Selasa, 18 Oktober 2016

Kembang Api

Kemarin Dherisa mengajakku menonton pesta kembang api di balai kota. Aku tidak langsung mengiyakan ajakannya (sebenarnya aku malas betul pergi keluar di malam perayaan pergantian tahun macam begitu) dan bilang aku akan mengabarinya nanti sambil berharap ia melupakan niatnya pergi atau memutuskan untuk mengajak orang lain saja. Tapi rupanya ia tetap berkeras. Pokoknya harus. Aku tahu kau cuma mencari-cari alasan saja, katanya. Ia benar dan hal itu malah membikin aku semakin enggak enak hati kepadanya. Jadi malam itu akhirnya aku pergi bersamanya (dan bersama ratusan orang lainnya) ke balai kota menonton pesta kembang api.

Dherisa bukan pacarku. Ia teman dekatku. Mungkin satu-satunya teman perempuan yang dekat denganku. Kami selalu duduk di kelas yang sama semasa SMA. 

Pacarnya adalah temanku juga semasa SMA, hanya saja berbeda kelas. Saat ini ia sedang melanjutkan studi S2nya di Jepang. Mungkin karena itu Dherisa sering mengajakku jika ia ingin pergi kemana-mana. Atau mungkin karena ia tahu kalau aku belum punya pacar jadi ia bisa seenaknya saja mengajakku. Entahlah. Kadang aku suka merasa enggak enak hati sama pacarnya.

Aku pernah bertanya apakah pacarnya enggak cemburu kalau ia sering pergi denganku. Dherisa bilang tenang saja, pacarku bukan tipe lelaki pencemburu. Dan jangan bersikap kekanakkan macam begitu, katanya. Ya, mungkin ia benar. Lagipula kita berdua memang enggak bikin aksi macam-macam. Jadi sepertinya memang aku yang terlalu kekanak-kanakkan.

Selain rasa pegal karena harus terus berdiri sepanjang malam, aku juga harus mati-matian menahan rasa kantuk dan bosan. Kenapa bisa-bisanya, Dherisa dan manusia-manusia ini, merelakan waktu tidur malam mereka untuk menikmati pesta kembang api yang berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit ini dan bisa pulang dengan wajah merona gembira? Luar biasa betul, pikirku sepanjang perjalanan pulang. Kami menumpang taksi dan mengantar Dherisa pulang ke pondok kosnya. Sudah lewat pukul 12 malam, saat aku lihat jam di ponselku.

Saat taksi berhenti di depan pondok kosnya, Dherisa mengajakku untuk menginap di tempatnya. Sudah malam, sebaiknya kau ikut nginap saja, katanya. Aku enggak tahu bilang apa saat itu -- mungkin karena saat itu aku sangat mengantuk-- yang jelas, aku sudah berada di luar taksi dan berjalan mengikuti Dherisa, masuk ke dalam kamarnya.

Kamarnya tertatap rapi dan luasnya tiga kali lebih luas dari kamar kosku di Slipi. Ia menggelar karpet, lalu meletakkan sebuah bantal di atasnya. Kamu tidur di bawah saja, dan karena selimutnya cuma ada satu jadi terpaksa kamu enggak pakai selimut, katanya. Aku hanya mengiyakan dan bilang enggak apa-apa, cuaca Jakarta enggak begitu dingin jadi enggak ada masalah juga kalau aku tidur tanpa selimut.

Setelah itu ia pergi ke kamar mandi yang juga terletak di dalam kamarnya. Cuci muka, menggosok gigi, dan berganti pakaian. Ia keluar dan bilang kalau mau cuci muka atau mandi kamu bisa pakai kamar mandinya. Aku mau langsung tidur, katanya. Dan jangan lupa matikan lampunya kalau kamu mau tidur, aku enggak terbiasa tidur dengan lampu kamar menyala, lanjutnya. Aku hanya mengiyakan saja, ya mungkin begitu, saat itu aku memang sudah sangat mengantuk dan ini adalah pertama kalinya aku berada satu kamar dengan seorang perempuan. Perasaanku enggak keruan.

Aku hanya mencuci muka di dalam kamar mandi. Saat keluar aku lihat Dherisa sudah tidur menyamping ke arah kiri. Aku enggak tahu apakah ia sudah terlelap atau belum. Di dindingnya sebuah kipas angin berputar dengan putaran yang teratur. 

Aku mematikan lampu kamar dan berbaring di sebuah karpet yang tadi disediakan oleh Dherisa, mencoba memejamkan mataku, dan meredakan detak jantungku yang sedari tadi berdetak lebih kencang dari biasanya.

Mungkin kau akan berpikir pasti akan ada adegan yang mirip film-film porno Jepang setelahnya. Tentang seorang perempuan yang ditinggalkan pacarnya dan merasa kesepian lalu melampiaskan nafsu birahinya kepada temannya sendiri. Atau adegan lain yang semacam itu. Ya, aku juga sempat membayangkan hal-hal semacam itu sih, dan mungkin gara-gara itu juga jantungku jadi berdetak lebih kencang. Tapi aku yakinkan kau kalau enggak ada adegan semacam itu. Ya, aku yakin sekali. Kau harus percaya padaku. Yang terakhir aku ingat hanyalah suara kipas angin yang berputar. Setelah itu aku lupa, mungkin aku langsung jatuh tertidur karena kecapekan setelah berdiri semalaman.

Saat aku terbangun secara enggak sengaja suasana kamar masih gelap, dan kipas angin masih berputar dan mengeluarkan bunyi yang sama. Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Aku lihat masih pukul lima pagi. Aku menguap beberapa kali dan berniat melanjutkan tidurku. Aku menarik selimut dan kembali memejamkan mata.

Eh, tunggu dulu, kenapa tiba-tiba ada selimut di tubuhku?









Kamis, 29 September 2016

Manihot Utilissima (Bagian 3)

Kumpulkan semua orang di kota ini, atau kalau sulit, cukup kumpulkan semua pemuda di kota ini, lalu bariskan mereka di sebuah lapangan sepak bola, lalu naiklah kamu ke tempat yang lebih tinggi dari mereka dan lihatlah barisan para pemuda itu. Tidak peduli apakah matamu masih waras atau mengidap rabun jauh, aku jamin, kamu tidak akan kesulitan untuk menemukan Joni Rambo di antara mereka. Aku yakin di kota ini hanya ada satu orang dengan potongan rambut kribo seperti Joni Rambo. Rambutnya mengembang seperti ledakan bom atom yang dijatuhkan pasukan Sekutu di kota Hiroshima dan Nagasaki. Mirip Achmad Albar di masa mudanya. Bahkan dengan kulit gelap dan wajah sangarnya ia terlihat mirip Ucok Harahap, pentolan grup musik AKA yang pernah berduet dengan Achmad Albar di grup Duo Kribo.

Ia menjemputku sekitar pukul setengah sembilan. Mengenakan jaket denim andalannya yang sudah lusuh dan celana jins robek-robek. Ia menggendong sebuah tas ransel berwarna hitam yang aku tebak berisi kamera dan perlengkapan lain untuk memotret. Bibirnya menggapit sebatang Gudang Garam. Dan rambut kribonya membuat ia lebih tinggi 15 senti dariku.

Ia menjabat tanganku dengan mantap dan bertanya apakah aku sudah menjadi manusia atau masih orang? (menurut Joni Rambo ada perbedaan besar antara manusia dan orang), gimana peler? Sehat? katanya sambil terbahak. Dan aku jawab, anjing.

Tampilannya mirip seorang aktivis, meskipun ia mengaku bukan aktivis dan bersikap bodo amat tentang politik. Ia tidak pernah ikut-ikutan demonstrasi. Satu-satunya demonstrasi yang pernah ia ikuti adalah ketika menolak kenaikan harga anggur merah. Waktu itu harga anggur merah melonjak menjadi dua kali lipat. Ia yang rutin menikmati anggur merah sebelum masuk kelas merasa kelabakan dengan kenaikan harga yang fantastis itu. Ia bersama kelima orang kawannya kemudian menggelar orasi di depan kampus menutuntut diturunkannya harga anggur merah. Tapi tidak ada seorang pun yang peduli dengan aksi mereka dan ia dianggap edan sesudahnya.

Joni Rambo adalah Joni Rambo adalah Joni Rambo yang lahir dengan nama Joni Ahmad. Ia anak tunggal. Ibunya seorang penjahit. "Dan ayahku adalah seorang penjahat" begitu Joni Rambo akan berkata jika ada seseorang yang bertanya tentang keluarganya. Ia akan berkata seperti itu dengan tawa yang agak dipaksakan dan sorot mata yang menyala oleh dendam. Ayahnya punya hobi berjudi dan sering memukulinya dan ibunya, terutama jika ia kalah di meja judi. Tapi seringnya ia memukuli mereka tanpa alasan sama sekali. Kedua orang tuanya  kemudian bercerai ketika Joni Rambo masih berusia 10. Di usia 17 ia mengganti nama belakangnya menjadi Rambo karena tidak mau membawa-bawa nama yang diberikan oleh ayahnya. Ia mendapat nama itu dari film Sylvester Stallone yang pernah ditontonnya di sebuah pertunjukan layar tancap ketika ia masih bocah ingusan. 

Sekarang ia tinggal berdua bersama ibunya di sebuah rumah kecil di daerah Tengah Tani. Meskipun rumahnya terletak di pinggiran kota tapi aku yakin kalau seisi kota ini mengenalnya. Motto hidupnya adalah bermanfaat bagi orang lain. Ia selalu bilang "kalau hidupmu masih belum bermanfaat bagi orang lain maka kamu belum menjadi manusia. Kamu masih orang." Maka setiap kali berjumpa denganku ia selalu bertanya "sudah jadi manusia belum?", baru setelah itu ia akan bertanya "gimana pelermu? Sehat?"

Aku sebetulnya berbeda kampus dengan Joni Rambo. Aku mengenalnya dari Ernesto, kawanku semasa kuliah. Aku satu kosan dengan Ernesto dan Joni Rambo adalah saudara jauh dari Ernesto. Kakek Ernesto dari pihak ayah adalah adik tiri dari nenek Joni Rambo dari pihak ibu yang sempat terpisah ketika terjadi agresi militer Belanda yang kedua. Begitu yang Joni Rambo katakan padaku. Membingungkan, memang. Atau mungkin sebenarnya Joni Rambo hanya sedang membual dengan mengaku-aku sebagai saudara jauh Ernesto dan si tolol Ernesto mempercayainya begitu saja. Entahlah.

Di kali pertama kedatangannya ke kosan kami, Joni Rambo sudah menghadiahi kami dua botol anggur merah.

"Kamu tahu, Bung?" tanyanya kepadaku dan Ernesto. 

"Jika kita meminum anggur merah pada gelas yang sama, maka kita akan menjadi saudara." lanjutnya seraya menuang anggur merah ke dalam gelas. Ia kemudian menyorongkan gelas itu ke arah Ernesto. Ernesto langsung menenggaknya sampai habis. Joni Rambo mengambil gelas itu dan kembali mengisinya lalu menyorongkannya kepadaku. Giliran aku yang menenggaknya. Langsung. Habis. Pahit. Anjing.

Lalu Joni Rambo kembali mengambil gelas dan menuang anggur merah untuk dirinya sendiri dan menenggaknya langsung. Dan terus begitu sampai anggur merah di botol tandas. Sembari menuang anggur merah itu ia kembali melanjutkan khotbahnya,

"Dan aku ingin hidupku bisa bermanfaat bagi orang lain, Bung. Kalau hidupmu belum bisa bermanfaat bagi orang lain maka kamu belum jadi manusia. Kamu masih orang, Bung. Masih orang. Belum manusia." katanya seperti seorang nabi yang sedang menyampaikan wahyu yang baru saja diterimanya dari Tuhan. Semakin mabuk ia malah semakin bijaksana.

Sisa malam itu kami habiskan dengan mabuk bersama dan esoknya aku terpaksa tidak masuk kuliah karena bangun kesiangan. Bermanfaat bagi orang lain silit kuda!

***

Joni Rambo mengajakku ke Famouz Cafe. Ada acara musik bertajuk Live Forever yang digelar di sana. Seorang kawan Joni Rambo yang bekerja di sebuah media musik memintanya untuk meliput acara tersebut. Joni Rambo tidak bisa menolaknya, sesuai motto hidupnya, ia ingin bermanfaat bagi orang lain.

Meskipun suka musik, aku sendiri jarang pergi ke acara-acara musik seperti itu. Ada perasaan tidak nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di tempat-tempat ramai. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Kata ibuku, aku sudah seperti itu sejak masih kecil. Aku kerap menangis jika dibawa ke tempat yang ramai dan penuh dengan orang-orang. Dan hal itu rupanya tetap bertahan sampai aku dewasa. Tentu, aku tidak sampai menangis seperti dulu, hanya saja perasaan tidak nyaman itu tetap saja sulit dihilangkan.

***

Motor kami melaju di jalanan yang basah oleh sisa hujan sore tadi. Udara dingin menerpa wajahku, untung saja hoodie yang aku pakai cukup tebal untuk melindungi tubuhku. Joni Rambo memacu motornya dengan santai. Kami memasuki jalan Perjuangan, melewati kampus IAIN, lalu berbelok ke kiri ke arah Stadion Bima. Sesekali aku mendengarnya bersenandung. Bukan tipe suara yang ingin kamu dengar. 

Laaaaast night she said ohhhh baby i feel so dooown...

Ia bernyanyi lagu Last Night dari The Strokes setelah motor kami melewati lampu lalu lintas By Pass. Rasanya ia jarang bernyanyi-nyanyi seperti itu. Mungkin ia sedang jatuh cinta atau mungkin patah hati karena memilih menyanyikan lagu itu.

Kami memintas ke sebuah jalan kecil di daerah Cideng setelah lampu lalu lintas berikutnya kami lewati. Jika melaju terus melalui jalan itu kami akan tiba di jalan Tuparev, lalu belok ke arah kiri, dan tinggal melaju saja sekitar lima puluh meter. 

Suasana kafe sudah ramai tapi sepertinya acara belum dimulai. Aku berjalan di belakang Joni Rambo dan harus berhenti beberapa kali karena setiap orang yang kami temui selalu menyapa Joni Rambo. Ia memang dikenal oleh semua orang.

Ia mengajakku ke sebuah booth musik milik Cirebonstore dan mengenalkanku kepada Iing Whiskey si penjaga booth. Iing Whiskey tersenyum ramah, dan menawariku rokok. Aku menolaknya karena aku membawa rokokku sendiri. Aku melihat beberapa CD musik yang ada di sana. Tapi kemudian aku tertarik pada sebuah zine kecil berjudul Imelda Marcos. Anjing! Siapa pun yang memberi nama buat zine ini pasti seleranya buruk sekali.

"Ambil saja, Bung. Edisi perdana. Gratis seperti kentut. " kata Iing Whiskey seperti menyadari ketertarikanku pada zine itu.

Aku mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. Kami kemudian meninggalkannya dan mengambil meja di pojok belakang kafe. Joni Rambo meletakkan ranselnya di sana dan mengeluarkan sebuah kamera dari dalamnya. Aku menarik kursi dan duduk di sampingnya. Beberapa orang hilir mudik di depanku. Ramai dan berisik. Dan aku mulai merasa tidak nyaman. Aku mengeluarkan rokok dari saku celana dan membakarnya.

Joni Rambo meninggalkanku ketika acara sudah mulai. Band yang pertama tampil berasal dari Jatiwangi bernama Hanyaterra. Aku sempat mendengar namanya tapi aku belum pernah mendengar musiknya. Yang unik dari mereka adalah instrumen yang mereka gunakan semuanya terbuat dari genteng. Daerah Jatiwangi memang terkenal dengan produksi gentengnya.

Beberapa orang mulai berkerumun di dekat panggung ketika Hanyaterra mulai bermain sehingga menghalangi pandanganku. Aku memutuskan untuk tetap berada di meja. Suasana di depan panggung terlalu ramai buatku.

Aku memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan. Seorang gadis dengan rambut dicat merah seperti Kurt Cobain di tahun 1992 kemudian datang menghampiriku dan menyerahkan buku menu kepadaku. Aku memesan sekaleng bir, dua shot Gentleman's Jack dan sepiring kentang goreng. Gadis itu mencatatnya kemudian mengulang pesananku. Aku melihat sebuah tato bunga mawar di tangan kanannya.

"Orang mana, Mas? Baru pertama ke sini ya?" tanyanya sambil menulis pesananku. 

"Kuningan"

"Kuningan?"

"Ya, Kuningan. Jawa Barat."

"Aku juga orang Kuningan, Mas."

"Oh iya? Di mana Kuningannya?"

"Bandorasa."

"Wah dekat dong. Aku di Bojong, Cilimus"

Gadis itu tersenyum. Ia kembali lagi mengulang pesananku.

"Mau ditulis nomor mejanya atau nama Masnya?" 

"Nama saja. Antonio."

Ia mencatat lagi. Tersenyum. Lalu berbalik meninggalkanku. Aku melihat rambut merahnya yang menyala setiap kali terkena sinar lampu.

Aku kembali menikmati musik dari Hanyaterra. Lumayan. Aku dengar mereka baru merilis album. Aku berniat membeli CDnya nanti. Mungkin ada di booth Iing Whiskey. 

Pesananku datang beberapa menit kemudian. Aku melihat Joni Rambo masih hilir mudik di sekitar panggung. Diam-diam aku juga mencari gadis bertato bunga tadi. Aku ingin sekali memanggilnya dan mengajaknya ngobrol, tapi ia terlihat begitu sibuk. Kafe memang sedang ramai. Aku mengurungkan niatku dan menikmati bir yang baru saja datang.

Setelah Hanyaterra masih ada dua band lagi yang akan tampil. Satu grup folk asal Kuningan bernama Klopediakustik dan satu lagi adalah rekrutan anyar dari label Fast Forward, Heals. Aku tetap tidak beranjak dari tempatku. Suasana kafe semakin ramai. Beberapa orang mengambil kursi kosong di tempatku dan Joni Rambo masih sibuk di sekitar panggung. Ia sepertinya tidak ingin kehilangan satu momen berharga pun. 

Saat jeda pergantian band aku membaca zine yang tadi aku ambil di booth Iing Whiskey. Hanya ada satu tulisan panjang yang sok serius dan sok keren tentang musik dangdut di dalamnya (semacam manifesto, mungkin) yang ditutup dengan kalimat yang menurutku lumayan kocak, maaf kami bukan Pancasialis. Kami tidak menaruh peduli apakah lelucon Zaskia Gotik melecehkan Pancasila atau tidak. Bagi kami bukan itu masalahnya. Kami hanya tidak suka dangdut yang dibawakan oleh Zaskia Gotik. Persetan dengan Pancasila. Persetan dengan Zaskia Gotik. Tolong kembalikan Evi Tamala. Panjang umur musik dangdut!

Saya hampir tersedak kentang goreng saat membacanya. Anjing. 

Acara selesai sekitar pukul 11 malam. Aku menambah satu botol bir dan dua shot Gentleman's Jack dan membuat kepalaku semakin ringan. Joni Rambo sudah duduk kembali di sampingku, menikmati sebotol bir dan Gudang Garam Filter. Matanya terfokus ke arah kamera. Mungkin ia sedang memeriksa foto-foto yang baru diambilnya tadi. Aku sendiri kembali celingukan mencari gadis bertato bunga tadi. Aku melihatnya sedang berbicara dengan seorang pegawai kafe yang lain. Ia tidak berganti pakaian, hanya membalut seragam kerjanya dengan sebuah sweater hitam. Mungkin ia sedang bersiap-siap pulang. 

Joni Rambo membereskan kameranya, memasukkanya kembali ke dalam ransel dan menutupnya. Ia kemudian mengajakku pulang. Aku menenggak habis sisa birku dan berjalan mengikutinya. Aku berhenti sebentar di booth Iing Whiskey yang juga sedang membereskan dagangannya, bertanya apakah ada CD Hanyaterra dan ia jawab belum ada, lalu aku berpamitan dan meninggalkannya.

Aku menunggu Joni Rambo yang sedang mengambil motornya di depan pintu masuk kafe. Hujan kembali turun meskipun belum terlalu deras. Dingin. Dan kepalaku semakin terasa ringan.

Aku melihat cahaya lampu yang memantul dari genangan air. Aku kembali teringat Gloria. Aku membuka ponsel dan menemukan sebuah pesan balasan darinya. Ada apa? katanyaTidak aku balas. Entah kenapa aku merasa malas, padahal tadi sore aku begitu menunggu pesan balasan darinya. Aku masukkan kembali ponsel ke dalam saku celanaku. Hujan perlahan menderas.

Lalu gadis itu berdiri di sampingku. Gadis dengan tato bunga di tangan kanannya dan rambut merahnya yang seperti Kurt Cobain. Ia berdiri di sampingku. Tangannya menjulur ke depan mengukur derasnya hujan. Lalu ia menoleh ke arahku dan kami tersenyum secara bersamaan.

"Mau pulang?" tanyaku.

Ia mengangguk. 

"Dijemput?"

Ia menggeleng.

"Pulang ke mana?"

"Cipto"

Aku kemudian mengulurkan tanganku ke arahnya.

"Aku Antonio"

Ia menyambut uluran tanganku, tertawa kecil, dan bilang kalau ia masih ingat namaku. Aku ikut tertawa. Lalu Joni Rambo sudah ada di depanku. Ia menyuruhku bergegas. Hujan semakin deras. Tapi aku menyuruhnya pulang duluan. Ia menatapku lalu gadis di sampingku lalu menatapku lagi dan tanpa bersuara aku tahu kalau ia bilang, anjing-dasar-muka-memek.

Aku tertawa. Dan Joni Rambo meninggalkanku.

"Ada payung?" 

Gadis itu menggeleng. Lalu ada hening yang cukup lama. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Aku menawarinya rokok dan sambil tersenyum ia menolaknya. Aku merokok sendirian.

Hujan malah semakin deras. Kami memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kafe. Di dalam masih ada beberapa orang yang juga tidak bisa pulang karena terjebak hujan.

Kami duduk di salah satu meja. Sebuah televisi sedang menayangkan siaran langsung sepak bola (entah pertandingan apa, aku tidak memperhatikannya). Gadis itu menawariku minum. Aku bilang kafe sudah tutup tapi ia bilang bisa memesan kepada salah seorang temannya. Lalu ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja kasir dan berbicara dengan salah seorang pelayan kafe. Ia datang dengan menenteng dua botol bir. 

Kami menikmati bir, mengobrol, dan menertawakan banyak hal. Aku jarang sekali merasa langsung akrab dengan seseorang. Entah kenapa aku merasa sudah lama mengenalnya. Aku bilang padanya mungkin di kehidupan yang lalu kita adalah sepasang kekasih dan ia lagi-lagi tertawa dan bilang, kamu mabuk.

Saat hujan sudah mulai mereda ia mengajakku pulang. Aku berjalan dengan sedikit sempoyongan. Gadis itu benar, sepertinya aku mulai mabuk.

Di pinggir jalan kami mencari tukang becak yang masih mangkal. Kami menemukannya di sebuah warung kopi. Tukang becak itu sedang asik mengomentari pertandingan sepak bola dan berdebat sengit dengan si pemilik warung. Aku memintanya mengantar kami ke jalan Cipto Mangunkusumo dan terpaksa menghentikan debat sengit mereka.

"Pokoknya ya kalau Liverpool juara liga lagi aing bakalan narik becak sambil telanjang!" aku mendengar si tukang becak bersungut-sungut sebelum mulai mengayuh pedal dan berjalan menyusuri jalan Tuparev.

Dalam perjalanan aku memikirkan perkataan tukang becak tadi. Aku jadi teringat lelucon tentang Neil Armstrong kemudian tertawa kecil. Gadis di sampingku bertanya kenapa aku tiba-tiba tertawa. Aku bilang kalau aku teringat lelucon tentang Neil Armstrong saat tukang becak ini bersumpah akan menarik becak sambil telanjang kalau Liverpool juara liga.

"Kamu tahu enggak apa kalimat yang Neil Armstrong ucapkan saat pertama kali nginjakin kakinya di bulan?"

"That's one small step for man, one giant leap for mankind?"

"Ya, itu yang orang-orang tahu. Tapi sebenarnya bukan itu."

"Terus?"

"Pas dia nginjakin kakinya di bulan, dia omong gini, 'good luck Mr. Gorsky'"

"Mr. Gorsky?"

"Iya. Awalnya enggak ada yang ngeh sama si Mr. Gorsky. Setelah bertahun-tahun orang mulai bertanya siapa Mr. Gorsky itu. Ada yang bilang kalau Mr. Gorsky itu agen KGB. Waktu itu kan perang dingin antara Amerika sama Soviet lagi panas-panasnya. Tapi tiap kali ditanya tentang Mr. Gorsky, Neil Armstrong enggak pernah ngasih jawaban pasti, doi cuma senyum-senyum aja."

Gadis di sampingku tampaknya semakin penasaran dengan Mr. Gorsky. Wajahnya mendekat ke arah wajahku. Dari dekat aku bisa melihat matanya yang bulat dan alis mata yang ia gambar dengan presisi tinggi. Tidak terlalu tebal, tapi tegas. Aku kira ia perlu tiga puluh menit hanya untuk menggambar alis matanya.

Tanpa sengaja payudaranya yang kenyal menyentuh siku kananku. Memantul seperti bola karet. Anjing. Penisku mulai ereksi. Aku membetulkan posisi dudukku yang mulai tidak nyaman karena penisku menegang.

"Karena bosan ditanya terus menerus tentang si Mr. Gorsky ini akhirnya Neil Armstrong cerita juga. Jadi ternyata si Mr. Gorsky ini tetangganya Neil Armstrong waktu dia masih kecil dulu. Suatu kali, si Armstrong main lemparan bola sama temannya. Terus bola yang dilemparin temannya masuk ke pekarangan rumah Mr. Gorsky. Waktu Armstrong mau ngambil bola tenyata di dalam rumah Mr. Gorsky sama istrinya lagi berantem. Armstrong enggak tahu mereka ngeributin masalah apaan. Cuma dia inget terus sama kata-kata istrinya Mr. Gorsky. Sambil marah-marah istrinya bilang gini sama Mr. Gorsky, 'dasar tua bangka edan! Pokoknya aku enggak mau ngentot lagi sama kamu! Kamu boleh ngentot lagi sama aku kalau anak kecil tetangga kita sudah nyampe di bulan!'"

Gadis di sampingku tertawa kencang sekali sehingga payudaranya berkali-kali menyentuh siku tanganku. Kenyal. Sementara penisku semakin tegang dan posisi dudukku semakin tidak nyaman.

"Jadi akhirnya si Mr. Gorsky bisa ..." kata-katanya menggantung. Sepertinya gadis itu sedang memilih kata yang pantas untuk ia ucapkan.

"Mengentot istrinya" sambungku.

Ia kembali tertawa dan kali ini tangannya meninju bahuku.

"Selamat buat Mr. Gorsky" kataku.

"Ya! Selamat buat Mr. Gorsky!"

Kami berdua tertawa bersamaan. Payudaranya berguncang-guncang dan terus menerus menyenggol siku kananku. Setelahnya kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. 

Lalu aku memegang tangannya dan kami mulai berciuman. Sementara becak terus melaju melewati deretan lampu-lampu kota yang berpendar oleh sisa air hujan. Diam-diam aku berharap Liverpool akan kembali menjuarai liga Inggris.

Good luck, Mr. Gorsky.

Senin, 27 Juni 2016

Manihot Utilissima (Bagian 2)

Aku meninggalkan Cardosso setelah empat tegukan kopi dan membayar untuk novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Ia melambaikan tangannya ketika aku berpamitan. Langit semakin gelap. Mungkin benar kata Cardosso, malam nanti akan turun hujan.

Jarak dari toko buku milik Cardosso ke tempat kosku tidak terlalu jauh. Aku menyempatkan diri mampir di sebuah minimarket untuk membeli sebotol air mineral, sebungkus Marlboro dan beberapa buah cemilan. Jika malam nanti hujan turun mungkin aku akan mendekam di dalam kamar semalaman dan menghabiskan Sabtu malamku dengan membaca novel yang baru saja aku beli tadi.

Aku tiba di tempat kosku ketika adzan Maghrib berkumandang. Tidak jauh dari tempat kosku berdiri sebuah mushola kecil yang biasa digunakan oleh warga di sekitar situ untuk sholat dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Mushola itu selalu sepi, tentu saja. Kata guru agamaku ketika SD, itu adalah tanda-tanda kiamat. Kamu tahu tanda kiamat lainnya? Wafatnya Lemmy Killmister dan David Bowie.

Aku memarkir motorku di teras rumah agar tidak terguyur hujan. Bangunan itu terdiri dari dua lantai. Kamarku terletak di lantai dua. Tempatnya tidak terlalu bagus tapi aku kerasan tinggal di sana. Selain itu harga sewanya juga masih terhitung lebih murah dibandingkan dengan tempat lain. Ada delapan orang lagi yang tinggal di sana selain aku. Pemiliknya adalah seorang juragan angkot yang tinggal di sebuah rumah yang berjarak beberapa blok dari tempat ini. Ia bilang kalau tempat ini adalah pondok kos khusus lelaki. Tapi beberapa penghuninya sering menginapkan perempuan di sana.

Yang paling sering adalah Andreas Si Tampan, penghuni kamar paling pojok di lantai bawah. Wajahnya memang tampan. Ia mewarisi dagu persegi dan muslihat pria-pria Italia dan setajir syeh-syeh Uni Emirat Arab. Hanya saja otaknya sedungu keledai. Ia sudah kos di tempat ini selama dua tahun dan kuliah di jurusan teknik informatika selama tujuh tahun dan setiap malam menginapkan perempuan yang berbeda-beda. Ia selalu berkilah kalau tempat kos yang ia tinggali tidak pernah kondusif dipakai untuk belajar sehingga kuliahnya terhambat. Aku ingin sekali bilang di depan wajah tampan sekaligus dungunya itu, "oohhhh Andreas Si Tampan, kalau saja kau lebih sering menggunakan otakmu daripada kontolmu itu, aku yakin kuliahmu tidak akan tertunda selama ini". Tapi aku tidak pernah mengatakannya, karena ia selalu berbuat baik kepadaku dan terutama, karena belakangan ini aku malah semakin yakin kalau otaknya memang sudah berpindah dari kepala ke kontolnya. Dia hanya perlu pergi ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan CT-Scan kepala untuk memastikannya.

Para penghuni kos yang lain juga suka menginapkan perempuan (termasuk aku), meskipun dengan frekuensi yang jauh di bawah Si Tampan Andreas. Ketampanan dan uang, mungkin menjadi faktor utamanya. Tampangmu pas-pasan tapi punya banyak uang, kau bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Uangmu pas-pasan tapi tampangmu setampan Chris Evans, kau juga masih bisa mendapatkan perempuan. Kalau tampangmu pas-pasan dan isi dompetmu tidak ada bedanya seperti nafas kakek-kakek yang sedang sekarat, yaah itu mungkin waktu yang paling tepat bagimu untuk belajar mensyukuri apa yang kamu miliki kepada Tuhan.

Di antara ke delapan penghuni kosan, hanya Irfan Saleh yang tidak pernah aku temui menginapkan perempuan. Ia memang tidak pernah menginapkan perempuan, ia menginapkan laki-laki.

***

Rasanya aku tertidur cukup lama dan sempat bermimpi. Di dalam mimpi itu aku berada di sebuah hutan pinus. Rasanya seperti hutan pinus di daerah Palutungan yang sering aku kunjungi semasa SMA. Masih pagi. Sinar matahari menerobos celah dedaunan pinus. Ada sebuah jalan setapak yang membelah hutan pinus itu. Di ujung jalan itu berdiri sebuah rumah dengan sebuah kolam ikan kecil di depannya. Aku ingat rumah itu. Itu rumah Gloria. Rumah Gloria tidak berada di hutan pinus tapi aku tahu kalau itu adalah rumah Gloria. Aku bisa melihat bangku kecil di depan jendela yang dulu sering aku duduki dan mengobrol sepanjang malam bersama Gloria di sana.

Aku masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu aku bertemu dengan kakek dan nenek Gloria. Mereka berdua duduk berdampingan di sebuah sofa berwarna merah jambu yang mulai pudar warnanya. Si kakek sedang asik membolak-balik surat kabar, sedangkan si nenek begitu tekun menyulam kain. Sudah lama sekali aku tidak melihat mereka. Aku tiba-tiba merasa begitu merindukannya.

Ketika aku masuk mereka berdua tersenyum ramah kepadaku. Mereka tidak bicara apa-apa kepadaku seperti merasa kalau dunia yang kita huni berbeda. Aku juga tidak bicara apa-apa,  aku hanya terus berjalan masuk ke dalam rumah. 

Di ruang tengah sebuah televisi dibiarkan menyala tanpa ada seorang pun yang menontonnya. Di samping kiriku adalah kamar Alfonso. Pintunya tertutup. Aku tidak tahu apakah Alfonso ada di dalam atau tidak. Aku melewatinya. Aku terus berjalan. Melewati sebuah kursi panjang yang dipenuhi tumpukan pakaian yang belum disetrika. Aku berjalan menuju kamar Gloria yang terletak di samping kanan sebelum dapur.

Aku mendorong pintu kamar Gloria dengan pelan. Sinar matahari ikut menerobos masuk. Aku menemukan Gloria sedang tertidur di sana. Mengenakan kaos putih dan celana dalam berwarna hitam. Aku berjalan mendekatinya. Sinar matahari mengenai wajahnya. Itu Gloria, tapi Gloria ketika masih SMP. Rambutnya masih pendek. Dan ia tidur seperti bayi.

Aku duduk di sebelahnya, melihatnya yang sedang tidur seperti bayi. Gerakan dadanya naik turun dengan teratur. Aku tidak ingin mengganggunya. Tapi kemudian ia terbangun dan menatapku. Wajahnya terlihat sedih. Ia seperti baru kehilangan hal-hal yang sangat penting dalam hidupnya. Ia tidak bicara apa-apa.

Aku balik menatap wajahnya, gerakan dadanya yang naik dan turun dengan teratur, dan celana dalamnya yang berwarna hitam. Kami tidak berbicara apa-apa, hanya saling menatap. Dan wajahnya terlihat sedih.

Lalu aku mendekatinya. Kedua tanganku bertumpu di kasurnya yang empuk dan mulai mencium bibirnya. Gloria membalas ciumanku. Kami berciuman. Saling berpagut dan membalas. Ciuman itu terasa lama, seperti ciuman pertama kami di bangku kecil di depan rumahnya dulu, seperti ciuman kami di sebuah sekolah tua ketika menunggu hujan reda, seperti ciuman kami sebelum bercinta di atas ranjang sebuah hotel murahan. Dan aku mulai terangsang dan penisku mulai menegang.

Lalu Gloria bangkit dan turun dari ranjangnya. Ia berdiri di depanku, berjongkok dan mulai membuka celanaku. Ia menariknya dan menurunkannya dengan perlahan. Dan ia tetap tidak bicara apa-apa.

Penisku semakin tegang, merah dan mengeras. Gloria mulai mengocoknya dengan perlahan. Lalu ia menghisapnya. Terasa hangat dan lembut dan basah. Hangat. Lembut. Basah. Dan hangat. Dan lembut. Dan basah. Ia terus menghisapnya dengan perlahan, dengan kecepatan teratur seperti hitungan metronom. Sesekali lidahnya menjilati ujung penisku seperti sedang menjilati permen lolipop. Lalu menghisapnya lagi. Memasukkan semua penisku ke dalam mulutnya, mengeluarkannya lagi, memasukkanya lagi, lalu menghisapnya, terus dan terus dan terus. Hangat. Lembut. Dan basah.

Aku memegang kepalanya, menahannya ketika penisku berada di dalam mulutnya, dan mengusap-usap rambutnya yang pendek. Ia masih menghisap penisku. Aku memejamkan mata. Membayangkan wajahnya yang sedih. Aku merasa nikmat, seolah seluruh aliran darah dan nafasku terhisap olehnya. Jantungku mulai berdetak kencang. Dug dug dug seperti memukul-mukul rongga dadaku. Aku merasa bersalah. Aku merasa nikmat. Aku merasa akan mencapai puncak. Sebentar lagi. Sedikit lagi. 

Lalu aku terbangun.

Anjing.

***

Aku terbangun pukul delapan malam. Sebuah kipas angin berputar pelan di sampingku dan terasa dingin di kulit. Aku meraih botol air mineral yang tadi aku beli dan meminum isinya beberapa tegukan. Aku bersandar pada tembok, mengeluarkan bungkus rokok, membakarnya dan memikirkan mimpi yang baru aku alami. 

Mimpi tadi membuatku kembali  teringat Gloria. Sialan, aku jadi terus-terusan memikirkannya. Aku berpikir untuk menghubunginya. Kebetulan sore tadi kami sempat bertukar nomor ponsel. Segera saja aku meraih ponselku dan mencari nama kontaknya. Tapi sesaat kemudian aku menjadi ragu.  Untuk apa aku menghubunginya? Tidak ada urusan apa-apa lagi di antara kita. Dan mungkin saja ia juga masih membenciku dan belum bisa memaafkanku. Entahlah, setelah sore tadi bertemu dengannya dan memimpikannya aku merasa ada rasa bersalah yang tidak bisa aku pahami yang menyelinap masuk ke dalam perasaanku. Apakah karena dulu aku meninggalkannya begitu saja atau karena aku menyadari kalau orang-orang penting dalam hidupnya sudah mati, aku tidak tahu pasti. Anjing. Perasaan semacam itu benar-benar menyiksaku.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat ke ponselnya. Hanya sapaan "hai". Aku tidak tahu apakah ia akan membalasnya atau tidak. Aku sedikit berharap ia akan membalasnya. Aku menunggunya sampai dua batang rokokku habis dan pesanku tetap tidak berbalas.

Aku mulai berpikir untuk meneleponnya. Tapi aku juga tidak tahu apa yang akan aku katakan nanti. Aku juga ragu kalau ia akan mengangkat teleponku. Anjing. Semuanya menjadi serba salah buatku. Aku melemparkan ponselku begitu saja ke atas kasur dan kembali membakar rokok.

***

Ponselku berdering. Tiba-tiba aku berharap kalau itu Gloria. Ternyata bukan. Dari Joni Peler, kawan dekatku. 

Aku mengangkatnya dan bicara dengan malas. 

Joni Peler mengajakku keluar. Aku bilang di luar hujan (sebetulnya aku juga sedang malas keluar malam ini). Ia bilang kalau hujan sudah berhenti dan terus menerus memaksaku. Temani aku, aku ada tugas memotret, katanya. Oke, tapi aku malas bawa motor, kataku. Ia bilang, jangan khawatir 30 menit lagi aku jemput. Lalu telepon mati.

Aku beranjak dar tempat tidurku dan meregangkan otot-ototku yang kaku. Aku membuka pintu kamar. Udara dari luar dingin menyerbu kulitku. Aku membakar rokok dan duduk di kursi di depan kamarku. Hujan sudah berhenti. Hanya tinggal sisanya yang menetes satu per satu dari genteng kosku. Pintu kamar yang lain tertutup semua. Aku tidak tahu apakah mereka semua sudah pergi keluar atau malah diam di kamarnya masing-masing.

Aku kembali melihat ponselku dan pesanku belum juga dibalas oleh Gloria. Aku mulai putus asa. Aku mulai yakin kalau ia memang masih membenciku dan malas berhubungan denganku lagi. Ada untungnya juga Joni Peler mengajakku keluar. Mungkin itu lebih baik daripada menghabiskan malam dengan perasaan tersiksa seperti ini. 

Aku mematikan rokokku, mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku putuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum pergi. Masih banyak waktu sebelum Joni Peler datang. Aku membuka kran dan menunggu air mengisi penuh emberku. Aku menunggu sambil mengingat Gloria yang sekarang mirip penyanyi dangdut. Aku mengingat-ingat lagi di mana aku pernah melihat penyanyi dangdut yang serupa seperti Gloria. Tapi sampai air di emberku penuh aku tetap tidak bisa mengingatnya.

Aku mulai mengguyur kepalaku, lalu seluruh badanku. Aku mencoba mengingat kembali mimpiku tadi. Hutan pinus. Rumah Gloria. Sebuah kolam ikan kecil. Kakek dan nenek Gloria. Kamar Alfonso yang tertutup. Televisi yang terus menerus menyala. Tumpukan pakaian. Lalu kamar Gloria. Lalu Gloria yang sedang tidur seperti bayi. Gerakan dadanya. Celana dalamnya yang berwarna hitam. Lalu Gloria yang masih SMP. Gloria yang berwajah sedih. Aku kembali mengingatnya, membayangkannya, dan mulai bermasturbasi.

Kamis, 23 Juni 2016

Manihot Utilissima

Anjing.

Bagi orang Sunda kata itu bisa bermakna macam-macam.

Umpatan :

"Ahh, anjing"

Marah :

"Anjing, sia!"

Kagum :

"Anjiiiing keren pisan!"

Dan bahkan keakraban :

"Anjing sia kamana we, anjing? Hirup keneh, anjiing?

Atau bisa juga bermakna lain.

"Anjing..." gumamku tak percaya ketika berpapasan dengan seorang perempuan di dekat pintu keluar sebuah kedai kopi. Aku baru saja hendak meninggalkan kedai kopi tersebut ketika kami berpapasan.

Wajahnya mirip Gloria tapi penampilannya sangat berbeda dengan Gloria yang aku kenal. Ia mengenakan dress hitam dengan hiasan manik-manik di lehernya. Riasan wajahnya seheboh pasar malam -- alis matanya setebal alis Sinchan dengan gincu merah menyala yang ia poles di bibirnya. Ia memakai wedges setebal 10 senti yang membuat tinggi badannya hampir sejajar denganku. Tangan kirinya mencangkol sebuah tas berwarna hitam dengan logo Louis Vitton berwarna emas di tengahnya yang aku yakin ia beli di Tanah Abang atau Blok M atau PGC atau di tempat grosir mana saja yang menjual produk KW. Tangan kanannya sibuk memainkan ponsel. Dan anjing, ia terlihat lebih mirip penyanyi dangdut daripada Gloria yang aku kenal dulu.

"Kamu Gloria, kan?" tanyaku sedikit ragu.

Perempuan itu berhenti memainkan ponselnya dan balik menatapku.

"Antonio?" jawabnya beberapa saat kemudian dengan nada yang sama ragunya denganku. Mungkin ia juga kaget karena bertemu denganku di sini. Hampir lima tahun kami tidak bertemu dan saling berkomunikasi.

Ia mantan pacarku. Aku mengenalnya dari kakaknya, Alfonso. Alfonso adalah kawan dekatku. Kami satu sekolah ketika SMA. Waktu itu aku sedang patah hati setelah pacarku berselingkuh dengan temanku sendiri. Alfonso kemudian mengenalkanku pada Gloria. Entah bagaimana mulanya tapi kemudian kami berpacaran. Ia masih kelas tiga SMP saat itu.

Usia Gloria dua tahun di bawahku. Dulu ia tomboy. Rambutnya dipotong pendek dan tidak pernah mau memakai rok kecuali saat pergi sekolah. Ia pernah menjotos muka salah seorang teman sekelasnya gara-gara bocah itu terus-terusan menggodanya. Semasa SMA ia ikut bergabung dengan klub pecinta alam, menjadi vokalis di sebuah band rock dan menggemari Paramore. Aku merasa cocok dengannya. Kami sering menghabiskan waktu membicarakan band-band pop punk kesukaannya, acara serial kartun Spongebob Squarepants, atau manga-manga yang pernah kami baca.

Kedua orangtuanya tinggal di Jakarta. Ia pindah ke kota ini ketika SMP dan tinggal bersama kakek dan neneknya. Gloria bercerita kalau kedua orang tuanya merasa khawatir dengan pergaulan remaja di Jakarta sehingga mereka memutuskan untuk memindahkannya ke kota kecil ini.

Hubungan kami hanya bertahan satu tahun. Ia selingkuh dengan salah seorang temannya yang jago menggambar. Anjing. Aku patah hati dan setelah peristiwa itu aku kehilangan kontak dengannya.

Selepas lulus SMA aku melanjutkan kuliahku di Cirebon. Di tahun-tahun pertama kuliahku, aku kembali berhubungan dengannya. Ia sudah SMA, masih tomboy, meski sesekali ia mau berdandan sedikit. Rambutnya ia biarkan tumbuh panjang. Ia sudah lama berpisah dengan pacarnya yang jago menggambar itu. Aku sendiri sempat beberapa kali bergonta-ganti pacar dan tidak ada satu pun yang bertahan lama.

Lalu kami kembali berkencan, pergi menonton film di bioskop, berciuman di sebuah sekolah tua sembari menunggu hujan reda dan berhubungan seks untuk pertama kalinya. Kami melakukannya di sebuah hotel murahan di sekitar stasiun kereta. Setelah selesai berhubungan ia bertanya apakah ini pertama kali aku melakukannya, aku bilang iya. Tentu saja aku berbohong. Dan kami terus melakukannya sampai malam. Dan terus melakukannya jika ada kesempatan.

Aku juga kembali berkunjung ke rumahnya. Bertemu dengan kakek dan neneknya yang semakin renta (tapi tidak ada Alfonso -- ia berkuliah di Bandung) dan sekali-kali mencuri kesempatan untuk bisa mengentotnya di sana, di kamarnya, di kamar mandi, atau di ruang tamu.

Kadang kami melakukannya di rumahku ketika orang tuaku pergi. Atau di hotel-hotel kelas melati yang bisa kami temui. Kadang kami melakukannya sambil menonton film porno. Melakukannya sambil mendengarkan album Dookie dari Green Day. Dan tetap melakukannya meskipun salah satu di antara kami sedang sakit. Selama ada kesempatan kami pasti akan melakukannya.

Aku menyukai gaya bercintanya yang liar dan sepanas bintang film porno dan payudaranya yang kecil dengan puting berwarna merah muda dan bulu-bulu hitam yang baru tumbuh di atas vaginanya. Setelah selesai bercinta kami kembali membicarakan manga-manga kesukaan kami (favoritnya saat itu adalah Slam Dunk dan Hunter X Hunter), novel-novel detektif karya Sir Arthur Conan Doyle dan Edgar Alan-Poe, dan album-album pop punk dan emo tahun 2000an.

Tapi hubungan kami kali ini tidak berjalan lama. Hanya bertahan tiga bulan. Ia mulai bersikap posesif dan hal itu membuatku merasa tidak nyaman. Kami menjadi lebih sering terlibat pertengkaran daripada bercinta. Aku mulai bosan. Aku kemudian berselingkuh dengan perempuan lain dan meninggalkannya begitu saja. Hidup lumayan adil, bukan?

Setelah itu aku benar-benar kehilangan kontak dengannya. Bukan hanya itu, aku juga kehilangan kontak dengan Alfonso. Setelah peristiwa itu tampaknya Alfonso juga menjadi ikut-ikutan membenciku. Aku tidak pernah bertemu lagi dengan pasangan kakak-beradik itu sampai kemudian secara tidak sengaja aku berpapasan dengan Gloria di kedai kopi ini.

Kami bercakap-cakap sebentar. Ia bilang sengaja berkunjung ke sini untuk berziarah ke makam kakek dan neneknya (anjing! aku baru tahu kalau mereka semua sudah meninggal) dan janjian bertemu dengan teman-teman SMAnya di kedai kopi ini. 

"Kamu lama di sini?"

"Enggak. Lusa juga balik"

"Bagaimana kabar ibu?"

Ia tidak langsung menjawab. Raut wajahnya malah berubah seketika.

"Ibu sudah meninggal" ia menjawab pelan tapi cukup untuk membuat kepalaku serasa ditimpuk batu bata. Aku ingin bertanya lebih lanjut tapi mengurungkannya. Suasananya malah berubah menjadi canggung.

Kami sempat bertukar nomor ponsel sebelum berpisah. Sebenarnya aku berharap ia akan mengajakku minum kopi bersamanya. Ternyata tidak. Mungkin ia masih membenciku atau pertanyaanku tentang ibunya membuat suasana hatinya buruk, aku tidak tahu. Ahh anjing, aku mengumpat dalam hati.

***

Aku mampir sebentar ke toko buku Ohara. Itu adalah toko buku kecil yang dikelola oleh pria ceking bernama Cardosso, atau begitu setidaknya ia biasa dipanggil. Teman-temannya bilang kalau Cardosso agak sinting. Aku juga berpikir kalau ia memang betulan sinting. Membuka toko buku di kota kecil dan di zaman seperti ini memang cuma berani dilakukan oleh orang-orang sinting saja.

Cardosso membuka toko buku ini dua tahun yang lalu. Ia mengaku mendapat warisan dari kakeknya. Tidak banyak, katanya, tapi cukup untuk membuka sebuah toko buku kecil dan mabuk-mabukan.

Tempat itu berukuran kecil dengan dua rak buku yang membentuk huruf L. Di pojok ruangan terdapat sebuah meja dan dua buah kursi tempat Cardosso biasa duduk sambil memainkan laptopnya, menyusun daftar-daftar lagu yang akan diputarnya hari itu. Tempat itu menyediakan buku-buku dari penerbit-penerbit independen yang tidak dijual di toko buku besar macam Gramedia. Kebanyakan mengenai sastra, filsafat, analisa politik-sosial, dan budaya.

Ketika tiba di sana Cardosso sedang memutar lagu Silampukau dari speaker yang dicolok langsung ke laptopnya. 

Musisi Gusti musisi...

"Oy.." ia menyapaku. Rambutnya berantakan dengan kantung mata yang bisa menyaingi SBY ketika menjabat sebagai presiden. Ia hanya mengenakan singlet berwarna putih dan celana jins yang ia potong secara sembarang di atas lutut. Udara di dalam terasa panas meskipun sebuah kipas angin sudah dipasang di atasnya dan terus menerus menyala. Mungkin malam nanti akan turun hujan.

"Lagi sepi, eh?" tanyaku.

Cardosso malah tertawa.

"Kau pikir kapan toko buku pernah ramai?" ia balik bertanya.

"Gramedia selalu ramai"

"Gramedia mah bukan toko buku. Itu mah toserba. Toko serba ada. Barbel aja dijual di sana. Tinggal nunggu waktu aja sebelum mereka jualan sembako." katanya sembari tertawa semakin keras.

Dasar sinting.

Aku melihat-lihat rak buku. Tidak terlalu banyak buku yang dijual di sini. Aku melihat beberapa judul buku yang belum aku baca. Mengambilnya, melihat sampulnya, membaca blurb di bagian belakangnya, lalu menyimpannya kembali. Aku mungkin termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menilai kalau sampul buku sama penting dengan isinya. Pepatah "jangan menilai buku dari sampulnya" tidak berlaku buatku. Aku pernah batal membeli novel Cantik Itu Luka gara-gara sampulnya yang masya-Alloh-butut-banget. Padahal novelnya bagus (aku pernah membaca novel itu sekali dan membelinya sebelum sampulnya berubah, lalu novel itu aku pinjamkan kepada seorang teman dan tidak pernah balik lagi). Ironisnya, menurut pengakuan penulisnya sendiri, novel dengan sampul yang masya-Alloh-butut-banget tersebut justru memegang rekor penjualan terbanyak dibanding dengan sampul-sampul sebelumnya. Hah!

Ohara memang tidak pernah ramai tapi biasanya tempat itu sering dikunjungi oleh para mahasiswa yang berkuliah tidak jauh dari tempat itu. Tapi kali ini hanya ada aku di sana. Mungkin karena sekarang akhir pekan, pikirku.

"Apa yang baru?"

"Karya-karya Puthut EA dicetak ulang tuh"

Cardosso kemudian bangkit dari kursinya, mengambil sebuah buku dan memberikannya padaku. Sebuah buku berjudul Seekor Bebek Yang Mati di Pinggir Kali, salah satu buku kumpulan cerpen milik Puthut EA.

"Sudah baca?" tanya Cardosso. Aku menggeleng.

"Aku baru baca Cinta Tak Pernah Tepat Waktu"

"Ah.. Kisah cinta yang menyebalkan.." kata-kata Cardosso menggantung di udara. Aku melirik ke arahnya. Ia tampak seperti sedang terkenang sesuatu.

"Begitulah" kataku sambil kembali memilih-milih buku di rak.

"Tapi aku belum pernah merasakannya sih" sambungku.

"Aku sudah" kata Cardosso. Lalu ia kembali tertawa keras. Tapi tawanya kali ini terdengar pahit.

Cardosso menawariku kopi. Aku menganggukkan kepala. Ia kemudian pergi keluar memesan dua gelas kopi di sebuah warung kecil di samping tokonya. Beberapa menit kemudian ia datang dengan menenteng dua gelas kopi Kapal Api hitam di gelas plastik. Aku bilang taruh saja di luar. Ia kemudian menaruhnya di sebuah bangku panjang yamg berada di depan tokonya dan duduk di sana, merokok. Aku menyusulnya setelah memutuskan untuk mengambil novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom.

"Panas banget. Kayaknya mau hujan" kata Cardosso setelah aku duduk di sampingnya. 

"Hmmm. Mungkin" jawabku singkat. Aku melihat langit sore itu. Sudah mulai gelap. Aku mengeluarkan sebungkus Marlboro dari saku celanaku dan membakarnya sebatang. Kami berbincang-bincang mengenai beberapa hal. 

"Kamu tahu penulis bernama Manihot Utilissima?" tanya Cardosso.

"Hah? Siapa?"

"Ma Ni Hot U Ti Lis Si Ma" 

"Penulis mana?"

"Katanya sih penulis asal Kuningan. Penulis cerita silat tahun 80an"

Aku mengingat-ingat beberapa penulis cerita silat yang aku tahu. Aku hanya tahu dua orang, Bastian Tito dan Kho Ping Ho, meskipun karya mereka belum ada yang pernah aku baca. Rasanya aku baru mendengar nama penulis cerita silat yang baru disebutkan oleh Cardosso.

"Siapa tadi nama penulisnya?"

"Manihot Utilissima"

Aku kembali mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama tersebut tapi tetap saja ingatanku buntu. Aku yakin kalau aku baru mendengarnya sekarang.

Aku menggelengkan kepala.

Cardosso kemudian bercerita kepadaku kalau dua hari yang lalu ada seorang perempuan yang datang ke tokonya dan bertanya tentang penulis bernama aneh tersebut. Perempuan itu mungkin baru pindah ke kota ini karena Cardosso baru melihatnya saat itu. Mungkin ia baru bekerja di kota ini atau mungkin juga ia seorang mahasiswa baru. Cardosso tidak sempat bertanya lebih banyak kepadanya. Ia bilang kalau dirinya sedang mencari buku cerita silat karangan Manihot Utilissima dan bilang kalau penulis itu berasal dari Kuningan. Cardosso tanya kenapa ia tak pergi ke Kuningan saja. Lalu ia bilang kalau ia tidak tahu harus bertemu siapa di Kuningan. Tidak ada informasi yang jelas tentang penulis bernama aneh tersebut. Cardosso kemudian menyarankannya untuk mencarinya di lapak penjual buku-buku bekas. Kemungkinan bukunya sudah tidak dicetak lagi jadi satu-satunya tempat untuk menemukannya adalah di tempat para penjual buku-buku bekas, kata Cardosso. Perempuan itu bilang nanti akan mencarinya di lapak penjual buku-buku bekas. Lalu ia mengucapkan terima kasih dan pergi. 

"Mungkin ia orang gila?" 

"Aku sempat berpikir begitu tapi setelah mengobrol dengannya aku yakin ia bukan orang gila. Obrolan kami nyambung. Enggak ada yang aneh dari penampilan dan cara bicaranya, kecuali pertanyaannya tentang penulis bernama Manihot Utilissima"

"Apa judul bukunya?"

"Manihot Utilissima"

"Hah?! Jadi ada penulis bernama Manihot Utilissima yang menulis buku berjudul Manihot Utilissima juga?!"

Cardosso mengangguk.

"Anjing"

Lalu kami berdua tertawa bersamaan.

***

Aku meneguk kopiku. Langit semakin gelap dengan angin yang sesekali berhembus. Terasa dingin di kulitku. Aku membakar lagi rokokku. Tiba-tiba saja aku kembali teringat Gloria, teringat kakek dan neneknya, juga ibunya. Aku tidak menyangka mereka semua sudah meninggal. Ia pasti merasa sangat kehilangan. Mungkin peristiwa itu juga yang membuatnya berubah dari seorang gadis tomboy menjadi seperti penyanyi dangdut. Ini hanya dugaanku saja. Mungkin ada hal lain yang tidak aku ketahui. Bukan hal yang luar biasa juga jika seseorang berubah. Tapi sial, bayangan Gloria yang mirip penyanyi dangdut itu tidak mau lari dari kepalaku. Rasanya aku pernah melihat penyanyi dangdut yang serupa seperti itu, entah di mana, aku tidak bisa mengingatnya.

"Kopimu keburu dingin tuh" suara Cardosso membuat lamunanku buyar.

Aku membuang puntung rokokku ke atas tanah, menginjaknya dengan sepatuku hingga baranya padam, dan mengambil gelas kopi di sampingku.

Anjing, ada seekor lalat nyemplung di gelasku. Tapi aku memutuskan untuk tetap meminumnya.