Selasa, 24 April 2012

Antara Emile Durkheim dan Kurt Cobain


Sebelumnya saya harus meminta maaf terlebih dahulu karena lagi-lagi menulis tentang Kurt Cobain karena saya sudah sering sekali menulis tentangnya. Dimulai pertama kali  saat saya SMA dan menuliskannya untuk majalah sekolah. Dan sekarang saya kembali lagi menulis tentangnya (lebih karena deadline yang semakin dekat dan saya masih belum menulis apapun). Saya sendiri merasa bingung harus menulis hal apa lagi dari seorang Cobain, diluar sana sudah banyak sekali biografi tentang Cobain beserta sejarah Nirvana, review albumnya pun sudah berkali-kali diulas media musik dari mulai yang ecek-ecek hingga media musik sekelas Rolling Stones atau NME. Atau kisah kontroversi yang melingkupi kematiannya pun sudah banyak yang beredar, apakah Cobain mati dibunuh atau bunuh diri? Semuanya sudah pernah ditulis.

Sebelum saya melanjutkan menulis tentang Cobain izinkanlah saya bercerita sedikit tentang masa SMA saya. Tepatnya tentang sebuah pelajaran bernama Sosiologi. Saya hanya 1 tahun belajar Sosiologi yaitu pada saat saya kelas 1 SMA. Tetapi dari 1 tahun itu ada 2 nama yang selalu saya ingat sampai sekarang, yang pertama adalah Ibu Ade yang tak lain adalah merupakan guru yang mengajar Sosiologi waktu itu, saya ingat karena paras beliau yang menurut saya cantik sehingga selalu terkenang sampai sekarang. Dan nama yang kedua yang selalu saya ingat adalah Emile Durkheim. Bisa dipastikan siapapun yang pernah belajar Sosiologi akan mengenal nama yang satu ini, kalau pun tidak mengenal pasti pernah mendengarnya. Ya, Emile Durkheim adalah seseorang yang membuat Sosiologi berdiri sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, seperti misalnya Biologi maupun Psikologi, atau biasanya dikenal dengan sebutan “Bapak Sosiologi Modern”.

Baru-baru ini saya baru saja membaca sebuah buku karya Hanneman Samuel yang menulis tentang riwayat, pemikiran dan warisan Emile Durkheim. Sebuah biografi singkat mengenai Emile Durkheim dan ringkasan tentang pemikiran dan sumbangsihnya dalam Sosiologi modern. Saya tertarik pada salah satu pemikiran Emile Durkheim tentang bunuh diri, yang dia tulis juga dalam salah satu karyanya yang berjudul Suicide. Menurut Durkheim, gejala bunuh tidak hanya merupakan senuah gejala psikologis atau biologis semata tetapi juga merupakan sebuah gejala sosial. Bisa dikatakan bunuh diri merupakan sebuah fakta sosial. Mengenai penjelasannya sendiri tentang fakta sosial, Durkheim pernah menyatakan bahwa fakta sosial adalah kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak , berpikir dan merasakan yang berada di luar diri individu dan memiliki kekuatan untuk memaksa individu. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak boleh disebut sebagai fenomena biologis karena ia dianut dan dilakukan orang banyak, ia pun tidak bisa disebut fenomena psikologis karena bukanlah dinamika yang hanya terjadi didalam kesadaran individu. Contohnya adalah agama atau adat istiadat.

Dari hasil penelitiannya tersebut Durkheim membagi bunuh diri menjadi 3 tipe, yaitu egoistic suicide, altruistic suicide dan anomic suicide.egoistic suicide adalah bunuh diri yang terjadi akibat rendahnya tingkat integrasi suatu kelompok, sedangkan altruistic suicide justru merupakan kebalikan dari tipe bunuh diri yang pertama, bunuh diri ini disebabkan karena tingkat integrasi dari suatu masyarakat yang terlalu tinggi/kokoh, sehingga setiap individu terikat penuh kedalam kelompoknya dan kehilangan kebebasannya sendiri. Sedangkan anomic suicide sendiri adalah bunuh diri yang terjadi akibat ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara bertindak, berpikir dan merasa para anggota masyarakat.

Dari penjelasan Durkheim tersebut maka kasus bunuh diri Cobain (anggap saja Cobain memang bunuh diri) bisa digolongkan sebagai bunuh diri tipe egoistic suicide dimana hal ini terjadi akibat tingkat integrasi kelompoknya yang rendah. Karena dalam tingkat integrasi masyarakat yang rendah maka setiap individu akan dituntut untuk menyelesaikan setiap masalahnya sendiri, mengambil setiap keputusan sendiri tanpa adanya jaminan dari anggota kelompoknya yang lain. Hal ini pula yang mungkin terjadi pada Cobain. Dave Grohl dalam wawancaranya dengan Rolling Stones pada tahun 2007 pernah menyatakan bahwa Abeerden (kota tempat tinggal Cobain) adalah sebuah tempat yang busuk, sehingga jika kita tinggal di kota itu maka kita akan merasa asing bahkan di lingkungan kita sendiri. Hal ini diperparah juga oleh trauma yang dialami Cobain karena perceraian orang tuanya sehingga pada akhirnya Cobain tumbuh menjadi seorang introvert. Sosok introvert yang ditambah dengan kondisi lingkungan yang tidak pernah peduli inilah yang pada akhirnya membentuk diri seorang Kurt Cobain. Otomatis pada akhirnya Cobain lebih memilih menyimpan sendiri setiap persoalan dan masalah yang dihadapinya, malah baginya lebih baik bercerita kepada kucing peliharaanya sendiri dibandingkan dengan bercerita kepada orang lain. Menulis di buku hariannya juga adalah sebuah bentuk pelarian lainnya, dan yang paling penting tentu saja musik. Dalam hal ini David Fricke pernah menulis di sebuah pengantar album The Great Hits Nirvana, “to Kurt, music was shelter because he never enjoyed or truly knew any other kind as a child, raised in a broken home and an isolated uprooted teenager”.  

Tetapi sayangnya musik yang Cobain percaya sebagai sebuah katalis untuk dirinya malah berubah menjadi suatu beban yang benar-benar sangat menekannya. Bisa dibayangkan seseorang yang pada awalnya hanya bermusik karena dia “ingin” tetapi kemudian malah membuatnya menjadi terkenal dan menjadi pujaan di seluruh dunia. Bisa dibayangkan juga seseorang dengan sifat introvertnya tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang dianggap sebagai corong dari sebuah generasi dan ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Cobain jelas tidak siap dengan semua itu.

Mungkin saja memang tindakan bunuh dirinya memang disebabkan karena beban psikologisnya yang teramat berat buat dia tanggung sendiri, tetapi tetap saja lingkungan sosialnya memegang peranan yang tak kalah penting juga. Karena pada akhirnya Cobain sendiri menjadi bingung harus mencari pelarian kemana lagi? Saat sesuatu yang dia yakini pun tidak pernah bisa membantunya. 


Saya memang tidak bisa memastikan hal itu, dan bisa saja teori dari Durkheim sendiri keliru, tetapi apabila anda menyimak dengan baik album terakhir Nirvana, In Utero, maka setidaknya anda juga bisa melihat 2 opsi yang akan mungkin diambil Cobain setelah album itu rilis. Yang pertama adalah berhenti dari dunia musik dan hidup bahagia dengan istri beserta bayinya, atau opsi yang kedua yaitu bunuh diri. Dan ternyata Cobain lebih memilih opsi yang kedua. It’s better to burn out than fade away.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar