Kamis, 29 September 2016

Manihot Utilissima (Bagian 3)

Kumpulkan semua orang di kota ini, atau kalau sulit, cukup kumpulkan semua pemuda di kota ini, lalu bariskan mereka di sebuah lapangan sepak bola, lalu naiklah kamu ke tempat yang lebih tinggi dari mereka dan lihatlah barisan para pemuda itu. Tidak peduli apakah matamu masih waras atau mengidap rabun jauh, aku jamin, kamu tidak akan kesulitan untuk menemukan Joni Rambo di antara mereka. Aku yakin di kota ini hanya ada satu orang dengan potongan rambut kribo seperti Joni Rambo. Rambutnya mengembang seperti ledakan bom atom yang dijatuhkan pasukan Sekutu di kota Hiroshima dan Nagasaki. Mirip Achmad Albar di masa mudanya. Bahkan dengan kulit gelap dan wajah sangarnya ia terlihat mirip Ucok Harahap, pentolan grup musik AKA yang pernah berduet dengan Achmad Albar di grup Duo Kribo.

Ia menjemputku sekitar pukul setengah sembilan. Mengenakan jaket denim andalannya yang sudah lusuh dan celana jins robek-robek. Ia menggendong sebuah tas ransel berwarna hitam yang aku tebak berisi kamera dan perlengkapan lain untuk memotret. Bibirnya menggapit sebatang Gudang Garam. Dan rambut kribonya membuat ia lebih tinggi 15 senti dariku.

Ia menjabat tanganku dengan mantap dan bertanya apakah aku sudah menjadi manusia atau masih orang? (menurut Joni Rambo ada perbedaan besar antara manusia dan orang), gimana peler? Sehat? katanya sambil terbahak. Dan aku jawab, anjing.

Tampilannya mirip seorang aktivis, meskipun ia mengaku bukan aktivis dan bersikap bodo amat tentang politik. Ia tidak pernah ikut-ikutan demonstrasi. Satu-satunya demonstrasi yang pernah ia ikuti adalah ketika menolak kenaikan harga anggur merah. Waktu itu harga anggur merah melonjak menjadi dua kali lipat. Ia yang rutin menikmati anggur merah sebelum masuk kelas merasa kelabakan dengan kenaikan harga yang fantastis itu. Ia bersama kelima orang kawannya kemudian menggelar orasi di depan kampus menutuntut diturunkannya harga anggur merah. Tapi tidak ada seorang pun yang peduli dengan aksi mereka dan ia dianggap edan sesudahnya.

Joni Rambo adalah Joni Rambo adalah Joni Rambo yang lahir dengan nama Joni Ahmad. Ia anak tunggal. Ibunya seorang penjahit. "Dan ayahku adalah seorang penjahat" begitu Joni Rambo akan berkata jika ada seseorang yang bertanya tentang keluarganya. Ia akan berkata seperti itu dengan tawa yang agak dipaksakan dan sorot mata yang menyala oleh dendam. Ayahnya punya hobi berjudi dan sering memukulinya dan ibunya, terutama jika ia kalah di meja judi. Tapi seringnya ia memukuli mereka tanpa alasan sama sekali. Kedua orang tuanya  kemudian bercerai ketika Joni Rambo masih berusia 10. Di usia 17 ia mengganti nama belakangnya menjadi Rambo karena tidak mau membawa-bawa nama yang diberikan oleh ayahnya. Ia mendapat nama itu dari film Sylvester Stallone yang pernah ditontonnya di sebuah pertunjukan layar tancap ketika ia masih bocah ingusan. 

Sekarang ia tinggal berdua bersama ibunya di sebuah rumah kecil di daerah Tengah Tani. Meskipun rumahnya terletak di pinggiran kota tapi aku yakin kalau seisi kota ini mengenalnya. Motto hidupnya adalah bermanfaat bagi orang lain. Ia selalu bilang "kalau hidupmu masih belum bermanfaat bagi orang lain maka kamu belum menjadi manusia. Kamu masih orang." Maka setiap kali berjumpa denganku ia selalu bertanya "sudah jadi manusia belum?", baru setelah itu ia akan bertanya "gimana pelermu? Sehat?"

Aku sebetulnya berbeda kampus dengan Joni Rambo. Aku mengenalnya dari Ernesto, kawanku semasa kuliah. Aku satu kosan dengan Ernesto dan Joni Rambo adalah saudara jauh dari Ernesto. Kakek Ernesto dari pihak ayah adalah adik tiri dari nenek Joni Rambo dari pihak ibu yang sempat terpisah ketika terjadi agresi militer Belanda yang kedua. Begitu yang Joni Rambo katakan padaku. Membingungkan, memang. Atau mungkin sebenarnya Joni Rambo hanya sedang membual dengan mengaku-aku sebagai saudara jauh Ernesto dan si tolol Ernesto mempercayainya begitu saja. Entahlah.

Di kali pertama kedatangannya ke kosan kami, Joni Rambo sudah menghadiahi kami dua botol anggur merah.

"Kamu tahu, Bung?" tanyanya kepadaku dan Ernesto. 

"Jika kita meminum anggur merah pada gelas yang sama, maka kita akan menjadi saudara." lanjutnya seraya menuang anggur merah ke dalam gelas. Ia kemudian menyorongkan gelas itu ke arah Ernesto. Ernesto langsung menenggaknya sampai habis. Joni Rambo mengambil gelas itu dan kembali mengisinya lalu menyorongkannya kepadaku. Giliran aku yang menenggaknya. Langsung. Habis. Pahit. Anjing.

Lalu Joni Rambo kembali mengambil gelas dan menuang anggur merah untuk dirinya sendiri dan menenggaknya langsung. Dan terus begitu sampai anggur merah di botol tandas. Sembari menuang anggur merah itu ia kembali melanjutkan khotbahnya,

"Dan aku ingin hidupku bisa bermanfaat bagi orang lain, Bung. Kalau hidupmu belum bisa bermanfaat bagi orang lain maka kamu belum jadi manusia. Kamu masih orang, Bung. Masih orang. Belum manusia." katanya seperti seorang nabi yang sedang menyampaikan wahyu yang baru saja diterimanya dari Tuhan. Semakin mabuk ia malah semakin bijaksana.

Sisa malam itu kami habiskan dengan mabuk bersama dan esoknya aku terpaksa tidak masuk kuliah karena bangun kesiangan. Bermanfaat bagi orang lain silit kuda!

***

Joni Rambo mengajakku ke Famouz Cafe. Ada acara musik bertajuk Live Forever yang digelar di sana. Seorang kawan Joni Rambo yang bekerja di sebuah media musik memintanya untuk meliput acara tersebut. Joni Rambo tidak bisa menolaknya, sesuai motto hidupnya, ia ingin bermanfaat bagi orang lain.

Meskipun suka musik, aku sendiri jarang pergi ke acara-acara musik seperti itu. Ada perasaan tidak nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di tempat-tempat ramai. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Kata ibuku, aku sudah seperti itu sejak masih kecil. Aku kerap menangis jika dibawa ke tempat yang ramai dan penuh dengan orang-orang. Dan hal itu rupanya tetap bertahan sampai aku dewasa. Tentu, aku tidak sampai menangis seperti dulu, hanya saja perasaan tidak nyaman itu tetap saja sulit dihilangkan.

***

Motor kami melaju di jalanan yang basah oleh sisa hujan sore tadi. Udara dingin menerpa wajahku, untung saja hoodie yang aku pakai cukup tebal untuk melindungi tubuhku. Joni Rambo memacu motornya dengan santai. Kami memasuki jalan Perjuangan, melewati kampus IAIN, lalu berbelok ke kiri ke arah Stadion Bima. Sesekali aku mendengarnya bersenandung. Bukan tipe suara yang ingin kamu dengar. 

Laaaaast night she said ohhhh baby i feel so dooown...

Ia bernyanyi lagu Last Night dari The Strokes setelah motor kami melewati lampu lalu lintas By Pass. Rasanya ia jarang bernyanyi-nyanyi seperti itu. Mungkin ia sedang jatuh cinta atau mungkin patah hati karena memilih menyanyikan lagu itu.

Kami memintas ke sebuah jalan kecil di daerah Cideng setelah lampu lalu lintas berikutnya kami lewati. Jika melaju terus melalui jalan itu kami akan tiba di jalan Tuparev, lalu belok ke arah kiri, dan tinggal melaju saja sekitar lima puluh meter. 

Suasana kafe sudah ramai tapi sepertinya acara belum dimulai. Aku berjalan di belakang Joni Rambo dan harus berhenti beberapa kali karena setiap orang yang kami temui selalu menyapa Joni Rambo. Ia memang dikenal oleh semua orang.

Ia mengajakku ke sebuah booth musik milik Cirebonstore dan mengenalkanku kepada Iing Whiskey si penjaga booth. Iing Whiskey tersenyum ramah, dan menawariku rokok. Aku menolaknya karena aku membawa rokokku sendiri. Aku melihat beberapa CD musik yang ada di sana. Tapi kemudian aku tertarik pada sebuah zine kecil berjudul Imelda Marcos. Anjing! Siapa pun yang memberi nama buat zine ini pasti seleranya buruk sekali.

"Ambil saja, Bung. Edisi perdana. Gratis seperti kentut. " kata Iing Whiskey seperti menyadari ketertarikanku pada zine itu.

Aku mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. Kami kemudian meninggalkannya dan mengambil meja di pojok belakang kafe. Joni Rambo meletakkan ranselnya di sana dan mengeluarkan sebuah kamera dari dalamnya. Aku menarik kursi dan duduk di sampingnya. Beberapa orang hilir mudik di depanku. Ramai dan berisik. Dan aku mulai merasa tidak nyaman. Aku mengeluarkan rokok dari saku celana dan membakarnya.

Joni Rambo meninggalkanku ketika acara sudah mulai. Band yang pertama tampil berasal dari Jatiwangi bernama Hanyaterra. Aku sempat mendengar namanya tapi aku belum pernah mendengar musiknya. Yang unik dari mereka adalah instrumen yang mereka gunakan semuanya terbuat dari genteng. Daerah Jatiwangi memang terkenal dengan produksi gentengnya.

Beberapa orang mulai berkerumun di dekat panggung ketika Hanyaterra mulai bermain sehingga menghalangi pandanganku. Aku memutuskan untuk tetap berada di meja. Suasana di depan panggung terlalu ramai buatku.

Aku memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan. Seorang gadis dengan rambut dicat merah seperti Kurt Cobain di tahun 1992 kemudian datang menghampiriku dan menyerahkan buku menu kepadaku. Aku memesan sekaleng bir, dua shot Gentleman's Jack dan sepiring kentang goreng. Gadis itu mencatatnya kemudian mengulang pesananku. Aku melihat sebuah tato bunga mawar di tangan kanannya.

"Orang mana, Mas? Baru pertama ke sini ya?" tanyanya sambil menulis pesananku. 

"Kuningan"

"Kuningan?"

"Ya, Kuningan. Jawa Barat."

"Aku juga orang Kuningan, Mas."

"Oh iya? Di mana Kuningannya?"

"Bandorasa."

"Wah dekat dong. Aku di Bojong, Cilimus"

Gadis itu tersenyum. Ia kembali lagi mengulang pesananku.

"Mau ditulis nomor mejanya atau nama Masnya?" 

"Nama saja. Antonio."

Ia mencatat lagi. Tersenyum. Lalu berbalik meninggalkanku. Aku melihat rambut merahnya yang menyala setiap kali terkena sinar lampu.

Aku kembali menikmati musik dari Hanyaterra. Lumayan. Aku dengar mereka baru merilis album. Aku berniat membeli CDnya nanti. Mungkin ada di booth Iing Whiskey. 

Pesananku datang beberapa menit kemudian. Aku melihat Joni Rambo masih hilir mudik di sekitar panggung. Diam-diam aku juga mencari gadis bertato bunga tadi. Aku ingin sekali memanggilnya dan mengajaknya ngobrol, tapi ia terlihat begitu sibuk. Kafe memang sedang ramai. Aku mengurungkan niatku dan menikmati bir yang baru saja datang.

Setelah Hanyaterra masih ada dua band lagi yang akan tampil. Satu grup folk asal Kuningan bernama Klopediakustik dan satu lagi adalah rekrutan anyar dari label Fast Forward, Heals. Aku tetap tidak beranjak dari tempatku. Suasana kafe semakin ramai. Beberapa orang mengambil kursi kosong di tempatku dan Joni Rambo masih sibuk di sekitar panggung. Ia sepertinya tidak ingin kehilangan satu momen berharga pun. 

Saat jeda pergantian band aku membaca zine yang tadi aku ambil di booth Iing Whiskey. Hanya ada satu tulisan panjang yang sok serius dan sok keren tentang musik dangdut di dalamnya (semacam manifesto, mungkin) yang ditutup dengan kalimat yang menurutku lumayan kocak, maaf kami bukan Pancasialis. Kami tidak menaruh peduli apakah lelucon Zaskia Gotik melecehkan Pancasila atau tidak. Bagi kami bukan itu masalahnya. Kami hanya tidak suka dangdut yang dibawakan oleh Zaskia Gotik. Persetan dengan Pancasila. Persetan dengan Zaskia Gotik. Tolong kembalikan Evi Tamala. Panjang umur musik dangdut!

Saya hampir tersedak kentang goreng saat membacanya. Anjing. 

Acara selesai sekitar pukul 11 malam. Aku menambah satu botol bir dan dua shot Gentleman's Jack dan membuat kepalaku semakin ringan. Joni Rambo sudah duduk kembali di sampingku, menikmati sebotol bir dan Gudang Garam Filter. Matanya terfokus ke arah kamera. Mungkin ia sedang memeriksa foto-foto yang baru diambilnya tadi. Aku sendiri kembali celingukan mencari gadis bertato bunga tadi. Aku melihatnya sedang berbicara dengan seorang pegawai kafe yang lain. Ia tidak berganti pakaian, hanya membalut seragam kerjanya dengan sebuah sweater hitam. Mungkin ia sedang bersiap-siap pulang. 

Joni Rambo membereskan kameranya, memasukkanya kembali ke dalam ransel dan menutupnya. Ia kemudian mengajakku pulang. Aku menenggak habis sisa birku dan berjalan mengikutinya. Aku berhenti sebentar di booth Iing Whiskey yang juga sedang membereskan dagangannya, bertanya apakah ada CD Hanyaterra dan ia jawab belum ada, lalu aku berpamitan dan meninggalkannya.

Aku menunggu Joni Rambo yang sedang mengambil motornya di depan pintu masuk kafe. Hujan kembali turun meskipun belum terlalu deras. Dingin. Dan kepalaku semakin terasa ringan.

Aku melihat cahaya lampu yang memantul dari genangan air. Aku kembali teringat Gloria. Aku membuka ponsel dan menemukan sebuah pesan balasan darinya. Ada apa? katanyaTidak aku balas. Entah kenapa aku merasa malas, padahal tadi sore aku begitu menunggu pesan balasan darinya. Aku masukkan kembali ponsel ke dalam saku celanaku. Hujan perlahan menderas.

Lalu gadis itu berdiri di sampingku. Gadis dengan tato bunga di tangan kanannya dan rambut merahnya yang seperti Kurt Cobain. Ia berdiri di sampingku. Tangannya menjulur ke depan mengukur derasnya hujan. Lalu ia menoleh ke arahku dan kami tersenyum secara bersamaan.

"Mau pulang?" tanyaku.

Ia mengangguk. 

"Dijemput?"

Ia menggeleng.

"Pulang ke mana?"

"Cipto"

Aku kemudian mengulurkan tanganku ke arahnya.

"Aku Antonio"

Ia menyambut uluran tanganku, tertawa kecil, dan bilang kalau ia masih ingat namaku. Aku ikut tertawa. Lalu Joni Rambo sudah ada di depanku. Ia menyuruhku bergegas. Hujan semakin deras. Tapi aku menyuruhnya pulang duluan. Ia menatapku lalu gadis di sampingku lalu menatapku lagi dan tanpa bersuara aku tahu kalau ia bilang, anjing-dasar-muka-memek.

Aku tertawa. Dan Joni Rambo meninggalkanku.

"Ada payung?" 

Gadis itu menggeleng. Lalu ada hening yang cukup lama. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Aku menawarinya rokok dan sambil tersenyum ia menolaknya. Aku merokok sendirian.

Hujan malah semakin deras. Kami memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kafe. Di dalam masih ada beberapa orang yang juga tidak bisa pulang karena terjebak hujan.

Kami duduk di salah satu meja. Sebuah televisi sedang menayangkan siaran langsung sepak bola (entah pertandingan apa, aku tidak memperhatikannya). Gadis itu menawariku minum. Aku bilang kafe sudah tutup tapi ia bilang bisa memesan kepada salah seorang temannya. Lalu ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja kasir dan berbicara dengan salah seorang pelayan kafe. Ia datang dengan menenteng dua botol bir. 

Kami menikmati bir, mengobrol, dan menertawakan banyak hal. Aku jarang sekali merasa langsung akrab dengan seseorang. Entah kenapa aku merasa sudah lama mengenalnya. Aku bilang padanya mungkin di kehidupan yang lalu kita adalah sepasang kekasih dan ia lagi-lagi tertawa dan bilang, kamu mabuk.

Saat hujan sudah mulai mereda ia mengajakku pulang. Aku berjalan dengan sedikit sempoyongan. Gadis itu benar, sepertinya aku mulai mabuk.

Di pinggir jalan kami mencari tukang becak yang masih mangkal. Kami menemukannya di sebuah warung kopi. Tukang becak itu sedang asik mengomentari pertandingan sepak bola dan berdebat sengit dengan si pemilik warung. Aku memintanya mengantar kami ke jalan Cipto Mangunkusumo dan terpaksa menghentikan debat sengit mereka.

"Pokoknya ya kalau Liverpool juara liga lagi aing bakalan narik becak sambil telanjang!" aku mendengar si tukang becak bersungut-sungut sebelum mulai mengayuh pedal dan berjalan menyusuri jalan Tuparev.

Dalam perjalanan aku memikirkan perkataan tukang becak tadi. Aku jadi teringat lelucon tentang Neil Armstrong kemudian tertawa kecil. Gadis di sampingku bertanya kenapa aku tiba-tiba tertawa. Aku bilang kalau aku teringat lelucon tentang Neil Armstrong saat tukang becak ini bersumpah akan menarik becak sambil telanjang kalau Liverpool juara liga.

"Kamu tahu enggak apa kalimat yang Neil Armstrong ucapkan saat pertama kali nginjakin kakinya di bulan?"

"That's one small step for man, one giant leap for mankind?"

"Ya, itu yang orang-orang tahu. Tapi sebenarnya bukan itu."

"Terus?"

"Pas dia nginjakin kakinya di bulan, dia omong gini, 'good luck Mr. Gorsky'"

"Mr. Gorsky?"

"Iya. Awalnya enggak ada yang ngeh sama si Mr. Gorsky. Setelah bertahun-tahun orang mulai bertanya siapa Mr. Gorsky itu. Ada yang bilang kalau Mr. Gorsky itu agen KGB. Waktu itu kan perang dingin antara Amerika sama Soviet lagi panas-panasnya. Tapi tiap kali ditanya tentang Mr. Gorsky, Neil Armstrong enggak pernah ngasih jawaban pasti, doi cuma senyum-senyum aja."

Gadis di sampingku tampaknya semakin penasaran dengan Mr. Gorsky. Wajahnya mendekat ke arah wajahku. Dari dekat aku bisa melihat matanya yang bulat dan alis mata yang ia gambar dengan presisi tinggi. Tidak terlalu tebal, tapi tegas. Aku kira ia perlu tiga puluh menit hanya untuk menggambar alis matanya.

Tanpa sengaja payudaranya yang kenyal menyentuh siku kananku. Memantul seperti bola karet. Anjing. Penisku mulai ereksi. Aku membetulkan posisi dudukku yang mulai tidak nyaman karena penisku menegang.

"Karena bosan ditanya terus menerus tentang si Mr. Gorsky ini akhirnya Neil Armstrong cerita juga. Jadi ternyata si Mr. Gorsky ini tetangganya Neil Armstrong waktu dia masih kecil dulu. Suatu kali, si Armstrong main lemparan bola sama temannya. Terus bola yang dilemparin temannya masuk ke pekarangan rumah Mr. Gorsky. Waktu Armstrong mau ngambil bola tenyata di dalam rumah Mr. Gorsky sama istrinya lagi berantem. Armstrong enggak tahu mereka ngeributin masalah apaan. Cuma dia inget terus sama kata-kata istrinya Mr. Gorsky. Sambil marah-marah istrinya bilang gini sama Mr. Gorsky, 'dasar tua bangka edan! Pokoknya aku enggak mau ngentot lagi sama kamu! Kamu boleh ngentot lagi sama aku kalau anak kecil tetangga kita sudah nyampe di bulan!'"

Gadis di sampingku tertawa kencang sekali sehingga payudaranya berkali-kali menyentuh siku tanganku. Kenyal. Sementara penisku semakin tegang dan posisi dudukku semakin tidak nyaman.

"Jadi akhirnya si Mr. Gorsky bisa ..." kata-katanya menggantung. Sepertinya gadis itu sedang memilih kata yang pantas untuk ia ucapkan.

"Mengentot istrinya" sambungku.

Ia kembali tertawa dan kali ini tangannya meninju bahuku.

"Selamat buat Mr. Gorsky" kataku.

"Ya! Selamat buat Mr. Gorsky!"

Kami berdua tertawa bersamaan. Payudaranya berguncang-guncang dan terus menerus menyenggol siku kananku. Setelahnya kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. 

Lalu aku memegang tangannya dan kami mulai berciuman. Sementara becak terus melaju melewati deretan lampu-lampu kota yang berpendar oleh sisa air hujan. Diam-diam aku berharap Liverpool akan kembali menjuarai liga Inggris.

Good luck, Mr. Gorsky.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar