Sabtu, 24 Januari 2015

Chapter I : So I Start a Revolution From My Bed



Di dalam dunia dimana dusta merajalela menulis cerita cabul adalah sebuah tindakan revolusioner – Bram Rahma Hidayat

“Gimana? Keren kan? Terasa seperti George Orwell” kataku kepada laki-laki yang duduk di sampingku. Laki-laki itu adalah kawan dekatku. Juga seseorang yang meminjamkan laptopnya untuk aku pakai menulis.

“Hmmmm” di hanya bergumam pelan. Matanya menatap lekat-lekat kepada monitor laptop yang ada di hadapannya. Sementara jari-jari tangannya dengan lincah mengambil sebatang rokok Gudang Garam filter yang berada tidak jauh dari laptop. Telingaku kemudian menangkap bunyi dari suara rokok yang dibakar. Aku masih menunggu respon darinya.

“Ya, ya keren. Tapi Bung, aku rasa sebaiknya kau coret nama Rahmat Hidayatnya. Cukup pakai nama Bram saja” katanya sambil menghembuskan asap rokok. Wajahnya terlihat serius dan meyakinkan.

“Oh, ya?” kataku penasaran. Aku perhatikan kembali kalimat yang baru saja aku ketikkan. Aku rasa kalimat itu sudah cukup keren.

“Bung, ini cerita bokep! Cerita cabul! Nama Rahma Hidayat terdengar terlalu religius untuk sebuah cerita cabul. Tak cocok itu, tak cocok” terangnya meyakinkan.

Aku renungkan perkataannya barusan. Untuk seseorang yang berasal dari suku Sunda aku sangat menghargai kejujurannya. Orang Sunda terkenal dengan sifatnya yang sering tidak enakan kepada orang lain, sehingga terkadang mereka suka takut ketika ingin mengkritik seseorang.

Kini giliran jari-jari tanganku yang mengambil sebatang rokok Gudang Garam dan membakarnya. Kopi dari cangkir kami sudah tinggal separuh dan dingin. Sudah hampir satu jam berlalu sejak aku membuka laptop dan mencari kalimat pembuka untuk sebuah cerita yang akan aku tulis. Kawanku sesekali memprotes karena dipikirnya aku terlalu membuang-buang waktu hanya untuk sebuah kalimat pembuka. Aku balik mendebatnya, kataku kalimat pembuka sebuah novel, meskipun itu cerita cabul, adalah hal yang sangat krusial. Para penulis besar macam Gabriel Garcia Marquez bahkan memerlukan waktu yang sangat lama hanya untuk membuat kalimat pembuka ceritanya. Akhirnya kawanku mau mengerti dan tetap setia menungguku mengetik sambil sesekali bermain Clash Of Clans di hpnya.

“Ah, aku rasa kau benar, Bung. Nama Bram lebih pas dengan ceritanya” kataku beberapa menit kemudian. Aku geserkan kursor laptop dan menghapus nama Rahma Hidayat dari layar. Sekali lagi aku bacakan kalimat pembuka dari cerita yang akan aku tulis itu.

Di dalam dunia dimana dusta merajalela menulis cerita cabul adalah sebuah tindakan revolusioner – Bram

Aku tersenyum puas mengagumi betapa kerennya kalimat yang baru saja aku temukan. Aku lihat kawanku pun ikut tersenyum dan mengangguk-ngangguk senang. 

“Bung, sebuah revolusi baru saja dimulai!” kataku setengah berteriak dari dalam kamar. Kawanku tertawa mendengarnya. Aku matikan rokok di sebuah asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok dan meneguk habis kopi dari cangkir kami yang tinggal separuh.

***

Namaku Bram. Ah, tentu saja kau sudah bisa menebaknya kalau itu bukanlah namaku yang sebenarnya. Tapi untuk saat ini rasanya kau tak perlu tahu siapa nama asliku. Aku seorang perawat, percayalah. Juga seorang calon penulis cerita-cerita cabul.  Kau juga harus percaya itu. Meskipun sebenarnya aku bisa saja menulis kisah-kisah romantis yang menyayat hati seperti halnya kisah asmaraku sendiri. Tapi kawanku meyakinkanku bahwasannya aku lebih cocok menulis cerita-cerita cabul. Bahkan dia percaya kalau takdirku adalah untuk menjadi penulis cerita-cerita cabul seputar selangkangan dan birahi. Sialnya, aku percaya pada perkataannya. Kelak aku akan menyesal karena cerita-cerita cabulku malah membuatku sulit mendapatkan pacar.  Tai ucing.

Di dunia ini ada banyak hal yang aku percayai dan tidak. Aku percaya pada Tuhan tapi tidak percaya kepada agama. Makanya aku bingung ketika membuat  KTP harus mencantumkan agama. Lebih bingung lagi karena agamanya sudah ditentukan. Padahal kalau boleh bebas mengisinya mungkin aku akan mengisi kolom agamaku dengan nama Manchester United atau JKT 48. Sayang sekali tidak bisa.

Aku percaya kalau alien itu memang ada. Rasanya tidak adil saja kalau alam semesta yang maha luas ini hanya diisi oleh manusia. Waktu kecil aku pernah mengira kalau Mang Kanjut, tetanggaku, adalah alien. Soalnya dia sering berbicara dan tertawa sendiri. Setelah aku beranjak dewasa aku baru tahu kalau Mang Kanjut itu gila. Itu kata orang tuaku. Konon katanya Mang Kanjut stres setelah gagal nikah padahal undangannya sudah disebar. Sejak saat itu Mang Kanjut mulai sering berbicara dan tertawa sendiri. Juga mulai sering menggaruk-garuk kanjutnya. Oh iya, kanjut adalah istilah lain untuk testis atau skrotum. Istilah yang lebih populer daripada kanjut adalah peler. Sejak saat itulah nama Mang Kanjut menjadi populer di kampungku.

Tapi mungkin saja memang Mang Kanjut sebenarnya adalah alien. Mungkin dia sedang berbicara dengan sesamanya yang tidak kita lihat, lalu mereka sama-sama menertawakan kita, umat manusia. Ah sudahlah, terlepas dari siapkah sebenarnya Mang Kanjut aku tetap yakin kalau alien itu ada. Hanya saja, aku pun yakin kalau para alien itu mempunyai masalah yang sama dengan penduduk bumi. Mereka, sama seperti kita, belum menemukan teknologi yang super canggih untuk bisa menjelajahi jagat raya yang berjarak jutaan tahun cahaya. Jadi sepertinya kita tidak akan pernah bertemu dengan para alien itu. 

Aku juga percaya pada Jim Morrison tapi aku tidak percaya kepada Mario Teguh, meskipun aku setuju kepada salah satu kalimat motivasinya bahwa dibalik kesuksesan seorang pria terdapat peran wanita hebat dibelakangnya. Ya, begitu juga sebaliknya, dibalik kehancuran seorang pria terdapat peran seorang wanita sialan di belakangnya. Aku yakin nasib yang membawaku menjadi seorang perawat pun tidak terlepas dari peran seorang wanita.

Wanita itu bernama Noni. Dia adalah pacarku ketika SMA. Cantik, bohay dan mempunyai deretan gigi berjajar rapi seperti pasukan pengibar bendera. Kami pertama kali berkenalan ketika duduk di bangku kelas 2. Dia murid baru di sekolahku. Aku dikenalkan oleh Tia, temanku. Kami saling bertukar nomor hp dan sering berkomunikasi setelahnya. Ketika menginjak kelas 3 SMA kami resmi berpacaran. 3 hari setelahnya kami berciuman dengan panas di ruangan kelas. Dan seminggu setelahnya kami bercinta untuk pertama kali di rumahnya.

Noni adalah gadis yang menyenangkan dan terkadang manja. Tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi berisi. Bola matanya berwarna cokelat, asli bukan karena memakai lensa kontak. Itu adalah salah satu bagian fisik yang aku suka dari Noni. Selain tentu saja toketnya yang berukuran lumayan besar dan padat.

Sialnya, setelah beberapa bulan berpacaran tabiat Noni perlahan-lahan mulai berubah. Dia menjadi sangat posesif dan cemburuan. Tidak bisa melihat aku dekat dengan wanita lain, pasti akan langsung dicemburui. Saking ekstrimnya Noni bahkan cemburu kepada Leo, teman satu kamar kostku. Mungkin karena aku selalu tidur bareng dengan Leo, sementara Noni tidak bisa aku tiduri seenaknya. Ya habis mau bagaimana lagi? Aku satu kamar dengan  Leo jadi mau tidak mau setiap malam aku pasti berbagi ranjang dengannya. Mungkin tidak terlalu bermasalah jika Leo itu berjenis kelamin perempuan, hanya saja Leo itu berjenis kelamin laki-laki sama sepertiku. Kadang, kecemburuan Noni memang tidak masuk akal. Seringkali karena sifatnya yang pencemburu kami jadi harus terlibat pertengkaran yang aku rasa tidak perlu terjadi.

Hubungan kami bisa bertahan sampai lulus SMA. Aku kira setelah lulus hubungan kami akan berubah menjadi lebih harmonis. Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya. Hubungan kami bertambah runyam. Permasalahannya adalah Noni memaksaku untuk kuliah di tempat yang sama dengannya. Dia tidak mau berpisah denganku. Sedangkan aku mati-matian tidak ingin satu kampus dengannya. Dari awal Noni memang sudah bercita-cita untuk menjadi seorang perawat sehingga dia mendaftar di sebuah Akademi Keperawatan di Cirebon. Dan aku dipaksa ikut mendaftar juga. Sial, seharusnya aku menolak ajakan Noni saat itu. Tapi disinilah letak kehebatan Noni, dia bisa membuatku tak bisa melawan rayuan dan godaannya. Akhirnya aku pun ikut mendaftar bersama Noni. Tapi sebenarnya tanpa sepengetahuan Noni diam-diam aku juga ikut mendaftar ujian SMPTN.

Seminggu kemudian hasil ujian masuk Akper diumumkan. Aku lulus, sedangkan Noni tidak. Noni sangat kecewa. Aku lihat ada air mata yang menggenang di bola matanya yang cokelat itu. Aku merasa kasihan padanya. Hanya sebuah pelukan yang bisa aku berikan untuk menghiburnya. 10 hari kemudian hasil ujian SMPTN diumumkan. Kini giliranku yang tidak lulus ujian. Aku sedih. Noni yang pada akhirnya tahu kalau aku mengikuti ujian SMPTN malah tertawa senang. Mampus kau, aku lihat matanya yang berwarna cokelat berkata seperti itu. Kali ini tidak ada pelukan yang menghiburku. Yang ada hanyalah Noni yang memarahiku habis-habisan.

Pada akhirnya kami berkuliah di kampus yang berbeda dan hubungan kami pun kandas di tengah jalan. Aku, disertai sebuah nasihat dan ancaman dari ibuku, akhirnya memilih untuk tetap kuliah di Akper. “Kau sudah lulus ujian, jangan disia-siakan. Kesempatan hanya datang satu kali, sementara penyesalan selamanya. Siapa tahu nanti kau bisa jadi seperti Mantri Otong. Tuh liat, sekarang sudah naik haji. Mobilnya juga sudah dua” kata ibuku menasehati. Mantri Otong adalah seorang mantri di kampungku. Dia adalah lulusan akper yang membuka praktek pengobatan. Pasiennya banyak. Maklum di kampungku belum banyak dokter yang membuka praktek. Selain nasihat ibuku juga memberi ancaman yang mengerikan. Katanya, jika aku tidak berkuliah di Akper maka lebih baik aku masuk pesantren. Oh tidak, jangan pesantren. Aku tidak pantas masuk pesantren. Bisa-bisa aku menjadi seorang kiayi dari kegelapan. Karena itulah aku memlilih masuk akper dan 3 tahun kemudian secara resmi aku menjadi seorang perawat.

Namaku Bram dan kau tahu itu bukanlah nama asliku. Kini aku bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit kecil di Jakarta. Gajinya kecil, tinggal jauh dari orang tua, punya banyak hutang di warung, dan jomblo. Hidup terkadang memang seperti posisi missionaris dalam sex. Sialnya, aku yang sedang berada di posisi bawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar