Rabu, 17 Februari 2016

Cerita Sedih

Aku duduk di salah satu anak tangga. Ruang ICU ada di atasku. Seorang pasien baru saja dipindah ke ruangan itu beberapa menit yang lalu. Ia baru selesai menjalani operasi untuk mengangkat laringnya, selama lebih dari lima jam. Aku ikut dalam operasi tersebut dan berdiri lebih dari lima jam membuat pinggangku terasa sakit.

Sudah pukul sepuluh malam. Pintu lift di depanku tiba-tiba saja terbuka tapi tidak ada seorang pun di dalam sana. Mungkin pintu lift itu rusak. Mungkin juga ada hantu. Entahlah, aku hanya ingin merokok tapi di sini tidak bisa merokok dan pinggangku terasa sakit.

Aku memikirkan pasien yang baru saja diangkat laringnya. Ia akan kehilangan suara untuk selamanya --sebenarnya dengan memasang sebuah alat dan mengikuti terapi, ia masih bisa bicara kembali meskipun tidak akan seperti dulu sebelum laringnya diangkat-- dan sebuah lubang akan menghiasi lehernya, juga untuk selamanya. Suster-suster senior di tempatku sering menasehatiku untuk berhenti merokok. Mereka bilang nanti laringku akan bernasib sama seperti itu dan aku akan kehilangan suaraku.

Aku hanya tersenyum menanggapi nasehat mereka. Mereka memang baik, tapi aku tidak peduli.

Aku tidak pernah menyangkal kalau merokok memang tidak baik untuk kesehatan. Tapi sederhana saja, bagiku ini hanya masalah pilihan. Aku memilih untuk merokok dan mungkin suatu hari laringku juga akan diangkat dan aku akan kehilangan suaraku (meskipun sebenarnya aku juga tidak begitu suka dengan suara cemprengku yang mirip Billy Corgan ketika bernyanyi Bullet in Butterfly Wings). Atau bisa saja aku memilih untuk tidak merokok dan menjalani hidup sehat --makan menu 4 sehat 5 sempurna, jogging setiap sore, yoga, dan berbagai anjuran hidup sehat lainnya -- dan mungkin suatu hari seorang pemuda mabuk menabrakku dengan mobil sportnya dan aku mati. Atau tiba-tiba saja ada sebuah pesawat jatuh tepat di atas atap rumahku ketika aku sedang berak dan aku tertimpa reruntuhannya dan aku mati. Atau ada orang gila yang memasang bom di tubuhnya dan meledakkan diri ketika aku sedang menikmati kopi. Ujung-ujungnya --merokok atau tidak-- aku tetap akan mati. Dan mati. Dan mati. Dan mati.

Tiga minggu yang lalu salah seorang kawanku juga mati. Ia mati karena demam berdarah. Kasihan juga, ia mati karena digigit nyamuk. Tapi setidaknya ia bisa merasa berbangga sedikit, cara matinya sama seperti Iskandar Agung dari Makedonia. Sama-sama mati karena digigit nyamuk. Untuk hal yang satu itu, selera humor Tuhan memang tidak buruk-buruk amat. Manusia yang katanya makhluk paling sempurna bisa mampus hanya karena digigit nyamuk yang katanya, sebelum menggigit, nyamuk itu akan meludahi kulit mangsanya terlebih dahulu. Lucu sekaligus menyedihkan. Hidup memang penuh cerita-cerita sedih.

Dulu, Tuhan pernah menciptakan manusia yang pandai bermain gitar bernama Jimi Hendrix. Dan demi Tuhan, manusia seperti Jimi Hendrix hanya terlahir 100 tahun sekali di dunia ini. Tidak gitaris yang sehebat Jimi Hendrix. Tapi ia keburu mati muda, usia 27, karena...tersedak muntahannya sendiri. Tai betul, memang. Tapi sumpah, aku selalu ingin tertawa sekeras-kerasnya dengan lelucon Tuhan yang satu ini.

Aku sering memikirkan tentang kematian meskipun sebenarnya aku tidak pernah suka melihat orang mati. Tidak elegan. Aku pertama kali melihat orang mati ketika masih kelas dua SD. Tetangga depan rumahku sekarat. Ia sekarat di atas tempat tidurnya dan menjadi tontonan banyak orang. Matanya melotot, nafasnya tersengal-sengal, dan ia tidak bisa bicara apa pun. Begitu terus sampai akhirnya ia mati. Beberapa tahun kemudian aku juga melihat seorang perempuan sekarat setelah ia ditabrak sebuah mobil ketika hendak menyeberang jalan. Darah menggenang dari bawah kepalanya, ia menggelepar sebentar sebelum kemudian mati. Dan menjadi tontonan banyak orang. Tidak elegan sama sekali, bukan?

Aku lebih senang membayangkan ketika manusia mati tubuhnya akan berubah menjadi ribuan kunang-kunang. Tubuhnya akan terburai --mulai dari kepala dan terus menjalar ke ujung jari kakinya-- menjadi bintik-bintik kecil bercahaya, yang berjumlah ribuan dan menyala seperti sebuah kembang api lalu lenyap di udara. Berubah menjadi kunang-kunang, menurutku, adalah cara membayangkan kematian yang lebih elegan.

Semalam kawan dekatku datang ke rumah. Ia bercerita panjang lebar kalau dirinya batal menikah. Ia bercerita sambil sesegukan menahan tangisnya. 

Kawan dekatku itu sudah berpacaran selama lima tahun dan berencana menikah tahun ini. Kedua pihak keluarga sudah setuju dan berencana menikahkan mereka di bulan Mei. Itu berarti tinggal tiga bulan lagi. Tapi rencana itu harus gagal karena uang yang kawanku tabung untuk biaya pernikahannya harus ludes semua di atas meja judi. Kalau ini sebuah lelucon lain dari Tuhan maka aku anggap leluconnya kali ini buruk sekali.

Kawanku bercerita terus sambil menangis sesegukan dan bilang kalau ia sangat menyesal sampai-sampai ingin bunuh diri saja. Aku mencegahnya, ya tentu saja. Aku bilang, "mati itu mudah, kawan. Yang sulit justru tetap bertahan hidup di tengah kehidupan yang nilai-nilai kemanusiaannya sudah mati. Hargailah hidupmu."

Aku merasa sangat keren sekali ketika mengatakan hal itu. Tapi kawanku tetap bersedih dan terus saja menangis.

Aku menjadi ikut merasa bersedih dan semalaman ikut memikirkannya. Aku bahkan sampai memimpikan kawanku itu. Di dalam mimpi aku membacakan sebuah puisi untuknya. Aku ingat satu bait dari puisi di dalam mimpiku itu, 

Segelas sekoteng cukup untuk menghangatkan tubuhmu

Tapi tidak hatimu

Hatimu mungkin jauh lebih dingin
Daripada hujan di tahun baru Imlek

Hidup memang penuh dengan cerita-cerita sedih.

Sudah pukul sepuluh lewat. Aku harus segera pulang. Aku berdiri dan menepuk-nepuk bagian belakang celanaku untuk membersihkan debu yang menempel setelah duduk di sana beberapa menit. Pinggangku masih terasa sakit walau cuma sedikit. Aku berjalan menuju mesin absen. Di ruang tunggu pasien aku masih melihat tiga orang lelaki yang sedang duduk dengan bosan dan seorang perempuan yang sedang mendengarkan musik di ponselnya. Bibirnya bergumam ikut bernyanyi. Aku tidak bisa mendengarnya. Mungkin ia sedang bernyanyi lagu-lagu cinta atau lagu-lagu patah hati, sebab hidup penuh dengan cerita-cerita sedih.

Aku berjalan menuju motorku yang diparkir di belakang kios penjual koran. Parkiran sudah mulai sepi, hanya ada beberapa deret motor yang mengisinya. Mungkin itu motor-motor dari para penunggu pasien atau dari perawat yang kebetulan bertugas malam.

Sudah pukul setengah sebelas dan aku mulai mengantuk. Aku ingin segera sampai di rumah dan tidur. Aku menghampiri motorku dan merogoh saku celanaku. Aku tidak menemukan kunci motorku di sana. Aku merogoh saku celanaku yang lain dan aku tetap tidak menemukan kunci motorku. 

Aku mencoba mengingat-ngingat kembali di mana aku menyimpan kunci motorku. Rasanya kunci motor itu tidak pernah beranjak dari saku celanaku? Aku membuka tasku dan mengeluarkan semua isinya. Sebuah dompet, buku catatan, dua buah bolpoin, sabun cuci muka, sebuah pasta gigi dan sikatnya, beberapa struk belanjaan, kunci loker, dan tidak ada kunci motor. Ah, tai!

Aku menghampiri tukang parkir yang terlihat mengantuk di posnya dan bertanya apakah ia menemukan sebuah kunci motor atau apakah ada seseorang yang menemukan kunci motor dan menitipkan kepadanya? Ia bilang tunggu sebentar. Aku melihatnya membuka-buka laci, mencari sesuatu dan tampaknya ia tidak menemukan apa pun. Ia bilang tidak ada yang menemukan sebuah kunci motor dan menyarankanku untuk pergi menemui satpam, barangkali satpam itu menemukannya.

Aku memutar langkahku menuju pos satpam dan sudah hampir pukul sebelas. Aku mulai mengantuk dan aku lihat satpam itu juga mengantuk. Aku bertanya kepadanya apakah ia menemukan sebuah kunci motor atau ada seseorang yang menitipkan sebuah kunci motor kepadanya? Dengan malas ia membuka buku catatan berwarna hijau di depannya dan membaca beberapa baris tulisan. Ia kemudian menutup bukunya, menatap mukaku dan menggeleng. Tidak ada yang menemukan kunci motor hari ini. Tapi sebelum pergi satpam itu meminta nomor motorku dan menuliskannya di sebuah buku yang lain.

Aku kembali berjalan. Kali ini menuju lokerku. Tinggal itu satu-satunya harapanku. Aku tidak yakin kunci motorku ada di loker tapi semoga saja kunci itu betulan tertinggal di sana. Aku kembali melewati bangku penunggu pasien. Perempuan yang tadi mendengarkan musik sudah tidak ada di sana. Tinggal tiga orang lelaki yang tampaknya kebosanan mereka sudah sampai di ubun-ubun.

Aku membuka lokerku dan mengubek-ubek isinya. Tapi kunci motor sialan itu tidak ada di sana. Aku mencoba kembali mengingat-ingatnya tapi aku sama sekali tidak ingat. Sudah pukul sebelas lewat dan aku sangat mengantuk dan kunci motor sialan itu belum ketemu.

Aku kembali duduk di bawah anak tangga yang tadi aku duduki. Untuk memastikan aku kembali mengecek isi tasku. Sebuah dompet, buku catatan, dua buah bolpoin, sabun cuci muka, sebuah pasta gigi dan sikatnya, beberapa struk belanjaan, kunci loker, dan tidak ada kunci motor. Ah, tai!

Aku terduduk lemas di bawah tangga. Ruang ICU ada di atasku. Seorang pasien baru saja diangkat laringnya. Kawanku mati karena demam berdarah. Jimi Hendrix mati tersedak muntahannya sendiri dan kawanku yang lain batal menikah karena kalah judi. Dan aku kehilangan kunci motor sialan itu.

Aku ingin sekali merokok tapi di sini tidak bisa merokok. Hidup memang penuh dengan cerita-cerita sedih ya? Ah, tai!

RSCM-Tambun, 17 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar