Di dalam dunia dimana
dusta merajalela menulis cerita cabul adalah sebuah tindakan revolusioner –
Bram Rahma Hidayat
“Gimana? Keren kan? Terasa seperti George Orwell” kataku
kepada laki-laki yang duduk di sampingku. Laki-laki itu adalah kawan dekatku.
Juga seseorang yang meminjamkan laptopnya untuk aku pakai menulis.
“Hmmmm” di hanya bergumam pelan. Matanya menatap lekat-lekat
kepada monitor laptop yang ada di hadapannya. Sementara jari-jari tangannya
dengan lincah mengambil sebatang rokok Gudang Garam filter yang berada tidak
jauh dari laptop. Telingaku kemudian menangkap bunyi dari suara rokok yang
dibakar. Aku masih menunggu respon darinya.
“Ya, ya keren. Tapi Bung, aku rasa sebaiknya kau coret nama
Rahmat Hidayatnya. Cukup pakai nama Bram saja” katanya sambil menghembuskan
asap rokok. Wajahnya terlihat serius dan meyakinkan.
“Oh, ya?” kataku penasaran. Aku perhatikan kembali kalimat
yang baru saja aku ketikkan. Aku rasa kalimat itu sudah cukup keren.
“Bung, ini cerita bokep! Cerita cabul! Nama Rahma Hidayat
terdengar terlalu religius untuk sebuah cerita cabul. Tak cocok itu, tak cocok”
terangnya meyakinkan.
Aku renungkan perkataannya barusan. Untuk seseorang yang
berasal dari suku Sunda aku sangat menghargai kejujurannya. Orang Sunda
terkenal dengan sifatnya yang sering tidak enakan kepada orang lain, sehingga
terkadang mereka suka takut ketika ingin mengkritik seseorang.
Kini giliran jari-jari tanganku yang mengambil sebatang
rokok Gudang Garam dan membakarnya. Kopi dari cangkir kami sudah tinggal
separuh dan dingin. Sudah hampir satu jam berlalu sejak aku membuka laptop dan
mencari kalimat pembuka untuk sebuah cerita yang akan aku tulis. Kawanku
sesekali memprotes karena dipikirnya aku terlalu membuang-buang waktu hanya
untuk sebuah kalimat pembuka. Aku balik mendebatnya, kataku kalimat pembuka
sebuah novel, meskipun itu cerita cabul, adalah hal yang sangat krusial. Para
penulis besar macam Gabriel Garcia Marquez bahkan memerlukan waktu yang sangat
lama hanya untuk membuat kalimat pembuka ceritanya. Akhirnya kawanku mau
mengerti dan tetap setia menungguku mengetik sambil sesekali bermain Clash Of
Clans di hpnya.
“Ah, aku rasa kau benar, Bung. Nama Bram lebih pas dengan
ceritanya” kataku beberapa menit kemudian. Aku geserkan kursor laptop dan
menghapus nama Rahma Hidayat dari layar. Sekali lagi aku bacakan kalimat
pembuka dari cerita yang akan aku tulis itu.
Di dalam dunia dimana
dusta merajalela menulis cerita cabul adalah sebuah tindakan revolusioner –
Bram
Aku tersenyum puas mengagumi betapa kerennya kalimat yang
baru saja aku temukan. Aku lihat kawanku pun ikut tersenyum dan
mengangguk-ngangguk senang.
“Bung, sebuah revolusi baru saja dimulai!” kataku setengah
berteriak dari dalam kamar. Kawanku tertawa mendengarnya. Aku matikan rokok di
sebuah asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok dan meneguk habis kopi dari
cangkir kami yang tinggal separuh.
***
Namaku Bram. Ah, tentu saja kau sudah bisa menebaknya kalau
itu bukanlah namaku yang sebenarnya. Tapi untuk saat ini rasanya kau tak perlu
tahu siapa nama asliku. Aku seorang perawat, percayalah. Juga seorang calon
penulis cerita-cerita cabul. Kau juga
harus percaya itu. Meskipun sebenarnya aku bisa saja menulis kisah-kisah
romantis yang menyayat hati seperti halnya kisah asmaraku sendiri. Tapi kawanku
meyakinkanku bahwasannya aku lebih cocok menulis cerita-cerita cabul. Bahkan
dia percaya kalau takdirku adalah untuk menjadi penulis cerita-cerita cabul
seputar selangkangan dan birahi. Sialnya, aku percaya pada perkataannya. Kelak
aku akan menyesal karena cerita-cerita cabulku malah membuatku sulit
mendapatkan pacar. Tai ucing.
Di dunia ini ada banyak hal yang aku percayai dan tidak. Aku
percaya pada Tuhan tapi tidak percaya kepada agama. Makanya aku bingung ketika
membuat KTP harus mencantumkan agama.
Lebih bingung lagi karena agamanya sudah ditentukan. Padahal kalau boleh bebas
mengisinya mungkin aku akan mengisi kolom agamaku dengan nama Manchester United
atau JKT 48. Sayang sekali tidak bisa.
Aku percaya kalau alien itu memang ada. Rasanya tidak adil
saja kalau alam semesta yang maha luas ini hanya diisi oleh manusia. Waktu
kecil aku pernah mengira kalau Mang Kanjut, tetanggaku, adalah alien. Soalnya
dia sering berbicara dan tertawa sendiri. Setelah aku beranjak dewasa aku baru
tahu kalau Mang Kanjut itu gila. Itu kata orang tuaku. Konon katanya Mang
Kanjut stres setelah gagal nikah padahal undangannya sudah disebar. Sejak saat
itu Mang Kanjut mulai sering berbicara dan tertawa sendiri. Juga mulai sering menggaruk-garuk
kanjutnya. Oh iya, kanjut adalah istilah lain untuk testis atau skrotum.
Istilah yang lebih populer daripada kanjut adalah peler. Sejak saat itulah nama
Mang Kanjut menjadi populer di kampungku.
Tapi mungkin saja memang Mang Kanjut sebenarnya adalah
alien. Mungkin dia sedang berbicara dengan sesamanya yang tidak kita lihat,
lalu mereka sama-sama menertawakan kita, umat manusia. Ah sudahlah, terlepas
dari siapkah sebenarnya Mang Kanjut aku tetap yakin kalau alien itu ada. Hanya
saja, aku pun yakin kalau para alien itu mempunyai masalah yang sama dengan
penduduk bumi. Mereka, sama seperti kita, belum menemukan teknologi yang super
canggih untuk bisa menjelajahi jagat raya yang berjarak jutaan tahun cahaya.
Jadi sepertinya kita tidak akan pernah bertemu dengan para alien itu.
Aku juga percaya pada Jim Morrison tapi aku tidak percaya
kepada Mario Teguh, meskipun aku setuju kepada salah satu kalimat motivasinya
bahwa dibalik kesuksesan seorang pria
terdapat peran wanita hebat dibelakangnya. Ya, begitu juga sebaliknya, dibalik kehancuran seorang pria terdapat
peran seorang wanita sialan di belakangnya. Aku yakin nasib yang membawaku
menjadi seorang perawat pun tidak terlepas dari peran seorang wanita.
Wanita itu bernama Noni. Dia adalah pacarku ketika SMA.
Cantik, bohay dan mempunyai deretan gigi berjajar rapi seperti pasukan pengibar
bendera. Kami pertama kali berkenalan ketika duduk di bangku kelas 2. Dia murid
baru di sekolahku. Aku dikenalkan oleh Tia, temanku. Kami saling bertukar nomor
hp dan sering berkomunikasi setelahnya. Ketika menginjak kelas 3 SMA kami resmi
berpacaran. 3 hari setelahnya kami berciuman dengan panas di ruangan kelas. Dan
seminggu setelahnya kami bercinta untuk pertama kali di rumahnya.
Noni adalah gadis yang menyenangkan dan terkadang manja.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi berisi. Bola matanya berwarna cokelat, asli
bukan karena memakai lensa kontak. Itu adalah salah satu bagian fisik yang aku
suka dari Noni. Selain tentu saja toketnya yang berukuran lumayan besar dan
padat.
Sialnya, setelah beberapa bulan berpacaran tabiat Noni
perlahan-lahan mulai berubah. Dia menjadi sangat posesif dan cemburuan. Tidak
bisa melihat aku dekat dengan wanita lain, pasti akan langsung dicemburui.
Saking ekstrimnya Noni bahkan cemburu kepada Leo, teman satu kamar kostku.
Mungkin karena aku selalu tidur bareng dengan Leo, sementara Noni tidak bisa
aku tiduri seenaknya. Ya habis mau bagaimana lagi? Aku satu kamar dengan Leo jadi mau tidak mau setiap malam aku pasti
berbagi ranjang dengannya. Mungkin tidak terlalu bermasalah jika Leo itu
berjenis kelamin perempuan, hanya saja Leo itu berjenis kelamin laki-laki sama
sepertiku. Kadang, kecemburuan Noni memang tidak masuk akal. Seringkali karena
sifatnya yang pencemburu kami jadi harus terlibat pertengkaran yang aku rasa
tidak perlu terjadi.
Hubungan kami bisa bertahan sampai lulus SMA. Aku kira
setelah lulus hubungan kami akan berubah menjadi lebih harmonis. Sayangnya,
yang terjadi malah sebaliknya. Hubungan kami bertambah runyam. Permasalahannya
adalah Noni memaksaku untuk kuliah di tempat yang sama dengannya. Dia tidak mau
berpisah denganku. Sedangkan aku mati-matian tidak ingin satu kampus dengannya.
Dari awal Noni memang sudah bercita-cita untuk menjadi seorang perawat sehingga
dia mendaftar di sebuah Akademi Keperawatan di Cirebon. Dan aku dipaksa ikut
mendaftar juga. Sial, seharusnya aku menolak ajakan Noni saat itu. Tapi
disinilah letak kehebatan Noni, dia bisa membuatku tak bisa melawan rayuan dan
godaannya. Akhirnya aku pun ikut mendaftar bersama Noni. Tapi sebenarnya tanpa
sepengetahuan Noni diam-diam aku juga ikut mendaftar ujian SMPTN.
Seminggu kemudian hasil ujian masuk Akper diumumkan. Aku
lulus, sedangkan Noni tidak. Noni sangat kecewa. Aku lihat ada air mata yang
menggenang di bola matanya yang cokelat itu. Aku merasa kasihan padanya. Hanya
sebuah pelukan yang bisa aku berikan untuk menghiburnya. 10 hari kemudian hasil
ujian SMPTN diumumkan. Kini giliranku yang tidak lulus ujian. Aku sedih. Noni yang
pada akhirnya tahu kalau aku mengikuti ujian SMPTN malah tertawa senang. Mampus
kau, aku lihat matanya yang berwarna cokelat berkata seperti itu. Kali ini
tidak ada pelukan yang menghiburku. Yang ada hanyalah Noni yang memarahiku
habis-habisan.
Pada akhirnya kami berkuliah di kampus yang berbeda dan
hubungan kami pun kandas di tengah jalan. Aku, disertai sebuah nasihat dan ancaman
dari ibuku, akhirnya memilih untuk tetap kuliah di Akper. “Kau sudah lulus
ujian, jangan disia-siakan. Kesempatan hanya datang satu kali, sementara
penyesalan selamanya. Siapa tahu nanti kau bisa jadi seperti Mantri Otong. Tuh
liat, sekarang sudah naik haji. Mobilnya juga sudah dua” kata ibuku menasehati.
Mantri Otong adalah seorang mantri di kampungku. Dia adalah lulusan akper yang
membuka praktek pengobatan. Pasiennya banyak. Maklum di kampungku belum banyak
dokter yang membuka praktek. Selain nasihat ibuku juga memberi ancaman yang mengerikan.
Katanya, jika aku tidak berkuliah di Akper maka lebih baik aku masuk pesantren.
Oh tidak, jangan pesantren. Aku tidak pantas masuk pesantren. Bisa-bisa aku menjadi
seorang kiayi dari kegelapan. Karena itulah aku memlilih masuk akper dan 3
tahun kemudian secara resmi aku menjadi seorang perawat.
Namaku Bram dan kau tahu itu bukanlah nama asliku. Kini aku
bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit kecil di Jakarta. Gajinya kecil,
tinggal jauh dari orang tua, punya banyak hutang di warung, dan jomblo. Hidup
terkadang memang seperti posisi missionaris
dalam sex. Sialnya, aku yang sedang berada di posisi bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar