“Tuhan seperti apa yang kamu percayai?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari si
Cacing, kawan baikku, pada suatu malam ketika aku pulang mendaki gunung. Aku,
yang pada malam itu sedang mendengarkan lagu River dari JKT48 dan berusaha
untuk tidur menjadi terjaga kembali. Pertanyaan tentang Tuhan membuat rasa
kantukku menguap jauh.
Entah dalam rangka apa tiba-tiba si Cacing
bertanya tentang hal itu? Mungkin dia berpikir aku pergi mendaki gunung untuk
mencari keberadaan Tuhan, padahal tentu saja pikirannya itu keliru. Pertama,
aku pergi mendaki gunung untuk mengusir penat akibat rutinitasku bekerja
sebagai perawat. Kedua, memangnya sejak kapan Tuhan tinggal di gunung?
Tapi tetap saja pertanyaan si Cacing itu
membuatku tergelitik untuk menjawabnya. Dan sisa malam itu jadi aku habiskan
untuk memikirkan Tuhan.
Pertanyaan tentang Tuhan, aku yakin, merupakan
sebuah pertanyaan yang sudah berusia ribuan tahun. Dimulai sejak manusia
pertama kali menyadari keberadaannya di dunia ini. Kesadaran tentang dirinya dan
keberadaannya membuat manusia menjadi berpikir untuk apa dan kenapa mereka ada
di dunia. Ada yang pernah berkata bahwa kesadaran ini adalah sebuah kutukan
bagi umat manusia karena mereka jadi harus repot-repot memikirkan segala
tetek-bengek kehidupannya. Berbeda
dengan kecoa misalnya, yang tidak perlu berpikir kenapa mereka ada di dunia ini
(atau mungkin kecoa juga pernah berpikir tentang hal itu? Aku tidak terlalu
yakin). Kecuali jika kau memang benar-benar tidak peduli terhadap hidupmu atau
hidupmu memang seperti seekor kecoa tadi, kau tidak perlu repot-repot
memikirkan hal ini.
Awalnya aku pun begitu. Tidak peduli kenapa
aku hidup dan untuk apa? Apalagi hidup di tengah lingkungan orang-orang
beragama aku menjadi percaya begitu saja kalau hidup itu sudah terjamin. Kau
berbuat baik maka kau akan masuk surga dan hidup di sana selamanya. Atau jika
kau berbuat jahat maka Tuhan akan menghukummu di neraka. Kita tinggal menjalani
dan tak usah berpikir macam-macam. Aku jadi berpikir mungkin itu salah satu alasan
kenapa manusia membutuhkan Tuhan. Artinya, jika memang hidup itu tidak pernah
mempunyai tujuan akhir atau katakanlah tidak ada kehidupan lain setelah mati
maka sosok Tuhan tentu saja tidak dibutuhkan. Kau hidup terus mati dan hilang.
Selesai begitu saja. Pernah mencoba memikirkan bagaimana rasanya lenyap dari
dunia ini? Aku pernah mencobanya, dan rasanya seperti mau muntah.
Mungkin karena kebanyakan orang tidak sanggup
membayangkan dirinya lenyap begitu saja dan keberadaanya di dunia hanyalah
nihilisme belaka, maka sosok Tuhan dihadirkan. Setidaknya mereka mempunyai
sebuah jaminan dan tentu saja, tujuan, bahwa hidup gak gini-gini amat yak.
Keyakinanku sendiri tentang keberadaan Tuhan
masih bersifat setengah-setengah. Setengah percaya dan setengah tidak. Setengah
percaya karena aku masih belum mampu menerima jika kenyataannya hidup hanyalah
sebuah nihilisme belaka tanpa ada tujuan dan jaminan. Setengahnya lagi tidak
percaya, karena aku masih ragu apakah keyakinan tentang Tuhan ini adalah
sesuatu yang dibentuk sejak kecil (karena hidup di lingkungan orang-orang yang
percaya dengan keberadaan Tuhan). Lain halnya dengan agama. Aku sudah tidak
mempercayai lagi agama. Agamamu adalah tempat di mana kau lahir dan dibesarkan.
Jika kau tumbuh di lingkungan dan keluarga yang beragama Islam maka kemungkinan
besar kau akan beragama Islam. Kata Islam tinggal kau ganti saja dengan nama
lain maka itulah agamamu. Bagiku, hal ini tidak layak disebut sebagai sebuah
keyakinan karena kau tidak mencarinya sendiri melainkan dibentuk oleh
lingkungan sejak kau kecil. Tapi bisa saja suatu saat kau pindah agama setelah
berusaha mencari apa yang benar-benar membuatmu yakin. Baru aku bisa menyebut
hal itu sebagai sebuah keyakinan. Tapi jika kau tidak pernah menegok keluar dan
percaya begitu saja aku tidak menganggap itu sebagai sebuah keyakinan. Lagipula
beragama itu tidak jauh berbeda dengan kau menyukai klub sepakbola, hanya saja
dengan kadar fanatisme yang lebih ekstrim. Maka adalah sebuah hal yang sia-sia
jika ada orang yang berdebat tentang agama. Lebih sia-sia dari usaha menggosok
batu akik atau berharap Teuku Wisnu akan mencukur janggutnya.
Sebenarnya hal itu juga berlaku terhadap
keyakinanku akan Tuhan. Apakah keyakinan ini adalah hasil bentukan selama aku
hidup seperti halnya agama atau bukan? Tapi untuk saat ini, aku masih ingin
percaya kalau Tuhan itu benar-benar ada. Sehingga aku juga bisa menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh Cacing, Tuhan seperti
apa yang kamu percayai?
Entah sejak kapan aku mulai membayangkan kalau
Tuhan adalah sosok yang woles. Maha Woles.Aku bahkan membayangkannya mirip
dengan sosok Pak Guru Koro dalam komik Assassination Classroom yang baru-baru
ini aku baca (kau harus membaca komiknya). Sosok yang woles dan sedikit konyol.
Berbeda dengan gambaran beberapa orang yang melihat Tuhan sebagai sosok yang
kejam. Dikit-dikit azab. Dikit-dikit hukum. Ada banjir dibilang azab Tuhan.
Tsunami dibilang murka Tuhan. Semua bencana selalu dikaitkan dengan hukuman
dari Tuhan. Menurutku ini aneh. Coba pikirkan sejenak. Jika percaya kalau Tuhan
adalah sosok yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang lalu kenapa Dia harus
marah-marah? Bukankah hal ini menjadi kontradiktif? Maha Pengasih tapi
marah-marah?
Lagipula kenapa Tuhan harus marah? Jika
sekarang aku bilang, Tuhan sudah mati, lalu apakah Dia marah? Bukankah Dia yang
kau percayai adalah Yang Maha Tahu Segalanya? Jadi Dia pasti sudah tahu kalau
aku akan berkata Tuhan sudah mati, jadi buat apa Dia harus marah? Oleh karena
itu, penggambaran Tuhan sebagai sosok Yang Maha Satpam dan Maha Pentung tidak
pernah cocok dengan apa yang aku bayangkan.
Aku menjadi berpikir lebih jauh bahwa mungkin
saja perilaku seseorang bisa ditentukan dari bagaimana cara orang tersebut
meyakini Tuhan. Jika dia meyakini Tuhan sebagai sosok yang Maha Pengasih maka
kemungkinan hidupnya juga akan dipenuhi perasaan cinta dan kasih. Tapi jika
hidupnya hobi mentungin orang lain yang berbeda keyakinan dengannya aku yakin
kalau orang itu memang membayangkan Tuhan sebagai sosok Yang Maha Pentung,
bukan sosok Yang Maha Pengasih.
Yah, membicarakan Tuhan memang membikin lelah. Mungkin sebaiknya aku
menyarankan si Cacing untuk pergi berlibur agar dia tidak membuat malam-malam
kawannya dihabiskan untuk memikirkan Tuhan. Lagipula yang bikin malas dari
pembicaraan tentang Tuhan adalah sering munculnya orang-orang yang percaya
Tuhan Maha Pentung. Percayalah, kau akan malas sekali berurusan dengan
orang-orang sejenis itu. Aplikasi hiburan semacam Ketika Tuhan Menciptakan Saya
di ponsel saja sudah diprotes bagaimana dengan pembicaraan yang bersifat lebih
serius? Maka sebaiknya tulisan ini aku sudahi saja.
Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh si Cacing, jadi Tuhan seperti apa yang kamu percayai?
Kau sudah tahu jawabannya, Cing. Aku hanya percaya pada Tuhan Yang Maha Woles.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar