Jika saja album In Utero dirilis sebelum
Nevermind kemungkinan besar saya akan menempatkannya sebagai album terbaik yang
pernah saya dengar, tetapi tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi karena
tidak mungkin ada In Utero tanpa Nevermind. In Utero adalah sebuah jawaban
Cobain bagi setiap orang yang menyukai Nirvana dan Nevermind. In Utero adalah
sebuah pernyataan akan ketidakberdayaan Cobain melawan dunia. Sebuah album yang
berlumuran rasa bersalah, putus asa dan penyesalan.
Cobain pernah mengakui bahwa dirinya kurang
menyukai sound yang dihasilkan di album Nevermind, menurutnya album itu terlalu
glamor, lebih mirip sound Aerosmith daripada sound Sex Pistols yang
diinginkannya. Untuk itu di album In Utero ini produser albumnya berpindah dari
tangan Butch Vig kepada Steve Albini. Hasilnya, In Utero terdengar lebih kasar
dan gahar daripada album Nevermind. Simak saja track Scentless Apprentice yang dibuka oleg suara big drums Dave Grohl
yang kemudian ketika mencapai reffrain suara big drum itu seolah berkejaran
dengan suara gitar yang mengiringi teriakan parau Cobain, “Go Away. . Go Away.. Go Away” diambang suaranya yang hampir habis.
Chaos. Sebuah track yang cocok untuk menyambut lagu yang paling menyeramkan di
album ini, Heart-Shaped Box.
Heart-Shaped
Box adalah
sebuah lagu cinta yang paling menyeramkan, bahkan jika anda melihat video
klipnya yang digambarkan dengan suasana rumah sakit, burung gagak, janin dan
seorang kakek tua yang hendak disalib. Jika album In Utero ini bisa diwakilkan
oleh satu lagu maka lagu inilah yang paling cocok. Dimana Cobain bernyanyi, “i wish i could eat your cancer when you turn
black”, sebuah cara paling rumit dari Cobain hanya untuk berkata “i love you” lalu disambung dengan teriakan
putus asa “hey.. wait i’ve got a new
complaint. Forever in debt to your priceless advice”. Lagunya sendiri
sangat khas Nirvana, diawali dengan petikan gitar yang berjalan dari tempo
lambat kemudian cepat dan sebelum kembali memasuki reffrain yang kedua dengan
genius Cobain memasukkan sebuah kalimat “throw
down your umbillical noose so i can climb right back”. Entah untuk siapa
kalimat itu ditujukan? Untuk dirinya sendiri, orang tuanya atau mungkin untuk
bayinya?
Tentu saja In Utero tidak hanya berhenti pada
lagu itu saja, album ini masih penuh dengan lagu-lagu hebat lain dari Nirvana
seolah Cobain tahu bahwa setelah ini Nirvana tidak akan pernah merilis album
lagi. Ada Very Ape dengan suara intro
gitar yang renyah, atau sebuah riff gitar di pertengahan lagu Frances Farmer Will Have Her Revenge On
Seattle yang sederhana tetapi langsung menempel di telinga. Atau pada lagu Milk It yang akhirnya Cobain bisa
menyampaikan sebuah pesan dari frase yang sering ditulisnya sejak dulu, “look on the bright side is suicide”.
Saya setuju dengan pernyataan seorang kolumnis
Majalah Rolling Stones USA yang menyatakan bahwa hal yang membuat musik Nirvana
besar bukanlah punk rock atau metal melainkan pop. Ya pop. Pop yang bisa anda
dengar pada lagu-lagu seperti Dumb, Pennyroyal
Tea dan tentu saja All Apologies. Pop
yang diselimuti oleh suara seraknya Cobain dan kasarnya gitar Fender yang
Cobain mainkan. Saya kemudian menjadi yakin formula seperti inilah yang
kemudian dibawa dan diterapkan oleh Dave Grohl pada bandnya pasca Nirvana, Foo
Fighter.
Terlepas dari apapun tujuan Cobain sebenarnya
dalam merilis album ini tetapi sekali lagi album ini menunjukkan kehebatan
Nirvana dalam meramu lagu dan lirik, bahkan ditengah dekadensi Nirvana dan
kematian grunge itu sendiri. Album ini juga menunjukkan bahwa apa yang mereka
lakukan 2 tahun sebelumnya memang bukanlah sebuah kebetulan semata. Sebuah
album yang mengembalikan esensi rock and roll kepada hakikatnya sebelum
kemudian dirusak oleh band-band yang menyebutnya post-grunge, nu metal dan
bubllegum punk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar