Sabtu, 19 September 2015

Tentang si Bapak, Nabi Nuh, dan Derita Seekor Semut

Ini gara-gara si Raras yang memposting foto bapaknya di era kenakalan remaja, dahulu sebelum ketemu mamahnya si Raras lalu mereka menikah dan lahirlah Raras. Luar biasa betul kerennya, pikir saya. Saya jadi berpikir apa hal-hal keren yang pernah dilakukan oleh si bapak ya?

Saya yakin kalau si bapak bukan seseorang yang keren. Beliau bukan remaja kekinian pada zamannya. Bukan snobs atau hipster atau apalah itu yang terlihat keren di zamannya. Pengetahuan musiknya bahkan berbanding lurus dengan suaranya yang sumbang kalau bernyanyi (dan sialnya suara sumbangnya itu diwariskan kepada saya. Luar biasa betul).

Dari ceritanya yang sering beliau ceritakan kepada saya, saya yakin kalau si bapak adalah tipe anak baik yang berbakti kepada orang tua. Tabiatnya lurus. Tipe anak baik-baik yang ketakutan setengah mampus untuk bolos sekolah dan tidak pernah terlibat kenakalan-kenakalan khas remaja lainnya. Bukan pusat perhatian di sekolah dan tentu saja bukan tipe seorang siswa idola dedek-dedek gemes. Saya bahkan tidak tahu apakah si bapak pernah punya pacar sebelum menikah dengan si mamah?

Kalau pun sekarang bisa dibilang saya adalah seorang yang nakal dan brengsek saya yakin kalau hal itu bukan warisan dari si bapak, tapi warisan kakek dari pihak si mamah. Tentang kakek yang satu ini mungkin saya akan menuliskannya di kesempatan lain. 

Untuk kali ini, saya hanya akan menulis tentang si bapak.

Si bapak kerap kali bercerita kepada saya tentang masa kecilnya. Biasanya itu dilakukan ketika malam hari sepulangnya beliau melaksanakan sholat Isya di mushola dekat rumah. Sambil merokok (favoritnya adalah Gudang Garam Filter dan itu juga diwariskan kepada saya) beliau akan bercerita tentang masa kecilnya yang bisa dibilang memprihatinkan.

Beliau anak ke empat dari delapan bersaudara (sebenarnya malah 12 bersaudara, tapi empat sisanya mati ketika masih kecil). Kakek dan nenek saya hanya seorang petani biasa. Untuk menambah penghasilan mereka memelihara beberap ekor kambing. Ayah saya beserta saudara-saudaranya yang lain yang kerap kali diserahi tugas untuk memberi makan dan menggembalakan kambing.

"Dulu mah nih ya bapak sebelum berangkat sekolah harus ngambil rumput dulu di sawah buat makan kambing. Nanti sorenya pas pulang sekolah harus pergi lagi ke sawah buat gembalain kambing" katanya sambil menghembuskan asap rokoknya. Asap rokoknya akan mengepul dan bergoyang-goyang di udara sebelum lenyap.

"Kamu mah sekarang enak. Berangkat sekolah tinggal minta duit lalu pulang sekolah bisa main" lanjutnya.

Glek. Biasanya saya akan menelan ludah setelah mendengarnya.

Di lain kesempatan si bapak bercerita tentang pengalamannya menangkap monyet kabur. Ketika itu, di pasar ada sebuah pertunjukan topeng monyet. Entah karena malas atau lapar tiba-tiba saja si monyet itu kabur. Kontan saja para penonton langsung memburunya. Si bapak termasuk ke dalam salah seorang di antara mereka.

Selepas SMP si bapak melanjutkan sekolah ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Kota Kuningan. Sekarang sekolah itu sudah tidak ada dan digantikan oleh SMAN 3 Kuningan. Lucunya, saya juga bersekolah di bangunan bekas sekolah si bapak.

Sekolah itu juga pada zamannya bisa dibilang bukan sekolah pilihan. Sekolah kelas dua. Maklum saja, menjadi guru pada waktu itu adalah hal yang sangat dihindari oleh orang-orang. Jarang ada yang mau menjadi seorang guru. Gajinya kecil. Tidak seperti sekarang. Orang-orang lebih memilih menyekolahkan anak mereka ke SMA.

Sampai di sini bisa dibilang si bapak tidak keren sama sekali. Tapi pernah suatu kali beliau bercerita, entah dalam rangka melucu atau apa, tentang Bahtera Nabi Nuh dan seekor semut. Saya memang sering didongengi oleh beliau tentang kisah-kisah para nabi tapi ceritanya tentang Nabi Nuh kali ini sungguh berbeda. Waktu itu saya masih kecil dan belum memahami leluconnya. Saya juga baru ingat kembali cerita itu belakangan ini ketika sedang mencoba menulis cerpen.

Ceritanya begini.

"Kamu tahu kenapa setiap seekor semut bertemu dengan sesamanya mereka sering terlihat bersalaman dan saling menyapa?" tanya si bapak. Saya menggeleng. Tidak tahu.

Semua berawal dari peristiwa banjir besar yang terjadi pada zaman Nabi Nuh. Seperti yang dikatakan dalam kitab suci, Tuhan pernah memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat kapal yang luar biasa betul besarnya. Kapal itu harus bisa memuat semua orang juga makhluk hidup lainnya karena Tuhan akan mengirimkan sebuah banjir besar.

Nuh melaksanakan perintah Tuhannya. Dia mulai membangun kapalnya yang berukuran sangat besar. Tapi orang-orang di sekitarnya malah mencemoohnya. Menganggapnya sudah gila. Beberapa orang bahkan sengaja berak di kapalnya sebagai tanda ejekan kepada Nuh.

Nuh tetap sabar dan melanjutkan pembangunan kapal itu. Dia juga tetap tidak putus asa untuk mengajak orang agar nanti mau menaiki kapal tersebut. Agar semua orang percaya pada perintah Tuhan. Tapi hanya segelintir saja orang yang mau percaya.

Banjir besar yang diramalkan oleh Tuhan pada akhirnya terjadi juga. Sementara Nuh dan beberapa pengikutnya sudah berada aman di atas kapal, orang-orang yang dulu mencemoohnya tenggelam terbawa arus (termasuk istri dan anak Nuh sendiri).

Tapi rupanya muatan di kapal tersebut terlalu berat. Karena ternyata   semua binatang juga ikut menaiki kapal tersebut. Kapal itu pun oleng dan terancam tenggelam.

Seorang penumpang kapal kemudian bertanya kepada Nuh apa yang harus dilakukannya. Kemudian Nuh memerintahkan kepada mereka untuk membuang barang-barang yang tidak terlalu penting. Mereka mengikuti nasihatnya. Beberapa barang yang dianggap tidak penting mereka buang. Tapi kapal itu masih saja oleng.

Setelah hampir putus asa, akhirnya Nuh mendapat sebuah ide yang sangat brilian. Dia memerintahkan seluruh penumpang kapal tersebut (termasuk binatang) untuk melepaskan alat kelaminnya masing-masing lalu mengumpulkannya dalam karung dan membuangnya. Nanti saat banjir surut karung itu diambil kembali. Mereka mengikuti sarannya dan luar biasa betul kapal itu selamat dan tidak jadi karam.

Masalah baru muncul saat banjir surut dan semua penumpang kapal berebut mengambil alat kelaminnya masing-masing. Tentu saja yang paling sial adalah semut. Karena alat kelamin mereka berukuran sangat kecil jadi ada beberapa semut yang tidak berhasil mendapatkannya kembali. Maka sejak saat itu setiap kali seekor semut bertemu dengan sesamanya mereka terlihat seperti sedang saling menyapa. Padahal mereka bukan saling menyapa, mereka hanya bertanya,

"Eh, kontolmu masih ada nggak?"

Andai saja si bapak menceritakan kisah ini sekarang, saat saya sudah lebih dewasa, sudah tentu saya pasti akan tertawa terbahak-bahak. Tapi waktu itu saya masih kecil, masih belum paham leluconnya. Saya juga tidak yakin apakah waktu itu si bapak sengaja melucu atau sekedar ingin bercerita saja. Tapi sekarang setiap mengingat cerita itu saya selalu cengar-cengir sendiri. Saya tidak tahu dari mana si bapak dapat cerita itu. Tapi selera humornya luar biasa betul bangsatnya. Dan itu keren sekali.

Tidak, saya tidak pernah menyesal seandainya pun si bapak tidak pernah melakukan hal-hal yang bisa dibilang keren. Bagi saya, apa pun yang sudah dilakukannya untuk saya akan tetap saya anggap keren. Tidak peduli seculun apa pun si bapak di masa lalu dia akan tetap menjadi sosok yang paling keren. 

Saya pun berharap demikiam. Semoga di mata si Riry saya akan tetap terlihat sebagai ayah yang keren meskipun mungkin pada kenyataannya saya adalah seorang ayah yang payah.

Yah, semoga saja begitu. Ah, kenapa saya jadi sedih begini sih?


Tambun Selatan, 20 September 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar