Sebelumnya saya harus meminta maaf terlebih
dahulu karena lagi-lagi menulis tentang Kurt Cobain karena saya sudah sering
sekali menulis tentangnya. Dimulai pertama kali
saat saya SMA dan menuliskannya untuk majalah sekolah. Dan sekarang saya
kembali lagi menulis tentangnya (lebih karena deadline yang semakin dekat dan
saya masih belum menulis apapun). Saya sendiri merasa bingung harus menulis hal
apa lagi dari seorang Cobain, diluar sana sudah banyak sekali biografi tentang
Cobain beserta sejarah Nirvana, review albumnya pun sudah berkali-kali diulas
media musik dari mulai yang ecek-ecek hingga media musik sekelas Rolling Stones
atau NME. Atau kisah kontroversi yang melingkupi kematiannya pun sudah banyak
yang beredar, apakah Cobain mati dibunuh atau bunuh diri? Semuanya sudah pernah
ditulis.
Sebelum saya melanjutkan menulis tentang
Cobain izinkanlah saya bercerita sedikit tentang masa SMA saya. Tepatnya
tentang sebuah pelajaran bernama Sosiologi. Saya hanya 1 tahun belajar
Sosiologi yaitu pada saat saya kelas 1 SMA. Tetapi dari 1 tahun itu ada 2 nama
yang selalu saya ingat sampai sekarang, yang pertama adalah Ibu Ade yang tak
lain adalah merupakan guru yang mengajar Sosiologi waktu itu, saya ingat karena
paras beliau yang menurut saya cantik sehingga selalu terkenang sampai
sekarang. Dan nama yang kedua yang selalu saya ingat adalah Emile Durkheim.
Bisa dipastikan siapapun yang pernah belajar Sosiologi akan mengenal nama yang
satu ini, kalau pun tidak mengenal pasti pernah mendengarnya. Ya, Emile
Durkheim adalah seseorang yang membuat Sosiologi berdiri sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri, seperti misalnya Biologi maupun Psikologi, atau biasanya
dikenal dengan sebutan “Bapak Sosiologi Modern”.
Baru-baru ini saya baru saja membaca sebuah
buku karya Hanneman Samuel yang menulis tentang riwayat, pemikiran dan warisan
Emile Durkheim. Sebuah biografi singkat mengenai Emile Durkheim dan ringkasan
tentang pemikiran dan sumbangsihnya dalam Sosiologi modern. Saya tertarik pada
salah satu pemikiran Emile Durkheim tentang bunuh diri, yang dia tulis juga
dalam salah satu karyanya yang berjudul Suicide.
Menurut Durkheim, gejala bunuh tidak hanya merupakan senuah gejala
psikologis atau biologis semata tetapi juga merupakan sebuah gejala sosial.
Bisa dikatakan bunuh diri merupakan sebuah fakta sosial. Mengenai penjelasannya
sendiri tentang fakta sosial, Durkheim pernah menyatakan bahwa fakta sosial
adalah kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak , berpikir dan merasakan yang berada
di luar diri individu dan memiliki kekuatan untuk memaksa individu.
Kebiasaan-kebiasaan ini tidak boleh disebut sebagai fenomena biologis karena ia
dianut dan dilakukan orang banyak, ia pun tidak bisa disebut fenomena
psikologis karena bukanlah dinamika yang hanya terjadi didalam kesadaran
individu. Contohnya adalah agama atau adat istiadat.
Dari hasil penelitiannya tersebut Durkheim
membagi bunuh diri menjadi 3 tipe, yaitu egoistic
suicide, altruistic suicide dan anomic
suicide.egoistic suicide adalah bunuh diri yang terjadi akibat rendahnya
tingkat integrasi suatu kelompok, sedangkan altruistic
suicide justru merupakan kebalikan dari tipe bunuh diri yang pertama, bunuh
diri ini disebabkan karena tingkat integrasi dari suatu masyarakat yang terlalu
tinggi/kokoh, sehingga setiap individu terikat penuh kedalam kelompoknya dan
kehilangan kebebasannya sendiri. Sedangkan anomic
suicide sendiri adalah bunuh diri yang terjadi akibat ketidakjelasan
norma-norma yang mengatur cara bertindak, berpikir dan merasa para anggota
masyarakat.
Dari penjelasan Durkheim tersebut maka kasus
bunuh diri Cobain (anggap saja Cobain memang bunuh diri) bisa digolongkan
sebagai bunuh diri tipe egoistic suicide dimana
hal ini terjadi akibat tingkat integrasi kelompoknya yang rendah. Karena dalam
tingkat integrasi masyarakat yang rendah maka setiap individu akan dituntut
untuk menyelesaikan setiap masalahnya sendiri, mengambil setiap keputusan
sendiri tanpa adanya jaminan dari anggota kelompoknya yang lain. Hal ini pula
yang mungkin terjadi pada Cobain. Dave Grohl dalam wawancaranya dengan Rolling
Stones pada tahun 2007 pernah menyatakan bahwa Abeerden (kota tempat tinggal
Cobain) adalah sebuah tempat yang busuk, sehingga jika kita tinggal di kota itu
maka kita akan merasa asing bahkan di lingkungan kita sendiri. Hal ini
diperparah juga oleh trauma yang dialami Cobain karena perceraian orang tuanya
sehingga pada akhirnya Cobain tumbuh menjadi seorang introvert. Sosok introvert
yang ditambah dengan kondisi lingkungan yang tidak pernah peduli inilah yang
pada akhirnya membentuk diri seorang Kurt Cobain. Otomatis pada akhirnya Cobain
lebih memilih menyimpan sendiri setiap persoalan dan masalah yang dihadapinya,
malah baginya lebih baik bercerita kepada kucing peliharaanya sendiri
dibandingkan dengan bercerita kepada orang lain. Menulis di buku hariannya juga
adalah sebuah bentuk pelarian lainnya, dan yang paling penting tentu saja
musik. Dalam hal ini David Fricke pernah menulis di sebuah pengantar album The
Great Hits Nirvana, “to Kurt, music was
shelter because he never enjoyed or truly knew any other kind as a child, raised
in a broken home and an isolated uprooted teenager”.
Tetapi sayangnya musik yang Cobain percaya
sebagai sebuah katalis untuk dirinya malah berubah menjadi suatu beban yang
benar-benar sangat menekannya. Bisa dibayangkan seseorang yang pada awalnya
hanya bermusik karena dia “ingin” tetapi kemudian malah membuatnya menjadi
terkenal dan menjadi pujaan di seluruh dunia. Bisa dibayangkan juga seseorang
dengan sifat introvertnya tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang dianggap
sebagai corong dari sebuah generasi dan ini terjadi dalam waktu yang sangat
singkat. Cobain jelas tidak siap dengan semua itu.
Mungkin saja memang tindakan bunuh dirinya
memang disebabkan karena beban psikologisnya yang teramat berat buat dia
tanggung sendiri, tetapi tetap saja lingkungan sosialnya memegang peranan yang
tak kalah penting juga. Karena pada akhirnya Cobain sendiri menjadi bingung
harus mencari pelarian kemana lagi? Saat sesuatu yang dia yakini pun tidak
pernah bisa membantunya.
Saya memang tidak bisa memastikan hal itu, dan
bisa saja teori dari Durkheim sendiri keliru, tetapi apabila anda menyimak
dengan baik album terakhir Nirvana, In Utero, maka setidaknya anda juga bisa
melihat 2 opsi yang akan mungkin diambil Cobain setelah album itu rilis. Yang
pertama adalah berhenti dari dunia musik dan hidup bahagia dengan istri beserta
bayinya, atau opsi yang kedua yaitu bunuh diri. Dan ternyata Cobain lebih
memilih opsi yang kedua. It’s better to
burn out than fade away.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar