Jumat, 13 November 2015

Bertemu Izrail

Aku kira ia mempunyai tampang yang menyeramkan. Dengan predikatnya sebagai malaikat pencabut nyawa wajar saja bila aku mempunyai pikiran seperti itu. Aku pernah membayangkannya sebagai sosok raksasa dengan 600 pasang sayap api dan mata yang menyala-nyala, atau seperti sosok Dementor dalam film Harry Potter yang pernah aku tonton tayangan ulangnya di RCTI. Ternyata ia biasa saja. Benar-benar seperti manusia pada umumnya. Seorang kakek-kakek gemuk dengan rambut kaku seperti sikat WC dan mulai beruban. Ia menutupinya dengan topi yang sering dipakai orang memancing. Janggutnya tumbuh lebat menutupi seluruh dagu, juga sudah beruban sebagian. Rupanya ia juga senang menghisap kretek.

Aku bertemu dengannya beberapa menit yang lalu ketika aku siuman dari pingsan. Ia sudah duduk di sampingku yang saat itu berbaring di pinggir trotoar jalan. Kepalaku agak berat. Aku sendiri tidak tahu apakah aku memang betulan pingsan atau tidak. Yang terakhir aku ingat adalah motor yang dikemudikan temanku menghantam trotoar dan kami terpelanting hingga beberapa meter. Setelah itu aku lupa. Semuanya gelap. Ketika aku sadar ia sudah duduk di sampingku dan sedang menghisap kreteknya.

Aku beranjak duduk dan mengusap bagian belakang kepalaku yang terasa berat. Ia menoleh ke arahku, tersenyum dan menawariku kretek. Aku menerimanya begitu saja. Semacam gerak refleks.

Aku memijit-mijit kretek pemberiannya sambil berusaha mengingat kejadian yang baru saja menimpaku.

Sore tadi, Anton temanku, mengajak membeli sebuah hadiah untuk temannya yang akan menikah. Ia ingin memberinya sebuah buku dan peralatan memasak. Aku dimintanya mengantar ke toko buku. Sebetulnya Anton sudah berencana untuk membelikannya sebuah novel dari seorang penulis yang saking produktifnya sampai-sampai novelnya bisa mengisi satu rak buku penuh. Tapi ia berpikir barangkali aku punya pilihan lain maka ia mengajakku pergi bersamanya. Tidak ada ide lain di kepalaku. Aku malah teringat sebuah film bokep yang berisi 99 adegan bercinta yang pernah aku tonton secara sembunyi-sembunyi di rumah.
Untuk orang yang sebentar lagi menikah, aku pikir itu adalah hadiah yang bagus. Tapi tidak aku utarakan ide menghadiahkan film bokep itu.

Anton menjemputku di rumah ketika awan mendung sudah menggantung di langit kota. Beberapa menit lagi mungkin hujan akan turun. Ia bertanya apakah aku mempunyai jas hujan. Aku bilang hanya punya satu. Ia berkata, "Ya gampang lah, nanti beli di pinggir jalan".

Di seorang penjual di pinggir jalan yang pertama kali kami temui, Anton membeli sebuah jas hujan berwarna merah. Penjual itu mematok harga 80 ribu rupiah. 

"50 ribu saja, Mang?" Anton menawar. Penjual itu, seorang bapak-bapak dengan bekas luka di pipi kanannya yang berbentuk tanda silang yang mengingatkanku kepada Battosai Si Pembantai, menggeleng tegas. Aku pun jika menjadi si bapak-bapak bercodet akan menolak tawaran harga yang keterlaluan itu.

Kami mentok di harga 75 ribu dan transaksi itu langsung beres. Awalnya Anton ngotot di angka 70 dan si bapak bercodet masih keras kepala menolaknya. Untung Anton mengalah, aku khawatir bapak bercodet itu benar-benar Battosai si Pembantai dan ia akan menebas kepala kami. Anton yang mungkin lebih dulu akan dipenggal karena ia yang paling ngotot.

Benar saja, tiga menit setelah Anton membayar untuk jas hujan merahnya, hujan turun dengan deras. Kami tetap melanjutkan perjalanan, khawatir jika menunggu reda hari akan keburu malam dan toko buku yang akan kami datangi sudah tutup.

Anton mengantongi dua buah buku sekeluarnya ia dari toko buku yang kami datangi. Satu buku untuk hadiah pernikahan temannya, satu buku lagi untuk ia baca sendiri, sebuah karya Richard Dawkins yang berjudul The God Delusions. Ia tertarik membelinya setelah penjaga toko buku itu mengatakan kalau buku tersebut akan menambah kadar keimanannya kepada Tuhan. Aku sendiri tidak membeli apa-apa. Pikiranku saat itu malah sedang mengingat-ingat di mana keping VCD film bokep yang berisi 99 adegan bercinta itu aku simpan. Apakah masih ada di rumah atau sudah ketahuan ibuku lalu ia membakarnya. Seingatku VCD bokep itu dulu aku simpan di laci ranjang yang kuncinya selalu aku pegang. Tapi suatu hari ranjang itu diganti dan waktu itu aku sudah jarang tinggal di rumah karena harus indekost di luar kota. Saat aku pulang di liburan kuliah, ranjang di kamarku sudah berganti dan nasib koleksi VCD bokepku entah bagaimana. Aku tidak berani bertanya kepada ibuku dan ibuku juga tidak pernah bilang apa-apa tentang VCD bokep itu. Aku yakin ia pasti menemukannya lalu membakarnya.

Sesuai rencana, setelah keluar dari toko buku kami mampir di sebuah supermarket untuk membeli peralatan memasak.

"Apakah temanmu itu senang memasak?" 

"Seharusnya sih begitu. Aku pikir setiap perempuan senang memasak"

"Ya biasanya mereka senang memasak"

Aku baru tahu kalau teman Anton yang akan menikah adalah seorang perempuan. Untung saja aku tidak memaksanya untuk menghadiahkan film bokep.

Tempat parkir motor di supermarket itu berada di lantai empat, sedangkan tempat perlengkapan memasak berada di lantai satu. Kami harus naik terlebih dahulu untuk kemudian turun lagi. Agak merepotkan juga sebenarnya. Di lantai dua Anton mengeluh perutnya mulas.

"Perutku mulas. Sepertinya aku pengin berak"

"Maka beraklah" jawabku bijak.

Anton diam sejenak. Sepertinya ia sedang menimang-nimang apakah ia harus berak atau tidak. 

"Aku tidak jadi berak. Sepertinya rasa mulas di perutku sudah hilang"

"Mungkin sebaiknya kamu mengantongi sebuah batu. Di kampungku, jika perutmu mulas dan kamu kebelet berak kamu harus mengantongi batu agar rasa mulasmu hilang"

"Tidak ada batu di sini"

"Kamu mungkin bisa mengantongi benda lain selain batu"

"Tenang saja. Dari tadi aku mengantongi dompet"

Anton memilih beberapa wajan. Ia mengangkat sebuah wajan dengan gagang berwarna merah. Menelitinya dari ujung ke ujung. Memperagakan adegan menggoreng seperti yang biasa ia lihat di tukang nasi goreng. Sepertinya wajan ini cocok, tidak terlalu berat, katanya kemudian. Aku memberinya sebuah spatula.

"Biar seperti Spongebob" kataku.

"Dari mana kamu tahu kalau temanku suka Spongebob?"

Aku mengangkat bahu. Sebetulnya aku tidak tahu kalau teman Anton suka Spongebob. Spatula itu sendiri yang mengingatkanku pada Spongebob saat pikiranku masih berusaha mengingat-ingat nasib koleksi VCD bokep yang aku simpan di laci kamar.

Rasanya sayang juga koleksi VCD bokepku hilang begitu saja. Ada puluhan judul bokep lintas genre yang aku simpan di laci itu. Semuanya merupakan warisan dari Mang Dodo, seorang paman mesum yang tinggal tiga blok dari rumahku. Dulu di depan rumahnya ada sebuah pos ronda yang sering dipakai nongkrong oleh bapak-bapak paruh baya dengan lingkar perut mengkhawatirkan. Mang Dodo ada di salah seorang bapak-bapak berlingkar perut mengkhawatirkan tersebut. Aku kadang suka ikut nongkrong di sana, sekadar menonton mereka bermain gaple atau karambol.

Sekali waktu Mang Dodo datang ke pos ronda itu saat aku sedang sendirian bermain karambol. Aku lihat ia menenteng sebuah kantong kresek hitam yang aku tahu kemudian tenyata berisi puluhan keping VCD bokep.

"Pernah dengar pepatah tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?" tanyanya kepadaku yang saat itu sedang membidik mata karambol merah nomor sembilan. Aku urung menembak. Pepatah itu rasanya pernah aku dengar dari seorang ustad di tempatku mengaji.

"Itu artinya memberi lebih baik dari pada meminta-minta, Mang"

"Kalau begitu ini buatmu" katanya seraya menyorongkan kantong kresek hitam itu kepadaku. Aku berhenti bermain karambol. Penasaran dengan kantong kresek hitam di depanku.

"Apa itu?"

"Buka saja sendiri" kata Mang Dodo sembari melolos sebatang kretek dari bungkusnya. Ia merokok sambil mengguntingi kuku kakinya. Entah sejak kapan ia membawa gunting kuku itu.

Aku membuka kantong kresek itu perlahan. Sedetik kemudian aku langsung terhenyak dengan isinya. Puluhan keping VCD. Beberapa memang tidak bersampul apa-apa. Beberapa lainnya bersampul gambar yang saat itu bisa membikin penisku tegang.

"Benar buat saya, Mang?"

"Iya, buatmu"

Mataku langsung berkaca-kaca. Aku seperti baru mendapat sebuah harta karun. Aku melirik Mang Dodo yang masih mengguntingi kuku-kukunya, bertanya-tanya dalam hatiku sendiri apakah ia benar-benar Mang Dodo ataukah seorang jelmaan malaikat?

"Kamu beneran Mang Dodo, kan? Bukan malaikat?" tanyaku kemudian dengan sedikit ragu.

Mang Dodo berhenti menggunting kuku. Kreteknya yang sudah habis setengah menggantung di bibirnya.

"Anak bodoh. Mana ada malaikat yang memberimu film be'ep?!"

Lalu aku melihat spatula menggantung di jejeran wajan dan panci dan pikiranku teralihkan dari Mang Dodo ke Spongebob Squarepants. Aku mengambilnya satu dan memberikannya kepada Anton.

"Biar seperti Spongebob" kataku.

"Dari mana kamu tahu kalau temanku suka Spongebob?"

Aku mengangkat bahu.

Aku masih ingat dengan jelas kejadian-kejadian setelahnya. Kami membayar wajan dan spatula di kasir, lalu berjalan kembali ke lantai empat untuk mengambil motor. Di luar hujan sudah berhenti dan jalanan basah. Anton masih memakai jas hujan barunya, ia bilang malas melepasnya, takut-takut hujan akan turun lagi. Di perjalanan menuju rumahku Anton baru sadar kalau belanjaan yang ia beli tertinggal di tempat parkir. Kami memutar arah kembali ke supermarket tadi. Anton menambah kecepatan motornya karena hari sudah malam. Aku sedang bermain Candy Crush di ponsel saat sepeda motor oleng dan menabrak trotoar jalan. Kami terpelanting dan ingatanku berhenti sampai di situ. Saat aku bangun seorang kakek-kakek gemuk sudah duduk di sampingku, memberiku kretek, dan Anton tidak ada di sana.

Aku berhenti memijit-mijit kretek pemberian si kakek gemuk dan celingukan mencari-cari Anton. Di mana bocah itu?

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, si kakek gemuk kemudian mengarahkan telunjuknya ke arah kerumunan orang di seberang jalan. Orang yang kamu cari ada di sana, katanya. Aku langsung berdiri dan pamit kepadanya.

"Tapi sebaiknya kamu jangan ke sana"

"Kenapa?" tanyaku heran. Ia diam saja. Aku menyelipkan kretek pemberiannya di telinga kanan dan langsung meninggalkannya.

Aku berjalan melintasi sebuah jembatan penyeberangan. Kerumunan orang itu menyebabkan jalanan macet total. Pasti sudah terjadi kecelakaan di sana. Aku malah menduga kalau itu adalah tempat motor kami terjungkal tadi dan Anton masih ada di sana. Yang membikin aku heran kenapa aku bisa ada di seberang jalan. Aku mempercepat langkahku mendekati kerumunan itu. Dengan sedikit berteriak aku meminta orang-orang minggir. Tak ada yang menghiraukanku. Aku merangsek maju ke arah kerumunan dan ajaib sekali tubuhku bisa menembus tubuh orang-orang. Saat itulah tahu kenapa kakek gemuk tadi melarangku pergi.

Aku lihat Anton di sana, terduduk lemas sambil meraung sejadi-jadinya. Dahi dan siku kanannya berdarah. Di depannya sesosok tubuh terbaring kaku, kepalanya ditutupi selembar koran yang membasah karena hujan atau mungkin juga darah. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dari sepatu yang dikenakan olehnya aku tahu kalau itu adalah sepatuku. Itu adalah tubuhku sendiri.

Tak ada yang bisa aku lakukan. Tak ada yang bisa mendengarku, juga melihatku. Aku kembali ke tempat si kakek gemuk. Ia masih ada di sana, menikmati kreteknya entah yang ke berapa. Ia tertawa begitu melihatku berjalan ke arahnya.

Aku duduk di sampingnya, mengambil kretek pemberiannya yang tadi aku selipkan di telinga kananku. Tangannya yang bulat dan berbulu menyodorkan sebuah korek api kepadaku.

"Apa kubilang" katanya setelah aku menghisap kretek pemberiannya.

Aku tidak menghiraukan perkataannya. Hari ini terlalu aneh. Sore tadi aku masih mengantar temanku berbelanja dan sekarang aku bisa melihat tubuhku sendiri tergolek kaku di pinggir jalan . Aku sudah mati. Tapi aku malah memikirkan nasib koleksi VCD bokepku.

RSCM, 13 November 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar