus sering mengajakku minum kopi di warung depan sebuah SD yang tidak jauh dari tempat kami indekost. Di sana juga ada tukang nasi goreng yang rasanya nikmat dan cara masaknya luar biasa cepat. Setelah menghabiskan kopi dan obrolan, kami biasanya akan memesan nasi goreng lalu membawanya pulang.

Dari obrolan di warung kopi itu aku jadi tahu beberapa hal tentang Mas Agus. Ia sebelumnya pernah bekerja di sebuah perusahaan tambang di pedalaman hutan Kalimantan. Ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan pindah ke Jakarta ketika akan menikah. Sebelum menikah dengan perempuan yang sekarang menjadi istrinya, Mas Agus hampir saja menikah dengan perempuan lain. Mereka sudah bertunangan tapi entah karena alasan apa pihak perempuan kemudian memutuskan hubungan pertunangan itu secara sepihak. Bahkan jauh sebelum Mas Agus menikah, ia pernah jatuh cinta setengah mampus kepada salah seorang teman kuliahnya. Perempuan itu, Mas Agus memanggilnya L.J, adalah teman sekelasnya ketika mereka kuliah. Mereka saling mencintai tapi tak pernah bisa bersama. Begini, saat Mas Agus sendiri L.J sudah punya pacar, begitu juga sebaliknya, saat L.J putus dari pacarnya Mas Agus baru saja jadian. Sampai bertahun-tahun setelah Mas Agus lulus kuliah dan menikah, ia tetap tidak bisa memiliki L.J. Mungkin bukan jodoh, begitu yang Mas Agus yakini.

"Rasanya seperti lagu Tulus"

"Maksudnya apa, Mas?"

Mas Agus kemudian menyanyikan sebaris lirik dari lagu yang ia maksud,

Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu.

Suaranya sumbang. Aku tertawa terbahak-bahak sedangkan Mas Agus hanya tersenyum kecut. Mungkin kenangan itu rasanya pahit.

"Jadi menurut Mas Agus, jodoh itu orang yang kita cintai sampai mati atau orang yang kita nikahi?" tanyaku.

Mas Agus tidak langsung menjawab. Aku lihat ia malah memperhatikan kopi di gelasnya yang tinggal setengah.

"Jodoh itu adalah orang yang kita nikahi." jawabnya kemudian. Matanya masih memperhatikan sisa kopi di gelas.

"Tapi begini, kata guru ngajiku di kampung, orang yang kita cintai di dunia tapi tak bisa kita miliki akan menjadi jodoh kita di akhirat" pungkasnya. Kali ini ia menatapku dengan senyum lebar di bibirnya. Ia tampak tersenyum puas tidak sekecut senyumnya tadi.

Aku rasa Mas Agus hanya sedang menghiburnya sendiri.

Mas Agus tidak tinggal lama di tempat itu. Enam bulan kemudian setelah istrinya hamil ia memutuskan untuk pindah. Ia bilang mau mencari tempat kontrakan yang lebih luas. Sebelum pergi ia sempat menyalamiku dan berdoa untuk kesuksesanku. Aku menyalaminya balik dan berterima kasih atas kebaikannya selama ini. Mas Agus memang orang yang baik.

Kamar itu sempat kosong untuk beberapa minggu sebelum seorang perempuan dan laki-laki yang kemungkinan besar suaminya datang dan menempatinya.

Aku tidak ingat kapan pasangan itu datang ke sana. Hanya saja suatu pagi saat aku membuka pintu aku sudah melihat sebuah rak sepatu berisi bermacam-macam sepatu wanita dan beberapa kardus sudah teronggok di depan kamar itu. Seorang perempuan baru saja menempati kamar itu, pikirku saat itu. Dugaanku meleset sedikit, seorang perempuan dan laki-laki baru saja menempati kamar itu. Aku melihatnya saat hendak pergi ke warung kopi dan berpapasan dengan pasangan itu di lorong antar kamar.

Perempuan itu cantik. Aku bisa meyakinkanmu soal kecantikannya. Lima dari lima orang kawanku yang pernah main ke tempatku dan kebetulan sempat melihatnya bilang kalau perempuan itu cantik. Dan laki-laki itu, yang kemungkinan besar adalah suaminya, aku pikir ia terlalu tua dan lebih cocok menjadi ayahnya ketimbang suaminya. Aku juga bisa meyakinkanmu tentang hal ini. Lima dari lima kawanku yang pernah melihatnya juga sepakat kalau laki-laki itu terlalu tua untuk perempuan secantik itu. Aku tidak tahu pasti apakah mereka bicara jujur atau hanya sebatas karena mereka merasa iri kalau laki-laki tua itu bisa mendapatkan perempuan yang begitu cantik.

Pasangan itu selalu mengurung diri di dalam kamar. Tidak seperti Mas Agus, aku bahkan tidak pernah berbicara sama sekali dengan laki-laki yang terlihat terlalu tua itu. Aku hanya melihat pasangan itu keluar ketika mereka hendak berangkat kerja. Sekitar pukul enam lewat 30 menit. Biasanya si laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya yang akan keluar terlebih dahulu dan memanaskan mesin motornya, perempuan itu menyusul kemudian dengan sedikit tergesa. Kami biasanya hanya saling bertukar senyum tanpa bicara sama sekali. Kurang atau lebih dari jam itu kamar mereka akan selalu tertutup.

Di hari libur sekali pun kamar itu selalu tertutup. Aku bingung bagaimana mereka bisa begitu betah mendekam seharian di dalam kamar. Aku pikir mereka mungkin sedang tidur. Di dalam kitab suci ada dongeng tentang tujuh orang pemuda yang tidur selama 300 tahun di dalam gua. Mungkin pasangan itu mendapatkan inspirasi dari dongeng di kitab suci tersebut dan memutuskan untuk tidur selama seharian. Lagipula tidur seharian belum ada apa-apanya dibandingkan dengan tidur selama 300 tahun. Seharusnya aku tidak perlu merasa bingung.

Kadang aku sengaja membuka pintu kamarku dan melihat apakah mereka akan keluar dari dalam kamarnya atau tidak tapi kamar itu tetap saja tertutup. Aku tidak pernah melihat mereka keluar dari dalam kamar kecuali ketika mereka hendak berangkat kerja. Atau aku kadang berpapasan dengan mereka di jalan. Atau aku melihat mereka lewat dari warung tempatku minum kopi. Tapi sekali pun aku tidak pernah melihat mereka keluar kamar selain di pagi ketika mereka akan berangkat kerja.

Mereka juga tidak pernah menerima tamu. Tidak seperti bapak-bapak penghuni kamar pojok atau tante-tante di kamar pojok lainnya yang senang bernyanyi lagu-lagu Mariah Carey yang sering sekali kedatangan tamu. Kamar di depanku selalu sepi dari kunjungan. Saat Mas Agus masih tinggal di kamar itu ia juga beberapa kali kedatangan kunjungan dari teman-temannya. Tapi perempuan cantik dan laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya tidak pernah kedatangan tamu sama sekali.

Perempuan itu cantik dan aku senang sekali melihatnya. Ini bukan jatuh cinta, kau harus bisa membedakannya. Ini seperti saat kau melihat pemandangan indah yang membuat matamu betah berlama-lama memandangnya. Ya, semacam itu lah. 

Aku sendiri tidak pernah berbicara dengan perempuan itu. Kami hanya saling bertukar senyum jika kebetulan berpapasan dan perempuan itu sedang sendirian. Jika aku kebetulan berpapasan dengan perempuan itu ketika ia sedang bersama laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya maka aku akan tersenyum kepada laki-laki itu. Rasanya bukan pilihan bijak jika aku tetap melempar senyum ke arah perempuan itu meskipun laki-laki yang terlihat lebih tua itu bukan benar-benar suaminya.

Pasangan itu juga tidak terlalu lama tinggal di tempat itu. Aku tidak tahu apakah karena perempuan itu juga hamil kemudian mereka memutuskan untuk pindah atau karena ada alasan lain. Yang jelas, seperti saat mereka datang, mereka juga pergi begitu saja. Ketika suatu pagi aku bangun dan membuka pintu kamar, rak sepatu dan kardus-kardus yang ada di depan kamar itu sudah lenyap. Dan besoknya juga besoknya lagi aku tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Sampai hari ini.

Aku bahkan tidak pernah tahu siapa namanya. Ingatanku tentang perempuan itu hanya berkisar sebatas pada rak sepatu dan pada pukul enam lewat 30 pagi saat perempuan itu terburu-buru memakai sepatunya. Dan pada suatu malam saat aku tak sengaja berpapasan dengannya di jalan.

Malam itu aku baru saja pulang kerja. Hujan yang mengguyur dari tadi sore baru saja berhenti. Udara menjadi lebih dingin. Air menggenang di beberapa bagian jalan dan memantulkan cahaya dari lampu merkuri yang berwarna kuning. Aku berjalan agak cepat karena khawatir hujan akan kembali turun. Aku melihat perempuan itu berjalan ke arahku. Ia hanya mengenakan hotpants berwarna hitam dan jersey Arsenal dan sebuah sandal jepit berwarna merah muda. Rambutnya diikat ke belakang dan aku baru sadar kalau aku tidak pernah melihatnya menggerai rambut. Dan ia sendirian.

Tidak ada orang lain di jalanan itu selain kami. Tidak ada kendaraan lewat. Tukang nasi goreng yang rasanya nikmat dan cara memasaknya cepat sudah mangkal di depan sebuah SD. Hujan sudah berhenti tapi udara lebih dingin. Kami berpapasan di depan sebuah gereja. Ia sendirian. Aku melihat wajahnya. Aku memandang ke dalam bola matanya. Rasanya begitu lama. Mungkin waktu memang berhenti berputar saat itu.

Kami saling melemparkan senyum. Aku tidak tahu bagaimana mulanya, mungkin aku tersenyum lebih dulu kepadanya dan ia membalasnya atau ia yang tersenyum kepadaku lebih dulu dan aku membalas senyumnya. Atau kami tersenyum di saat yang bersamaan. Aku tidak ingat. Waktu berhenti berputar dan ada sesuatu yang membakar jantungku. Seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku. 

Seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku.

Saat waktu kembali berputar ia sudah berjalan melewatiku dan aku sudah berjalan melewatinya. Aku ingin sekali berhenti dan menoleh balik ke arahnya. Tapi tidak aku lakukan. Aku terus berjalan dan berjalan. Dan ada sesuatu yang membakar jantungku. Dan seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku saat itu.

Seharusnya ada lagu yang berputar di dalam kepalaku saat itu.


Tambun Selatan, 30 Desember 2015

Jumat, 04 Desember 2015

Tahukah Kamu Kenapa Tuhan Menciptakan Radio?

"Tahukah kamu kenapa Tuhan menciptakan radio?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Asroji 35 menit setelah kereta yang ditumpanginya melaju meninggalkan stasiun. Sebenarnya ia hanya bergumam tapi gumaman itu terdengar begitu jelas. Sebelas detik kemudian ia merasa menjadi manusia paling tolol di dunia karena telah melemparkan pertanyaan semacam itu. Pertanyaan itu membuat perempuan yang duduk di sampingnya hanya mengangkat alis dan memacak senyum canggung seolah ingin berkata pertanyaan-bodoh-macam-apa-itu.

Asroji bisa saja memilih pertanyaan lain yang lebih normal jika saja fungsi otaknya tidak terganggu. Sayangnya, saat itu kinerja otaknya memang sedang tidak bisa diharapkan. Asroji bahkan lupa berapa jumlah jari-jari tangannya sendiri. Ia sedang gugup.

30 menit sebelumnya otak Asroji masih berfungsi dengan baik. Ia masih bisa memesan segelas Nutrisari dingin rasa jeruk dan menikmati beberapa batang kretek di warung depan stasiun. Di tengah kebosanannya menunggu jam keberangkatan kereta, Asroji pun masih bisa mendengarkan lagu-lagu The Beach Boys dari ponselnya, memperhatikan orang-orang berlalu lalang di stasiun - melihat seorang tukang becak berteduh di bawah bayangan sebuah baliho dengan raut muka kelelahan, bapak-bapak yang tampaknya sedang menunggu seseorang, dan dua orang perempuan yang berbincang dan tertawa di kedai teh.

Ia bahkan masih sempat mengutuk nasibnya sendiri. 

Tahun ini usianya memasuki angka 32. Ia sudah mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji lumayan, sebuah rumah minimalis di daerah Parung Panjang, dan koleksi batu akik yang bisa membikin orang-orang iri. Sayangnya sampai saat ini ia belum mempunyai seorang istri. Jangankan istri, pacar pun ia tidak punya. Hal itu yang membikin orang tua dan keluarga besarnya uring-uringan. Mereka sangat khawatir di usianya yang sudah kepala tiga Asroji masih belum menikah sementara keponakannya sendiri yang masih bocah SMA sudah menikah tiga minggu yang lalu meskipun secara terpaksa karena ia membuntingi anak perawan tetangga. Mereka takut jika Asroji adalah seorang penyuka sesama jenis atau burungnya tidak bisa ngaceng karena diguna-guna oleh seorang perempuan yang sakit hati padanya atau alasan lain yang membikin Asroji belum mempunyai pendamping hidup sampai saat ini. Kepada mereka yang selalu menaruh perhatian lebih terhadap nasib asmaranya, Asroji hanya berkilah kalau dirinya terlalu sibuk bekerja sehingga tidak mempunyai waktu berlebih untuk hal-hal semacam itu. Tentu itu semua bohong belaka.

Alasan sebenarnya : hatinya masih belum bisa lepas dari sosok Siti Rohimah.

Jika saja Asroji boleh menyesali satu hal dalam hidupnya maka hal itu adalah keputusannya untuk meninggalkan Siti Rohimah. Sesungguhnya ia adalah seorang gadis baik dan penyayang meskipun gaya bercintanya sungguh payah dan sangat membosankan. 

Mereka bertemu di sebuah tukang nasi goreng di depan rumah sakit. Asroji sedang menemani ibunya yang sakit saat itu. Merasa perutnya lapar ia memutuskan untuk membeli nasi goreng. Ia memesan satu porsi nasi goreng pedas. Siti Rohimah datang tidak lama setelah Asroji memesan. Ia juga memesan nasi goreng. Nasi goreng keduanya jadi bersamaan. Tapi kemudian Siti Rohimah protes karena nasi gorengnya sangat pedas sementara Asroji merasa kalau nasi goreng yang ia makan tidak pedas sama sekali. Rupanya nasi goreng mereka tertukar. Mereka berkenalan setelahnya lalu saling jatuh hati.

Tiga bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu mereka bercinta untuk pertama kalinya di kamar kost yang disewa oleh Asroji. Bukan percintaan yang luar biasa - Asroji tidak kuat menahan birahi yang sudah berada di ubun-ubun kepalanya sehingga ia hanya mampu bertahan satu menit empat puluh sembilan detik di atas ranjang dan Siti Rohimah merasa  cemas sepanjang percintaan karena takut kegiatan mesum mereka digrebek oleh warga sekitar.

Lima bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu mereka masih bercinta dengan gaya yang sama.

Enam bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu mereka tetap bercinta dengan gaya yang itu-itu juga.

Tujuh bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji mulai protes karena gaya bercinta mereka yang itu-itu saja.

"Bagaimana kalau kamu di atas?" pinta Asroji.

Siti Rohimah menggeleng dan Asroji terpaksa tetap bercinta dengan posisi yang itu-itu lagi.

Sembilan bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji kembali protes karena gaya bercinta mereka sangat membosankan.

"Bagaimana kalau kita mencoba doggy style?"

"Kamu pikir aku anjing?" jawab Siti Rohimah sengit.

Dan Asroji harus pasrah kembali bercinta dengan gaya yang sama. Kali ini ia hanya bisa cemberut sepanjang percintaan.

Sebelas bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji mulai mengajukan permintaan yang macam-macam kepada Siti Rohimah. Ia pernah meminta burungnya dijepit di antara payudara Siti Rohimah seperti yang pernah ia lihat di film bokep Jepang, dan ditolak. Ia juga pernah meminta mereka mempraktekan posisi 69 dan beberapa eksperimen lain yang semuanya ditolak mentah-mentah oleh Siti Rohimah.

Tepat setahun setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Asroji mulai bosan dengan Siti Rohimah. Ia kesal karena ternyata hubungannya di atas ranjang tidak seenak yang ia lihat di film-film bokep.

Di tengah kebosanannya Asroji kemudian bertemu dengan seorang perempuan gemuk yang gemar menggambar alisnya sendiri. Ia rupanya mempunyai keterampilan yang sungguh aduhai untuk menggambar alisnya menjadi tebal seperti alis Sinchan. Sayangnya perempuan itu tidak bisa menggambar bulu dada, padahal Asroji sudah berniat meminta dadanya digambar bulu-bulu tebal agar terlihat gagah seperti Rhoma Irama di film Perjuangan Dan Doa.

Selain kemampuan menggambar alisnya yang sungguh aduhai, perempuan gemuk itu pun mempunyai gaya bercinta yang luar biasa panas dan liar di atas ranjang. Dan hal ini membikin Asroji senang betul kepadanya. Akhirnya Asroji bisa juga mempraktekkan 65 dari 99 adegan bercinta yang pernah ia lihat di film bokep. Beberapa adegan memang tidak bisa ia praktekan, seperti misalnya bercinta sambil menggendong pasangannya (perempuan gemuk itu masya alloh berat sekali).

Lima belas bulan setelah peristiwa nasi goreng yang tertukar itu Siti Rohimah memergoki Asroji sedang bercinta dengan seorang perempuan gemuk di kamar sewaannya sendiri. Asroji lupa mengunci kamarnya. Ia memang sering mendadak menjadi pelupa setiap kali birahinya sudah naik ke ubun-ubun. Siti Rohimah masuk tepat saat Asroji sedang asik menggoyang-goyangkan pantatnya yang hitam dan penuh bercak bekas cacar air di atas tubuh perempuan gemuk itu. Hubungan mereka kandas saat itu juga.

Awalnya Asroji tidak begitu peduli dengan kandasnya hubungan mereka. Toh ia sendiri sedang asik-asiknya dengan perempuan gemuk yang jago menggambar alis dan bercinta itu. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Asroji mulai bosan dan sebal dengan perempuan gemuk itu, apalagi ia baru tahu kalau si perempuan gemuk mempunyai kebiasaan mendengkur saat tidur dan suka menempelkan upilnya secara sembarangan. Ia masih bisa mentolerir suara dengkurannya yang keras minta ampun, hanya saja ia tidak bisa membiarkan perempuan gemuk itu menempelkan upilnya secara sembarangan, apalagi di meja makan saat ia hendak menyantap makanan. Mereka berpisah tidak lama setelah pertengkaran hebat di atas ranjang dan sejak saat itu Asroji tidak pernah mempunyai pacar lagi. Ia yakin dirinya dikutuk oleh Siti Rohimah.

Di tahun-tahun penuh kesepian itu Asroji sering kali merindukan Siti Rohimah. Ia gadis baik dan penyayang dan Asroji selalu suka caranya mengikat rambut, terlepas dari gaya bercintanya yang payah dan membosankan. Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini? Pepatah itu sudah sering ia dengar tetapi baru belakangan ini ia memahami maknanya.

Bertahun-tahun ia tidak pernah bertemu lagi dengan Siti Rohimah. Ia lenyap begitu saja dari hidup Asroji. Kadang Siti Rohimah datang di mimpinya. Mengajaknya makan nasi goreng dan mendengarkan lagu-lagu favoritnya. Ia suka Bruno Mars dan Sandy Sandoro. Ia juga pasti akan menyukai Tulus atau Silampukau atau The Beach Boys. Ya, ia pasti akan menyukai The Beach Boys. Jika ia bertemu lagi dengan Siti Rohimah, Asroji ingin sekali memperdengarkan The Beach Boys kepadanya. Dalam doanya sebelum tidur Asroji selalu berharap ia akan dipertemukan kembali dengan Siti Rohimah meski hanya sekedar untuk bertanya kabar atau meminta maaf atau sebatas mengajaknya mendengarkan lagu-lagu milik The Beach Boys.

Tuhan mungkin mendengar doa-doa yang dipanjatkan oleh Asroji setiap malam atau -kalau pun tidak- Dia pasti mempunyai selera humor yang aduhai betul ketika mempertemukan kembali Asroji dengan Siti Rohimah di kereta yang sama, gerbong yang sama, dan bangku yang sama. 

Asroji tidak pernah menduga kalau orang yang akan duduk di bangku kereta yang sama dengannya adalah Siti Rohimah. Padahal satu jam sebelumnya Asroji masih sempat mengutuk nasibnya sendiri. Kini perempuan itu duduk tepat di sampingnya dan otaknya seketika membeku sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah mematung seperti orang tolol.

Ia tahu mungkin itu satu-satunya kesempatan yang ia punya untuk memperbaiki hubungannya dengan Siti Rohimah. Setidaknya ia bisa meminta maaf dan mereka masih bisa tetap berteman baik meskipun tidak sampai kembali berbuat mesum seperti dulu. Tapi otaknya beku dan keberaniannya kabur entah ke mana. Kursi yang didudukinya terasa begitu panas sementara waktu dirasakannya berjalan begitu lambat. Lima belas menit setelah kereta melaju ia hanya bisa diam dan memasang tampang seperti ikan mujair.

Untuk meredam rasa gugupnya Asroji memutuskan untuk mendengarkan musik. Mungkin dengan itu rasa gugupnya akan berkurang atau ia akan jatuh tertidur sehingga ia tidak perlu merasa tersiksa dengan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Ia memasang headphone dan mengalunlah lagu-lagu milik The Beach Boys melalui lubang telinganya.

Asroji mulai merasa tenang. Nafasnya mulai teratur. Perlahan-lahan rasa gugupnya lenyap dan keberaniannya mulai berkumpul. Tapi tiap kali ia memejamkan mata dan berusaha untuk tidur kenangannya dengan Siti Rohimah silih berganti menghampirinya. Ia teringat Siti Rohimah yang sering membuatkannya sarapan pagi. Ia teringat pertemuan pertama mereka di tukang nasi goreng. Ia ingat hujan itu, tawa itu, malam itu, hidung itu, buah dada itu, kamar itu dan semuanya.

Ia mendadak ingat semuanya dan tanpa sadar mulutnya bergumam,

"Tahukah kamu kenapa Tuhan menciptakan radio?"

Siti Rohimah yang sedari tadi sedang asik bermain-main dengan ponselnya mendadak berhenti. Ia menoleh ke arah Asroji, memasang senyum canggung dan memastikan kalau pertanyaan barusan itu memang ditujukan kepadanya. Tapi yang ia lihat hanyalah muka tolol seorang laki-laki.

Dan Asroji mendadak ingin berubah menjadi sebatang lumut saja atau semut atau kabut atau apa pun itu yang tidak bisa dilihat oleh Siti Rohimah. Tapi tidak bisa. Ia tetap tidak bisa berubah menjadi lumut atau semut atau kabut atau apa pun itu. 

Dan ia tidak bisa menghentikan lagu The Beach Boys yang terus-menerus mengalun di telinganya.

I'll give you shelter from the storm
And a house to keep you warm
I'll give you shelter through the night
And a chance to make this right
Do you ever still think of me
And the way that we used to be
When the world was just you and me
Hanging out in our shelter
Do you think that you'd ever stay
Take a page out of yesterday
If we could only find a way
Hanging out in our shelter

Tambun Selatan, 04 Desember 2015





Minggu, 22 November 2015

Si Pembual

Tentang kegemaranku membual -kau juga bisa menyebutnya bakat- aku yakin mendapatkannya dari ayahku. Ia seorang pembual tulen. Ia pernah bilang kalau hanya ada dua pekerjaan yang cocok untuk para pembual, menjadi pemuka agama atau penulis. Ayahku memilih yang kedua. Dan sepertinya ia salah pilih. Seharusnya ia menjadi pemuka agama saja, menjual ayat-ayat suci, berbual tentang surga dan neraka dan tanda-tanda kiamat nyatanya lebih menguntungkan daripada menjual sebuah tulisan dan dengan begitu mungkin saja saat ini aku tidak akan berada di sini ; duduk menjaga warung sambil menonton gosip tentang selebriti yang rasanya baru sebulan lalu menikah dan kini sedang dalam proses perceraian.

Ibuku yang memutuskan untuk membuka warung kecil ini setelah ia mendapatkan warisan dari orang tuanya. Ia mungkin sadar tidak bisa berharap banyak dari karir kepenulisan ayahku. Dan ia benar, setelah ayahku wafat saat aku masih berusia delapan tahun warung inilah yang menjadi penopang hidup kami sampai bisa membuatku lulus SMA. Aku tidak melanjutkan kuliah dan memutuskan untuk membantu ibuku menjaga warung ini.

Ayahku penulis cerita-cerita anak meskipun kata ibu ia juga pernah menulis novel dan kumpulan cerpen yang sama-sama tidak pernah laku. Salah satu novelnya yang pernah kubaca berjudul Pulanglah, Kau Mabuk. Bercerita tentang seorang lelaki yang kerjanya hanya mengeluh dan mengeluh dan mengeluh setiap saat tentang hidupnya, pekerjaannya, kisah asmaranya, dan semuanya. Setiap halaman novel hanya berisi keluhannya saja. Di akhir novel lelaki itu bertemu seorang penjual sapu keliling dan ia tetap saja mengeluh kepadanya. Setelah mendengar rentetan keluhannya, si penjual sapu itu hanya berkata singkat, "pulanglah, kau mabuk". Dan novel itu selesai.

Novel itu tidak terlalu tebal tapi aku membacanya sampai berminggu-minggu dan hampir mati bosan karenanya.

Pantas saja novel itu tidak pernah laku.

Belakangan aku juga baru tahu kalau ayahku sempat menulis cerita stensilan. Aku menemukan sebuah manuskripnya tentang petualangan seorang polisi mesum saat ibuku membongkar gudang dan berniat menjual semua tumpukan kertas kepada pedagang loak yang kebetulan lewat - ia tampaknya tidak begitu suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan menulis ayah. Aku ingat beberapa bagian dari manuskrip itu. Salah satunya seperti ini,

"Mas Bram, rudalmu terlalu besar. Aku takut"

"Jangan takut, Mira. Hanya sakit sebentar, kok"

"Ouuuhhh, Mas Bram"

"Ouh, Mira"

Dan sisanya hanya diisi dengan kalimat uhh ahh uhh ohh uhh ahh uhhh ooohh sampai selesai.

Memang benar, seharusnya ia jadi seorang pemuka agama saja.

Aku tidak pernah membenci ayahku sekalipun ia adalah seorang penulis yang payah dan tukang membual. Aku bahkan senang dengan bualannya karena ia bisa mendongengiku bermacam-macam cerita. Ia pernah bercerita bahwa Jenderal Sudirman sebenarnya sedang terkena mencret dan harus ditandu ketika bergerilya semasa agresi militer Belanda. Meskipun harus ditandu dan sering berhenti karena perutnya mulas dan harus berak dalam keadaan waswas takut diberondong tembakan beliau tetap berjuang. Semangat juangnya memang luar biasa sekali. Mungkin kekeras kepalaan ayahku yang tetap ngotot menjadi seorang penulis terinspirasi dari kisah Jenderal Sudirman yang ia ceritakan padaku.

Ayahku juga sering mengajakku jalan-jalan dengan sepeda motor bebek tuanya yang tidak pernah mau ia jual meskipun sering keluar masuk bengkel. Ia sangat menyayangi sepeda motornya itu. Ia mengaku membeli sepeda motor itu dari hadiah sayembara menulis novel yang dijuarainya. Tentang hal itu aku agak ragu juga. Aku menduga itu hanya bentuk bualannya yang lain, tapi waktu itu aku masih kecil sehingga tidak pernah bertanya lebih jauh tentang sayembara menulis novel yang dijuarainya itu.

Lalu ayahku meninggal dan aku mulai senang membual.

Aku tidak menjadi seorang pemuka agama ataupun penulis tapi aku senang membual. Rasanya ada kesenangan tersendiri saat kau berbual-bual kepada orang lain. Mereka mungkin tidak akan percaya dengan bualanmu tapi itu bukan masalah. Membual bukanlah perkara memaksa orang lain agar percaya dengan bualanmu. Itu yang harus kau pahami.

"Om, rokok dong?" Tiba-tiba suara seorang bocah menghampiri telingaku. Aku melongok ke luar dan kulihat seorang bocah kurus berkaus Green Day sedang berdiri sambil bersiul-siul.

Namanya Ilung. Ia sepupuku. Baru kelas dua SMP dan sudah menggemari Green Day. Lagaknya memang rada tengil.

"Masih bocah udah ngerokok. Gue bilangin emak lu"

"Elaaah, Om. Sebatang doang"

"Eh, lu bolos ya? Jam segini masih di sini?"

"Libur, Om. Guru-gurunya ada rapat apa gitu jadi muridnya diliburin"

"Beraaaak. Bohong lu"

Aku memberinya sebatang Sampoerna Mild. Ia langsung membakarnya dan duduk di bangku kayu di depan warung.  

"Eh lu baru keliatan, Om. Ke mana aja?" Ia bertanya dengan sedikit berteriak karena aku ada di dalam warung. Aku mengambil sebatang rokok dan keluar dari dalam warung lalu duduk menemaninya.

"Gue baru pulang dari Tibet"

"Hah, serius lu Om?"

Aku mengangguk pasti. Ia terlihat tidak percaya.

"Ngapain lu ke Tibet?"

"Ada semacam ritual gitu, biar enteng jodoh dan rejeki lancar"

"Ah berak, lu pasti bohong"

"Nggak percaya lu? Nih lihat kepala gue botak" kataku sambil memperlihatkan kepalaku yang botak. Tiga hari yang lalu aku memang sengaja menggundulinya. Rambutku memang tidak bisa diharapkan. Dibiarkan pendek menjadi seperti duri landak, dibiarkan panjang malah dikira banci.

"Ah nggak percaya"

"Terserah lu"

Seminggu yang lalu aku memang tidak berada di rumah. Tapi aku tidak pergi ke  Tibet, aku hanya menginap di rumah seorang temanku. Kedua orangtuanya sedang menunaikan ibadah haji sehingga rumahnya kosong dan ia begitu penakutnya sampai memintaku untuk menemaninya. Aku hanya menemaninya selama satu minggu karena ibuku mulai ngoceh-ngoceh tentang warung yang tidak ada penjaganya. Aku memutuskan untuk pulang dan kepada setiap orang yang menanyainkeberadaanku selama seminggu itu aku selalu bilang kalau aku baru saja pulang dari Tibet.

Begitulah aku biasa membual.

Ilung pergi setelah rokoknya habis. Aku yakin ia memang bolos sekolah dan membual kepada orang tuanya kalau sekolah diliburkan. Tapi, ah, apa peduliku. Biarkan sajalah.

Aku matikan bara rokokku pada bangku yang aku duduki. Tidak ada orang dan aku mulai bosan. 

Dari jarak 25 meter aku melihat sesosok tubuh gemuk berjalan. Ia pasti menuju ke sini.

"Roi, Garpit sebungkus dong" 

Benar saja, ia ke sini. Itu Bang Eddie. Ia punya panggilan khusus untukku. Namaku Roy tapi Bang Eddie selalu memanggilku Roi. Saat aku tanya kenapa ia memanggilku seperti itu ia hanya tertawa. Tidak ada alasan khusus, lebih enak begitu, katanya.

Ia berjalan dengan langkah-langkah pendek membawa tubuh gemuknya lalu duduk di bangku yang tadi ditempati Ilung, menyandarkan tubuhnya yang tampak kelelahan. Terdengar bunyi berderak dari bangku kayu yang didudukinya.

Aku masuk kembali ke dalam warung mengambil sebungkus Gudang Garam Filter -yang dalam istilah Bang Eddie disebut Garpit.

"Utang lagi ya? Lu catet aja, Roi" katanya setelah menerima sebungkus Gudang Garam Filter dariku. Aku mengangguk lalu masuk lagi ke dalam warung, mengambil sebuah buku catatan yang sudah mulai buluk.

Eddie. Aku menemukan nama itu. Hutangnya lumayan banyak juga. Pantas ibuku tidak suka jika ia datang ke warung. Untung saja saat ini ibu sedang tidak menjaga warung, ia sedang sakit dan sejak semalam hanya berdiam diri di dalam rumah.

Aku sendiri biasa saja. Menurutku Bang Eddie orang yang baik, aku pernah ditraktirnya bir ketika musim pemilu tahun lalu.

Nama aslinya Edi tapi ia lebih suka menulisnya Eddie dengan huruf D ganda dan ditambahkan E di ujungnya. 

"Biar seperti Eddie Vedder" katanya bangga.

Pekerjaannya cukup unik. Ia mengumpulkan massa untuk berdemo. Maksudnya jika kau butuh massa untuk berdemo atau untuk menghadiri kampanye partaimu atau apa saja yang memerlukan kehadiran banyak orang kau bisa menghubunginya. Ia bisa mengumpulkan 50 sampai 100 orang, bahkan jika bayarannya lebih banyak lagi ia mampu mengumpulkan sampai 500 orang. Itu yang ia katakan padaku. Makanya saat musim pemilu kemarin ia kebanjiran rejeki sampai bisa mentraktirku minum bir.

Setelah musim pemilu berakhir rejekinya mulai tersendat. Belakangan ini malah ia belum dapat orderan sama sekali. Pantas aku lihat tubuhnya seperti kelelahan dan batok kepalanya semakin licin. Jika sudah begitu biasanya ia berhutang di warungku.

Aku menemaninya merokok. Biasanya ia punya banyak cerita menarik. Tapi rasanya kali ini ia sedang tidak kepingin bercerita. Mungkin sedang punya banyak masalah. Aku jadi segan membual padanya. Jadi aku putuskan untuk diam saja. 

Bang Eddie tidak lama berada di warung. Belum juga habis rokoknya ia sudah pamit pergi. Katanya ada urusan penting. Ia juga berjanji akan segera membayar hutangnya.

"Santai sajalah Bang. Kayak tai ngambang" jawabku. Ia tertawa, sebentar, lalu pergi.

Tinggal aku sendirian. Hari sudah mulai siang dan aku semakin bosan.

Inilah tidak enaknya menjaga warung siang-siang. Jarang ada pembeli. Sekali pun ada biasanya ibu-ibu dan aku kurang suka membual kepada ibu-ibu. Mereka lebih lihai berbicara dibandingkan denganku. Dan mereka tidak suka mendengarkan. Mereka lebih senang berbicara.

Sebenarnya jaga warung di pagi dan siang adalah tugas ibuku. Tapi karena ia sedang sakit maka seharian penuh aku yang ditugasi menjaga warung. Mungkin ia juga sengaja menghukumku yang selama seminggu mangkir dari tugas karena harus menemani temanku yang penakut.

Aku masuk kembali ke dalam warung. Menonton acara tv yang lagi-lagi sedang menayangkan gosip selebriti. Kupikir luar biasa sekali acara gosip selebriti ini. Jam tayangnya sudah seperti minum obat, tiga kali sehari ; pagi, siang, dan sore. Atau mungkin itu memang betul-betul sebuah obat yang bikin orang Indonesia lupa dengan segala tetek-bengek masalah hidupnya. Waah ide yang sangat brilian. Cocok untuk sebuah kisah fiksi. Jika ayahku masih hidup aku pasti menyuruh ia untuk menuliskannya.

Aku jadi benar-benar bosan. Tidak ada yang benar-benar bisa aku kerjakan. Warung sepi, acara tv tidak ada yang menarik, mau masturbasi sedang tidak kepingin. Hah!

Aku mengambil buku catatan hutang yang tergeletak tidak jauh dari jangkauan tanganku. Tiba-tiba saja aku jadi kepingin menulis. Sebelumnya aku tidak pernah menulis sama sekali. Maksudku, kegiatan menulis seperti ayah. Kupikir tidak ada salahnya juga menuangkan bualanku ke dalam tulisan. Rasanya lumayan untuk mengurangi rasa bosanku.

Aku mulai memikirkan beberapa kalimat pembuka. Ada beberapa kalimat yang melintas di otakku. Aku dapat satu. Sepertinya kalimat ini yang paling pas. Aku mulai menuliskannya di kertas.

Tentang kegemaranku membual -kau juga bisa menyebutnya bakat- aku yakin mendapatkannya dari ayahku...

Cirebon, 21 November 2015


Jumat, 13 November 2015

Bertemu Izrail

Aku kira ia mempunyai tampang yang menyeramkan. Dengan predikatnya sebagai malaikat pencabut nyawa wajar saja bila aku mempunyai pikiran seperti itu. Aku pernah membayangkannya sebagai sosok raksasa dengan 600 pasang sayap api dan mata yang menyala-nyala, atau seperti sosok Dementor dalam film Harry Potter yang pernah aku tonton tayangan ulangnya di RCTI. Ternyata ia biasa saja. Benar-benar seperti manusia pada umumnya. Seorang kakek-kakek gemuk dengan rambut kaku seperti sikat WC dan mulai beruban. Ia menutupinya dengan topi yang sering dipakai orang memancing. Janggutnya tumbuh lebat menutupi seluruh dagu, juga sudah beruban sebagian. Rupanya ia juga senang menghisap kretek.

Aku bertemu dengannya beberapa menit yang lalu ketika aku siuman dari pingsan. Ia sudah duduk di sampingku yang saat itu berbaring di pinggir trotoar jalan. Kepalaku agak berat. Aku sendiri tidak tahu apakah aku memang betulan pingsan atau tidak. Yang terakhir aku ingat adalah motor yang dikemudikan temanku menghantam trotoar dan kami terpelanting hingga beberapa meter. Setelah itu aku lupa. Semuanya gelap. Ketika aku sadar ia sudah duduk di sampingku dan sedang menghisap kreteknya.

Aku beranjak duduk dan mengusap bagian belakang kepalaku yang terasa berat. Ia menoleh ke arahku, tersenyum dan menawariku kretek. Aku menerimanya begitu saja. Semacam gerak refleks.

Aku memijit-mijit kretek pemberiannya sambil berusaha mengingat kejadian yang baru saja menimpaku.

Sore tadi, Anton temanku, mengajak membeli sebuah hadiah untuk temannya yang akan menikah. Ia ingin memberinya sebuah buku dan peralatan memasak. Aku dimintanya mengantar ke toko buku. Sebetulnya Anton sudah berencana untuk membelikannya sebuah novel dari seorang penulis yang saking produktifnya sampai-sampai novelnya bisa mengisi satu rak buku penuh. Tapi ia berpikir barangkali aku punya pilihan lain maka ia mengajakku pergi bersamanya. Tidak ada ide lain di kepalaku. Aku malah teringat sebuah film bokep yang berisi 99 adegan bercinta yang pernah aku tonton secara sembunyi-sembunyi di rumah.
Untuk orang yang sebentar lagi menikah, aku pikir itu adalah hadiah yang bagus. Tapi tidak aku utarakan ide menghadiahkan film bokep itu.

Anton menjemputku di rumah ketika awan mendung sudah menggantung di langit kota. Beberapa menit lagi mungkin hujan akan turun. Ia bertanya apakah aku mempunyai jas hujan. Aku bilang hanya punya satu. Ia berkata, "Ya gampang lah, nanti beli di pinggir jalan".

Di seorang penjual di pinggir jalan yang pertama kali kami temui, Anton membeli sebuah jas hujan berwarna merah. Penjual itu mematok harga 80 ribu rupiah. 

"50 ribu saja, Mang?" Anton menawar. Penjual itu, seorang bapak-bapak dengan bekas luka di pipi kanannya yang berbentuk tanda silang yang mengingatkanku kepada Battosai Si Pembantai, menggeleng tegas. Aku pun jika menjadi si bapak-bapak bercodet akan menolak tawaran harga yang keterlaluan itu.

Kami mentok di harga 75 ribu dan transaksi itu langsung beres. Awalnya Anton ngotot di angka 70 dan si bapak bercodet masih keras kepala menolaknya. Untung Anton mengalah, aku khawatir bapak bercodet itu benar-benar Battosai si Pembantai dan ia akan menebas kepala kami. Anton yang mungkin lebih dulu akan dipenggal karena ia yang paling ngotot.

Benar saja, tiga menit setelah Anton membayar untuk jas hujan merahnya, hujan turun dengan deras. Kami tetap melanjutkan perjalanan, khawatir jika menunggu reda hari akan keburu malam dan toko buku yang akan kami datangi sudah tutup.

Anton mengantongi dua buah buku sekeluarnya ia dari toko buku yang kami datangi. Satu buku untuk hadiah pernikahan temannya, satu buku lagi untuk ia baca sendiri, sebuah karya Richard Dawkins yang berjudul The God Delusions. Ia tertarik membelinya setelah penjaga toko buku itu mengatakan kalau buku tersebut akan menambah kadar keimanannya kepada Tuhan. Aku sendiri tidak membeli apa-apa. Pikiranku saat itu malah sedang mengingat-ingat di mana keping VCD film bokep yang berisi 99 adegan bercinta itu aku simpan. Apakah masih ada di rumah atau sudah ketahuan ibuku lalu ia membakarnya. Seingatku VCD bokep itu dulu aku simpan di laci ranjang yang kuncinya selalu aku pegang. Tapi suatu hari ranjang itu diganti dan waktu itu aku sudah jarang tinggal di rumah karena harus indekost di luar kota. Saat aku pulang di liburan kuliah, ranjang di kamarku sudah berganti dan nasib koleksi VCD bokepku entah bagaimana. Aku tidak berani bertanya kepada ibuku dan ibuku juga tidak pernah bilang apa-apa tentang VCD bokep itu. Aku yakin ia pasti menemukannya lalu membakarnya.

Sesuai rencana, setelah keluar dari toko buku kami mampir di sebuah supermarket untuk membeli peralatan memasak.

"Apakah temanmu itu senang memasak?" 

"Seharusnya sih begitu. Aku pikir setiap perempuan senang memasak"

"Ya biasanya mereka senang memasak"

Aku baru tahu kalau teman Anton yang akan menikah adalah seorang perempuan. Untung saja aku tidak memaksanya untuk menghadiahkan film bokep.

Tempat parkir motor di supermarket itu berada di lantai empat, sedangkan tempat perlengkapan memasak berada di lantai satu. Kami harus naik terlebih dahulu untuk kemudian turun lagi. Agak merepotkan juga sebenarnya. Di lantai dua Anton mengeluh perutnya mulas.

"Perutku mulas. Sepertinya aku pengin berak"

"Maka beraklah" jawabku bijak.

Anton diam sejenak. Sepertinya ia sedang menimang-nimang apakah ia harus berak atau tidak. 

"Aku tidak jadi berak. Sepertinya rasa mulas di perutku sudah hilang"

"Mungkin sebaiknya kamu mengantongi sebuah batu. Di kampungku, jika perutmu mulas dan kamu kebelet berak kamu harus mengantongi batu agar rasa mulasmu hilang"

"Tidak ada batu di sini"

"Kamu mungkin bisa mengantongi benda lain selain batu"

"Tenang saja. Dari tadi aku mengantongi dompet"

Anton memilih beberapa wajan. Ia mengangkat sebuah wajan dengan gagang berwarna merah. Menelitinya dari ujung ke ujung. Memperagakan adegan menggoreng seperti yang biasa ia lihat di tukang nasi goreng. Sepertinya wajan ini cocok, tidak terlalu berat, katanya kemudian. Aku memberinya sebuah spatula.

"Biar seperti Spongebob" kataku.

"Dari mana kamu tahu kalau temanku suka Spongebob?"

Aku mengangkat bahu. Sebetulnya aku tidak tahu kalau teman Anton suka Spongebob. Spatula itu sendiri yang mengingatkanku pada Spongebob saat pikiranku masih berusaha mengingat-ingat nasib koleksi VCD bokep yang aku simpan di laci kamar.

Rasanya sayang juga koleksi VCD bokepku hilang begitu saja. Ada puluhan judul bokep lintas genre yang aku simpan di laci itu. Semuanya merupakan warisan dari Mang Dodo, seorang paman mesum yang tinggal tiga blok dari rumahku. Dulu di depan rumahnya ada sebuah pos ronda yang sering dipakai nongkrong oleh bapak-bapak paruh baya dengan lingkar perut mengkhawatirkan. Mang Dodo ada di salah seorang bapak-bapak berlingkar perut mengkhawatirkan tersebut. Aku kadang suka ikut nongkrong di sana, sekadar menonton mereka bermain gaple atau karambol.

Sekali waktu Mang Dodo datang ke pos ronda itu saat aku sedang sendirian bermain karambol. Aku lihat ia menenteng sebuah kantong kresek hitam yang aku tahu kemudian tenyata berisi puluhan keping VCD bokep.

"Pernah dengar pepatah tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?" tanyanya kepadaku yang saat itu sedang membidik mata karambol merah nomor sembilan. Aku urung menembak. Pepatah itu rasanya pernah aku dengar dari seorang ustad di tempatku mengaji.

"Itu artinya memberi lebih baik dari pada meminta-minta, Mang"

"Kalau begitu ini buatmu" katanya seraya menyorongkan kantong kresek hitam itu kepadaku. Aku berhenti bermain karambol. Penasaran dengan kantong kresek hitam di depanku.

"Apa itu?"

"Buka saja sendiri" kata Mang Dodo sembari melolos sebatang kretek dari bungkusnya. Ia merokok sambil mengguntingi kuku kakinya. Entah sejak kapan ia membawa gunting kuku itu.

Aku membuka kantong kresek itu perlahan. Sedetik kemudian aku langsung terhenyak dengan isinya. Puluhan keping VCD. Beberapa memang tidak bersampul apa-apa. Beberapa lainnya bersampul gambar yang saat itu bisa membikin penisku tegang.

"Benar buat saya, Mang?"

"Iya, buatmu"

Mataku langsung berkaca-kaca. Aku seperti baru mendapat sebuah harta karun. Aku melirik Mang Dodo yang masih mengguntingi kuku-kukunya, bertanya-tanya dalam hatiku sendiri apakah ia benar-benar Mang Dodo ataukah seorang jelmaan malaikat?

"Kamu beneran Mang Dodo, kan? Bukan malaikat?" tanyaku kemudian dengan sedikit ragu.

Mang Dodo berhenti menggunting kuku. Kreteknya yang sudah habis setengah menggantung di bibirnya.

"Anak bodoh. Mana ada malaikat yang memberimu film be'ep?!"

Lalu aku melihat spatula menggantung di jejeran wajan dan panci dan pikiranku teralihkan dari Mang Dodo ke Spongebob Squarepants. Aku mengambilnya satu dan memberikannya kepada Anton.

"Biar seperti Spongebob" kataku.

"Dari mana kamu tahu kalau temanku suka Spongebob?"

Aku mengangkat bahu.

Aku masih ingat dengan jelas kejadian-kejadian setelahnya. Kami membayar wajan dan spatula di kasir, lalu berjalan kembali ke lantai empat untuk mengambil motor. Di luar hujan sudah berhenti dan jalanan basah. Anton masih memakai jas hujan barunya, ia bilang malas melepasnya, takut-takut hujan akan turun lagi. Di perjalanan menuju rumahku Anton baru sadar kalau belanjaan yang ia beli tertinggal di tempat parkir. Kami memutar arah kembali ke supermarket tadi. Anton menambah kecepatan motornya karena hari sudah malam. Aku sedang bermain Candy Crush di ponsel saat sepeda motor oleng dan menabrak trotoar jalan. Kami terpelanting dan ingatanku berhenti sampai di situ. Saat aku bangun seorang kakek-kakek gemuk sudah duduk di sampingku, memberiku kretek, dan Anton tidak ada di sana.

Aku berhenti memijit-mijit kretek pemberian si kakek gemuk dan celingukan mencari-cari Anton. Di mana bocah itu?

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, si kakek gemuk kemudian mengarahkan telunjuknya ke arah kerumunan orang di seberang jalan. Orang yang kamu cari ada di sana, katanya. Aku langsung berdiri dan pamit kepadanya.

"Tapi sebaiknya kamu jangan ke sana"

"Kenapa?" tanyaku heran. Ia diam saja. Aku menyelipkan kretek pemberiannya di telinga kanan dan langsung meninggalkannya.

Aku berjalan melintasi sebuah jembatan penyeberangan. Kerumunan orang itu menyebabkan jalanan macet total. Pasti sudah terjadi kecelakaan di sana. Aku malah menduga kalau itu adalah tempat motor kami terjungkal tadi dan Anton masih ada di sana. Yang membikin aku heran kenapa aku bisa ada di seberang jalan. Aku mempercepat langkahku mendekati kerumunan itu. Dengan sedikit berteriak aku meminta orang-orang minggir. Tak ada yang menghiraukanku. Aku merangsek maju ke arah kerumunan dan ajaib sekali tubuhku bisa menembus tubuh orang-orang. Saat itulah tahu kenapa kakek gemuk tadi melarangku pergi.

Aku lihat Anton di sana, terduduk lemas sambil meraung sejadi-jadinya. Dahi dan siku kanannya berdarah. Di depannya sesosok tubuh terbaring kaku, kepalanya ditutupi selembar koran yang membasah karena hujan atau mungkin juga darah. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dari sepatu yang dikenakan olehnya aku tahu kalau itu adalah sepatuku. Itu adalah tubuhku sendiri.

Tak ada yang bisa aku lakukan. Tak ada yang bisa mendengarku, juga melihatku. Aku kembali ke tempat si kakek gemuk. Ia masih ada di sana, menikmati kreteknya entah yang ke berapa. Ia tertawa begitu melihatku berjalan ke arahnya.

Aku duduk di sampingnya, mengambil kretek pemberiannya yang tadi aku selipkan di telinga kananku. Tangannya yang bulat dan berbulu menyodorkan sebuah korek api kepadaku.

"Apa kubilang" katanya setelah aku menghisap kretek pemberiannya.

Aku tidak menghiraukan perkataannya. Hari ini terlalu aneh. Sore tadi aku masih mengantar temanku berbelanja dan sekarang aku bisa melihat tubuhku sendiri tergolek kaku di pinggir jalan . Aku sudah mati. Tapi aku malah memikirkan nasib koleksi VCD bokepku.

RSCM, 13 November 2015