Senin, 27 Juni 2016

Manihot Utilissima (Bagian 2)

Aku meninggalkan Cardosso setelah empat tegukan kopi dan membayar untuk novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Ia melambaikan tangannya ketika aku berpamitan. Langit semakin gelap. Mungkin benar kata Cardosso, malam nanti akan turun hujan.

Jarak dari toko buku milik Cardosso ke tempat kosku tidak terlalu jauh. Aku menyempatkan diri mampir di sebuah minimarket untuk membeli sebotol air mineral, sebungkus Marlboro dan beberapa buah cemilan. Jika malam nanti hujan turun mungkin aku akan mendekam di dalam kamar semalaman dan menghabiskan Sabtu malamku dengan membaca novel yang baru saja aku beli tadi.

Aku tiba di tempat kosku ketika adzan Maghrib berkumandang. Tidak jauh dari tempat kosku berdiri sebuah mushola kecil yang biasa digunakan oleh warga di sekitar situ untuk sholat dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Mushola itu selalu sepi, tentu saja. Kata guru agamaku ketika SD, itu adalah tanda-tanda kiamat. Kamu tahu tanda kiamat lainnya? Wafatnya Lemmy Killmister dan David Bowie.

Aku memarkir motorku di teras rumah agar tidak terguyur hujan. Bangunan itu terdiri dari dua lantai. Kamarku terletak di lantai dua. Tempatnya tidak terlalu bagus tapi aku kerasan tinggal di sana. Selain itu harga sewanya juga masih terhitung lebih murah dibandingkan dengan tempat lain. Ada delapan orang lagi yang tinggal di sana selain aku. Pemiliknya adalah seorang juragan angkot yang tinggal di sebuah rumah yang berjarak beberapa blok dari tempat ini. Ia bilang kalau tempat ini adalah pondok kos khusus lelaki. Tapi beberapa penghuninya sering menginapkan perempuan di sana.

Yang paling sering adalah Andreas Si Tampan, penghuni kamar paling pojok di lantai bawah. Wajahnya memang tampan. Ia mewarisi dagu persegi dan muslihat pria-pria Italia dan setajir syeh-syeh Uni Emirat Arab. Hanya saja otaknya sedungu keledai. Ia sudah kos di tempat ini selama dua tahun dan kuliah di jurusan teknik informatika selama tujuh tahun dan setiap malam menginapkan perempuan yang berbeda-beda. Ia selalu berkilah kalau tempat kos yang ia tinggali tidak pernah kondusif dipakai untuk belajar sehingga kuliahnya terhambat. Aku ingin sekali bilang di depan wajah tampan sekaligus dungunya itu, "oohhhh Andreas Si Tampan, kalau saja kau lebih sering menggunakan otakmu daripada kontolmu itu, aku yakin kuliahmu tidak akan tertunda selama ini". Tapi aku tidak pernah mengatakannya, karena ia selalu berbuat baik kepadaku dan terutama, karena belakangan ini aku malah semakin yakin kalau otaknya memang sudah berpindah dari kepala ke kontolnya. Dia hanya perlu pergi ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan CT-Scan kepala untuk memastikannya.

Para penghuni kos yang lain juga suka menginapkan perempuan (termasuk aku), meskipun dengan frekuensi yang jauh di bawah Si Tampan Andreas. Ketampanan dan uang, mungkin menjadi faktor utamanya. Tampangmu pas-pasan tapi punya banyak uang, kau bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Uangmu pas-pasan tapi tampangmu setampan Chris Evans, kau juga masih bisa mendapatkan perempuan. Kalau tampangmu pas-pasan dan isi dompetmu tidak ada bedanya seperti nafas kakek-kakek yang sedang sekarat, yaah itu mungkin waktu yang paling tepat bagimu untuk belajar mensyukuri apa yang kamu miliki kepada Tuhan.

Di antara ke delapan penghuni kosan, hanya Irfan Saleh yang tidak pernah aku temui menginapkan perempuan. Ia memang tidak pernah menginapkan perempuan, ia menginapkan laki-laki.

***

Rasanya aku tertidur cukup lama dan sempat bermimpi. Di dalam mimpi itu aku berada di sebuah hutan pinus. Rasanya seperti hutan pinus di daerah Palutungan yang sering aku kunjungi semasa SMA. Masih pagi. Sinar matahari menerobos celah dedaunan pinus. Ada sebuah jalan setapak yang membelah hutan pinus itu. Di ujung jalan itu berdiri sebuah rumah dengan sebuah kolam ikan kecil di depannya. Aku ingat rumah itu. Itu rumah Gloria. Rumah Gloria tidak berada di hutan pinus tapi aku tahu kalau itu adalah rumah Gloria. Aku bisa melihat bangku kecil di depan jendela yang dulu sering aku duduki dan mengobrol sepanjang malam bersama Gloria di sana.

Aku masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu aku bertemu dengan kakek dan nenek Gloria. Mereka berdua duduk berdampingan di sebuah sofa berwarna merah jambu yang mulai pudar warnanya. Si kakek sedang asik membolak-balik surat kabar, sedangkan si nenek begitu tekun menyulam kain. Sudah lama sekali aku tidak melihat mereka. Aku tiba-tiba merasa begitu merindukannya.

Ketika aku masuk mereka berdua tersenyum ramah kepadaku. Mereka tidak bicara apa-apa kepadaku seperti merasa kalau dunia yang kita huni berbeda. Aku juga tidak bicara apa-apa,  aku hanya terus berjalan masuk ke dalam rumah. 

Di ruang tengah sebuah televisi dibiarkan menyala tanpa ada seorang pun yang menontonnya. Di samping kiriku adalah kamar Alfonso. Pintunya tertutup. Aku tidak tahu apakah Alfonso ada di dalam atau tidak. Aku melewatinya. Aku terus berjalan. Melewati sebuah kursi panjang yang dipenuhi tumpukan pakaian yang belum disetrika. Aku berjalan menuju kamar Gloria yang terletak di samping kanan sebelum dapur.

Aku mendorong pintu kamar Gloria dengan pelan. Sinar matahari ikut menerobos masuk. Aku menemukan Gloria sedang tertidur di sana. Mengenakan kaos putih dan celana dalam berwarna hitam. Aku berjalan mendekatinya. Sinar matahari mengenai wajahnya. Itu Gloria, tapi Gloria ketika masih SMP. Rambutnya masih pendek. Dan ia tidur seperti bayi.

Aku duduk di sebelahnya, melihatnya yang sedang tidur seperti bayi. Gerakan dadanya naik turun dengan teratur. Aku tidak ingin mengganggunya. Tapi kemudian ia terbangun dan menatapku. Wajahnya terlihat sedih. Ia seperti baru kehilangan hal-hal yang sangat penting dalam hidupnya. Ia tidak bicara apa-apa.

Aku balik menatap wajahnya, gerakan dadanya yang naik dan turun dengan teratur, dan celana dalamnya yang berwarna hitam. Kami tidak berbicara apa-apa, hanya saling menatap. Dan wajahnya terlihat sedih.

Lalu aku mendekatinya. Kedua tanganku bertumpu di kasurnya yang empuk dan mulai mencium bibirnya. Gloria membalas ciumanku. Kami berciuman. Saling berpagut dan membalas. Ciuman itu terasa lama, seperti ciuman pertama kami di bangku kecil di depan rumahnya dulu, seperti ciuman kami di sebuah sekolah tua ketika menunggu hujan reda, seperti ciuman kami sebelum bercinta di atas ranjang sebuah hotel murahan. Dan aku mulai terangsang dan penisku mulai menegang.

Lalu Gloria bangkit dan turun dari ranjangnya. Ia berdiri di depanku, berjongkok dan mulai membuka celanaku. Ia menariknya dan menurunkannya dengan perlahan. Dan ia tetap tidak bicara apa-apa.

Penisku semakin tegang, merah dan mengeras. Gloria mulai mengocoknya dengan perlahan. Lalu ia menghisapnya. Terasa hangat dan lembut dan basah. Hangat. Lembut. Basah. Dan hangat. Dan lembut. Dan basah. Ia terus menghisapnya dengan perlahan, dengan kecepatan teratur seperti hitungan metronom. Sesekali lidahnya menjilati ujung penisku seperti sedang menjilati permen lolipop. Lalu menghisapnya lagi. Memasukkan semua penisku ke dalam mulutnya, mengeluarkannya lagi, memasukkanya lagi, lalu menghisapnya, terus dan terus dan terus. Hangat. Lembut. Dan basah.

Aku memegang kepalanya, menahannya ketika penisku berada di dalam mulutnya, dan mengusap-usap rambutnya yang pendek. Ia masih menghisap penisku. Aku memejamkan mata. Membayangkan wajahnya yang sedih. Aku merasa nikmat, seolah seluruh aliran darah dan nafasku terhisap olehnya. Jantungku mulai berdetak kencang. Dug dug dug seperti memukul-mukul rongga dadaku. Aku merasa bersalah. Aku merasa nikmat. Aku merasa akan mencapai puncak. Sebentar lagi. Sedikit lagi. 

Lalu aku terbangun.

Anjing.

***

Aku terbangun pukul delapan malam. Sebuah kipas angin berputar pelan di sampingku dan terasa dingin di kulit. Aku meraih botol air mineral yang tadi aku beli dan meminum isinya beberapa tegukan. Aku bersandar pada tembok, mengeluarkan bungkus rokok, membakarnya dan memikirkan mimpi yang baru aku alami. 

Mimpi tadi membuatku kembali  teringat Gloria. Sialan, aku jadi terus-terusan memikirkannya. Aku berpikir untuk menghubunginya. Kebetulan sore tadi kami sempat bertukar nomor ponsel. Segera saja aku meraih ponselku dan mencari nama kontaknya. Tapi sesaat kemudian aku menjadi ragu.  Untuk apa aku menghubunginya? Tidak ada urusan apa-apa lagi di antara kita. Dan mungkin saja ia juga masih membenciku dan belum bisa memaafkanku. Entahlah, setelah sore tadi bertemu dengannya dan memimpikannya aku merasa ada rasa bersalah yang tidak bisa aku pahami yang menyelinap masuk ke dalam perasaanku. Apakah karena dulu aku meninggalkannya begitu saja atau karena aku menyadari kalau orang-orang penting dalam hidupnya sudah mati, aku tidak tahu pasti. Anjing. Perasaan semacam itu benar-benar menyiksaku.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat ke ponselnya. Hanya sapaan "hai". Aku tidak tahu apakah ia akan membalasnya atau tidak. Aku sedikit berharap ia akan membalasnya. Aku menunggunya sampai dua batang rokokku habis dan pesanku tetap tidak berbalas.

Aku mulai berpikir untuk meneleponnya. Tapi aku juga tidak tahu apa yang akan aku katakan nanti. Aku juga ragu kalau ia akan mengangkat teleponku. Anjing. Semuanya menjadi serba salah buatku. Aku melemparkan ponselku begitu saja ke atas kasur dan kembali membakar rokok.

***

Ponselku berdering. Tiba-tiba aku berharap kalau itu Gloria. Ternyata bukan. Dari Joni Peler, kawan dekatku. 

Aku mengangkatnya dan bicara dengan malas. 

Joni Peler mengajakku keluar. Aku bilang di luar hujan (sebetulnya aku juga sedang malas keluar malam ini). Ia bilang kalau hujan sudah berhenti dan terus menerus memaksaku. Temani aku, aku ada tugas memotret, katanya. Oke, tapi aku malas bawa motor, kataku. Ia bilang, jangan khawatir 30 menit lagi aku jemput. Lalu telepon mati.

Aku beranjak dar tempat tidurku dan meregangkan otot-ototku yang kaku. Aku membuka pintu kamar. Udara dari luar dingin menyerbu kulitku. Aku membakar rokok dan duduk di kursi di depan kamarku. Hujan sudah berhenti. Hanya tinggal sisanya yang menetes satu per satu dari genteng kosku. Pintu kamar yang lain tertutup semua. Aku tidak tahu apakah mereka semua sudah pergi keluar atau malah diam di kamarnya masing-masing.

Aku kembali melihat ponselku dan pesanku belum juga dibalas oleh Gloria. Aku mulai putus asa. Aku mulai yakin kalau ia memang masih membenciku dan malas berhubungan denganku lagi. Ada untungnya juga Joni Peler mengajakku keluar. Mungkin itu lebih baik daripada menghabiskan malam dengan perasaan tersiksa seperti ini. 

Aku mematikan rokokku, mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku putuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum pergi. Masih banyak waktu sebelum Joni Peler datang. Aku membuka kran dan menunggu air mengisi penuh emberku. Aku menunggu sambil mengingat Gloria yang sekarang mirip penyanyi dangdut. Aku mengingat-ingat lagi di mana aku pernah melihat penyanyi dangdut yang serupa seperti Gloria. Tapi sampai air di emberku penuh aku tetap tidak bisa mengingatnya.

Aku mulai mengguyur kepalaku, lalu seluruh badanku. Aku mencoba mengingat kembali mimpiku tadi. Hutan pinus. Rumah Gloria. Sebuah kolam ikan kecil. Kakek dan nenek Gloria. Kamar Alfonso yang tertutup. Televisi yang terus menerus menyala. Tumpukan pakaian. Lalu kamar Gloria. Lalu Gloria yang sedang tidur seperti bayi. Gerakan dadanya. Celana dalamnya yang berwarna hitam. Lalu Gloria yang masih SMP. Gloria yang berwajah sedih. Aku kembali mengingatnya, membayangkannya, dan mulai bermasturbasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar