Sabtu, 13 Juni 2015

Tuhan Yang Maha Woles



“Tuhan seperti apa yang kamu percayai?” 

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari si Cacing, kawan baikku, pada suatu malam ketika aku pulang mendaki gunung. Aku, yang pada malam itu sedang mendengarkan lagu River dari JKT48 dan berusaha untuk tidur menjadi terjaga kembali. Pertanyaan tentang Tuhan membuat rasa kantukku menguap jauh.
Entah dalam rangka apa tiba-tiba si Cacing bertanya tentang hal itu? Mungkin dia berpikir aku pergi mendaki gunung untuk mencari keberadaan Tuhan, padahal tentu saja pikirannya itu keliru. Pertama, aku pergi mendaki gunung untuk mengusir penat akibat rutinitasku bekerja sebagai perawat. Kedua, memangnya sejak kapan Tuhan tinggal di gunung?

Tapi tetap saja pertanyaan si Cacing itu membuatku tergelitik untuk menjawabnya. Dan sisa malam itu jadi aku habiskan untuk memikirkan Tuhan.

Pertanyaan tentang Tuhan, aku yakin, merupakan sebuah pertanyaan yang sudah berusia ribuan tahun. Dimulai sejak manusia pertama kali menyadari keberadaannya di dunia ini. Kesadaran tentang dirinya dan keberadaannya membuat manusia menjadi berpikir untuk apa dan kenapa mereka ada di dunia. Ada yang pernah berkata bahwa kesadaran ini adalah sebuah kutukan bagi umat manusia karena mereka jadi harus repot-repot memikirkan segala tetek-bengek kehidupannya.  Berbeda dengan kecoa misalnya, yang tidak perlu berpikir kenapa mereka ada di dunia ini (atau mungkin kecoa juga pernah berpikir tentang hal itu? Aku tidak terlalu yakin). Kecuali jika kau memang benar-benar tidak peduli terhadap hidupmu atau hidupmu memang seperti seekor kecoa tadi, kau tidak perlu repot-repot memikirkan hal ini.

Awalnya aku pun begitu. Tidak peduli kenapa aku hidup dan untuk apa? Apalagi hidup di tengah lingkungan orang-orang beragama aku menjadi percaya begitu saja kalau hidup itu sudah terjamin. Kau berbuat baik maka kau akan masuk surga dan hidup di sana selamanya. Atau jika kau berbuat jahat maka Tuhan akan menghukummu di neraka. Kita tinggal menjalani dan tak usah berpikir macam-macam. Aku jadi berpikir mungkin itu salah satu alasan kenapa manusia membutuhkan Tuhan. Artinya, jika memang hidup itu tidak pernah mempunyai tujuan akhir atau katakanlah tidak ada kehidupan lain setelah mati maka sosok Tuhan tentu saja tidak dibutuhkan. Kau hidup terus mati dan hilang. Selesai begitu saja. Pernah mencoba memikirkan bagaimana rasanya lenyap dari dunia ini? Aku pernah mencobanya, dan rasanya seperti mau muntah.

Mungkin karena kebanyakan orang tidak sanggup membayangkan dirinya lenyap begitu saja dan keberadaanya di dunia hanyalah nihilisme belaka, maka sosok Tuhan dihadirkan. Setidaknya mereka mempunyai sebuah jaminan dan tentu saja, tujuan, bahwa hidup gak gini-gini amat yak.

Keyakinanku sendiri tentang keberadaan Tuhan masih bersifat setengah-setengah. Setengah percaya dan setengah tidak. Setengah percaya karena aku masih belum mampu menerima jika kenyataannya hidup hanyalah sebuah nihilisme belaka tanpa ada tujuan dan jaminan. Setengahnya lagi tidak percaya, karena aku masih ragu apakah keyakinan tentang Tuhan ini adalah sesuatu yang dibentuk sejak kecil (karena hidup di lingkungan orang-orang yang percaya dengan keberadaan Tuhan). Lain halnya dengan agama. Aku sudah tidak mempercayai lagi agama. Agamamu adalah tempat di mana kau lahir dan dibesarkan. Jika kau tumbuh di lingkungan dan keluarga yang beragama Islam maka kemungkinan besar kau akan beragama Islam. Kata Islam tinggal kau ganti saja dengan nama lain maka itulah agamamu. Bagiku, hal ini tidak layak disebut sebagai sebuah keyakinan karena kau tidak mencarinya sendiri melainkan dibentuk oleh lingkungan sejak kau kecil. Tapi bisa saja suatu saat kau pindah agama setelah berusaha mencari apa yang benar-benar membuatmu yakin. Baru aku bisa menyebut hal itu sebagai sebuah keyakinan. Tapi jika kau tidak pernah menegok keluar dan percaya begitu saja aku tidak menganggap itu sebagai sebuah keyakinan. Lagipula beragama itu tidak jauh berbeda dengan kau menyukai klub sepakbola, hanya saja dengan kadar fanatisme yang lebih ekstrim. Maka adalah sebuah hal yang sia-sia jika ada orang yang berdebat tentang agama. Lebih sia-sia dari usaha menggosok batu akik atau berharap Teuku Wisnu akan mencukur janggutnya.

Sebenarnya hal itu juga berlaku terhadap keyakinanku akan Tuhan. Apakah keyakinan ini adalah hasil bentukan selama aku hidup seperti halnya agama atau bukan? Tapi untuk saat ini, aku masih ingin percaya kalau Tuhan itu benar-benar ada. Sehingga aku juga bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Cacing, Tuhan seperti apa yang kamu percayai?

Entah sejak kapan aku mulai membayangkan kalau Tuhan adalah sosok yang woles. Maha Woles.Aku bahkan membayangkannya mirip dengan sosok Pak Guru Koro dalam komik Assassination Classroom yang baru-baru ini aku baca (kau harus membaca komiknya). Sosok yang woles dan sedikit konyol. Berbeda dengan gambaran beberapa orang yang melihat Tuhan sebagai sosok yang kejam. Dikit-dikit azab. Dikit-dikit hukum. Ada banjir dibilang azab Tuhan. Tsunami dibilang murka Tuhan. Semua bencana selalu dikaitkan dengan hukuman dari Tuhan. Menurutku ini aneh. Coba pikirkan sejenak. Jika percaya kalau Tuhan adalah sosok yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang lalu kenapa Dia harus marah-marah? Bukankah hal ini menjadi kontradiktif? Maha Pengasih tapi marah-marah?

Lagipula kenapa Tuhan harus marah? Jika sekarang aku bilang, Tuhan sudah mati, lalu apakah Dia marah? Bukankah Dia yang kau percayai adalah Yang Maha Tahu Segalanya? Jadi Dia pasti sudah tahu kalau aku akan berkata Tuhan sudah mati, jadi buat apa Dia harus marah? Oleh karena itu, penggambaran Tuhan sebagai sosok Yang Maha Satpam dan Maha Pentung tidak pernah cocok dengan apa yang aku bayangkan.  
Aku menjadi berpikir lebih jauh bahwa mungkin saja perilaku seseorang bisa ditentukan dari bagaimana cara orang tersebut meyakini Tuhan. Jika dia meyakini Tuhan sebagai sosok yang Maha Pengasih maka kemungkinan hidupnya juga akan dipenuhi perasaan cinta dan kasih. Tapi jika hidupnya hobi mentungin orang lain yang berbeda keyakinan dengannya aku yakin kalau orang itu memang membayangkan Tuhan sebagai sosok Yang Maha Pentung, bukan sosok Yang Maha Pengasih.

Yah, membicarakan Tuhan memang membikin lelah. Mungkin sebaiknya aku menyarankan si Cacing untuk pergi berlibur agar dia tidak membuat malam-malam kawannya dihabiskan untuk memikirkan Tuhan. Lagipula yang bikin malas dari pembicaraan tentang Tuhan adalah sering munculnya orang-orang yang percaya Tuhan Maha Pentung. Percayalah, kau akan malas sekali berurusan dengan orang-orang sejenis itu. Aplikasi hiburan semacam Ketika Tuhan Menciptakan Saya di ponsel saja sudah diprotes bagaimana dengan pembicaraan yang bersifat lebih serius? Maka sebaiknya tulisan ini aku sudahi saja.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh si Cacing, jadi Tuhan seperti apa yang kamu percayai? Kau sudah tahu jawabannya, Cing. Aku hanya percaya pada Tuhan Yang Maha Woles.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar