Selasa, 05 Januari 2016

Si Kacung

Orang-orang di kampung memanggilnya Kacung. Ketika teman-teman sebayanya sudah duduk di kelas 5 SD Kacung masih tetap tinggal di
kelas 2. Di tahun selanjutnya Kacung memutuskan untuk berhenti
sekolah. Kini kerjanya hanya menggembala kambing di sawah. Atau
mengambil rumput untuk pakan kambingnya.

Sore itu Kacung tertidur setelah seharian mengambil rumput. Ketika
terbangun matahari sudah tergelincir di ufuk barat. Ia lalu bergegas
pulang karena takut hari keburu malam.

Sawah tempatnya mengambil rumput terletak cukup jauh dari kampungnya. Sawah itu terletak di pelosok kampung yang berbatasan dengan hutan luas dan sebuah lembah. Setelah musim panen usai orang-orang di kampung biasanya akan berburu babi di hutan itu bersama anjing-anjing yang sudah mereka latih.


Kacung mempercepat langkahnya. Rumput yang ia pikul terasa berat tapi ia tetap memaksakan langkahnya. Kadang ia menyelanya dengan berlari-lari kecil. Langit sudah mulai gelap dan ia tidak membawa penerang apa pun.

Ketika berjalan menyusuri tepian sungai Kacung berpapasan dengan tiga
orang manusia yang terlihat aneh di matanya. Tubuh mereka
pendek-pendek tapi berambut panjang sebahu. Mereka hanya
bertelanjang dada. Salah seorang diantara mereka terlihat membawa
banyak ikan. Mungkin mereka habis memancing dan akan pulang ke
rumahnya. Tapi Kacung heran karena jalan yang diambil ketiga orang itu
berlawanan arah dengan jalan menuju kampung.

"Mau pada ke mana, Mang?" Kacung menyapa ketiga orang itu.

Tidak ada yang menjawab sapaannya. Ketiganya malah berbicara satu sama
lain dengan bahasa yang tidak Kacung mengerti.

Orang-orang yang aneh, pikir Kacung. Dari tubuh mereka tercium bau
amis yang luar biasa menyengat hidungnya. Suara mereka sengau seperti seseorang yang sedang terserang pilek berat. Yang paling aneh dari ketiga orang itu adalah kakinya. Mereka mempunyai tumit kaki terbalik. Tumit kaki mereka berada di depan sedangkan jari kakinya di belakang. Dan mereka terus berbicara dalam bahasa yang tidak Kacung mengerti.

Naluri Kacung mendorongnya untuk tidak berlama-lama berada di sana. Kacung memutuskan untuk segera
pergi meninggalkan mereka. Langkahnya semakin cepat.

Langit semakin gelap. Bau amis ikan dari orang-orang aneh itu masih menempel di hidungnya.
Suara dan bahasa aneh mereka juga masih terngiang di telinganya. Kacung
tidak lagi berjalan. Ia mulai berlari. Rumput yang sedari tadi dipikulnya ia tinggalkan begitu saja. Ia ingin segera sampai ke rumahnya. Ia tidak lagi peduli dengan keringat yang mulai membasahi tubuhnya, perih yang bersarang di telapak kakiknya dan rasa pegal pada betis-betisnya. Ia ingin segera sampai di rumah. Hanya itu.

Tapi sejak hari itu Kacung tidak
pernah kembali ke kampungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar