Minggu, 22 November 2015

Si Pembual

Tentang kegemaranku membual -kau juga bisa menyebutnya bakat- aku yakin mendapatkannya dari ayahku. Ia seorang pembual tulen. Ia pernah bilang kalau hanya ada dua pekerjaan yang cocok untuk para pembual, menjadi pemuka agama atau penulis. Ayahku memilih yang kedua. Dan sepertinya ia salah pilih. Seharusnya ia menjadi pemuka agama saja, menjual ayat-ayat suci, berbual tentang surga dan neraka dan tanda-tanda kiamat nyatanya lebih menguntungkan daripada menjual sebuah tulisan dan dengan begitu mungkin saja saat ini aku tidak akan berada di sini ; duduk menjaga warung sambil menonton gosip tentang selebriti yang rasanya baru sebulan lalu menikah dan kini sedang dalam proses perceraian.

Ibuku yang memutuskan untuk membuka warung kecil ini setelah ia mendapatkan warisan dari orang tuanya. Ia mungkin sadar tidak bisa berharap banyak dari karir kepenulisan ayahku. Dan ia benar, setelah ayahku wafat saat aku masih berusia delapan tahun warung inilah yang menjadi penopang hidup kami sampai bisa membuatku lulus SMA. Aku tidak melanjutkan kuliah dan memutuskan untuk membantu ibuku menjaga warung ini.

Ayahku penulis cerita-cerita anak meskipun kata ibu ia juga pernah menulis novel dan kumpulan cerpen yang sama-sama tidak pernah laku. Salah satu novelnya yang pernah kubaca berjudul Pulanglah, Kau Mabuk. Bercerita tentang seorang lelaki yang kerjanya hanya mengeluh dan mengeluh dan mengeluh setiap saat tentang hidupnya, pekerjaannya, kisah asmaranya, dan semuanya. Setiap halaman novel hanya berisi keluhannya saja. Di akhir novel lelaki itu bertemu seorang penjual sapu keliling dan ia tetap saja mengeluh kepadanya. Setelah mendengar rentetan keluhannya, si penjual sapu itu hanya berkata singkat, "pulanglah, kau mabuk". Dan novel itu selesai.

Novel itu tidak terlalu tebal tapi aku membacanya sampai berminggu-minggu dan hampir mati bosan karenanya.

Pantas saja novel itu tidak pernah laku.

Belakangan aku juga baru tahu kalau ayahku sempat menulis cerita stensilan. Aku menemukan sebuah manuskripnya tentang petualangan seorang polisi mesum saat ibuku membongkar gudang dan berniat menjual semua tumpukan kertas kepada pedagang loak yang kebetulan lewat - ia tampaknya tidak begitu suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan menulis ayah. Aku ingat beberapa bagian dari manuskrip itu. Salah satunya seperti ini,

"Mas Bram, rudalmu terlalu besar. Aku takut"

"Jangan takut, Mira. Hanya sakit sebentar, kok"

"Ouuuhhh, Mas Bram"

"Ouh, Mira"

Dan sisanya hanya diisi dengan kalimat uhh ahh uhh ohh uhh ahh uhhh ooohh sampai selesai.

Memang benar, seharusnya ia jadi seorang pemuka agama saja.

Aku tidak pernah membenci ayahku sekalipun ia adalah seorang penulis yang payah dan tukang membual. Aku bahkan senang dengan bualannya karena ia bisa mendongengiku bermacam-macam cerita. Ia pernah bercerita bahwa Jenderal Sudirman sebenarnya sedang terkena mencret dan harus ditandu ketika bergerilya semasa agresi militer Belanda. Meskipun harus ditandu dan sering berhenti karena perutnya mulas dan harus berak dalam keadaan waswas takut diberondong tembakan beliau tetap berjuang. Semangat juangnya memang luar biasa sekali. Mungkin kekeras kepalaan ayahku yang tetap ngotot menjadi seorang penulis terinspirasi dari kisah Jenderal Sudirman yang ia ceritakan padaku.

Ayahku juga sering mengajakku jalan-jalan dengan sepeda motor bebek tuanya yang tidak pernah mau ia jual meskipun sering keluar masuk bengkel. Ia sangat menyayangi sepeda motornya itu. Ia mengaku membeli sepeda motor itu dari hadiah sayembara menulis novel yang dijuarainya. Tentang hal itu aku agak ragu juga. Aku menduga itu hanya bentuk bualannya yang lain, tapi waktu itu aku masih kecil sehingga tidak pernah bertanya lebih jauh tentang sayembara menulis novel yang dijuarainya itu.

Lalu ayahku meninggal dan aku mulai senang membual.

Aku tidak menjadi seorang pemuka agama ataupun penulis tapi aku senang membual. Rasanya ada kesenangan tersendiri saat kau berbual-bual kepada orang lain. Mereka mungkin tidak akan percaya dengan bualanmu tapi itu bukan masalah. Membual bukanlah perkara memaksa orang lain agar percaya dengan bualanmu. Itu yang harus kau pahami.

"Om, rokok dong?" Tiba-tiba suara seorang bocah menghampiri telingaku. Aku melongok ke luar dan kulihat seorang bocah kurus berkaus Green Day sedang berdiri sambil bersiul-siul.

Namanya Ilung. Ia sepupuku. Baru kelas dua SMP dan sudah menggemari Green Day. Lagaknya memang rada tengil.

"Masih bocah udah ngerokok. Gue bilangin emak lu"

"Elaaah, Om. Sebatang doang"

"Eh, lu bolos ya? Jam segini masih di sini?"

"Libur, Om. Guru-gurunya ada rapat apa gitu jadi muridnya diliburin"

"Beraaaak. Bohong lu"

Aku memberinya sebatang Sampoerna Mild. Ia langsung membakarnya dan duduk di bangku kayu di depan warung.  

"Eh lu baru keliatan, Om. Ke mana aja?" Ia bertanya dengan sedikit berteriak karena aku ada di dalam warung. Aku mengambil sebatang rokok dan keluar dari dalam warung lalu duduk menemaninya.

"Gue baru pulang dari Tibet"

"Hah, serius lu Om?"

Aku mengangguk pasti. Ia terlihat tidak percaya.

"Ngapain lu ke Tibet?"

"Ada semacam ritual gitu, biar enteng jodoh dan rejeki lancar"

"Ah berak, lu pasti bohong"

"Nggak percaya lu? Nih lihat kepala gue botak" kataku sambil memperlihatkan kepalaku yang botak. Tiga hari yang lalu aku memang sengaja menggundulinya. Rambutku memang tidak bisa diharapkan. Dibiarkan pendek menjadi seperti duri landak, dibiarkan panjang malah dikira banci.

"Ah nggak percaya"

"Terserah lu"

Seminggu yang lalu aku memang tidak berada di rumah. Tapi aku tidak pergi ke  Tibet, aku hanya menginap di rumah seorang temanku. Kedua orangtuanya sedang menunaikan ibadah haji sehingga rumahnya kosong dan ia begitu penakutnya sampai memintaku untuk menemaninya. Aku hanya menemaninya selama satu minggu karena ibuku mulai ngoceh-ngoceh tentang warung yang tidak ada penjaganya. Aku memutuskan untuk pulang dan kepada setiap orang yang menanyainkeberadaanku selama seminggu itu aku selalu bilang kalau aku baru saja pulang dari Tibet.

Begitulah aku biasa membual.

Ilung pergi setelah rokoknya habis. Aku yakin ia memang bolos sekolah dan membual kepada orang tuanya kalau sekolah diliburkan. Tapi, ah, apa peduliku. Biarkan sajalah.

Aku matikan bara rokokku pada bangku yang aku duduki. Tidak ada orang dan aku mulai bosan. 

Dari jarak 25 meter aku melihat sesosok tubuh gemuk berjalan. Ia pasti menuju ke sini.

"Roi, Garpit sebungkus dong" 

Benar saja, ia ke sini. Itu Bang Eddie. Ia punya panggilan khusus untukku. Namaku Roy tapi Bang Eddie selalu memanggilku Roi. Saat aku tanya kenapa ia memanggilku seperti itu ia hanya tertawa. Tidak ada alasan khusus, lebih enak begitu, katanya.

Ia berjalan dengan langkah-langkah pendek membawa tubuh gemuknya lalu duduk di bangku yang tadi ditempati Ilung, menyandarkan tubuhnya yang tampak kelelahan. Terdengar bunyi berderak dari bangku kayu yang didudukinya.

Aku masuk kembali ke dalam warung mengambil sebungkus Gudang Garam Filter -yang dalam istilah Bang Eddie disebut Garpit.

"Utang lagi ya? Lu catet aja, Roi" katanya setelah menerima sebungkus Gudang Garam Filter dariku. Aku mengangguk lalu masuk lagi ke dalam warung, mengambil sebuah buku catatan yang sudah mulai buluk.

Eddie. Aku menemukan nama itu. Hutangnya lumayan banyak juga. Pantas ibuku tidak suka jika ia datang ke warung. Untung saja saat ini ibu sedang tidak menjaga warung, ia sedang sakit dan sejak semalam hanya berdiam diri di dalam rumah.

Aku sendiri biasa saja. Menurutku Bang Eddie orang yang baik, aku pernah ditraktirnya bir ketika musim pemilu tahun lalu.

Nama aslinya Edi tapi ia lebih suka menulisnya Eddie dengan huruf D ganda dan ditambahkan E di ujungnya. 

"Biar seperti Eddie Vedder" katanya bangga.

Pekerjaannya cukup unik. Ia mengumpulkan massa untuk berdemo. Maksudnya jika kau butuh massa untuk berdemo atau untuk menghadiri kampanye partaimu atau apa saja yang memerlukan kehadiran banyak orang kau bisa menghubunginya. Ia bisa mengumpulkan 50 sampai 100 orang, bahkan jika bayarannya lebih banyak lagi ia mampu mengumpulkan sampai 500 orang. Itu yang ia katakan padaku. Makanya saat musim pemilu kemarin ia kebanjiran rejeki sampai bisa mentraktirku minum bir.

Setelah musim pemilu berakhir rejekinya mulai tersendat. Belakangan ini malah ia belum dapat orderan sama sekali. Pantas aku lihat tubuhnya seperti kelelahan dan batok kepalanya semakin licin. Jika sudah begitu biasanya ia berhutang di warungku.

Aku menemaninya merokok. Biasanya ia punya banyak cerita menarik. Tapi rasanya kali ini ia sedang tidak kepingin bercerita. Mungkin sedang punya banyak masalah. Aku jadi segan membual padanya. Jadi aku putuskan untuk diam saja. 

Bang Eddie tidak lama berada di warung. Belum juga habis rokoknya ia sudah pamit pergi. Katanya ada urusan penting. Ia juga berjanji akan segera membayar hutangnya.

"Santai sajalah Bang. Kayak tai ngambang" jawabku. Ia tertawa, sebentar, lalu pergi.

Tinggal aku sendirian. Hari sudah mulai siang dan aku semakin bosan.

Inilah tidak enaknya menjaga warung siang-siang. Jarang ada pembeli. Sekali pun ada biasanya ibu-ibu dan aku kurang suka membual kepada ibu-ibu. Mereka lebih lihai berbicara dibandingkan denganku. Dan mereka tidak suka mendengarkan. Mereka lebih senang berbicara.

Sebenarnya jaga warung di pagi dan siang adalah tugas ibuku. Tapi karena ia sedang sakit maka seharian penuh aku yang ditugasi menjaga warung. Mungkin ia juga sengaja menghukumku yang selama seminggu mangkir dari tugas karena harus menemani temanku yang penakut.

Aku masuk kembali ke dalam warung. Menonton acara tv yang lagi-lagi sedang menayangkan gosip selebriti. Kupikir luar biasa sekali acara gosip selebriti ini. Jam tayangnya sudah seperti minum obat, tiga kali sehari ; pagi, siang, dan sore. Atau mungkin itu memang betul-betul sebuah obat yang bikin orang Indonesia lupa dengan segala tetek-bengek masalah hidupnya. Waah ide yang sangat brilian. Cocok untuk sebuah kisah fiksi. Jika ayahku masih hidup aku pasti menyuruh ia untuk menuliskannya.

Aku jadi benar-benar bosan. Tidak ada yang benar-benar bisa aku kerjakan. Warung sepi, acara tv tidak ada yang menarik, mau masturbasi sedang tidak kepingin. Hah!

Aku mengambil buku catatan hutang yang tergeletak tidak jauh dari jangkauan tanganku. Tiba-tiba saja aku jadi kepingin menulis. Sebelumnya aku tidak pernah menulis sama sekali. Maksudku, kegiatan menulis seperti ayah. Kupikir tidak ada salahnya juga menuangkan bualanku ke dalam tulisan. Rasanya lumayan untuk mengurangi rasa bosanku.

Aku mulai memikirkan beberapa kalimat pembuka. Ada beberapa kalimat yang melintas di otakku. Aku dapat satu. Sepertinya kalimat ini yang paling pas. Aku mulai menuliskannya di kertas.

Tentang kegemaranku membual -kau juga bisa menyebutnya bakat- aku yakin mendapatkannya dari ayahku...

Cirebon, 21 November 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar