Kamis, 23 Juni 2016

Manihot Utilissima

Anjing.

Bagi orang Sunda kata itu bisa bermakna macam-macam.

Umpatan :

"Ahh, anjing"

Marah :

"Anjing, sia!"

Kagum :

"Anjiiiing keren pisan!"

Dan bahkan keakraban :

"Anjing sia kamana we, anjing? Hirup keneh, anjiing?

Atau bisa juga bermakna lain.

"Anjing..." gumamku tak percaya ketika berpapasan dengan seorang perempuan di dekat pintu keluar sebuah kedai kopi. Aku baru saja hendak meninggalkan kedai kopi tersebut ketika kami berpapasan.

Wajahnya mirip Gloria tapi penampilannya sangat berbeda dengan Gloria yang aku kenal. Ia mengenakan dress hitam dengan hiasan manik-manik di lehernya. Riasan wajahnya seheboh pasar malam -- alis matanya setebal alis Sinchan dengan gincu merah menyala yang ia poles di bibirnya. Ia memakai wedges setebal 10 senti yang membuat tinggi badannya hampir sejajar denganku. Tangan kirinya mencangkol sebuah tas berwarna hitam dengan logo Louis Vitton berwarna emas di tengahnya yang aku yakin ia beli di Tanah Abang atau Blok M atau PGC atau di tempat grosir mana saja yang menjual produk KW. Tangan kanannya sibuk memainkan ponsel. Dan anjing, ia terlihat lebih mirip penyanyi dangdut daripada Gloria yang aku kenal dulu.

"Kamu Gloria, kan?" tanyaku sedikit ragu.

Perempuan itu berhenti memainkan ponselnya dan balik menatapku.

"Antonio?" jawabnya beberapa saat kemudian dengan nada yang sama ragunya denganku. Mungkin ia juga kaget karena bertemu denganku di sini. Hampir lima tahun kami tidak bertemu dan saling berkomunikasi.

Ia mantan pacarku. Aku mengenalnya dari kakaknya, Alfonso. Alfonso adalah kawan dekatku. Kami satu sekolah ketika SMA. Waktu itu aku sedang patah hati setelah pacarku berselingkuh dengan temanku sendiri. Alfonso kemudian mengenalkanku pada Gloria. Entah bagaimana mulanya tapi kemudian kami berpacaran. Ia masih kelas tiga SMP saat itu.

Usia Gloria dua tahun di bawahku. Dulu ia tomboy. Rambutnya dipotong pendek dan tidak pernah mau memakai rok kecuali saat pergi sekolah. Ia pernah menjotos muka salah seorang teman sekelasnya gara-gara bocah itu terus-terusan menggodanya. Semasa SMA ia ikut bergabung dengan klub pecinta alam, menjadi vokalis di sebuah band rock dan menggemari Paramore. Aku merasa cocok dengannya. Kami sering menghabiskan waktu membicarakan band-band pop punk kesukaannya, acara serial kartun Spongebob Squarepants, atau manga-manga yang pernah kami baca.

Kedua orangtuanya tinggal di Jakarta. Ia pindah ke kota ini ketika SMP dan tinggal bersama kakek dan neneknya. Gloria bercerita kalau kedua orang tuanya merasa khawatir dengan pergaulan remaja di Jakarta sehingga mereka memutuskan untuk memindahkannya ke kota kecil ini.

Hubungan kami hanya bertahan satu tahun. Ia selingkuh dengan salah seorang temannya yang jago menggambar. Anjing. Aku patah hati dan setelah peristiwa itu aku kehilangan kontak dengannya.

Selepas lulus SMA aku melanjutkan kuliahku di Cirebon. Di tahun-tahun pertama kuliahku, aku kembali berhubungan dengannya. Ia sudah SMA, masih tomboy, meski sesekali ia mau berdandan sedikit. Rambutnya ia biarkan tumbuh panjang. Ia sudah lama berpisah dengan pacarnya yang jago menggambar itu. Aku sendiri sempat beberapa kali bergonta-ganti pacar dan tidak ada satu pun yang bertahan lama.

Lalu kami kembali berkencan, pergi menonton film di bioskop, berciuman di sebuah sekolah tua sembari menunggu hujan reda dan berhubungan seks untuk pertama kalinya. Kami melakukannya di sebuah hotel murahan di sekitar stasiun kereta. Setelah selesai berhubungan ia bertanya apakah ini pertama kali aku melakukannya, aku bilang iya. Tentu saja aku berbohong. Dan kami terus melakukannya sampai malam. Dan terus melakukannya jika ada kesempatan.

Aku juga kembali berkunjung ke rumahnya. Bertemu dengan kakek dan neneknya yang semakin renta (tapi tidak ada Alfonso -- ia berkuliah di Bandung) dan sekali-kali mencuri kesempatan untuk bisa mengentotnya di sana, di kamarnya, di kamar mandi, atau di ruang tamu.

Kadang kami melakukannya di rumahku ketika orang tuaku pergi. Atau di hotel-hotel kelas melati yang bisa kami temui. Kadang kami melakukannya sambil menonton film porno. Melakukannya sambil mendengarkan album Dookie dari Green Day. Dan tetap melakukannya meskipun salah satu di antara kami sedang sakit. Selama ada kesempatan kami pasti akan melakukannya.

Aku menyukai gaya bercintanya yang liar dan sepanas bintang film porno dan payudaranya yang kecil dengan puting berwarna merah muda dan bulu-bulu hitam yang baru tumbuh di atas vaginanya. Setelah selesai bercinta kami kembali membicarakan manga-manga kesukaan kami (favoritnya saat itu adalah Slam Dunk dan Hunter X Hunter), novel-novel detektif karya Sir Arthur Conan Doyle dan Edgar Alan-Poe, dan album-album pop punk dan emo tahun 2000an.

Tapi hubungan kami kali ini tidak berjalan lama. Hanya bertahan tiga bulan. Ia mulai bersikap posesif dan hal itu membuatku merasa tidak nyaman. Kami menjadi lebih sering terlibat pertengkaran daripada bercinta. Aku mulai bosan. Aku kemudian berselingkuh dengan perempuan lain dan meninggalkannya begitu saja. Hidup lumayan adil, bukan?

Setelah itu aku benar-benar kehilangan kontak dengannya. Bukan hanya itu, aku juga kehilangan kontak dengan Alfonso. Setelah peristiwa itu tampaknya Alfonso juga menjadi ikut-ikutan membenciku. Aku tidak pernah bertemu lagi dengan pasangan kakak-beradik itu sampai kemudian secara tidak sengaja aku berpapasan dengan Gloria di kedai kopi ini.

Kami bercakap-cakap sebentar. Ia bilang sengaja berkunjung ke sini untuk berziarah ke makam kakek dan neneknya (anjing! aku baru tahu kalau mereka semua sudah meninggal) dan janjian bertemu dengan teman-teman SMAnya di kedai kopi ini. 

"Kamu lama di sini?"

"Enggak. Lusa juga balik"

"Bagaimana kabar ibu?"

Ia tidak langsung menjawab. Raut wajahnya malah berubah seketika.

"Ibu sudah meninggal" ia menjawab pelan tapi cukup untuk membuat kepalaku serasa ditimpuk batu bata. Aku ingin bertanya lebih lanjut tapi mengurungkannya. Suasananya malah berubah menjadi canggung.

Kami sempat bertukar nomor ponsel sebelum berpisah. Sebenarnya aku berharap ia akan mengajakku minum kopi bersamanya. Ternyata tidak. Mungkin ia masih membenciku atau pertanyaanku tentang ibunya membuat suasana hatinya buruk, aku tidak tahu. Ahh anjing, aku mengumpat dalam hati.

***

Aku mampir sebentar ke toko buku Ohara. Itu adalah toko buku kecil yang dikelola oleh pria ceking bernama Cardosso, atau begitu setidaknya ia biasa dipanggil. Teman-temannya bilang kalau Cardosso agak sinting. Aku juga berpikir kalau ia memang betulan sinting. Membuka toko buku di kota kecil dan di zaman seperti ini memang cuma berani dilakukan oleh orang-orang sinting saja.

Cardosso membuka toko buku ini dua tahun yang lalu. Ia mengaku mendapat warisan dari kakeknya. Tidak banyak, katanya, tapi cukup untuk membuka sebuah toko buku kecil dan mabuk-mabukan.

Tempat itu berukuran kecil dengan dua rak buku yang membentuk huruf L. Di pojok ruangan terdapat sebuah meja dan dua buah kursi tempat Cardosso biasa duduk sambil memainkan laptopnya, menyusun daftar-daftar lagu yang akan diputarnya hari itu. Tempat itu menyediakan buku-buku dari penerbit-penerbit independen yang tidak dijual di toko buku besar macam Gramedia. Kebanyakan mengenai sastra, filsafat, analisa politik-sosial, dan budaya.

Ketika tiba di sana Cardosso sedang memutar lagu Silampukau dari speaker yang dicolok langsung ke laptopnya. 

Musisi Gusti musisi...

"Oy.." ia menyapaku. Rambutnya berantakan dengan kantung mata yang bisa menyaingi SBY ketika menjabat sebagai presiden. Ia hanya mengenakan singlet berwarna putih dan celana jins yang ia potong secara sembarang di atas lutut. Udara di dalam terasa panas meskipun sebuah kipas angin sudah dipasang di atasnya dan terus menerus menyala. Mungkin malam nanti akan turun hujan.

"Lagi sepi, eh?" tanyaku.

Cardosso malah tertawa.

"Kau pikir kapan toko buku pernah ramai?" ia balik bertanya.

"Gramedia selalu ramai"

"Gramedia mah bukan toko buku. Itu mah toserba. Toko serba ada. Barbel aja dijual di sana. Tinggal nunggu waktu aja sebelum mereka jualan sembako." katanya sembari tertawa semakin keras.

Dasar sinting.

Aku melihat-lihat rak buku. Tidak terlalu banyak buku yang dijual di sini. Aku melihat beberapa judul buku yang belum aku baca. Mengambilnya, melihat sampulnya, membaca blurb di bagian belakangnya, lalu menyimpannya kembali. Aku mungkin termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menilai kalau sampul buku sama penting dengan isinya. Pepatah "jangan menilai buku dari sampulnya" tidak berlaku buatku. Aku pernah batal membeli novel Cantik Itu Luka gara-gara sampulnya yang masya-Alloh-butut-banget. Padahal novelnya bagus (aku pernah membaca novel itu sekali dan membelinya sebelum sampulnya berubah, lalu novel itu aku pinjamkan kepada seorang teman dan tidak pernah balik lagi). Ironisnya, menurut pengakuan penulisnya sendiri, novel dengan sampul yang masya-Alloh-butut-banget tersebut justru memegang rekor penjualan terbanyak dibanding dengan sampul-sampul sebelumnya. Hah!

Ohara memang tidak pernah ramai tapi biasanya tempat itu sering dikunjungi oleh para mahasiswa yang berkuliah tidak jauh dari tempat itu. Tapi kali ini hanya ada aku di sana. Mungkin karena sekarang akhir pekan, pikirku.

"Apa yang baru?"

"Karya-karya Puthut EA dicetak ulang tuh"

Cardosso kemudian bangkit dari kursinya, mengambil sebuah buku dan memberikannya padaku. Sebuah buku berjudul Seekor Bebek Yang Mati di Pinggir Kali, salah satu buku kumpulan cerpen milik Puthut EA.

"Sudah baca?" tanya Cardosso. Aku menggeleng.

"Aku baru baca Cinta Tak Pernah Tepat Waktu"

"Ah.. Kisah cinta yang menyebalkan.." kata-kata Cardosso menggantung di udara. Aku melirik ke arahnya. Ia tampak seperti sedang terkenang sesuatu.

"Begitulah" kataku sambil kembali memilih-milih buku di rak.

"Tapi aku belum pernah merasakannya sih" sambungku.

"Aku sudah" kata Cardosso. Lalu ia kembali tertawa keras. Tapi tawanya kali ini terdengar pahit.

Cardosso menawariku kopi. Aku menganggukkan kepala. Ia kemudian pergi keluar memesan dua gelas kopi di sebuah warung kecil di samping tokonya. Beberapa menit kemudian ia datang dengan menenteng dua gelas kopi Kapal Api hitam di gelas plastik. Aku bilang taruh saja di luar. Ia kemudian menaruhnya di sebuah bangku panjang yamg berada di depan tokonya dan duduk di sana, merokok. Aku menyusulnya setelah memutuskan untuk mengambil novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom.

"Panas banget. Kayaknya mau hujan" kata Cardosso setelah aku duduk di sampingnya. 

"Hmmm. Mungkin" jawabku singkat. Aku melihat langit sore itu. Sudah mulai gelap. Aku mengeluarkan sebungkus Marlboro dari saku celanaku dan membakarnya sebatang. Kami berbincang-bincang mengenai beberapa hal. 

"Kamu tahu penulis bernama Manihot Utilissima?" tanya Cardosso.

"Hah? Siapa?"

"Ma Ni Hot U Ti Lis Si Ma" 

"Penulis mana?"

"Katanya sih penulis asal Kuningan. Penulis cerita silat tahun 80an"

Aku mengingat-ingat beberapa penulis cerita silat yang aku tahu. Aku hanya tahu dua orang, Bastian Tito dan Kho Ping Ho, meskipun karya mereka belum ada yang pernah aku baca. Rasanya aku baru mendengar nama penulis cerita silat yang baru disebutkan oleh Cardosso.

"Siapa tadi nama penulisnya?"

"Manihot Utilissima"

Aku kembali mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama tersebut tapi tetap saja ingatanku buntu. Aku yakin kalau aku baru mendengarnya sekarang.

Aku menggelengkan kepala.

Cardosso kemudian bercerita kepadaku kalau dua hari yang lalu ada seorang perempuan yang datang ke tokonya dan bertanya tentang penulis bernama aneh tersebut. Perempuan itu mungkin baru pindah ke kota ini karena Cardosso baru melihatnya saat itu. Mungkin ia baru bekerja di kota ini atau mungkin juga ia seorang mahasiswa baru. Cardosso tidak sempat bertanya lebih banyak kepadanya. Ia bilang kalau dirinya sedang mencari buku cerita silat karangan Manihot Utilissima dan bilang kalau penulis itu berasal dari Kuningan. Cardosso tanya kenapa ia tak pergi ke Kuningan saja. Lalu ia bilang kalau ia tidak tahu harus bertemu siapa di Kuningan. Tidak ada informasi yang jelas tentang penulis bernama aneh tersebut. Cardosso kemudian menyarankannya untuk mencarinya di lapak penjual buku-buku bekas. Kemungkinan bukunya sudah tidak dicetak lagi jadi satu-satunya tempat untuk menemukannya adalah di tempat para penjual buku-buku bekas, kata Cardosso. Perempuan itu bilang nanti akan mencarinya di lapak penjual buku-buku bekas. Lalu ia mengucapkan terima kasih dan pergi. 

"Mungkin ia orang gila?" 

"Aku sempat berpikir begitu tapi setelah mengobrol dengannya aku yakin ia bukan orang gila. Obrolan kami nyambung. Enggak ada yang aneh dari penampilan dan cara bicaranya, kecuali pertanyaannya tentang penulis bernama Manihot Utilissima"

"Apa judul bukunya?"

"Manihot Utilissima"

"Hah?! Jadi ada penulis bernama Manihot Utilissima yang menulis buku berjudul Manihot Utilissima juga?!"

Cardosso mengangguk.

"Anjing"

Lalu kami berdua tertawa bersamaan.

***

Aku meneguk kopiku. Langit semakin gelap dengan angin yang sesekali berhembus. Terasa dingin di kulitku. Aku membakar lagi rokokku. Tiba-tiba saja aku kembali teringat Gloria, teringat kakek dan neneknya, juga ibunya. Aku tidak menyangka mereka semua sudah meninggal. Ia pasti merasa sangat kehilangan. Mungkin peristiwa itu juga yang membuatnya berubah dari seorang gadis tomboy menjadi seperti penyanyi dangdut. Ini hanya dugaanku saja. Mungkin ada hal lain yang tidak aku ketahui. Bukan hal yang luar biasa juga jika seseorang berubah. Tapi sial, bayangan Gloria yang mirip penyanyi dangdut itu tidak mau lari dari kepalaku. Rasanya aku pernah melihat penyanyi dangdut yang serupa seperti itu, entah di mana, aku tidak bisa mengingatnya.

"Kopimu keburu dingin tuh" suara Cardosso membuat lamunanku buyar.

Aku membuang puntung rokokku ke atas tanah, menginjaknya dengan sepatuku hingga baranya padam, dan mengambil gelas kopi di sampingku.

Anjing, ada seekor lalat nyemplung di gelasku. Tapi aku memutuskan untuk tetap meminumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar